..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Pajak UMKM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak UMKM. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Februari 2017

Kriteria Wajib Pajak yang Dikenakan PPh Final 1% Dengan Omzet di Bawah Rp 4,8 Miliar

Sejak Juli 2013, Wajib Pajak (baik orang pribadi maupun badan) yang memiliki peredaran usaha tertentu (dengan kriteria tertentu) di bawah Rp 4,8 miliar setahun, atas penghasilan yang diterimanya tersebut dikenai PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto (omzet) yang diterima/diperoleh setiap bulannya dan bersifat final sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013.

Penentuan peredaran usaha bruto (omzet) setahun yang tidak boleh melebihi Rp 4,8 miliar adalah didasarkan pada omzet yang diterima/diperoleh selama setahun pada tahun pajak sebelumnya. Apabila dalam suatu tahun pajak, omzet yang diterima/diperoleh Wajib Pajak ini telah melebihi Rp 4,8 miliar, maka pada awal tahun pajak berikutnya Wajib Pajak akan dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU PPh.

Walaupun ketentuan ini sudah berlaku selama 3,5 tahun, namun kenyataannya di lapangan masih ditemukan banyaknya kesalahan penafsiran mengenai penentuan kapan Wajib Pajak akan dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 dan kapan dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh.

Terakhir ini penulis baru mendapatkan beberapa kejadian, dimana beberapa fiskus yang memberikan informasi kepada Wajib Pajak yang pada tahun pajak 2016 memenuhi ketentuan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 dan pada pertengahan tahun pajak 2016 omzetnya telah melampaui Rp 4,8 miliar dan meminta mereka untuk melakukan perhitungan kembali sejak Januari 2016 dengan menggunakan ketentuan Pasal 17 UU PPh (dan menyetorkan PPh Pasal 25) serta melakukan pemindahbukuan atas setoran PPh Final sebesar 1% yang telah dilakukannya sejak masa Januari 2016 menjadi setoran PPh Pasal 25. Penulis sangat menyayangkan adanya penafsiran yang salah atas perlakuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Jika kita cermati ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 menegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan badan yang menerima penghasilan dari usaha tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak. Pengenaan PPh ini ditentukan dari peredaran bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir.

Lebih lanjut pada Pasal 5 ditegaskan bahwa jika peredaran bruto kumulatif WP pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4,8 miliar dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai PPh tarif 1% sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak berikutnya dikenai PPh dengan tarif umum.

Sehingga berdasarkan penegasan pada kedua ayat ini, dapat kita lihat bahwa penafsiran fiskus yang disebutkan di atas tadi adalah salah. Walaupun pada pertengahan tahun pajak 2016, peredaran usaha bruto yang diperoleh Wajib Pajak melampaui Rp 4,8 miliar, namun karena pemenuhan kewajiban PPh pada tahun 2016 (berdasarkan omzet yang dicapai selama tahun pajak 2015 yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar), maka selama Januari 2016 sampai dengan Desember 2016 Wajib Pajak ini telah memenuhi ketentuan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2016 dan menyetorkan PPh sebesar 1% dari omzet.

Contoh:
Tahun buku PT A adalah Januari-Desember. PT A memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu. Omzet Januari 2015-Desember 2015 adalah sebesar Rp 4,5 miliar. Omzet Januari 2016 sebesar Rp 0,5 miliar. Maka akumulasi omzet untuk menentukan batasannya adalah dihitung dari akumulasi Januari 2015 s.d. Desember 2015. Dengan demikian maka selama Januari 2016 sampai dengan Desember 2016 PT A akan dikenakan PPh final sebesar 1% dari omzet.
Misalkan omzet selama Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 telah mencapai Rp 4,9 miliar. Maka hingga Desember 2016, PT A tetap menyetor PPh final 1% dari omzet. Barulah mulai Januari 2017, PT A dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh sehingga harus menyetor PPh Pasal 25 setiap bulannya.

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.