Penentuan peredaran usaha bruto (omzet) setahun yang tidak boleh melebihi Rp 4,8 miliar adalah didasarkan pada omzet yang diterima/diperoleh selama setahun pada tahun pajak sebelumnya. Apabila dalam suatu tahun pajak, omzet yang diterima/diperoleh Wajib Pajak ini telah melebihi Rp 4,8 miliar, maka pada awal tahun pajak berikutnya Wajib Pajak akan dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU PPh.
Walaupun ketentuan ini sudah berlaku selama 3,5 tahun, namun kenyataannya di lapangan masih ditemukan banyaknya kesalahan penafsiran mengenai penentuan kapan Wajib Pajak akan dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 dan kapan dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh.
Terakhir ini penulis baru mendapatkan beberapa kejadian, dimana beberapa fiskus yang memberikan informasi kepada Wajib Pajak yang pada tahun pajak 2016 memenuhi ketentuan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 dan pada pertengahan tahun pajak 2016 omzetnya telah melampaui Rp 4,8 miliar dan meminta mereka untuk melakukan perhitungan kembali sejak Januari 2016 dengan menggunakan ketentuan Pasal 17 UU PPh (dan menyetorkan PPh Pasal 25) serta melakukan pemindahbukuan atas setoran PPh Final sebesar 1% yang telah dilakukannya sejak masa Januari 2016 menjadi setoran PPh Pasal 25. Penulis sangat menyayangkan adanya penafsiran yang salah atas perlakuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.
Jika kita cermati ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 menegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan badan yang menerima penghasilan dari usaha tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak. Pengenaan PPh ini ditentukan dari peredaran bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir.
Lebih lanjut pada Pasal 5 ditegaskan bahwa jika peredaran bruto kumulatif WP pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4,8 miliar dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai PPh tarif 1% sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak berikutnya dikenai PPh dengan tarif umum.
Sehingga berdasarkan penegasan pada kedua ayat ini, dapat kita lihat bahwa penafsiran fiskus yang disebutkan di atas tadi adalah salah. Walaupun pada pertengahan tahun pajak 2016, peredaran usaha bruto yang diperoleh Wajib Pajak melampaui Rp 4,8 miliar, namun karena pemenuhan kewajiban PPh pada tahun 2016 (berdasarkan omzet yang dicapai selama tahun pajak 2015 yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar), maka selama Januari 2016 sampai dengan Desember 2016 Wajib Pajak ini telah memenuhi ketentuan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2016 dan menyetorkan PPh sebesar 1% dari omzet.
Contoh:
Tahun buku PT A adalah Januari-Desember. PT A memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu. Omzet Januari 2015-Desember 2015 adalah sebesar Rp 4,5 miliar. Omzet Januari 2016 sebesar Rp 0,5 miliar. Maka akumulasi omzet untuk menentukan batasannya adalah dihitung dari akumulasi Januari 2015 s.d. Desember 2015. Dengan demikian maka selama Januari 2016 sampai dengan Desember 2016 PT A akan dikenakan PPh final sebesar 1% dari omzet.
Misalkan omzet selama Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 telah mencapai Rp 4,9 miliar. Maka hingga Desember 2016, PT A tetap menyetor PPh final 1% dari omzet. Barulah mulai Januari 2017, PT A dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh sehingga harus menyetor PPh Pasal 25 setiap bulannya.
Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.