..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

Petunjuk Teknis Pembuatan Faktur Pajak Sebagai Pelaksana Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024

Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Bab IV Pasal 4 angka 2 Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), maka sejak 1 Januari 2025 tarif PPN telah naik menjadi 12%. Namun karena kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang kurang baik serta adanya masukan dari berbagai pihak kepada Pemerintah untuk menunda kenaikan tarif PPN ini, maka melalui pertimbangan dan konsultasi dengan DPR, akhirnya Pemerintah menetapkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% hanya akan diterapkan untuk Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong Mewah yang dikenai PPnBM. Penetapan kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tanggal 31 Desember 2024.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 mengenai petunjuk teknis pembuatan Faktur Pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024.

Faktur Pajak dan Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah yang dikenai PPnBM sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 PMK 131 Tahun 2024 dan penyerahan Barang Kena Pajak (selain yang tergolong Mewah) serta Jasa Kena Pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 PMK 131 Tahun 2024 wajib untuk membuat Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan teknis mengenai pembuatan Faktur Pajak dan Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025.

Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak ini wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dimana harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
  1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  2. identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  3. jenis barang atau jasa, jumlah harga atau penggantian, dan potongan harga;
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
  6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
  7. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang harus dicantumkan dalam Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak meliputi:
  1. nama, alamat, dan NPWP, bagi Wajib Pajak dalam negeri badan dan instansi pemerintah;
  2. nama, alamat, dan NPWP atau Nomor Induk Kependudukan (NIK), bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
  4. nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU PPh.
Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Untuk Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran Kepada Pembeli Konsumen Akhir

Untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang merupakan pedagang eceran yang melakukan penyerahan kepada pembeli dengan karakteristik sebagai konsumen akhir, maka PKP pedagang eceran ini dapat membuat Faktur Pajak yang tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual.

Dikecualikan dari ketentuan bagi PKP pedagang eceran yang melakukan penyerahan kepada konsumen akhir, untuk tetap harus mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam Faktur Pajak yang dibuatnya, meliputi:

Barang Kena Pajak tertentu, yaitu:
  1. angkutan darat berupa kendaraan bermotor;
  2. angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht;
  3. angkutan udara berupa pesawat terbang, helicopter, dan/atau balon udara;
  4. tanah dan/atau bangunan; dan
  5. senjata api dan/atau peluru senjata api; dan
Jasa Kena Pajak tertentu, yaitu:
  1. jasa penyewaan angkutan darat berupa kendaraan bermotor;
  2. jasa penyewaan angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht;
  3. jasa penyewaan angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara; dan
  4. jasa penyewaan tanah dan/atau bangunan,
Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Dalam Masa Transisi

Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang dibuat sejak tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Maret 2025 untuk Impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak (selain yang tergolong Mewah), penyerahan Jasa Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak sesuai ketentuan Pasal 3 PMK 131 Tahun 2024, yang mencantumkan:
  1. Dasar Pengenaan Pajak dari harga jual/penggantian/nilai Impor sepenuhnya dan tarif 12%; atau
  2. Dasar Pengenaan Pajak dari harga jual/penggantian/nilai Impor sepenuhnya dan tarif 11%,
dianggap telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) PER-1/PJ/2025, yaitu telah diisi secara benar, lengkap dan jelas sesuai dengan ketentuan.

Atas kelebihan pemungutan PPN karena pencantuman Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 12%, berlaku ketentuan:
  1. pihak terpungut meminta pengembalian kelebihan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak penjual; dan
  2. berdasarkan permintaan pengembalian dari pihak terpungut, Pengusaha Kena Pajak penjual melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang dibuat sejak tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Maret 2025, yang belum mencantumkan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) PMK 131 Tahun 2024 (yaitu besarnya DPP yang dihitung sebesar 11/12 dari harga jual), tetapi telah memuat keterangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dianggap telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) PER-1/PJ/2025, yaitu telah diisi secara benar, lengkap dan jelas sesuai dengan ketentuan.

Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Untuk Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah

Untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang merupakan pedagang eceran yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah kepada pembeli dengan karakteristik sebagai konsumen akhir, atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. mulai tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan tanggal 31 Januari 2025, PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual; dan
  2. mulai tanggal 1 Februari 2025, PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual.
Penghitungan PPN tersebut di atas, tidak berlaku untuk penyerahan BKP yang tergolong mewah berupa BKP tertentu dan JKP tertentu yang diatur dalam Pasal 3 ayat (3) PER-1/PJ/2025, yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.

Masa berlaku ketentuan PER-1/PJ/2025

PER-1/PJ/2025 berlaku mulai tanggal ditetapkan yaitu 3 Januari 2025.
(c) 05012025 syafrianto.blogspot.com

Kamis, 02 Januari 2025

Ringkasan Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Tarif PPN 12% - Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024

Mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebesar 12%.

Formula perhitungan PPN dengan tarif 12% adalah 12% x Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dengan perincian DPP sebagai berikut:
  1. Untuk Barang Kena Pajak (BKP) Barang Mewah yang dikenai PPnBM, DPP adalah: harga jual atau nilai impor
  2. Untuk Barang Kena Pajak (BKP) selain Barang Mewah dan Jasa Kena Pajak (JKP), DPP adalah berupa nilai lain: 11/12 x harga jual, nilai impor atau penggantian
Sehingga formula perhitungan PPN adalah menjadi:
  1. Untuk Barang Kena Pajak (BKP) Barang Mewah yang dikenai PPnBM, formulanya adalah: 12% x harga jual atau nilai impor
  2. Untuk Barang Kena Pajak (BKP) selain Barang Mewah dan Jasa Kena Pajak, Formulanya adalah: 12% x 11/12 x harga jual, nilai impor atau penggantian
Catatan: untuk pengenaan PPN atas BKP selain Barang Mewah dan JKP dengan DPP berupa nilai lain 11/12 x harga jual, nilai impor atau penggantian ini tidak berlaku untuk transaksi yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan khusus untuk pengenaan PPN yang:
  1. menggunakan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain yang ketentuannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan secara tersendiri; dan
  2. besaran tertentu yang ketentuannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana yang diatur dalam PMK 131 Tahun 2024 ini adalah merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Masa Peralihan dalam menghitung PPN tarif 12% untuk Untuk Barang Kena Pajak (BKP) Barang Mewah yang dikenai PPnBM atas penyerahan yang dilakukan oleh PKP kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir berlaku ketentuan:
  1. mulai 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, PPN yang terutang dihitung dengan cara: 12% x Dasar Pengenaan Pajak (berupa nilai lain sebesar 11/12 x harga jual); dan
  2. mulai tanggal 1 Februari 2025, dihitung dengan cara: 12% x Dasar Pengenaan Pajak berupa harga jual atau nilai impor.

Contoh Kasus

1.Transaksi Penjualan Barang Mewah Mulai 1 Februari 2025

Kasus:
Tanggal 2 Februari 2025 PT Lapak Tax Learning (PKP) menjual 1 unit tas mewah merek “eLVie” kepada Ny. Ayu seharga Rp 100.000.000 maka perhitungan PPN-nya adalah sebagai berikut.

Perhitungan:
PPN = 12% x DPP (Harga Jual)
PPN = 12% x Rp 100.000.000
PPN = 12.000.000

2. Barang Mewah yang Dikenai PPnBM Mulai 1 Januari 2025 s.d. 31 Januari 2025

Kasus:
Tanggal 1 Januari 2025 PT Lapak Tax Learning (PKP) menjual 1 unit tas mewah merek “eLVie” kepada Ny. Indah seharga Rp 100.000.000 maka perhitungan PPN-nya adalah sebagai berikut.

Perhitungan:
PPN = 12% x DPP (berupa Nilai Lain)
PPN = 12% x (11/12 x Harga Jual)
PPN = 12% x (11/12 x Rp 100.000.000)
PPN = 11.000.000

3.Transaksi Penjualan BKP selain Barang Mewah

Kasus:
Tanggal 25 Januari 2025 PT Lapak Tax Learning (PKP) menjual 2 dus air mineral merek “Air Minum” kepada PT Kantor Megah seharga Rp 100.000. Maka perhitungan PPN-nya adalah sebagai berikut.

Perhitungan:
DPP = 11/12 x Harga Jual
DPP = 11/12 x Rp 100.000
DPP = 91.666,67

PPN = 12% x DPP
PPN = 12% x 91.666,67
PPN = 11.000

4.Transaksi Penyerahan JKP

Kasus:
Tanggal 25 Januari 2025 PT Tax Learning (PKP) menyerahkan jasa pelatihan PMK 131 Tahun 2024 kepada CV Belajar Pajak seharga Rp 10.000.000. Maka perhitungan PPN-nya adalah sebagai berikut.

Perhitungan:
DPP = 11/12 x Harga Jual
DPP = 11/12 x Rp 10.000.000
DPP = 9.166.666,67

PPN = 12% x DPP
PPN = 12% x 9.166.666,67
PPN = 1.100.000

Catatan Tambahan Dari Penulis:
Di dalam PMK 131 Tahun 2024 ini tidak pernah mengatur mengenai mekanisme penerbitan Faktur Pajak dan Kode Transaksi atas penerbitan Faktur Pajak transaksi ini (karena memang teknis mengenai Faktur Pajak dan administrasinya diatur di Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Menteri Keuangan), maka Penulis menggunakan logika hukum dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang selama ini mengatur mengenai Faktur Pajak yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 untuk menentukan Kode Transaksi untuk Pembuatan Faktur Pajak. Sehingga Kode Transaksi untuk Faktur Pajak atas transaksi yang diatur di PMK 131 Tahun 2024 ini adalah menggunakan kode transaksi:
  1. Kode Transaksi 01 untuk transaksi impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) Barang Mewah yang dikenai PPnBM mulai 1 Februari 2025.
  2. Kode Transaksi 04 untuk transaksi impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) Barang Mewah yang dikenai PPnBM mulai 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, transaksi penyerahan Barang Kena Pajak selain Barang Mewah yang dikenai PPnBM, transaksi penyerahan Jasa Kena Pajak.
(c)02012025 syafrianto.blogspot.com

Rabu, 01 Januari 2025

Pemberlakuan Tarif PPN 12% Pada Tanggal 1 Januari 2025

Mulai 1 Januari 2025, tarif PPN ditetapkan naik menjadi 12%. Sesuai dengan amanat dari Bab IV Pasal 4 angka 2 Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menetapkan bahwa tarif PPN yaitu sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini diumumkan oleh Presiden Prabowo pada tanggal 31 Desember 2024 petang, setelah melakukan rapat tutup tahun dengan Menteri Keuangan beserta jajarannya di Kementerian Keuangan, Jakarta.

Dalam pengumumannya tersebut, Presiden Prabowo menegaskan bahwa setelah berkoordinasi dengan DPR RI, maka pada hari ini (31 Desember 2024) pemerintah memutuskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada, masyarakat mampu. Berikut ini adalah cuplikan video pengumuman kenaikan tarif PPN oleh Presiden Prabowo yang disiarkan oleh Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.



Penjelasan Tentang Kenaikan Tarif PPN 12% oleh Menteri Keuangan

Selanjutnya Menteri Keuangan memberikan penjelasan teknis dan detail mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 12% sebagaimana yang telah diumumkan oleh Presiden Prabowo sebelumnya. Penjelasan Menteri Keuangan, Sri Mulyani dapat disaksikan pada cuplikan video berikut ini.



Peraturan Menteri Keuangan tentang Kenaikan Tarif PPN 12%

Sebagai peraturan pelaksanaannya, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 (PMK 131 Tahun 2024) tanggal 31 Desember 2024 tentang Perlakukan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean. Dalam PMK 131 Tahun 2024 ini diatur antara lain:

Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha terutang PPN yang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa:
  1. Untuk impor Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak di Dalam Daerah Pabean atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), DPP adalah berupa harga jual atau nilai impor.
  2. Untuk Barang Kena Pajak selain yang tergolong mewah, Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, DPP adalah berupa nilai lain. Nilai lain ini dihitung sebesar 11/12 (sebelas per dua belas) dari nilai impor, harga jual atau penggantian
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana yang disebut pada angka 1 dan 2 di atas adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Ketentuan yang diatur dalam PMK 131 Tahun 2024 ini tidak berlaku untuk Pengusaha Kena Pajak yang memungut, menghitung dan menyetorkan PPN dengan:
  1. menggunakan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain yang ketentuannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan secara tersendiri; dan
  2. besaran tertentu yang ketentuannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir, atas penyerahan Barang Kena Pajak untuk yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. mulai 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, PPN yang terutang dihitung dengan cara: 12% x Dasar Pengenaan Pajak (berupa nilai lain sebesar 11/12 x harga jual); dan
  2. mulai tanggal 1 Februari 2025, dihitung dengan cara: 12% x Dasar Pengenaan Pajak berupa harga jual atau nilai impor.
Ringkasan ketentuan yang diatur di PMK 131 Tahun 2024 dapat dibaca di sini.
(c)01012025 syafrianto.blogspot.com

Selasa, 31 Desember 2024

Era Coretax Pengkreditan Pajak Masukan Hanya Dapat Dilakukan Di Bulan Faktur Pajak Diterbitkan dan Tidak Dapat Dikreditkan Di Tiga Masa Pajak Berikut?

Sistem PPN di Indonesia mengenal metode pengkreditan pajak. Ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) akan dikenakan (dipungut) PPN oleh pihak PKP Penjual, ini yang dinamakan sebagai Pajak Masukan. Ketika melakukan penjualan PKP ini akan memungut PPN atas tagihan penjualan yang diterbitkan kepada pihak pembeli (konsumen). PPN yang dipungut ini yang dinamakan sebagai Pajak Keluaran. Pada setiap masanya, PKP ini memiliki kewajiban untuk menyetorkan PPN yang telah dipungutnya dari konsumen dengan terlebih dahulu memperhitungkan (mengurangkan) Pajak Masukan yang berhubungan dengan Pajak Keluaran dan memenuhi syarat untuk dapat dikreditkan. Proses ini yang disebut sebagai proses pengkreditan Pajak Masukan.

Ketentuan yang berlaku selama ini (sesuai Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum dilakukan pemeriksaan. Petunjuk pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN ini diatur lebih lanjut pada Pasal 62 ayat (1) PMK 18/PMK.03/2021 dan Pasal 63 ayat (1) PMK 18/PMK.03/2021.

Jadi selama ini berlaku ketentuan bahwa Pajak Masukan yang diperoleh dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama atau dapat dikreditkan pada pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Masukan tersebut. Sebagai contoh (seperti yang dicontohkan pada Lampiran XV PMK 18/PMK.03/2021), untuk Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan oleh PKP Penjual pada tanggal 8 Agustus 2021 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak Agustus 2021, atau Masa Pajak September 2021, Masa Pajak Oktober 2021, dan paling lambat Masa Pajak November 2021.

Ketentuan Baru Mengenai Jangka Waktu Pengkreditan Pajak Masukan

Sejak 1 Januari 2025, PKP yang akan mengkreditkan Faktur Pajak Masukan, hanya dapat mengkreditkan Faktur Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Masukan oleh pihak PKP Penjual. Prosedur pengkreditan Pajak Masukan yang baru ini diatur dalam Pasal 375 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 bahwa Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Kemudian pada Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 yang menegaskan bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 ayat (1), yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukanya dipersamakan dengan Faktur Pajak, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat.

Dari Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 ini dapat kita lihat perbedaan pengaturan dengan ketentuan yang selam ini berlaku (PMK 18/PMK.03/2021 dan PMK 18/PMK.03/2021) yaitu untuk Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya untuk paling lama 3 (tiga) Masa Pajak adalah hanya dibatasi untuk Pajak Masukan yang berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pada Pasal 470 PMK 81 Tahun 2024 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama yang dicontohkan pada Lampiran huruf WWW (halaman 547) PMK 81 Tahun 2024 ini.

Artinya bahwa mulai 1 Januari 2025, Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak (selain dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak) hanya dapat dikreditkan pada Masa Pajak sesuai dengan Masa Pajak Faktur Pajak Masukan tersebut diterbitkan.

Dan perlu menjadi perhatian bagi Para Pembaca Setia Tax Learning bahwa ketentuan ini berlaku mulai 1 Januari 2025, artinya semua Faktur Pajak yang diterbitkan di tahun pajak 2024, hanya dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya untuk paling lama 3 (tiga) Masa Pajak, paling lambat hanya dapat dilakukan untuk Masa Pajak Desember 2024. Jadi misalkan Faktur Pajak Masukan yang terbit di Masa Pajak November 2024, hanya dapat dikreditkan di Masa Pajak November 2024 dan Masa Pajak Desember 2024. Untuk Faktur Pajak Masukan yang terbit di Masa Pajak Desember 2024, hanya dapat dikreditkan di Masa Pajak Desember 2024 saja.
(c)31122024 http://syafrianto.blogspot.com

Rabu, 12 Juli 2023

PPN atas Penyerahan Agunan Yang Diambil Alih oleh Kreditur Kepada Pembeli Agunan

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perepajakan (UU HPP) beserta peraturan pelaksananya memberikan pengaturan yang lebih jelas mengenai pengenaan PPN atas penyerahan agunan yang diambil alih oleh kreditur kepada pembeli agunan. Ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan PPN atas penyerahan agunan yang diambil alih oleh kreditur kepada pembeli agunan ini diatur secara tegas pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41 Tahun 2023 (PMK Nomor 41 Tahun 2023) tanggal 11 April 2023.

Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 44 Tahun 2022 dan Pasal 2 PMK Nomor 41 Tahun 2023 mengatur bahwa Penyerahan Agunan oleh Kreditur kepada Pembeli Agunan termasuk dalam pengertian Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian dan merupakan penyerahan hak atas Barang Kena Pajak yang dikenai PPN. Agunan yang diserahkan oleh Kreditur kepada Pembeli merupakan Agunan yang diambil alih oleh Kreditur untuk penyelesaian Kredit, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau Pinjaman atas Dasar Hukum Gadai dengan pengambilalihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.

Agunan sebagaimana dimaksud pada ketentuan ini merupakan Barang Kena Pajak yang diambil alih oleh kreditur berdasarkan:
  1. hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
  2. jaminan fidusia;
  3. hipotek;
  4. gadai; atau
  5. pembebanan sejenis lainnya
Saat terutangnya PPN untuk transaksi ini adalah pada saat agunan yang diambil alih (disita) oleh Kreditur ini dijual kepada Pembeli Agunan dan diterima pembayarannya dari Pembeli Agunan.

Kreditur (sebagai PKP) harus memungut PPN dengan Besaran Tertentu dengan perhitungan: Tarif PPN x 10% x Dasar Pengenaan Pajak (DPP), atau secara efektif tarifnya adalah: 1,1% x Harga Jual Agunan.

Atas pemungutan PPN ini, kreditur diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak. Faktur Pajak yang dibuat oleh kreditur ini dipermudah dengan memperlakukan Tagihan atas penjualan Agunan atau dokumen lain yang sejenis sebagai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Namun syaratnya dokumen tagihan atas penjualan agunan ini minimal harus memuat informasi/keterangan:
  1. nomor dan tanggal dokumen,
  2. nama dan NPWP Kreditur
  3. nama dan NPWP atau nomor induk kependudukan Debitur
  4. nama dan NPWP atau nomor induk kependudukan Pembeli Agunan,
  5. uraian Barang Kena Pajak,
  6. dasar pengenaan pajak, dan
  7. Jumlah PPN yang dipungut
Kreditur menyetorkan dan melaporkan pemungutan PPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN yaitu dengan Kode akun pajak 411211 dan Kode jenis setoran 100 serta melaporkan dalam SPT Masa PPN Formulir 1111.

Sedangkan perlakuan pengkreditan pajak masukan atas transaksi Penyerahan Agunan oleh Kreditur kepada Pembeli Agunan adalah sebagai berikut:
  1. Bagi Kreditur: Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Agunan tidak dapat dikreditkan oleh Kreditur.
  2. Bagi Pembeli Agunan: Pembeli Agunan yang merupakan PKP dapat mengkreditkan PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41 Tahun 2023 mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2023.

(c)2023 syafrianto.blogspot.com

Materi ini telah disampaikan oleh Penulis dalam acara Bincang Pajak bersama IKPI Depok yang diselenggarakan pada tanggal 12 Juli 2023 pukul 09.00 s.d. 11.00 WIB.

Rabu, 28 Juni 2023

Ketentuan PPN Baru atas Batasan Rumah Bebas PPN di Tahun 2023

Pemerintah melalui Menteri Keuangan merevisi aturan pemberian pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pembelian rumah pertama bagi masyarakat yang masuk kriteria berpenghasilan rendah. Revisi aturan ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2023 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Rumah Pekerja yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. PMK ini ditetapkan tanggal 9 Juni 2023 yang diundangkan dan mulai berlaku pada 12 Juni 2023. PMK ini mencabut dan menggantikan PMK Nomor 81/PMK.010/2019.

PMK Nomor 60 Tahun 2023 yang merupakan salah satu aturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 secara ringkas mengatur hal-hal sebagai berikut.

Objek dari Ketentuan Ini

Pembebasan PPN dapat diberikan atas penyerahan rumah umum, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta rumah pekerja.

Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi orang pribadi Warga Negara Indonesia yang termasuk dalam kriteria masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai perumahan dan kawasan permukiman. Fungsi runah umum ini adalah hanya sebagai bangunan tempat tinggal yang layak huni, tidak termasuk rumah toko dan rumah kantor. Syarat rumah umum yang dimaksud di PMK ini harus memenuhi ketentuan:
  1. luas bangunan minimal 21 m2 sampai dengan 36 m2
  2. luas tanah minimal 60 m2 sampai dengan 200 m2
  3. harga jual (yang merupakan nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang dimintakan atau seharusnya diminta oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan tidak termasuk PPN, tidak termasuk biaya yang diminta pihak ketiga selain pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan seperti biaya transaksi jual beli dan biaya transaksi pembiayaan) tidak melebihi batasan harga jual sebagaimana yang disajikan di Lampiran PMK Nomor 60 Tahun 2023 ini.
  4. merupakan rumah pertama yang dimiliki oleh orang pribadi yang termasuk dalam kriteria masyarakat berpenghasilan rendah, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 4 tahun sejak dimiliki.
Rumah umum ini wajib memiliki kode identitas rumah yang disediakan melalui aplikasi di kementerian yang menyelnggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dan/atau badan yang mengelola tabungan perumahan rakyat.

Rumah pekerja adalah bangunan yang dibiayai dan dibangun oleh pemberi kerja dan diperuntukkan bagi karyawannya sendiri Warga Negara Indonesia yang termasuk dalam kriteria masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai perumahan dan kawasan permukiman. Rumah pekerja ini selain dibangun oleh pemberi kerja dapat juga dibangun oleh pemberi kerja dengan menggunakan jasa perusahaan jasa konstruksi. Fungsi runah pekerja ini adalah hanya sebagai bangunan tempat tinggal yang layak huni, tidak termasuk rumah toko dan rumah kantor. Syarat rumah umum yang dimaksud di PMK ini harus memenuhi ketentuan:
  1. luas bangunan minimal 21 m2 sampai dengan 36 m2
  2. luas tanah minimal 60 m2 sampai dengan 200 m2
  3. harga jual (yang merupakan nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang dimintakan atau seharusnya diminta oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan tidak termasuk PPN, tidak termasuk biaya yang diminta pihak ketiga selain pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan seperti biaya transaksi jual beli dan biaya transaksi pembiayaan) tidak melebihi batasan harga jual sebagaimana yang disajikan di Lampiran PMK Nomor 60 Tahun 2023 ini.
  4. merupakan rumah pertama yang dimiliki oleh orang pribadi yang termasuk dalam kriteria masyarakat berpenghasilan rendah, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 4 tahun sejak dimiliki.

Cara Pembebasan PPN

Pembebasan pengenaan PPN dilakukan dengan pemberitahuan pemanfaatan fasilitas oleh pihak yang memperoleh barang kena pajak atas penyerahan rumah umum, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta rumah pekerja, melalui saluran elektronik yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Terhadap pihak yang memperoleh barang kena pajak berupa rumah umum yang telah terdaftar sebagai penerima manfaat program kepemilikan rumah umum dari pemerintah, yang dibuktikan dengan nomor lolos pengujian tagihan pembayaran, dipersamakan dengan pemberitahuan pemanfaatan fasilitas sebagaimana dimaksud di paragraf di atas ini.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan rumah umum, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta rumah pekerja wajib membuat faktur pajak secara lengkap dan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan harus mencantumkan pada faktur pajak tesebut, keterangan: "PPN DIBEBASKAN BERDASARKAN PP NOMOR 49 Tahun 2022 (.......)". Untuk titik-titik dalam kurung ini diisi sesuai dengan jenis objek rumah yang diserahkan yaitu: "(rumah umum)", "(pondok boro)", "(asrama mahasiswa dan pelajar)" atau "(rumah pekerja)".

Untuk aturan selengkapnya emngenai batasan rumah yang bebas PPN ini, dapat dipelajari di PMK Nomor 60 Tahun 2023 ini.
 
Download:

Rabu, 08 Februari 2023

Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan Atas PPN JLN

Salah satu jenis transaksi yang terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. PPN atas jenis transaksi ini biasanya dikenal sebagai PPN Jasa Luar Negeri (PPN JLN).

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022, saat terutang PPN atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean (PPN JLN) terjadi pada saat yang lebih dahulu terjadi di antara saat:
  1. Harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
  2. Penggantian atas Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
  3. harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
Apabila ketiga saat terutangnya PPN JLN (sebagaimana yang diatur di Pasal 23 ayat (6) PP Nomor 44 Tahun 2022 tersebut tidak diketahui, maka saat terutangnya PPN JLN terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 PP Nomor 44 Tahun 2022, perlakuan PPN atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean (PPN JLN) adalah sebagai berikut:
  1. dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak berupa Surat Setoran Pajak PPN JLN wajib dibuat (baca: disetorkan) pada saat Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (7) PP 44 Tahun 2022.
  2. SSP PPN JLN yang dibuat oleh PKP setelah melewati jangka waktu 3 bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
  3. PKP yang membuat SSP PPN JLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap tidak membuat Faktur Pajak.
  4. PPN yang tercantum dalam SSP PPN JLN tersebut di atas merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Artikel ini adalah ringkasan dari materi yang disampaikan oleh Penulis dalam Bincang Pajak IKPI Depok pada tanggal 8 Februari 2022.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Jumat, 06 Januari 2023

Sisa Nomor Seri Faktur Pajak Tidak Perlu Dilaporkan (Dikembalikan) ke KPP

Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) selama ini adalah melaporkan (mengembalikan) sisa Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yang tidak terpakai dalam satu tahun pajak tertentu setiap pergantian tahun yang dilaporkan bersamaan dengan SPT Masa PPN masa Pajak Desember tahun pajak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dan perubahannya.

Namun sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 sebagaimana yang diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022, ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan (mengembalikan) sisa Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yang tidak terpakai dalam satu tahun pajak tertentu telah dihilangkan. Artinya mulai Masa Desember 2022 ini, PKP sudah tidak perlu lagi mengembalikan sisa Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak terpakai ke KPP tempat dikukuhkan.

Penegasan bahwa PKP tidak perlu lagi mengembalikan sisa Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak terpakai dalam satu tahun pajak tertentu juga disampaikan di media sosial Twitter melalui akun resmi Direktorat Jenderal Pajak @Kring_Pajak yang salah satu tweet-nya menjawab pertanyaan netizen, sebagai berikut:

Meskipun saat ini sudah tidak ada kewajiban untuk mengembalikan sisa Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak terpakai dalam satu tahun pajak tertentu ke KPP tempat dikukuhkan, namun PKP disarankan untuk menghapus sisa range Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak terpakai di aplikasi e-Faktur Dekstop yang ada di komputer masing-masing PKP. Karena apabila sisa Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak terpakai ini tidak dihapuskan dari aplikasi e-Faktur, maka Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak terpakai yang merupakan jatah untuk Nomor Seri Faktur Pajak tahun sebelumnya berpotensi muncul di tahun pajak yang baru ini, seperti pengalaman salah satu netizen yang bertanya kepada akun Twitter @Kring_Pajak berikut ini:

Selasa, 06 Desember 2022

Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan - PPN

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Wajib Pajak mendapatkan panduan tentang pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), karena pada tanggal 2 Desember 2022, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan Terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 terdiri dari 33 Pasal dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 2 Desember 2022, mengatur ketentuan pelaksanaan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 terdiri dari 38 Pasal dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 12 Desember 2022, mengatur ketentuan Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean

Untuk aturan pelaksanaan untuk Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Pajak Penghasilan (PPh) akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah yang terpisah. Silakan simak aturan pelaksanaan untuk kedua jenis ketentuan perpajakan ini di blog Tax Learning ini pada artikel selanjutnya.

Bagi Anda yang ingin mendapatkan:

- PP Nomor 44 Tahun 2022, silakan DOWNLOAD DI SINI.

- PP Nomor 49 Tahun 2022. silakan DOWNLOAD DI SINI.

Kamis, 01 September 2022

Ketentuan Pencantuman Alamat Pembeli Pada Faktur Pajak

Ketentuan Untuk Pembeli Yang Melakukan Pemusatan Tempat Terutang PPN

Mulai hari ini 1 September 2022, bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang akan membuat Faktur Pajak untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) kepada PKP yang melakukan pemusatan tempat terutang PPN, perlu memperhatikan hal-hal baru yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-11/PJ/2022, terutama untuk ketentuan pencantuman alamat pembeli pada Faktur Pajak.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum 1 April 2022, atas penyerahan (baca: penjualan) BKP/JKP kepada Pembeli yang melakukan pemusatan tempat terutang PPN, maka alamat pembeli yang dicantumkan pada Faktur Pajak harus mencantumkan alamat pusat (alamat pemusatan PPN terutang). Namun ketentuan mengenai pencantuman alamat pembeli pada Faktur Pajak mengalami perubahan yang signifikan sejak 1 April 2022 ketika diberlakukannya Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-03/PJ/2022. Sejak 1 April 2022 atas penyerahan (baca: penjualan) BKP/JKP kepada Pembeli yang merupakan PKP yang dilakukan pemusatan tempat PPN terutang di KPP Wajib Pajak Besar, KPP Khusus dan KPP Madya (baca: alamat pemusatan/pusat), namun BKP/JKP dimaksud dikirimkan/diserahkan ke tempat PPN terutang yang dipusatkan (baca: alamat tempat yang dipusatkan/cabang), maka alamat pembeli yang dicantumkan pada Faktur Pajak harus menggunakan alamat cabang tempat barang tersebut dikirimkan/diserahkan.

Ketentuan Pencantuman Alamat Pembeli Sejak 1 September 2022

Sejak 1 September 2022, ketentuan tentang pencantuman alamat ini mengalami perubahan kembali seperti sebelum 1 April 2022 kecuali untuk penyerahan ke kawasan tertentu. Ketentuan mengenai pencantuman alamat pembeli sejak 1 September 2022 adalah atas penyerahan BKP/JKP ke PKP yang melakukan pemusatan tempat terutang PPN, maka pihak penjual yang melakukan penyerahan harus menerbitkan Faktur Pajak dengan mencantumkan alamat pembeli adalah alamat pemusatannya (alamat pusat), kecuali atas penyerahan BKP/JKP kepada pembeli yang melakukan pemusatan tempat terutang PPN, yang BKP/JKP-nya dikirimkan/diserahkan ke cabang (tempat PPN dipusatkan) yang berada di tempat tertentu (yaitu kawasan berikat dan kawasan bebas) yang mendapatkan fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketentuan pencantuman alamat pembeli harus menggunakan alamat cabang, dimana PKP Pembeli adalah merupakan PKP yang melakukan pemusatan tempat terutang PPN (alamat pusat) dan barang dikirimkan/diserahkan ke alamat tempat PPN terutang dipusatkan (alamat cabang) syaratnya adalah sebagai berikut:
  1. pembeli adalah merupakan PKP yang melakukan pemusatan di KPP Wajib Pajak Besar, KPP Khusus, dan KPP Madya
  2. BKP/JKP dikirimkan ke tempat terutang PPN dipusatkan (alamat cabang) yang berada di tempat/kawasan tertentu yang mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut; dan
  3. penyerahannya mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut.


Contoh Kasus 1:
Pengusaha Kena Pajak PT Aneka Jual Produk melakukan melakukan transaksi penjualan BKP kepada PT Selalu Beli Barang (yang merupakan PKP yang terdaftar di KPP Madya Tangerang dengan NPWP 01.234.567.8-415.000, yang melakukan pemusatan tempat terutang PPN di KPP Madya Tangerang). BKP ini dikirimkan ke alamat cabang PT Selalu Beli Barang di Jalan Pulobuaran No. 88 Kawasan Industri Pulogadung, Kec. Cakung, Jakarta Timur (merupakan kawasan berikat) yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Cakung Satu dengan NPWP 01.234.567.8-004.001. Atas penyerahan BKP ke PT Selalu Beli Barang ini mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut.

Dengan demikian PT Aneka Jual Produk harus membuat Faktur Pajak atas transaksi ini dengan mencantumkan identitas pembeli PT Selalu Beli Barang sebagai berikut:
  1. nama disi dengan nama PT Selalu Beli Barang (sesuai yang terdaftar di pusat/KPP Madya Tangerang)
  2. NPWP disi dengan NPWP PT Selalu Beli Barang yang terdaftar di pusat/KPP Madya Tangerang, yaitu 01.234.567.8-415.000
  3. alamat diisi dengan alamat PT Selalu Beli Barang cabang yaitu Jalan Pulobuaran No. 88 Kawasan Industri Pulogadung, Kec. Cakung, Jakarta Timur
Contoh Kasus 2:
Pengusaha Kena Pajak PT Aneka Jual Produk melakukan melakukan transaksi penjualan BKP kepada PT Suka Jaya Makmur (yang merupakan PKP yang terdaftar di KPP Madya Bekasi dengan NPWP 01.876.543.2-431.000, yang melakukan pemusatan tempat terutang PPN di KPP Madya Bekasi) dengan alamat Jalan Sersan Awan No. 7 Margaharu, Bekasi. BKP ini dikirimkan ke alamat cabang PT Suka Jaya Makmur di Jalan Tomang Raya No. 22, Cideng, Kec. Gambir Jakarta Pusat (bukan merupakan kawasan khusus dan tidak mendapatkan fasilitas PPN) yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Grogol Petamburan dengan NPWP 01.876.543.2-036.001.

Dengan demikian PT Aneka Jual Produk harus membuat Faktur Pajak atas transaksi ini dengan mencantumkan identitas pembeli PT Suka Jaya Makmur sebagai berikut:
  1. nama disi dengan nama PT Suka Jaya Makmur (sesuai yang terdaftar di pusat/KPP Madya Bekasi)
  2. NPWP disi dengan NPWP PT Selalu Beli Barang yang terdaftar di pusat/KPP Madya Bekasi, yaitu 01.876.543.2-431.000
  3. alamat diisi dengan alamat PT Suka Jaya Makmur pusat yaitu Jalan Sersan Awan No. 7 Margaharu, Bekasi
(c) 01092022 http://syafrianto.blogspot.com

Kamis, 07 April 2022

[TaxLearning] Faktur Pajak Wajib Dibuat dan Di-approve Paling Lambat Tanggal 15 Bulan Berikutnya

"e-Faktur wajib diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak menggunakan aplikasi e-Faktur dan memperoleh persetujuan (approval) dari Direktorat Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur."

 

Salah satu ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak adalah batas waktu membuat Faktur Pajak, mengunggah Faktur Pajak ke sistem/aplikasi e-Faktur, serta telah mendapatkan persetujuan (approval) dari Direktorat Jenderal Pajak melalui aplikasi e-Faktur tersebut.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022.

Ketentuan baru mengenai saat pembuatan Faktur Pajak yang diatur pada Pasal 18 adalah sebagai berikut.

Faktur Pajak berbentuk elektronik dibuat dengan menggunakan aplikasi atau sistem yang disediakan/ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang disebut sebagai e-Faktur.

e-Faktur ini wajib diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak menggunakan aplikasi e-Faktur dan memperoleh persetujuan (approval) dari Direktorat Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur.

Persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak ini akan diberikan sepanjang:
  1. Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yang digunakan untuk penomoran e-Faktur merupakan NSFP yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan tentang pemberian NSFP.
  2. e-Faktur diunggah (di-upload) dalam jangka waktu yang telah ditentukan yaitu paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur.
e-Faktur yang tidak memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak bukan merupakan Faktur Pajak.

Contoh Kasus

Contoh 1:
PT H yang merupakan PKP melakukan penyerahan BKP pada tanggal 11 April 2022. PT H membuat e-Faktur pada tanggal 11 April 2022 menggunakan aplikasi e-Faktur dengan mengisi kolom tanggal Faktur Pajak 11 April 2022. Namun, e-Faktur tersebut baru diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan aplikasi e-Faktur pada tanggal 14 Mei 2022.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022, maka e-Faktur yang dibuat oleh PT H tersebut dapat diberikan persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak karena di-unggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lambat tanggal 15 Mei 2022.

Contoh 2:
PT K yang merupakan PKP melakukan penyerahan BKP pada tanggal 18 April 2022. PT H membuat e-Faktur pada tanggal 18 April 2022 menggunakan aplikasi e-Faktur dengan mengisi kolom tanggal Faktur Pajak 11 April 2022. Namun, e-Faktur tersebut baru diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan aplikasi e-Faktur pada tanggal 16 Mei 2022.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022, maka Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan persetujuan (reject) atas e-Faktur yang di-unggah (di-upload) tersebut karena di-unggah (di-upload) setelah tanggal 15 Mei 2022. Sehingga e-Faktur yang tidak disetujui Direktorat Jenderal Pajak (reject) tersebut bukan merupakan Faktur Pajak.
 
Oleh sebab itu agar para Pembaca Setia Tax Learning untuk memperhatikan ketentuan baru ini dan janganlah menunda waktu untuk meng-input dan mengunggah e-Fakturnya supaya tidak di-reject sehingga tidak dianggap sebagai Faktur Pajak.
(c) 07042022 http://syafrianto.blogspot.com

Selasa, 05 April 2022

Peraturan Menteri Keuangan Sebagai Peraturan Pelaksanaan UU HPP - PPN

Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah berlaku sejak 1 April 2022. Guna mengatur ketentuan pelaksanaan dari perlakuan PPN sebagaimana yang diatur dalam UU HPP tersebut, maka Menteri Keuangan menerbitkan 14 Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan pelaksaaan ketentuan PPN ini. Berikut ini adalah 14 Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan peraturan pelaksanaan ketentuan PPN (yang dalam 2 ketentuan di antaranya mengatur juga mengenai ketentuan Pajak Penghasilan).

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Transaksi Pengadaan Barang dan/atau Jasa Melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah
Ketentuan ini mulai berlaku 1 Mei 2022.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah
Ketentuan ini mulai berlaku 1 Mei 2022.

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Liquefied Petroleum Gas Tertentu
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto
Ketentuan ini mulai berlaku 1 Mei 2022.

12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial
Ketentuan ini mulai berlaku 1 Mei 2022.

13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Kriteria dan/atau Rincian Makanan dan Minuman, Jasa Kesenian dan Hiburan, Jasa Perhotelan, Jasa Penyediaan Tempat Parkir, serta Jasa Boga atau Katering, yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.

14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2022
Tanggal 30 Maret 2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu
Ketentuan ini mulai berlaku 1 April 2022.
 
Selain 14 Peraturan Menteri Keuangan sebagai peraturan pelaksana dari UU HPP terkait dengan ketentuan PPN, Direktur Jenderal Pajak juga menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tanggal 31 Maret 2022 tentang Faktur Pajak.
(c) 05042022 http://syafrianto.blogspot.com

Senin, 01 Februari 2021

Penegasan atas Perlakuan PPN dan PPh atas Penyerahan Pulsa, Kartu Perdana, Token Listrik dan Voucher

Beberapa hari terakhir masyarakat dan pelaku ekonomi di Indonesia dihebohkan dengan adanya informasi yang beredar mengenai adanya aturan pajak baru terhadap transaksi penjualan pulsa telepon, kartu perdana telepon seluler dan token listrik. Informasi yang beredar ini menyebutkan bahwa transaksi penjualan pulsa telepon, kartu perdana telepon seluler dan token listrik akan dikenakan PPN dan PPh sehingga akan menjadikan harga jualnya menjadi lebih tinggi. Informasi ini beredar sebagai akibat dari diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 (PMK-06/2021) tanggal 22 Januari 2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.

Sebenarnya informasi yang beredar tentang adanya pengenaan pajak baru atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer adalah keliru. Apabila dicermati isi dari PMK-06/2021 ini, maka sebenarnya ketentuan pengenaan PPN dan PPh atas transaksi penyerahan atau penghasilan sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer ini untuk lebih mempertegas bagaimana mekanisme pengenaan kedua jenis pajak di pada praktiknya di lapangan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pulsa dan token yang dijual selama ini merupakan pulsa yang terkait dengan jasa telekomunikasi yang disediakan oleh provider serta penjualan listrik dimana merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak. Dengan demikian, maka selama ini pengenaan PPN dan PPh atas transaksi penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer sering menimbulkan sengketa di lapangan serta terkesan terjadi pengenaan pajak yang berganda atas transaksi ini.

Menghindari hal tersebut, maka PMK-06/2021 memberikan penegasan mengenai bagaimana perlakuan pengenaan PPN dan PPh atas transaksi penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Pada intinya aturan yang diatur dalam PMK-06/2021 dapat diringkaskan sebagai berikut.

KETENTUAN PPN

1. Pulsa/Kartu Perdana

Pemungutan PPN atas pulsa dan kartu perdana hanya dilakukan mulai dari operator telekomunikasi sampai dengan distributor tingkat II (server) saja. Sehingga rantai distribusi berikutnya, seperti dari transaksi penjualan pulsa/kartu perdana dari distributor selanjutnya (tingkat III dan seterusnya) atau pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi.

Ketentuan sebelumnya mengharuskan pemungutan PPN atas penyerahan pulsa dan kartu perdana ini dilakukan dalam setiap tingkat distribusi sampai dengan pengecer. Dengan demikian maka di aturan baru ini telah menyederhanakan pemungutan PPN hanya sampai distributor tingkat II (server) saja.

2. Token Listrik

Pemungutan PPN atas penjualan token listrik hanya dikenakan atas jasa penjualan/pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, dan bukan atas nilai token listriknya.

3. Voucher

Pemungutan PPN atas penjualan voucher dikenakan atas jasa penjualan atau jasa pemasaran voucher berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucher, dan bukan atas nilai voucher itu sendiri, karena voucher diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang tidak terutang PPN.

KETENTUAN PPh

Pemungutan PPh Pasal 22 untuk pembelian pulsa/kartu perdana oleh distributor, dan PPh Pasal 23 untuk jasa pemasaran/penjualan token listrik dan voucher, merupakan pajak yang dipotong dimuka dan tidak bersifat final, sehingga dapat dikreditkan oleh distributor pulsa/agen penjual token dan voucher dalam SPT Tahunan.

Jumat, 14 Agustus 2020

Akhirnya Ikan Menjadi Barang Bukan Objek PPN - Tindak Lanjut Putusan MK

Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) mengatur salah satu jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Pada bagian penjelasan dari ayat ini dijelaskan bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi: beras; gabah; jagung; sagu; kedelai; garam; daging; telur; susu; buah-buahan; dan sayur-sayuran (rincian detail dapat dibaca di Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN atau di artikel berikut).

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 menyebabkan adanya pengecualian kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebagaimana yang diatur Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini. PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015 (yang merupakan aturan pelaksana dari UU PPN) seolah mengatur sesuatu yang tidak diatur dalam UU PPN tersebut. Salah satunya adalah untuk kelompok "daging segar" (topik terkait pernah dibahas di artikel berikut). Jika ditafsirkan dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN, maka seharusnya "daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;" adalah termasuk kelompok barang yang tidak dikenai PPN (Bukan Barang Kena Pajak). Definisi daging di penjelasan UU PPN ini seharusnya ditafsirkan luas dan termasuk juga untuk daging ikan. Namun pada praktiknya, dalam kehidupan sehari-hari banyak pihak yang juga berpendapat bahwa ikan adalah tidak termasuk kelompok daging segar sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini. Hal ini ditandai dengan adanya pengaturan untuk barang-barang tertentu yang dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis dalam  PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015, dimana ikan ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis.

Akibat dari aturan pelaksana UU PPN yang menetapkan beberapa jenis barang (selain ikan) sebagai kelompok Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis dan dirasakan telah menyimpang dari ketentuan UU PPN, sehingga Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini diajukan untuk diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK memutuskan menerima uji materi atas pasal ini melalui Putusan Nomor 39/PUU-XIV/2016. Sehingga barang yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan penjelasannya, tidak boleh diartikan secara limitatif (terbatas) sebagaimana yang telah diatur dalam aturan pelaksana dari UU PPN tersebut.

Namun setelah dibatalkannya ketentuan mengenai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis yang diatur dalam dalam  PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015, kemudian Menteri Keuangan kembali menerbitkan peraturan pelaksana dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017 tanggal 15 Agustus 2017 tentang Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Pada Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor 116/PMK.010/2017 ini membatasi pengaturan barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN adalah berjumlah 13 jenis, yang terdiri dari:

  1. Beras dan Gabah;
  2. Jagung;
  3. Sagu;
  4. Kedelai;
  5. Garam konsumsi;
  6. Daging;
  7. Telur;
  8. Susu;
  9. Buah-buahan;
  10. Sayur-sayuran;
  11. Ubi-ubian;
  12. Bumbu-bumbuan; dan
  13. Gula Konsumsi;

Ikan yang seharusnya dapat dikategorikan sebagai barang kebutuhan pokok juga, tidak dimasukan ke dalam daftar barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN. Oleh sebab itu, PMK Nomor 116/PMK.010/2017 ini kembali diajukan uji materi lagi oleh masyarakat. Hasil dari uji materi tersebut, melalui Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 32 P/HUM/2018 tanggal 8 Agustus 2018 kembali memutuskan menerima keberatan dan pengajuan uji materi dari masyarakat tersebut dan memerintahkan Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan untuk mencabut ketentuan pembatasan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor 116/PMK.010/2017 sepanjang tidak memasukan komoditas ikan sebagai jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Menindaklanjuti Putusan MA Nomor 32 P/HUM/2018, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020 tanggal 4 Agustus 2020 yang mencabut PMK Nomor 116/PMK.010/2017 dan menambah jenis ikan (ikan segar/dingin, dengan atau tanpa kepala) sebagai jenis barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020 diatur Kriteria dan/atau Rincian Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai yang terdiri dari kelompok utama:

  1. Beras dan Gabah;
  2. Jagung;
  3. Sagu;
  4. Kedelai;
  5. Garam konsumsi;
  6. Daging;
  7. Telur;
  8. Susu;
  9. Buah-buahan;
  10. Sayur-sayuran;
  11. Ubi-ubian;
  12. Bumbu-bumbuan;
  13. Gula Konsumsi;
  14. Ikan

Rincian detail dari kelompok barang ini dapat dilihat di Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020.

Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan yaitu 5 Agustus 2020.

Jumat, 01 Mei 2020

Perluasan Sektor Usaha Penerima Fasilitas Pajak Dalam Menghadapi Dampak Covid-19

Dengan perkembangan penyebaran Virus Corona (Covid-19) yang semakin meluas dan semakin mempengaruhi berbagai sektor ekonomi, maka Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah mengeluarkan kebijakan tambahan dengan menambah jumlah sektor usaha yang dapat menerima fasilitas pajak dalam rangka mengurani beban ekonomi Wajib Pajak akibat wabah Covid-19.

Selain menambah jumlah sektor usaha penerima fasilitas pajak yang sebelumnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020, dalam ketentuan baru yang dikeluarkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tanggal 27 April 2020 ini juga memberikan fasilitas baru yang ditujukan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Secara ringkas fasilitas dan insentif pajak yang diberikan adalah sebagai berikut.

1. Insentif PPh Pasal 21

Insentif PPh Pasal 21 ini diberikan untuk karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1.062 bidang usaha tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf A Peraturan ini (pada peraturan sebelumnya fasilitas ini hanya diberikan kepada 440 bidang industri tertentu dan perusahaan KITE), pada perusahaan yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), atau pada perusahaan di kawasan berikat. Fasilitas yang diperoleh adalah berupa fasilitas PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah dengan kriteria karyawan yang memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200 juta.

2. Insentif PPh Pasal 22 Impor

Insentif ini diberikan untuk Wajib Pajak yang bergerak di salah satu dari 431 bidang industri tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf I Peraturan ini (pada peraturan sebelumnya fasilitas ini hanya diberikan kepada 102 bidang industri tertentu dan perusahaan KITE), atau pada perusahaan KITE, atau pada perusahaan di kawasan berikat. Fasilitas yang diperoleh adalah berupa fasilitas pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor.

3. Insentif Angsuran PPh Pasal 25

Wajib Pajak yang bergerak di salah satu dari 846 bidang industri tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf N Peraturan ini (pada peraturan sebelumnya fasilitas ini hanya diberikan kepada 102 bidang industri tertentu dan perusahaan KITE), atau pada perusahaan KITE, atau pada perusahaan di kawasan berikat, mendapatkan fasilitas insentif angsuran PPh Pasal 25. Fasilitas yang diperoleh adalah berupa fasilitas pengurangan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebesar 30% dari angsuran yangn seharusnya terutang.

4. Insentif PPN

Insentif ini diberikan untuk Wajib Pajak yang bergerak di salah satu dari 431 bidang industri tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf I Peraturan ini (pada peraturan sebelumnya fasilitas ini hanya diberikan kepada 102 bidang industri tertentu dan perusahaan KITE), atau pada perusahaan KITE, atau pada perusahaan di kawasan berikat. Fasilitas yang diperoleh adalah berupa fasilitas restitusi PPN dipercepat hingga jumlah lebih bayar paling banyak Rp 5 miliar bagi PKP berisiko rendah, tanpa persyaratan melakukan kegiatan tertentu seperti melakukan ekspor barang atau jasa kena pajak, penyerahan kepada pemungut PPN atau penyerahan yang tidak dipungut PPN.

5. Insentif Pajak UMKM

Pelaku UMKM mendapatkan fasilitas pajak penghasilan final tarif 0,5% sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 yang ditanggung pemerintah (DTP). Dengan demikian WP UMKM tidak perlu melakukan setoran pajak dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak dilakukan oleh pemotong/pemungut pajak. Fasilitas ini diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan September 2020 dengan terlebih dahulu WP UMKM mendapatkan Surat Keterangan PP 23 serta wajib membuat laporan realisasi PPh Final DTP setiap masa pajak.

Seluruh fasilitas pajak ini diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan September 2020.
(c) https://syafrianto.blogspot.com

Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020
- Siaran Pers Nomor 19/2020

Artikel Terkait:
Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona

Selasa, 28 Januari 2020

Pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang Tidak Sama

Saat ini sering terjadi perbedaan penafsiran atas perlakuan pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN (UU PPN). Pada prakteknya sering timbul sengketa antara Wajib Pajak dengan fiskus terkait dengan perlakuan pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama. Untuk mengatasi adanya perbedaan penafsiran maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ/2020 tanggal 21 Januari 2020 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada Masa Pajak Yang Tidak Sama.

Dalam Pasal 9 ayat (2) UU PPN mengatur bahwa Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Selanjutnya pada Pasal 9 ayat (9) mengatur bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Dalam SE-02/PJ/2020 ini dijelaskan bahwa salah satu penyebab Pajak Masukan yang belum dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama adalah karena Faktur Pajak terlambat diterima.

Selanjutnya SE-02/PJ/2020 ini menjelas bahwa dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada angka 2 telah terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan dapat dilakukan melalui pembetulan SPT Masa PPN yang bersangkutan.

Perlakuan Pengkreditan Pajak Masukan ini juga berlaku untuk Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak (yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2019).

Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang Tidak Sama ini hanya dapat dilakukan dalam hal:
  1. Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) dalam harga perolehan BKP atau JKP yang bersangkutan; dan
  2. terhadap PKP belum dilakukan pemeriksaan.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ/2020 ini juga disertakan contoh kasus, yaitu sebagai berikut.

Contoh Kasus 1
PT A melakukan pembelian mesin dengan Faktur Pajak tertanggal 4 Februari 2020. Pajak Masukan atas pembelian mesin tersebut dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Februari 2020 dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020.

Contoh Kasusu 2
Pajak Masukan atas pembelian mesin sebagaimana pada Contoh Kasus 1 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Februari 2020 atau pada Masa Pajak berikutnya, yaitu Masa Pajak Maret 2020, April 2020, atau Mei 2020.

Contoh Kasus 3
PT B melakukan pembelian mesin dengan Faktur Pajak tertanggal 4 Februari 2020, namun Faktur Pajaknya baru diterima oleh PT B pada bulan Juni 2020. PT B telah menyampaikan SPT Masa PPN masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, April 2020, dan Mei 2020. Pajak Masukan atas pembelian mesin tersebut dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, April 2020 atau Mei 2020.

Contoh Kasus 4
PT C melakukan pembelian mesin dengan Faktur Pajak tertanggtal 4 Februari 2020, namun Faktur Pajak baru diterima oleh PT C pada bulan Juni 2020. PT C telah menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, dan April 2020, tetapi belum menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Mei 2020. Pajak Masukan atas pembelian mesin tersebut dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, atau April 2020, atau melalui penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak Mei 2020.

Contoh Kasus 5
Pada tanggal 5 Februari 2020, PT D membayar PPN atas impor mesin. PPN Impor yang dibayarkan tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak dilakukannya pembayaran, yaitu Masa Pajak Februari 2020, atau pada Masa Pajak berikutnya, yaitu Masa Pajak Maret 2020, April 2020, atau Mei 2020.

Contoh Kasus 6
Atas Impor mesin sebagaimana dimaksud pada Contoh Kasus 5 di atas, diterbitkan surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean dan terdapat kekurangan nilai PPN Impor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada tanggal 4 November 2020. Kekurangan PPN Impor tersebut telah dibayar oleh PT D pada tanggal 10 November 2020. PPN Impor yang dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak berikutnya, yaitu Masa Pajak Desember 2020, Januari 2021, atau Februari 2021.

Contoh Kasus 7
PR E melakukan pembelian mesin dengan Faktur Pajak tertanggal 4 Februari 2020, namun Faktur Pajaknya baru diterima oleh PT E pada bulan Juni 2020. PT E telah menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, dan April 2020, tetapi belum menyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak Mei 2020.
Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan mesin yang bersangkutan tetap terhadap PT E tersebut telah dilakukan pemeriksaan untuk Masa Pajak Februari 2020.
Pajak Masukan atas pembelian mesin tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, tetapi dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Maret 2020 atau April 2020, atau melalui penyampaian SPT Masa Pajak Mei 2020.