..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Theory of Taxation. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Theory of Taxation. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Mei 2012

Pendaftaran Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah merupakan pajak yang bersifat objektif yang artinya bahwa besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objeknya yaitu bumi (tanah) dan/atau bangunan. Kondisi dan keadaan dari subjek pajaknya (siapa yang menjadi penanggung atau pembayar PBB) tidak ikut dalam menentukan besarnya pajak terutang.

Walaupun demikian, untuk dapat menentukan terutangnya pajak atas suatu objek PBB, maka harus ada Subjek Pajaknya. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
  1. mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
  2. memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
  3. memiliki bangunan, dan atau;
  4. menguasai bangunan, dan atau;
  5. memperoleh manfaat atas bangunan.

Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban untuk membayar PBB ditetapkan sebagai Wajib Pajak oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak (saat ini pihak Pemerintah Daerah untuk pemungutan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan) sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Namun dewasa ini sering kita jumpai bahwa nama Wajib Pajak yang tercantum dalam SPPT tersebut tidak sesuai dengan keadaan sekarang karena Subjek Pajaknya yang berbeda. Hal ini dapat terjadi salah satunya adalah dikarenakan bahwa telah terjadi mutasi dan perubahan subjek pajak atas objek PBB tersebut, namun masih belum ada pembaharuan data (updating data) yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak (Pemerintah Daerah). Bagaimanakah proses pembaharuan data PBB tersebut? Dalam artikelberikut akan penulis uraikan teori singkat mengenai hal ini.

Pendaftaran objek PBB dilakukan oleh Subjek Pajak (baik orang pribadi maupun badan) dengan cara mengambil dan mengisi formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) secara jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan dikembalikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut atau tempat yang ditunjuk untuk pengambilan dan pengembalian SPOP dengan dilampiri bukti-bukti pendukung seperti:

  1. Sketsa/denah objek pajak;
  2. fotokopi KTP dan NPWP (milik subjek pajak yang bersangkutan);
  3. fotokopi sertifikat tanah;
  4. fotokopi akta jual beli;
  5. atau bukti pendukung lainnya.

SPOP adalah merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan Objek Pajak yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung PBB yang terutang. SPOP disediakan dan dapat diambil gratis di KPP atau KP2KP atau tempat lain yang ditunjuk atau dapat juga melalui teknologi internet dengan mencetak langsung dari situs www.pajak.go.id.

Sehubungan dengan SPOP ini, Wajib Pajak memiliki hak dan kewajiban. Hak dari Wajib Pajak adalah:
  1. memperoleh formulir SPOP secara gratis pada KPP atau KP2KP atau tempat lain yang ditunjuk.
  2. Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP.
  3. Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari KPP atau KP2KP.
  4. Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan fotokopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan lain-lain).
  5. Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP.
  6. Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.

Sedangkan kewajiban dari seorang Wajib Pajak adalah:
  1. Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP.
  2. Mengisi SPOP dengan jelas (berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir), benar (berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya), dan lengkap (berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri surat kuasa khusus bagi yang dikuasakan).
  3. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke KPP atau KP2KP setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah formulir SPOP diterima.
  4. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP ke KPP atau KP2KP setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.

(c)http://syafrianto.blogspot.com

Setelah artikel ini diposting, penulis mendapatkan beberapa pertanyaan dari Pembaca setia Tax Learning. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai bagaimana cara mengajukan keberatan atas PBB Rumah. Tata cara pengajuan keberatan atas PBB Rumah ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2009 tanggal 16 Maret 2009 ini telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010. Lebih jelasnya dapat dibaca di artikel berikut ini.

Selasa, 12 April 2011

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA (Bagian 3)

Sambungan dari Bagian 2
Kronologis Undang-Undang Perpajakan Yang Berlaku Di Indonesia Saat Ini

Sejak tahun 1983, dunia perpajakan di Indonesia memasuki babak baru yaitu dengan melakukan reformasi sistem dan ketentuan perpajakan. Perubahan yang dilakukan adalah dengan mengubah sistem pemungutan pajak dari sebelumnya yang masih menggunakan official assessment system yang diubah menjadi self assessment system. Dalam sistem pemungutan pajak yang baru ini, masyarakat dan Wajib Pajak yang berperan utama dalam melakukan proses menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan kewajiban pajaknya sendiri. Sejak tahun 1984 di Indonesia berlaku 9 (sembilan) Undang-Undang Perpajakan. Kesembilan Undang-Undang ini hingga saat ini telah mengalami perubahan yaitu sebagai berikut:

1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

2. Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

3. Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984 (Penetapan Pemberlakuan UU PPN)
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

4. Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994

5. Undang-Undang tentang Bea Meterai (BM)
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985

6. Undang-Undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 (Penetapan Pemberlakuan UU BPHTB)
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000

7. Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000

8. Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002

9. Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
- Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Senin, 11 April 2011

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA (Bagian 2)

Sambungan dari Bagian 1

Riwayat Perkembangan Aturan Pemungutan Pajak di Indonesia

1. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan
Sejak awal 19 pada zaman kolonial pajak tanah diberlakukan pada saat Pulau Jawa diperintah oleh Inggris yang dipimpin Letnan Jenderal Raffles. Pajak tanah waktu itu dinamakan Landrent, yang artinya “sewa tanah”. Raffles meniru sistem pajak tanah di India dengan 3 jenis macam sistem pemungutan landrent yaitu :

(1)Sistem zamindari atau zamindarars artinya landheer atau tuan tanah. Sistem ini mengenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap pada kepada para tuan tanah. Pengenaan tarif pajak dengan suatu jumlah yang tetap disebut dengan istilah “Permanent Settlement”. Sistem ini dipakai di Benggala dan di sekitar barat laut India.
(2)Sistem Pateedari atau Mauzawari. Sistem ini meniru sistem pajak bumi pemerintah Portugis di Goa. Sistem ini memberlakukan pajak bumi pada Desa yang dianggap sebagai suatu kesatuan. Selanjutnya pengenaan kepada penduduk kebijaksanaannya diserahkan kepada Kepala Desa masing-masing. Sistem ini diberlakukan di Punjab dan distrik-distrik barat Laut India.
(3)Sistem rayatwari. Dalam sistem ini, pajak tanah/bumi dikenakan langsung kepada para petani yang mengolah tanah berdasarkan pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh masing-masing petani. Sistem ini diberlakukan di Madras, Bombay dan sebagainya.

Pajak tanah diberlakukan di Pulau Jawa oleh Raffles pada tahun 1811 sampai dengan 1816. Landrent didasarkan pada suatu dalil bahwa “ semua tanah adalah milik Raja (souvereign), dan semua Kepala Desa dianggap sebagai “penyewa” (pachetrs). Oleh karenanya mereka harus membayar “sewa tanah” (Landrent) dengan natura secara tetap.

Ketika kekuasaan beralih pada Belanda Landrent diubah menjadi “landrente”, sistem ini merubah sistem terdahulu dengan melakukan perubahan mengarah kepada keadilan dan kepentingan rakyat, yang berlangsung sampai dengan tahun 1942. Di masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Belanda diambil alih sepenuhnya dan namanya diganti menjadi Pajak Tanah.

Setelah Indonesia merdeka, pajak tanah diubah menjadi pajak bumi. Periode tahun 1945 sampai tahun 1951 untuk melaksanakan pajak bumi masih menggunakan cara lama yaitu:

(1)Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta dihapus, untuk wilayah federal pajak bumi terus berlaku;
(2)Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dihapus dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1951. hal ini disebabkan adanya desakan dari golongan yang dipimpin oleh Tauchid.
(3)Desakan politik tersebut dikenal sebagai Mosi Tauchid, dan sebagai gantinya dikeluarkan pajak baru yaitu Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).

Tahun 1951 sampai tahun 1959, setelah dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 1951 tentang Penghapusan Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia, maka lahirlah Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) yang bertugas melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat yang ada di Indonesia. Karena tugasnya hanya mengurus pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah kembali menjadi jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) dan bertugas sama seperti sebelumnya ditambah dengan kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran sementara terhadap tanah milik yang sudah terdaftar.
Tahun 1959 sampai tahun 1985 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (LN Th. 1959 Nomor 104. TLN. Nomor 1806) yang dengan Undang-Undang Nomor tahun 1 Tahun 1961 (LN Th. 1961 Nomor 3 TLN Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya nama jawatan yang mengelola Pajak Hasil Bumi menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dalam melaksanakannya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara Nomor PMPPU 1-1-3 tanggal 29 Nopember 1965 yang menetapkan Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Pengenaannya diberlakukan pada tanah-tanah sektor pedesaan, perkotaan, perhutanan. Sektor perkebunan dan sektor pertambangan.
Tahun 1985 sampai dengan tahun 1995 sesuai dengan amanat GBHN 1983 berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah diadakan “tax Reform” yaitu diadakan pembaruan dan penggantian peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku. Tax reform tahun 1983 berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Dengan adanya tax reform, sistem perpajakan Indonesia berubah dari Official Assessment menjadi Self Assessment.
Official Assessment yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak berdasarkan pada Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Self Assessment yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang dipercayakan kepada Wajib Pajak mulai menghitung sampai penyetoran. Aparat perpajakan melaksanakan pengendalian tugas, pembinaan,penelitian, pengawasan, dan penetapan sanksi administrasi.
Setelah Tax Reform 1983 lalu dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan bangunan (PBB), yang ditetapkan tanggal 27 Desember 1985 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986 (LN Th. 1985 Nomor 68, TLN 3312).
Tanggal 9 November 1994 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB, yang mulai berlaku pada tanggal tanggal 1 Januari 1995 (LN Th. 1994 Nomor 62, TLN 3569).

2. Sejarah Pajak Penghasilan
Secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 periode yaitu :
(1)Masa sebelum tahun 1920
(2)Masa 1920 sampai dengan 1983
(3)Masa 1984 sampai sekarang.

(1) Masa sebelum tahun 1920

Sebelum tahun 1920 diberlakukan sistem pajak yang berbeda untuk pribumi, untuk orang Asing Asia dan untuk orang Eropa (“indigenousIndonesians, “foreignAsians and Europeans).

(2) Masa 1920 sampai dengan 1983

Masa antara tahun 1920 sampai dengan 1983 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.1.Ordonansi PPd 1920 (The Income Tax Ordinance of 1920). Sekarang diberlakukan pajak yang sama tanpa melihat asal usul keturunan (the unification principle) masa itu pula diperkenalkan Pajak Kekayaan.
1.2.Corporation tax Ordinance of 1925 (ordonansi pajak perseroan PPS 1925 dan berlaku sampai dengan 1983). Subjeknya adalah badan hukum seperti, PT,CV atas saham, objeknya adalah laba bersih.
1.3.Personal Income Tax Ordinance of 1932(Ordonansi pajak Pendapatan 1932 = ordonantie op Inkomstenbelasting 1932). Pajak pendapatan pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de inkomstenbelasting 1908). Tahun 1920 ordonansi ini diganti dengan ordonansi pajak pendapatan 1920, lalu tahun 1932 menjadi ordonansi pajak pendapatan 1932 dan terakhir diganti menjadi ordonansi pajak pendapatan 1944.

Ordonansi pajak pendapatan 1944 semula bernama “pajak perang” (Oorlogsbelasting) atau pajak peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang.

Rancangan ordonansi tersebut disusun tahun 1943 diumumkan dalam staatsblad 1944 No 17 dan diberlakukan 1 Januari 1945 saat yang bersamaan maka “ordonantie op de inkomstenbelasting 1932” dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ordonansi pajak pendapatan 1944 yang semula dinamakan Oorlogsbelasting (pajak perang). Mulai 1 Januari 1946 namanya diubah menjadi “Overgangsbelasting” (pajak peralihan), lalu dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1957 (LN Nomor 41 tahun 1957) nama ordonansi tersebut dengan resmi menjadi “ordonansi pajak pendapatan 1944”. Oleh Pemerintah Hindia Belanda Ordonansi dibuat dengan sederhana dan darurat karena mengingat keadaan saat itu. Dan kelak akan diganti dengan suatu ordonansi pajak atas pendapatan yang lebih sempurna.

Subjek Pajak Pendapatan 1932 adalah: orang pribadi, badan/persekutuan (Fa-Firma, CV, Kongsi). Objeknya adalah Pendapatan bersih. Dengan berbagai kekurangan maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ordonantie op Inkomstenbelasting 1932.

Menyadari kekurangan yang terdapat dalam ordonansi ini pemerintah Indonesia berusaha menyempurnakannya dengan menyesuaikan dengan keadaan, yang dilakukan mulai tahun 1960 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970, ordonansi pajak pendapatan 1944 aslinya tersusun dalam bahasa Belanda. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pertama kali dimuat dalam buku “Perundang-undangan Pajak Indonesia, terbitan Juni 1960 yang diterjemahkan oleh Prof Dr.Rochmat Soemitro, SH dan Drs B. Usman.
(4)Wages Tax Ordonance of 1935 (ordonansi pajak upah 1935) dimana pemungutan pajaknya dilakukan oleh para majikan, saat itu diperkenalkan di Indonesia PAYE = Pay-As-You-Earn(bayar sesuai dengan upah yang diterima).

(3) Masa 1984 sampai sekarang

Tahun 1984 sampai saat ini mulai berlakunya tax reform yang ditetapkan tahun 1983.
1 Januari 1984 mulai berlaku Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh yang disahkan tanggal 31 Desember 1983 (LN 1983 No: TLN 3263). Kemudian PP Nomor 42 tahun 1985 tentang pelaksanaan Undang-Undang PPh 1984 yang ditetapkan pada tanggal 13 November 1985 mulai diberlakukan untuk tahun pajak 1985. Tahun 1991 sudah ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh. (LN 1991 Nomor 93. TLN 3459). Tahun 1994 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1991 (LN 1994 Nomor 60. TLN 3567). Kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (LN 2000 Nomor 127. TLN 3985) yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001. Terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (LN 2008 Nomor 133. TLN 4893) yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2009.


3. Sejarah Pajak Perseroan
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti “Landrente” atau landrent dan “Hoofdelijke Belasting”.
Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan.
Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op deVennootschapsblasting 1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970.
Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan Pajak Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Bersambung ke Bagian 3

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA (Bagian 1)

Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.

Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda hingga sebelum tahun 1983 telah diberlakukan cukup banyak Undang-Undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:

  1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
  2. Aturan Bea Meterai;
  3. Ordonansi Bea Balik Nama;
  4. Ordonansi Pajak Kekayaan;
  5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
  6. Ordonansi Pajak Upah;
  7. Ordonansi Pajak Potong;
  8. Ordonansi Pajak Pendapatan;
  9. Ordonansi Pajak Perseroan;
  10. Undang-Undang Pajak Radio;
  11. Undang-Undang Pajak Pembangunan I;
  12. Undang-Undang Pajak Peredaran;
  13. Undang-Undang Pajak Bumi atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).

Sedangkan setelah tahun 1983, Indonesia melakukan tax reform (reformasi perpajakan) dengan menyempurnakan sistem pemungutan pajak dari yang sebelumnya masih bersifat official assessment menjadi sistem self assessment. Sejak tax reform tahun 1983 hingga saat ini, ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku adalah:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
  2. Undang-Undang Pajak Pajak Penghasilan (UU PPh);
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN);
  4. Undang-Undang Bea Meterai (UU BM);
  5. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB);
  6. Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (UU BPHTB);
  7. Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP);
  8. Undang-Undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (UU BPSP);
  9. Undang-Undang Pengadilan Pajak (UU PP);
  10. Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Bersambung ke Bagian 2

Selasa, 19 Mei 2009

Teori Dasar Pajak

Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 23A ditentukan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Undang-undang, dalam kalimat ini dapat berarti dengan suatu undang-undang atau peraturan perundangan lainnya di bawah undang-undang yang pembuatannya berdasarkan undang-undang. Berdasarkan ketentuan itu telah dibuat banyak undang-undang yang mengatur masalah perpajakan di Indonesia.
Undang-Undang yang mengatur mengenai masalah perpajakan adalah:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
Undang-Undang ini berisi tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang mengatur mengenai Hukum Pajak Formal, yang semata-mata memuat peraturan-peraturan mengenai tata-cara pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara. Seluruh pajak yang dikelola oleh negara (Pajak Pusat), ketentuannya akan mengacu pada Undang-Undang ini kecuali atas Undang-Undang pajak yang lain secara khusus tata cara pelaksanaan pemungutannya diatur dengan aturan tersendiri.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Undang-Undang ini mengatur mengenai Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Undang-Undang ini mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM).
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
Undang-Undang ini mengatur mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
Undang-Undang ini mengatur mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
Undang-Undang ini mengatur mengenai Bea Meterai.

7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
8. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Definisi Pajak
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, disebutkan bahwa:
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pembagian Kewenangan Pemungutan Pajak
Berdasarkan kewenangan pemungutan/pengelolaan pajak, pajak terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu Pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (Pajak Pusat) dan Pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Pajak Daerah).
Pajak Pusat
Pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat terdiri dari:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
5. Bea Meterai
Pajak Daerah
Pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah terdiri dari:
1. Pajak Pemerintah Daerah Tingkat I (Propinsi)
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2. Pajak Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya)
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g. Pajak Parkir.

Jumat, 16 Mei 2008

Pajak Pemotongan (Witholding Tax)

Dalam sistem perpajakan secara witholding system, negara memberikan kepercayaan kepada pihak ketiga untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak penerima penghasilan dan menyetorkan pajak yang telah dipotongnya ini ke kas Negara.

Dalam Undang-undang PPh, jenis-jenis pajak yang menganut sistem witholding ini adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15 dan PPh Pasal 19.

Transaksi pemenuhan kewajiban perpajakan melalui sistem witholding ini dapat digambarkan sebagai berikut:

- Pihak yang menggunakan/mendapatkan/memperoleh jasa dan/atau barang dari pihak penyedia jasa dan/atau barang yang merupakan objek dari pemotongan PPh disebut sebagai Pemotong Pajak.

- Pihak yang melakukan penyerahan jasa dan/atau barang dan menerima penghasilan (income) dari penyerahan yang telah dilakukannya tersebut disebut sebagai Subjek Pajak.

- Objek yang dipotong PPh adalah Penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan transaksi penyerahan jasa dan/atau barang tersebut.

Transaksi yang menjadi objek pemotongan pajak ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:


Kewajiban dari pemotong pajak dalam kasus terjadinya transaksi yang merupakan objek pemotongan pajak adalah: menghitung pajak yang terutang, melakukan pemotongan atas pajak yang terutang dari penghasilan yang dibayarkannya kepada penerima penghasilan tersebut, membuatkan bukti pemotongan dan memberikannya kepada pihak penerima penghasilan yang telah dipotong pajak, menyetorkan pajak yang telah dipotongnya tersebut ke Kas Negara serta melaporkan pemotongan pajak yang telah dilakukannya tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak setempat tempat dia terdaftar.

Dilarang mengutip, memperbanyak, mempublikasikan tulisan ini tanpa seijin penulis.
(c) syafrianto 16052008

Kamis, 15 Mei 2008

SUBJEK PAJAK


Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), yang menjadi Subjek Pajak adalah:

1. Orang Pribadi; orang pribadi dibedakan menjadi orang pribadinya sendiri dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2. Badan.

3. Bentuk usaha tetap.

Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.

UU PPh menganut resident principle untuk Wajib Pajak dalam negeri dan source principle untuk Wajib Pajak luar negeri, yang terlihat dari perlakuan pajaknya, yakni sebagai berikut:

a. Wajib Pajak dalam negeri:

1) dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia;

2) berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum;

3) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

b. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT:

pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri, namun terbatas pada penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

c. Wajib Pajak luar negeri non-BUT:

1) dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;

2) berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;

3) tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

(c) dilarang mengutip dan memperbanyak tulisan ini tanpa seijin penulis.
Sumber: Syafrianto, Modul Praktek Perpajakan 2008, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008 (ISBN: 978-979-756-343-1)