Pasal 4A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (biasanya kita kenal sebagai UU PPN) mengatur tentang jenis barang yang tidak dikenai PPN. Huruf b dari ayat ini mengatur bahwa jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Penjelasan dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini disebutkan bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
Melalui serangkaian persidangan yang dilakukan, akhirnya pada tanggal 28 Februari 2017 Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengucapkan hasil Putusannya berdasarkan Putusan Nomor 39/PUU-XIV/2016 yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa:
Dalam Putusannya Majelis Hakim MK menyatakan bahwa sekalipun tidak tepat dikatakan bahwa Penjelasan pada Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN adalah diskriminatif, namun Majelis Hakim berpendapat bahwa Penjelasan pada ayat ini bertentangan dengan UUD 1945 karena menghambat pemenuhan hak dan kebutuhan dasar warga negara, menghambat pemenuhan hak atas warga negara untuk hidup sejahtera lahir batin, dan tidak memberi kepastian hukum, sepanjang barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN tidak dimaknai sebagai sekedar contoh, bukan rincian yang limitatif.
Majelis Hakim MK dapat memahami kesulitan yang dihadapi pembentuk Undang-Undang (dalam hal ini Pemerintah dan DPR) dalam merinci semua jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, sehingga dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) hurf b UU PPN ini hanya dimaksudkan sebagai contoh. Namun, dengan rumusan yang menggunakan kata "meliputi" dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN maka tidak ada pengertian lain yang dimunculkan oleh rumusan demikian kecuali pengertian membatasi dan menjadi bertentangan dengan UUD 1945.
Dampak Dari Putusan MK Nomor 39/PUU-XIV/2016
Dengan adanya Putusan MK ini, maka Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dinyatakan tidak berlaku sehingga semua jenis barang kebutuhan pokok yang sangat diperlukan oleh rakyat banyak menjadi tidak dikenai PPN lagi (merupakan Bukan Barang Kena Pajak/Non BKP).
Dengan adanya Putusan MK ini, maka akan timbul permasalahan di lapangan dalam menentukan barang apa saja yang dapat dikategorikan sebagai barang kebutuhan pokok.
Selain itu, pada kenyataannya banyak sekali barang kebutuhan pokok yang berasal dari suatu proses produksi (seperti minyak goreng, gula pasir, bumbu/penyedap rasa, susu formula untuk bayi, bahan bakar untuk memasak/LPG) yang juga akan termasuk sebagai barang yang tidak dikenai PPN. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kerugian bagi pihak produsen, karena kelak seluruh Pajak Masukan atas perolehan bahan/barang baku dan bahan/barang pembantu untuk memproses barang kebutuhan pokok ini menjadi tidak dapat dikreditkan terhadap PPN yang akan dikenakan pada saat menjual barang ini. Akibatnya tentunya PPN ini akan dibebankan sebagai biaya dan mungkin akan mempengaruhi harga dari barang hasil produksi tersebut.
Memang dalam putusan ini menyatakan bahwa ketentuan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN atas 11 kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak yang diartikan secara limitatif (terbatas) pada contoh di penjelasan tersebut. Namun dapat ditafsirkan bahwa arti limitatif dalam putusan MK tersebut adalah bahwa seharusnya jenis "Barang Kebutuhan Pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak" harus diartikan sebagai arti harafiah sebagai Sembilan Bahan Pokok yang ditetapkan oleh Pemerintah (Sembako), yang terdiri dari Beras, Sagu, dan Jagung; Gula pasir; Sayur-sayuran dan Buah-buahan; Daging Sapi, Ayam, dan Ikan; Minyak goreng dan Margarin; Susu; Telur; Minyak Tanah atau gas ELPIJI; Garam berIodium dan berNatrium.
Oleh sebab itu, dibutuhkan penegasan dari pemerintah untuk segera membuat peraturan pengganti undang-undang atau bahkan bersama DPR segera menyusun perubahan UU PPN supaya tidak timbul ketidakpastian bagi masyarakat atas perlakuan ini.
(c) 2017 syafrianto.blogspot.co.id
Penjelasan dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini disebutkan bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
- beras;
- gabah;
- jagung;
- sagu;
- kedelai;
- garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
- daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
- telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
- susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
- buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
- sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
Melalui serangkaian persidangan yang dilakukan, akhirnya pada tanggal 28 Februari 2017 Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengucapkan hasil Putusannya berdasarkan Putusan Nomor 39/PUU-XIV/2016 yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa:
- Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk sebagian.
- Menyatakan Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang rincian "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak" yang termuat dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN tersebut diartikan limitatif.
Dalam Putusannya Majelis Hakim MK menyatakan bahwa sekalipun tidak tepat dikatakan bahwa Penjelasan pada Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN adalah diskriminatif, namun Majelis Hakim berpendapat bahwa Penjelasan pada ayat ini bertentangan dengan UUD 1945 karena menghambat pemenuhan hak dan kebutuhan dasar warga negara, menghambat pemenuhan hak atas warga negara untuk hidup sejahtera lahir batin, dan tidak memberi kepastian hukum, sepanjang barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN tidak dimaknai sebagai sekedar contoh, bukan rincian yang limitatif.
Majelis Hakim MK dapat memahami kesulitan yang dihadapi pembentuk Undang-Undang (dalam hal ini Pemerintah dan DPR) dalam merinci semua jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, sehingga dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) hurf b UU PPN ini hanya dimaksudkan sebagai contoh. Namun, dengan rumusan yang menggunakan kata "meliputi" dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN maka tidak ada pengertian lain yang dimunculkan oleh rumusan demikian kecuali pengertian membatasi dan menjadi bertentangan dengan UUD 1945.
Dampak Dari Putusan MK Nomor 39/PUU-XIV/2016
Dengan adanya Putusan MK ini, maka Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dinyatakan tidak berlaku sehingga semua jenis barang kebutuhan pokok yang sangat diperlukan oleh rakyat banyak menjadi tidak dikenai PPN lagi (merupakan Bukan Barang Kena Pajak/Non BKP).
Dengan adanya Putusan MK ini, maka akan timbul permasalahan di lapangan dalam menentukan barang apa saja yang dapat dikategorikan sebagai barang kebutuhan pokok.
Selain itu, pada kenyataannya banyak sekali barang kebutuhan pokok yang berasal dari suatu proses produksi (seperti minyak goreng, gula pasir, bumbu/penyedap rasa, susu formula untuk bayi, bahan bakar untuk memasak/LPG) yang juga akan termasuk sebagai barang yang tidak dikenai PPN. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kerugian bagi pihak produsen, karena kelak seluruh Pajak Masukan atas perolehan bahan/barang baku dan bahan/barang pembantu untuk memproses barang kebutuhan pokok ini menjadi tidak dapat dikreditkan terhadap PPN yang akan dikenakan pada saat menjual barang ini. Akibatnya tentunya PPN ini akan dibebankan sebagai biaya dan mungkin akan mempengaruhi harga dari barang hasil produksi tersebut.
Memang dalam putusan ini menyatakan bahwa ketentuan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN atas 11 kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak yang diartikan secara limitatif (terbatas) pada contoh di penjelasan tersebut. Namun dapat ditafsirkan bahwa arti limitatif dalam putusan MK tersebut adalah bahwa seharusnya jenis "Barang Kebutuhan Pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak" harus diartikan sebagai arti harafiah sebagai Sembilan Bahan Pokok yang ditetapkan oleh Pemerintah (Sembako), yang terdiri dari Beras, Sagu, dan Jagung; Gula pasir; Sayur-sayuran dan Buah-buahan; Daging Sapi, Ayam, dan Ikan; Minyak goreng dan Margarin; Susu; Telur; Minyak Tanah atau gas ELPIJI; Garam berIodium dan berNatrium.
Oleh sebab itu, dibutuhkan penegasan dari pemerintah untuk segera membuat peraturan pengganti undang-undang atau bahkan bersama DPR segera menyusun perubahan UU PPN supaya tidak timbul ketidakpastian bagi masyarakat atas perlakuan ini.
(c) 2017 syafrianto.blogspot.co.id
0 Comments
Posting Komentar