..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Jumat, 14 Agustus 2020

Akhirnya Ikan Menjadi Barang Bukan Objek PPN - Tindak Lanjut Putusan MK

Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) mengatur salah satu jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Pada bagian penjelasan dari ayat ini dijelaskan bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi: beras; gabah; jagung; sagu; kedelai; garam; daging; telur; susu; buah-buahan; dan sayur-sayuran (rincian detail dapat dibaca di Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN atau di artikel berikut).

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 menyebabkan adanya pengecualian kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebagaimana yang diatur Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini. PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015 (yang merupakan aturan pelaksana dari UU PPN) seolah mengatur sesuatu yang tidak diatur dalam UU PPN tersebut. Salah satunya adalah untuk kelompok "daging segar" (topik terkait pernah dibahas di artikel berikut). Jika ditafsirkan dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN, maka seharusnya "daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;" adalah termasuk kelompok barang yang tidak dikenai PPN (Bukan Barang Kena Pajak). Definisi daging di penjelasan UU PPN ini seharusnya ditafsirkan luas dan termasuk juga untuk daging ikan. Namun pada praktiknya, dalam kehidupan sehari-hari banyak pihak yang juga berpendapat bahwa ikan adalah tidak termasuk kelompok daging segar sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini. Hal ini ditandai dengan adanya pengaturan untuk barang-barang tertentu yang dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis dalam  PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015, dimana ikan ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis.

Akibat dari aturan pelaksana UU PPN yang menetapkan beberapa jenis barang (selain ikan) sebagai kelompok Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis dan dirasakan telah menyimpang dari ketentuan UU PPN, sehingga Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini diajukan untuk diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK memutuskan menerima uji materi atas pasal ini melalui Putusan Nomor 39/PUU-XIV/2016. Sehingga barang yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan penjelasannya, tidak boleh diartikan secara limitatif (terbatas) sebagaimana yang telah diatur dalam aturan pelaksana dari UU PPN tersebut.

Namun setelah dibatalkannya ketentuan mengenai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis yang diatur dalam dalam  PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015, kemudian Menteri Keuangan kembali menerbitkan peraturan pelaksana dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017 tanggal 15 Agustus 2017 tentang Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Pada Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor 116/PMK.010/2017 ini membatasi pengaturan barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN adalah berjumlah 13 jenis, yang terdiri dari:

  1. Beras dan Gabah;
  2. Jagung;
  3. Sagu;
  4. Kedelai;
  5. Garam konsumsi;
  6. Daging;
  7. Telur;
  8. Susu;
  9. Buah-buahan;
  10. Sayur-sayuran;
  11. Ubi-ubian;
  12. Bumbu-bumbuan; dan
  13. Gula Konsumsi;

Ikan yang seharusnya dapat dikategorikan sebagai barang kebutuhan pokok juga, tidak dimasukan ke dalam daftar barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN. Oleh sebab itu, PMK Nomor 116/PMK.010/2017 ini kembali diajukan uji materi lagi oleh masyarakat. Hasil dari uji materi tersebut, melalui Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 32 P/HUM/2018 tanggal 8 Agustus 2018 kembali memutuskan menerima keberatan dan pengajuan uji materi dari masyarakat tersebut dan memerintahkan Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan untuk mencabut ketentuan pembatasan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor 116/PMK.010/2017 sepanjang tidak memasukan komoditas ikan sebagai jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Menindaklanjuti Putusan MA Nomor 32 P/HUM/2018, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020 tanggal 4 Agustus 2020 yang mencabut PMK Nomor 116/PMK.010/2017 dan menambah jenis ikan (ikan segar/dingin, dengan atau tanpa kepala) sebagai jenis barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020 diatur Kriteria dan/atau Rincian Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai yang terdiri dari kelompok utama:

  1. Beras dan Gabah;
  2. Jagung;
  3. Sagu;
  4. Kedelai;
  5. Garam konsumsi;
  6. Daging;
  7. Telur;
  8. Susu;
  9. Buah-buahan;
  10. Sayur-sayuran;
  11. Ubi-ubian;
  12. Bumbu-bumbuan;
  13. Gula Konsumsi;
  14. Ikan

Rincian detail dari kelompok barang ini dapat dilihat di Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020.

Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan yaitu 5 Agustus 2020.

1 Comments

Pakalolo 28 Oktober 2020 pukul 11.26

Pertanyaannya,
Ikan Tuna Fillet,
Apakah tidak dikenakan PPN
Atau dibebaskan PPN nya

Mengingat Tuna termasuk bukan BKP,
Namun bentuk fillet semua jenis ikan masuk dibebaskan PPN nya?

Posting Komentar