..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label International Tax. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label International Tax. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Desember 2019

Pengesahan Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan Terkait P3B untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan

Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba) di Paris, Perancis pada tanggal 7 Juni 2017.

Konvensi multilateral di Paris ini diadakan dengna tujuan untuk menerapkan tindakan-tindakan terkait dengan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dalam rangka mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba secara serentak, tersinkronisasi, dan efisien.

Tindak lanjut yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia agar Konvensi Multilateral di Paris ini dapat dilaksanakan maka diperlukan pengesahan hasil konvensi ini sebagai dasar pemberlakuannya sehingga pasal-pasal yang diadopsi dalam Konvensi tersebut dapat diberlakukan terhadap P3B yang tercakup dalam pensyaratan (reservations). Untuk itulah, Pemerintah menerbitkan peraturan pengesahannya melalui Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019 tanggal 12 November 2019 tentang Pengesahan Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan Terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba.

Salinan naskah asli Konvensi ini dalam bahasa Prancis dan bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dengan pensyaratan (reservations) sebagaimana yang dicantumkan dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. Apabila kelak dalam menjalankan ketentuan konvensi ini terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Konvensi dalam bahasa Indonesia dengan salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis, maka yang berlaku adalah salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis.

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 13 November 2019.

Rabu, 25 Desember 2019

Kewajiban Menyampaikan Notifikasi Country by Country Report (CbCR)

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.03/2016, Wajib Pajak yang memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dan memenuhi kriteria tertentu sebagaimana yang diatur dalam PMK Nomor 213/PMK.03/2016 tersebut, diwajibkan untuk membuat dan menyimpan dokumen dan/atau informasi tambahan yang terdiri dari Dokumen Induk (Master File), Dokumen Lokal (Local File) dan Laporan per Negara (Country by Country Report/CbCR).

Salah satu laporan yang wajib disampaikan adalah Laporan per Negara atau yang dikenal sebagai CbCR. Wajib Pajak yang merupakan bagian atau anggota dari suatu Grup Usaha, termasuk yang memiliki transaksi afiliasi, wajib menyampaikan CbCR adalah sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak Badan dalam negeri yang merupakan Entitas Induk atau Ultimate Parent Entity (UPE) dari suatu Grup Usaha dengan peredaran bruto konsolidasi paling sedikit Rp11 triliun, atau
  2. Wajib Pajak Badan dalam negeri yang merupakan anggota Grup Usaha yang UPE-nya merupakan subjek pajak luar negeri dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. UPE-nya memiliki peredaran bruto konsolidasi paling sedikit €750 juta; dan
b. UPE-nya berdomisili di negara atau yurisdiksi yang:
  1. tidak mewajibkan penyampaian CbC report; 
  2. memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan namun tidak memiliki Qualifying Competent Authority Agreement (QCAA) efektif; atau 
  3. memiliki QCAA efektif tetapi terjadi systematic failure dalam pertukaran CbC report melalui Automatic Exchange of Information.
Ketentuan menyampaikan CbCR ini adalah terlebih dahulu Wajib Pajak wajib menyampaikan notifikasi apakah diwajibkan untuk menyampaikan CbCR ini. Bentuk dari Notifikasi CbCR ini telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2017 (bagi yang membutuhkan Template Notifikasi CbCR dalam bentuk Ms. Excel dapat download di sini). Notifikasi ini dapat disampaikan secara elektronik melalui sistem pelaporan elektronik yang telah diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui portal DJP Online yang dapat diakses di alamat https://djponline.pajak.go.id.

Dalam sistem tersebut Wajib Pajak akan dipandu secara tahap demi tahap dalam menyampaikan Notifikasi. Notifikasi tersebut berisi pernyataan apakah Wajib Pajak Badan tersebut hanya wajib menyampaikan Notifikasi namun tidak wajib menyampaikan CbC report, atau wajib menyampaikan Notifikasi dan wajib menyampaikan CbC report.

Apabila Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk menyampaikan CbC report maka Wajib Pajak menyampaikan CbC report (beserta kertas kerja, dalam hal Wajib Pajak merupakan Entitas Induk yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri) dalam format XML bersamaan dengan penyampaian Notifikasi. CbC report tidak diperkenankan disampaikan dalam bentuk kertas (hardcopy) maupun dalam format file selain XML.

Terhadap Notifikasi dan/atau CbC report yang disampaikan melalui DJP Online akan diberikan tanda terima yang harus dilampirkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan. Apabila Wajib Pajak menyampaikan SPT dalam bentuk SPT Elektronik, tanda terima tersebut disampaikan dalam bentuk file Portable Document Format (PDF) sebagai bagian dari dokumen atau keterangan yang harus dilampirkan dalam SPT Elektronik.

Untuk menjadi perhatian bagi Wajib Pajak yang memiliki transaksi dengan pihak afiliasi untuk memperhatikan jangka waktu penyampaian Notifikasi CbCR dan/atau CbCR ini paling lambat adalah 12 bulan setelah akhir tahun pajak. Dengan demikian, maka tanggal 31 Desember 2019 ini adalah merupakan batas waktu bagi Wajib Pajak dengan tahun buku 1 Januari s.d. 31 Desember untuk segera menyampaikan Notifikasi CbCR Tahun Pajak 2018.

Selasa, 23 Juli 2019

Daftar Negara Yang Menjalin Pertukaran Informasi Keuangan Secara Otomatis Dengan Indonesia

Sesuai dengan kesepakatan negara-negara di dunia untuk melakukan pertukaran informasi keuangan dan perpajakan secara otomatis atau yang lebih dikenal dengan istilah Automatic Exchange of Information (AEoI) dan sebagai salah satu negara yang memiliki komitmen untuk aktif melakukan kegiatan ini, Indonesia telah menjalin dan melakukan kesepakatan dengan sejumlah yurisdiksi dengan menandatangani dan/atau mengaktivasi Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information.

Berdasarkan pengumuman yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Pengumuman Nomor PENG-05/PJ/2019 tanggal 10 Juli 2019, pihak Direktorat Jenderal Pajak merilis Daftar 98 Yurisdiksi Partisipan dan 82 Yurisdiksi Tujuan Pelaporan dalam rangka Pertukaran Informasi Secara Otomatis.

Yurisdiksi Partisipan adalah Yurisdiksi Asing yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Internasional yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi keuangan secara otomatis. Sedangkan Yurisdiksi Tujuan Pelaporan adalah Yurisdiksi Partisipan yang merupakan tujuan bagi Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kewajiban penyampaian informasi keuangan secara otomatis.

Berikut ini disajikan daftar negara-negara tersebut.

DAFTAR YURISDIKSI PARTISIPAN
1. Andorra
2. Albania
3. Anguilla
4. Antigua and Barbuda
5. Argentina
6. Aruba
7. Australia
8. Austria
9. Azerbaijan
10. Bahamas
11. Bahrain
12. Barbados
13. Belgium
14. Belize
15. Bermuda
16. Brazil
17. British Virgin Islands
18. Brunei Darussalam
19. Bulgaria
20. Canada
21. Cayman Islands
22. Chile
23. China (People's Republic of)
24. Colombia
25. Cook Islands
26. Costa Rica
27. Croatia
28. Curacao
29. Cyprus
30. Czech Republic
31. Denmark
32. Estonia
33. Faroe Islands
34. Finland
35. France
36. Germany
37. Ghana
38. Gibraltar
39. Greece
40. Greenland
41. Grenada
42. Guernsey
43. Hong Kong, China
44. Hungary
45. Iceland
46. India
47. Ireland
48. Isle of Man
49. Italy
50. Japan
51. Jersey
52. Korea (Republic)
53. Kuwait
54. Latvia
55. Lebanon
56. Liechtenstein
57. Lithuania
58. Luxembourg
59. Macau, China
60. Malaysia
61. Malta
62. Marshall Islands
63. Mauritius
64. Mexico
65. Monaco
66. Montserrat
67. Nauru
68. Netherlands
69. New Zealand
70. Norway
71. Pakistan
72. Panama
73. Poland
74. Portugal
75. Qatar
76. Romania
77. Russia
78. Saint Kitts and Nevis
79. Saint Lucia
80. Saint Vincent and the Grenadines
81. Samoa
82. San Marino
83. Saudi Arabia
84. Seychelles
85. Singapore
86. Sint Maarten
87. Slovak Republic
88. Slovenia
89. South Africa
90. Spain
91. Sweden
92. Switzerland
93. Turkey
94. Turks and Caicos Islands
95. United Arab Emirates
96. United Kingdom
97. Uruguay
98. Vanuatu


DAFTAR YURISDIKSI TUJUAN PELAPORAN
1. Andorra
2. Antigua and Barbuda
3. Argentina
4. Aruba
5. Australia
6. Austria
7. Azerbaijan
8. Barbados
9. Belgium
10. Belize
11. Brazil
12. Bulgaria
13. Canada
14. Chile
15. China (People's Republic of)
16. Colombia
17. Cook Islands
18. Costa Rica
19. Croatia
20. Curacao
21. Cyprus
22. Czech Republic
23. Denmark
24. Estonia
25. Faroe Islands
26. Finland
27. France
28. Germany
29. Gibraltar
30. Greece
31. Greenland
32. Grenada
33. Guernsey
34. Hong Kong, China
35. Hungary
36. Iceland
37. India
38. Ireland
39. Isle of Man
40. Italy
41. Japan
42. Jersey
43. Korea (Republic)
44. Kuwait
45. Latvia
46. Lebanon
47. Liechtenstein
48. Lithuania
49. Luxembourg
50. Macau, China
51. Malaysia
52. Malta
53. Mauritius
54. Mexico
55. Monaco
56. Montserrat
57. Netherlands
58. New Zealand
59. Norway
60. Pakistan
61. Panama
62. Poland
63. Portugal
64. Romania
65. Russia
66. Saint Kitts and Nevis
67. Saint Lucia
68. Saint Vincent and the Grenadines
69. Samoa
70. San Marino
71. Saudi Arabia
72. Seychelles
73. Singapore
74. Slovak Republic
75. Slovenia
76. South Africa
77. Spain
78. Sweden
79. Switzerland
80. United Kingdom
81. Uruguay
82. Vanuatu


Update:
Jumlah negara yang sudah menjalin pertukaran informasi keuangan secara otomatis dengan Indonesia ini sudah bertambah dan per tanggal 28 Mei 2020, melalui Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor PENG-65/PJ/2020, bertambah 5 negara DAFTAR YURISDIKSI PARTISIPAN menjadi 103 negara; dan bertambah 3 negara untuk DAFTAR YURISDIKSI TUJUAN PELAPORAN.

Jumat, 23 November 2018

DJP Permudah Administrasi Penerapan Tax Treaty

Dalam rangka mempermudah dan mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak atas penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau biasanya lebih dikenal dengan Tax Treaty, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tanggal 21 November 2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Ketentuan yang mulai berlaku 1 Januari 2018 ini menyederhanakan administrasi terkait dengan penerapan P3B ini antara lain yaitu:
  1. Menyederhanakan bentuk formulir Surat Keterangan Domisili WP Luar Negeri (Form DGT) yang semula terdiri dari 2 jenis formulir masing-masing sebanyak 3 halaman dan 2 halaman, diubah menjadi hanya 1 jenis formulir saja yang terdiri dari 2 halaman;
  2. Menyederhana penyampaian Form DGT dari semula harus disampaikan setiap bulan dalam SPT Masa setiap Pemotong/Pemungut Pajak menjadi hanya satu kali dalam periode yang dicakup dalam Form DGT oleh Pemotong/Pemungut Pajak yang pertama kali menyampaikan Form DGT;
  3. Meningkatkan pelayanan dengan menyediakan saluran penyampaian Form DGT yang semula harus secara manual melalui salinan yang dilegalisasi menjadi dapat disampaikan secara elektronik; dan
  4. Periode masa dan tahun pajak pada Form DGT paling lama 12 bulan dan dimungkinkan melewati tahun kalender (misalnya Agustus 2018 - Juli 2019).

Selasa, 29 Agustus 2017

Surat Keterangan Domisili Form DGT Baru Format Excel

Selama ini Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri (SKD WPLN) yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam menerapkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah Formulir yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang dinamakan sebagai Form DGT (Form DGT-1 atau Form DGT-2). Pertama kali Form DGT (yang terdiri dari 2 halaman) ini ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 yang berlaku sejak 1 Januari 2010 yang kemudian diubah lagi dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010.

Sejak 1 Agustus 2017 Form DGT ini telah diubah melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 menjadi 3 halaman. Berikut ini penulis sajikan bentuk file Excel untuk memudahkan para Pembaca Setia Tax Learning untuk menyiapkan Form DGT ini.

Download:
- Form DGT format Excel
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017

Catatan:
Ketentuan dan Formulir DGT Form ini telah diubah dengan ketentuan PER-25/PJ/2018. Ketentuannya silakan akses di sini

Sabtu, 20 Mei 2017

Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Ketentuan Akses Data Perbankan Oleh Ditjen Pajak

Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017, sebagian masyarakat di Indonesia menjadi was-was dan khawatir akibat dari ketentuan mengenai akses data perbankan yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) melalui Perppu ini.

Secara sepintas, apabila membaca isi dari Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini, seakan-akan bahwa saat ini Ditjen Pajak memiliki wewenang yang begitu luas. Sebagaimana diketahui oleh masyarakat, sebelum Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini berlaku, Ditjen Pajak hanya dapat mengakses data rekening bank milik Wajib Pajak setelah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun pada Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini, seolah memberikan wewenang yang begitu luas kepada Ditjen Pajak untuk memperoleh informasi keuangan secara berkala dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan.

Namun sebenarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini tidak sembarangan memberikan wewenang kepada Ditjen Pajak dalam mengakses dan menggunakan data keuangan tersebut. Berikut ini akan penulis sampaikan beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan ketentuan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini.

Nasabah/Masyarakat yang Dimaksud Dalam Ketentuan Ini Yang Menjadi Objek Pelaporan

Nasabah dari Lembaga Keuangan atau Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang dapat dilaporkan profil keuangannya ialah Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang bekerja atau berbisnis di Indonesia.

Lembaga/Intsitusi Yang Diwajibkan Menyampaikan Data Keuangan ke Ditjen Pajak

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini menegaskan bahwa lembaga dan institusi yang wajib untuk menyampaikan data keuangan kepada Ditjen Pajak secara berkala terdiri dari:
  1. Lembaga Jasa Keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian
  2. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, yaitu lembaga jasa keuangan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan
  3. Entitas Lainnya yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan, adalah adalah badan hukum (legal person) seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum (legal arrangement) seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, namun memenuhi kriteria sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Informasi Yang Harus Dilaporkan ke Ditjen Pajak

Laporan yang berisi informasi keuangan yang wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak ini paling sedikit memuat:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor rekening keuangan;
  3. identitas lembaga jasa keuangan;
  4. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
  5. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Rekening Keuangan Yang Bagaimana Yang Harus Dilaporkan

Rekening Keuangan yang harus dilaporkan oleh Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dan Entitas Lainnya kepada Ditjen Pajak adalah rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain.

Namun tidak semua rekening keuangan yang harus dilaporkan oleh Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dan Entitas Lainnya kepada Ditjen Pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a Perppu Nomor 1 Tahun 2017 disebutkan bahwa laporan yang wajib disampaikan adalah untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan.

Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan yang merupakan rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan yaitu hanya berlaku bagi nasabah yang memiliki saldo rekening USD 250.000 (dua ratus lima puluh ribu dollar AS) ke atas atau setara dengan Rp 3,3 miliar (kurs 13.300).

Batasan saldo rekening sebesar USD 250,000 ini adalah merupakan ketentuan internasional yang ditetapkan dalam kebijakan pertukaran otomatis data informasi keuangan internasional atau Automatic Exchange of Information (AEoI).

Selasa, 16 Mei 2017

Ditjen Pajak Telah Diberi Akses Luas Atas Data Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya

Dalam rangka memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dan untuk memenuhi komitmen keikutsertaan Indonesia dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) maka Pemerintah pada tanggal 8 Mei 2017 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan yang ditetapkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak diberi kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Perjanjian internasional di bidang perpajakan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional antara lain Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement), Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters), termasuk perjanjian yang bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk, antara lain Persetujuan Bilateral/Multilateral Antar-Pejabat Yang Berwenang Dalam Rangka Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis (Bilateral/Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information) dan Persetujuan Antar-Pemerintah Untuk Mengimplementasikan Undang-Undang Kepatuhan Perpajakan Rekening Keuangan Asing (Intergovernmental Agreement for Foreign Account Tax Compliance Act/FATCA) yang berlaku efektif sebelum, sejak, atau setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini berlaku.

Kewajiban Lembaga Jasa Keuangan

Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini mewajibkan lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lainnya untuk menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:
  1. Laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; dan
  2. Laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,
yang lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud selama satu tahun kalender.

Yang termasuk sebagai Lembaga jasa keuangan lainnya sebagai ketentuan ini adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Sedangan yang dimaksud sebagai “entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan” adalah badan hukum (legal person) seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum (legal arrangement) seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, namun memenuhi kriteria sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Laporan yang berisi informasi keuangan yang wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak ini paling sedikit memuat:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor rekening keuangan;
  3. identitas lembaga jasa keuangan;
  4. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
  5. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Dalam rangka penyampaian laporan ini lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain wajib melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Prosedur identifikasi rekening keuangan ini paling sedikit meliputi kegiatan melakukan:
  1. verifikasi untuk menentukan negara domisili untuk kepentingan perpajakan bagi pemegang rekening keuangan, baik orang pribadi maupun entitas;
  2. verifikasi untuk menentukan pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 merupakan pemegang rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
  3. verifikasi untuk menentukan rekening keuangan yang dimiliki oleh pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
  4. verifikasi terhadap entitas pemegang rekening keuangan untuk menentukan pengendali entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang wajib dilaporkan; dan
  5. dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan dalam rangka prosedur identifikasi rekening keuangan, termasuk menyimpan dokumen yang diperoleh atau digunakan.

Wewenang Menteri Keuangan Dalam Melakukan Pertukaran Informasi Keuangan Dengan Negara Lain

Berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan, Menteri Keuangan berwenang melaksanakan pertukaran informasi keuangan dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan dengan otoritas yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.

Tuntutan Pidana atau Perdata

Dalam melakukan tugas atau memenuhi kewajiban terkait dengan ketentuan dalam Perppu ini,
  1. Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan;
  2. Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan;
  3. Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain;
tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.

Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (tanggal 8 Mei 2017).

Download:
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017

Artikel Terkait:
Batas Rekening Yang Dilaporkan ke Ditjen Pajak adalah USD 250,000

Senin, 03 April 2017

Transfer Pricing Guidelines

Rabu, 18 April 2012

Ratifikasi Tax Treaty Indonesia dengan Hong Kong

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah Tax Treaty adalah merupakan suatu perjanjian/kesepakatan bilateral antara dua negara untuk mengatur bagaimana teknis pemajakan yang dilakukan terhadap penduduk dari masing-masing negara yang memperoleh penghasilan pada negara lainnya. Pengaturan teknis pengenaan pajak antara kedua negara ini sangat penting dilakukan supaya penduduk pada masing-masing negara tersebut tidak akan dikenakan pajak yang berganda di kedua negara, namun hanya akan dikenakan sekali saja di salah satu negara sesuai dengan perjanjian yang tertuang dalam tax treaty tersebut.

Saat ini Indonesia telah melakukan dan membuat perjanjian penghindaran pajak berganda ini dengan 61 negara. P3B yang terakhir diratifikasi adalah P3B antara Indonesia dengan Hong Kong.

P3B Indonesia dengan Hong Kong yang telah ditandatangani pada tanggal 23 Maret 2010 dan baru saja diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 2 Maret 2012 melalui Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2012.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2012 ini disebutkan bahwa P3B Indonesia dengan Hong Kong ini mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2012 atau tanggal 2 Maret 2012.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2012 ini dilampirkan Protokol P3B Indonesia dengan Hong Kong dalam naskah asli Bahasa Inggris dan terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Namun ditegaskan apabila terdapat perbedaan penafsiran atas P3B dalam terjemahan Bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah naskah asli Bahasa Inggris.

Untuk mengetahui isi Protokol P3B Indonesia dan Hong Kong, silakan akses halaman berikut.

Mungkin selanjutnya yang menjadi pertanyaan para Pembaca Setia Tax Learning adalah mulai kapankah P3B Indonesia dan Hong Kong ini berlaku? Apakah mulai tanggal 23 Maret 2010 ketika ditandatanganinya P3B tersebut ataukah pada tanggal 2 Maret 2012 ketika diratifikasinya P3B tersebut melalui Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2012?

Jika kita melihat ketentuan pada Pada Pasal 2 Konvensi Wina 1969, istilah ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediaannya untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh sebab itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi tersebut dilakukan.

Dengan mengacu kepada ketentuan Konvensi Wina 1969 ini, maka P3B Indonesia dengan Hong Kong ini baru dapat diterapkan oleh Indonesia sejak tanggal 2 Maret 2012.

Selanjutnya untuk mengetahui apakah suatu tax treaty dapat diberlakukan, kita harus mengacu kepada salah satu article dalam tax treaty tersebut yang mengatur mengenai saat "enter into force". Dalam tax treaty antara Indonesia dengan Hongkong, ketentuan ini diatur dalam Article 28, yang berbunyi sebagai berikut:

1. Each of the Contracting Parties shall notify the other in writing of the completion of the procedures required by its law for the entry into force of this Agreement. This Agreement shall enter into force on the date of the later of these notifications.
2. The provisions of this Agreement shall thereupon have effect:
(a) in the Hong Kong Special Administrative Region: in respect of Hong Kong Special Administrative Region tax, for any year of assessment beginning on or after 1 April in the calendar year next following that in which this Agreement enters into force;
(b) in Indonesia:
(i) in respect of taxes withheld at source: for amounts paid or credited on or after 1 January in the calendar year next following the date on which this Agreement enters into force; and
(ii) in respect of other taxes: for any tax year commencing on or after 1 January in the calendar year next following the date on which this Agreement enters into force.


Saat berlakunya tax treaty ini ditegaskan pada Article 28 ayat (1) bahwa "...This Agreement shall enter into force on the date of the later of these notifications."

Bagi Indonesia, saat berlaku secara efektifnya tax treaty ini diatur pada ayat (2) huruf (b), yang terdiri dari:
-Untuk pajak yang dipotong yaitu: "for amounts paid or credited on or after 1 January in the calendar year next following the date on which this Agreement enters into force".
-Untuk pajak lainnya: "for any tax year commencing on or after 1 January in the calendar year next following the date on which this Agreement enters into force".

Jadi berdasarkan kalimat terakhir pada Article 28 ayat (1) tersebut, maka tax treaty Indonesia-Hongkong ini baru berlaku efektif setelah diratifikasi serta adanya saling notifikasi mengenai ratifikasi yang telah dilakukan oleh kedua negara ini. Pada saat ini Hongkong telah meratifikasi tax treaty ini yang disusul oleh Indonesia pada tanggal 2 Maret 2012. Namun notifikasi antara kedua negara tersebut sampai saat ini belum diketahui apakah sudah dilakukan.

Jumat, 25 November 2011

Siapa Saja Yang Wajib Membuat Transfer Pricing Documentation?

Setelah artikel Kewajiban Membuat Dokumentasi Penetapan Transfer Pricing Yang Wajar atas Transaksi Hubungan Istimewa diposting di blog ini, penulis langsung mendapatkan pertanyaan dari para Pembaca Setia Tax Learning. Mereka menanyakan Wajib Pajak yang bagaimana yang memiliki kewajiban untuk membuat Transfer Pricing Documentation. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang akan timbul sehubungan dengan adanya perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 yang kini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, karena ketentuan yang diubah melalui PER-32/PJ/2011 ini terdiri dari 16 Pasal yang diubah serta menambahkan 2 Pasal baru. Namun karena keterbatasan waktu, penulis belum sempat mengulas seluruh perubahan yang terjadi.

Pada tulisan berikut ini, penulis akan membahas mengenai Wajib Pajak yang bagaimana yang diwajibkan untuk melakukan Penentuan Harta Transfer (Transfer Pricing) atas transaksi dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sesuai PER-32/PJ/2011 ini.

a. Siapa yang Wajib memenuhi ketentuan PER-32/PJ/2011?

Apabila kita membaca bunyi dari Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, maka dapat kita simpulkan bahwa Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) ini harus diterapkan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri di luar Indonesia.

Lebih lanjut pada Pasal 2 ayat (2) ditegaskan bahwa dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, maka ketentuan PER-32/PJ/2011 ini hanya berlaku atas transaksi yang memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan karena:
  1. perlakuan pengenaan PPh Final atau tidak Final pada sektor usaha tertentu;
  2. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
  3. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.

Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa Wajib Pajak yang termasuk dalam kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan memiliki hubungan istimewa, wajib untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (4) ditegaskan bahwa Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha apabila nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10 milyar dalam 1 tahun pajak untuk setiap lawan transaksi.

b. Apa yang harus dilakukan apabila termasuk sebagai kriteria Wajib Pajak yang disebutkan dalam PER-32/PJ/2011?

Wajib Pajak yang telah memenuhi ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (4) diwajibkan untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, yaitu dengan cara (Pasal 3 ayat (2)):
  1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
  2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
  4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.


c. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bagian a dan bagian b di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa:
Wajib Pajak yang harus Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana diatur dalam PER-32/PJ/2011 adalah Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia yang bertransaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa:
  1. di luar Indonesia (Wajib Pajak Luar Negeri); atau
  2. Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia yang memanfaatkan perbedaan tarif pajak seperti perlakuan PPh Final dan tidak Final, perlakuan pengenaan PPnBM, atau transaksi dengan WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas;
dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10 milyar dalam 1 tahun pajak untuk setiap lawan transaksi.

Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan di atas ini wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan membuat dokumentasinya (membuat transfer pricing documentation/TP Doc).


Dengan demikian maka PER-32/PJ/2011 ini mencabut ketentuan bagi Wajib Pajak yang selama ini diwajibkan untuk membuat transfer pricing documentation dengan langkah yang lebih sederhana, yaitu untuk:
Wajib Pajak yang memiliki transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang meliputi:
  1. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak berwujud;
  2. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud;
  3. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
  4. alokasi biaya; dan
  5. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud,
dengan nilai transaksi (nilai penghasilan atau pengeluaran) tidak melampaui Rp 10 miliar.

Artikel Terkait:
Kewajiban Membuat Dokumentasi Penetapan Transfer Pricing Yang Wajar atas Transaksi Hubungan Istimewa

Kamis, 24 November 2011

Kewajiban Membuat Dokumentasi Penetapan Transfer Pricing Yang Wajar atas Transaksi Hubungan Istimewa

Saat ini Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa wajib membuat dokumentasi mengenai penentuan harga wajar transaksi

Dalam Standar Akuntansi Keuangan dan ketentuan perpajakan, transaksi yang terjadi antara pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa diharuskan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Dalam prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/ALP) diatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.

Selama ini selalu timbul sengketa antara Wajib Pajak dan Petugas Pajak (Fiskus) dalam hal menentukan nilai wajar atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Apalagi pada tahun 1993 Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan panduan bagi pemeriksaan atas transaksi yang dilakukan oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa yang diindikasikan adanya transfer pricing melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.7/1993 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993. Walaupun sudah ada panduan bagi fiskus dalam melakukan pemeriksaan atas transaksi yang dilakukan oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa, namun pihak Direktorat Jenderal Pajak tidak mengeluarkan ketentuan berupa petunjuk atau panduan kepada Wajib Pajak dalam menentukan kewajaran harga ini. Bahkan dalam SPT Tahunan PPh Badan juga telah mewajibkan Wajib Pajak untuk mengungkapkan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa serta metode penentuan harga dalam Lampiran Khusus 3A.

Barulah pada tanggal 6 September 2010 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan ketentuan mengenai penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Peraturan ini telah memberikan kepastian kepada Wajib Pajak mengenai penetapan harga wajar atas transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Namun sejak 11 November 2011 PER-43/PJ/2010 ini diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011. Salah satu ketentuan yang cukup penting (yaitu pada Pasal 2 dan Pasal 3 PER-32/PJ/2011 ini) untuk diketahui adalah bahwa bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak Luar Negeri di luar Indonesia dengan nilai seluruh transaksi melebihi Rp 10 milyar dalam 1 tahun pajak untuk setiap lawan transaksi diwajibkan untuk:

  1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
  2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
  4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sebagaimana disebukan di atas.

Dengan demikian maka saat ini sudah jelas ketentuan bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak Luar Negeri di luar Indonesia dengan nilai lebih dari Rp 10 milyar dalam setahun untuk membuat transfer pricing documentation.

Apabila Anda mempunyai pertanyaan lebih lanjut mengenai pembuatan transfer pricing documentation untuk memenuhi ketentuan ini, maka Anda dapat menghubungi penulis melalui email atau secara langsung ke alamat berikut.

Artikel Terkait:
- Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Transaksi Hubungan Istimewa
- Siapa Saja Yang Wajib Membuat Transfer Pricing Documentation?

Jumat, 22 Juli 2011

Aturan Terbaru tentang Pajak atas Impor Film Cerita

Beberapa bulan terakhir ini, dunia industri film impor sempat heboh dengan adanya ketentuan mengenai pengenaan pajak atas impor film cerita. Para importir film asing selama ini dianggap telah melalaikan kewajibannya untuk memungut PPh atas pembayaran royalti dan pembayaran penghasilan kepada para produsen film di Luar Negeri. Para pelaku usaha di dunia perfilman menganggap bahwa selama ini tidak ada ketentuan yang mengharuskan mereka untuk memungut PPh atas impor yang mereka lakukan. Sedangkan menurut Pemerintah, sebenarnya ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan PPh atas impor film dari luar negeri telah berlaku sejak lama. Akibatnya timbul perselisihan antara kalangan pengusaha perfilman (terutama produsen film di Hollywood) dengan Pemerintah Indonesia.

Sehingga untuk memberikan kepastian hukum mengenai pengenaan pajak atas impor film cerita, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.03/2011 tanggal 13 Juli 2011 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Berupa Film Cerita Impor Dan Penyerahan Film Cerita Impor, Serta Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor.

Film cerita impor yang diatur dalam ketentuan ini didefinisikan sebagai karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara yang mengisahkan cerita fiktif atau narasi dan dapat dipertunjukkan yang direkam pada pita seluloid, pita video, cakram optik, atau bahan lainnya yang berasal dari luar Daerah Pabean untuk dieksploitasi di dalam negeri.

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

a. Saat Impor Film Cerita oleh Importir

Impor film cerita dari luar negeri yang dilakukan oleh importir ini adalah merupakan Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sehingga terutang PPN. PPN yang terutang ini dipungut pada saat impor media Film Cerita Impor.

Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung PPN terutang atas impor Film Cerita ini adalah Nilai Lain yang telah memperhitungkan nilai dari media Film Cerita Impor. Nilai Lain ini ditetapkan berupa uang sebesar Rp12.000.000 per copy Film Cerita Impor. Besarnya Nilai Lain ini dapat ditinjau kembali secara berkala yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

b. Saat Penyerahan dari Importir kepada Pengusaha Bioskop

Atas penyerahan Film Cerita Impor oleh Importir kepada Pengusaha Bioskop, terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung PPN terutang atas impor Film Cerita ini adalah Nilai Lain. Nilai Lain ini ditetapkan berupa uang sebesar Rp12.000.000 per copy Film Cerita Impor. Besarnya Nilai Lain ini dapat ditinjau kembali secara berkala yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pemungutan PPN dilakukan hanya sekali untuk setiap copy Film Cerita Impor. Mekanisme pemungutannya dilakukan pada saat pertama kali copy Film Cerita Impor tersebut diserahkan kepada Pengusaha Bioskop.


PAJAK PENGHASILAN (PPh)

Atas kegiatan impor Film Cerita Impor juga terutang PPh Pasal 22. Dasar pemungutan PPh Pasal 22 untuk kegiatan impor Film Cerita Impor adalah Nilai Impor atas media Film Cerita Impor yaitu nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk (Cost Insurance and Freight/CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.


PEMBERLAKUAN KETENTUAN INI

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku tanggal 13 Juli 2011. Dengan berlakunya ketentuan ini, maka aturan mengenai penyerahan Film Cerita Impor tidak lagi menggunakan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
http://syafrianto.blogspot.com


Rabu, 15 Juni 2011

Tax Treaty Indonesia dengan Iran

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau biasanya diistilahkan sebagai Tax Treaty dibuat secara bilateral oleh 2 (dua) negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan tujuan agar penduduk antara kedua negara yang melakukan transaksi pada negara lainnya dalam kedua negara tersebut tidak akan dikenakan pajak 2 (dua) kali/pajak berganda (yaitu di negaranya sendiri dan di negara lain tempatnya bertransaksi). Dengan adanya tax treaty maka penghasilan yang diterima oleh subjek pajak di suatu negara akan dikenakan pajak dengan tarif khusus sesuai perjanjian kedua negara yang umumnya tidak akan melebihi besarnya pajak yang berlaku pada negara sumber penghasilan maupun di negara tempat subjek pajak tersebut berdomisili. Pengenaan pajaknya juga hanya akan dikenakan pada salah satu negara (apakah di negara sumber penghasilan atau di negara domisili si penerima penghasilan), yang ditentukan sesuai dalam tax treaty tersebut.

Sejak tanggal 1 Januari 2011, antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Iran telah menyepakati untuk memberlakukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). P3B antara Republik Indonesia dan Republik Islam Iran (P3B RI-Iran) ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2006 tanggal 11 Mei 2006. Pemerintah Iran juga telah meratifikasi P3B ini serta telah mengirimkan pemberitahuan ratifikasi P3B kepada Pemerintah Indonesia melalui Nota Diplomatik Nomor 200-1-1316 tanggal 13 Oktober 2008. Kemudian Pemerintah RI juga telah mempertukarkan Piagam Pengesahan kepada Kedutaan Besar Iran di Jakarta melalui Nota Diplomatik Nomor D/03220/11/2010/60 tanggal 25 November 2010.

Pemberitahuan mengenai berlakukan P3B RI-Iran ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2011 tanggal 20 Mei 2011.
Ketentuan yang diatur dalam P3B RI-Iran ini diatur antara lain:

Saat Pemberlakuan
Menurut Pasal 27 P3B RI-Iran, ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam P3B ini berlaku secara efektif:
  1. sehubungan dengan penghasilan yang dipotong/dipungut pajaknya di negara sumber atas penghasilan yang diterima atau diperoleh, pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011; dan
  2. sehubungan dengan pajak atas penghasilan lainnya, sejak tahun pajak yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2011.

Tarif Pengenaan Pajak
Hak pemajakan oleh negara yang menjadi sumber penghasilan diatur dalam P3B ini yaitu:
  1. tarif untuk dividen yang diterima/diperoleh oleh beneficial owner yang merupakan penduduk Republik Islam Iran adalah 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto dividen;
  2. tarif untuk bunga yang diterima/diperoleh oleh beneficial owner yang merupakan penduduk Republik Islam Iran adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga;
  3. tarif untuk royalti yang diterima/diperoleh oleh beneficial owner yang merupakan penduduk Republik Islam Iran adalah 12% (dua belas persen) dari jumlah bruto royalti;
  4. tarif untuk branch profit tax adalah 7% (tujuh persen) dari jumlah laba Bentuk Usaha Tetap setelah dikurangi pajak penghasilan.

Perlakuan bagi Bukan Beneficial Owner
Apabila wajib pajak dalam negeri Republik Islam Iran selaku penerima penghasilan berupa dividen, bunga, atau royalti bukanlah beneficial owner, maka atas penghasilan dimaksud dipotong pajak penghasilan dengan tarif 20%.

Persyaratan Untuk Memanfaatkan P3B
Penduduk yang dapat memanfaatkan P3B RI-Iran ini adalah penduduk dari Republik Indonesia atau Republik Islam Iran harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Senin, 21 Februari 2011

Inilah Aturan Pajak Yang Menghebohkan Dunia Perfilman Asing

Beberapa hari terakhir ini kita dikejutkan dengan ancaman dari Hollywood, Amerika Serikat yang akan menghentikan peredaran film produksi mereka di Indonesia. Pada Jumat tanggal 18 Februari 2011 Motion Pictures Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) mengambil langkah untuk menghentikan distribusi film produksi Hollywood ini di Indonesia sebagai bentuk aksi protes terhadap pengenaan pajak atas hak distribusi film impor. Tentunya hal ini akan sangat mengecewakan masyarakat pecinta film impor yang ada di Indonesia, karena mulai saat ini akan sulit kita temukan lagi film-film Hollywood yang beredar di bioskop-bioskop Indonesia.

Namun sebenarnya ketentuan apa yang menyebabkan reaksi keras dari pihak Motion Picture, Hollywood ini? Untuk menjawab rasa penasaran para Pembaca Setia Tax Learning, berikut ini penulis sajikan aturan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang menimbulkan protes keras dari pihak dunia perfilman di Hollywood. Aturan tersebut adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tanggal 10 Januari 2011 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor.

SE-3/PJ/2011 ini mengacu kepada aturan-aturan perpajakan yang telah ada yaitu:
  1. Pasal 4 ayat (1) huruf h dan Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).
  2. Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN).
Selain itu, SE-3/PJ/2011 ini juga mengacu pada definisi film yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, yaitu bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan atas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.

Penegasan aspek perpajakan yang timbul sehubungan dengan pemasukan film impor dalam SE-3/PJ/2011 ini adalah sebagai berikut:

Pajak Penghasilan

a) atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26 oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra;

b) namun apabila atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pembelian film impor tersebut:
  1. seluruh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari; atau
  2. diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya, maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26;

Pajak Pertambahan Nilai

  1. Pemasukan film impor merupakan kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, berupa hasil karya sinematografi yang merupakan hak kekayaan intelektual yang disimpan dalam media baik berupa roll film ataupun media penyimpanan yang lain, dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
  2. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar;
  3. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak;
  4. Perlu diperhatikan bahwa pada saat pemasukan film impor telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai impor. Oleh karena itu Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan film impor yang terutang pada saat pemasukan film tersebut adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar, dikurangi dengan nilai impor;
  5. Adapun atas pembayaran royalti film impor sebagai hasil peredaran film di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar.

Kamis, 10 Februari 2011

Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu BUT

Penghasilan Kena Pajak setelah pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 26 ayat (4) UU PPh. Guna mengatur lebih lanjut mengenai perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Perlakuan Pajak atas Penghasilan Kena Pajak Setelah Pajak dari suatu BUT sebagai pengganti dari aturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008.

Dalam ketentuan ini mengatur bahwa sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (4) UU PPh, atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi PPh dari suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, dikenai PPh. Dikecualikan dari pengenaan PPh adalah untuk penghasilan kena pajak sesudah dikurangi PPh dari suatu BUT yang ditanamkan kembali di Indonesia.

Perubahan yang terjadi dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 ini adalah:

Pengecualian Pengenaan PPh
Pengecualian dari pengenaan PPh diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi PPh dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Persyaratan untuk Penghasilan yang Dikecualikan dari Pengenaan PPh
Persyaratan Yang Harus Dipenuhi agar seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan PPh:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
c. Persyaratan lainnya:
Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri:
- perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
- Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.

Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham:
- perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
- Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.

Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk pembelian aktiva tetap yang digunakan BUT untuk menjalankan usaha/kegiatan di Indonesia dan investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk menjalankan usaha/kegiatan di Indonesia: BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.

Apabila ketentuan dan persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka Penghasilan ini akan dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Tata Cara Untuk Memperoleh Pembebasan dari Pengenaan PPh
Wajib Pajak BUT harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada SPT Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan. Wajib Pajak BUT juga wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut, yang minimal meliputi:
- jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
- bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.

Khusus Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri diatur ketentuan:
- wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
- Saat berproduksi komersial adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
- Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial.
- Penetapan saat berproduksi komersial dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
- Apabila jangka waktu pemberian keputusan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.

Penerapan Tax Treaty
Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan adalah sebagaimana ditentukan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.

Penghasilan BUT adalah Final
Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Tata Cara Pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak BUT diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 24 Januari 2011.

Selasa, 04 Januari 2011

Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)

Definisi
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati Kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar di muka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Kriteria-kriteria ini termasuk diantaranya penentuan metode transfer pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions).

Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.

Ketentuan Mengenai Kesepakatan Harga Transfer

Untuk mengatur dan memberikan kepastian dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 terutama dalam hal mengatur tentang kesepatakan harga transfer, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).

Tujuan dan Ruang Lingkup APA
Tujuan Kesepakatan harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan transfer pricing.
Kesepakatan harga transfer mencakup perjanjian tertulis antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak negara lain yang melibatkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) UU PPh.
Ruang lingkup kesepakatan harga transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

Tahapan Kesepakatan Harga Transfer
Untuk melakukan Kesepakatan Harga Transfer dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak, Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal dengan menggunakan Formulir APA-1 sesuai dengan Lampiran I PER-69/PJ/2010, dengan melampirkan:
  1. akta pendirian dan perubahan Wajib Pajak, atau sejenisnya;
  2. penjelasan rinci mengenai kegiatan dan usaha Wajib Pajak;
  3. struktur perusahaan yang meliputi antara lain struktur kelompok usaha, struktur kepemilikian dan struktur organisasi;
  4. penjelasan rinci mengenai pemegang saham dan penjelasan rinci mengenai transaksi yang dilakukan oleh pemegang saham dengan Wajib Pajak;
  5. penjelasan rinci mengenai pihak-pihak lainnya yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak dan penjelasan rinci mengenai transaksi yang dilakukan pihak-pihak lain tersebut dengan Wajib Pajak.
  6. transaksi yang diusulkan untuk dibahas dan dicakup dalam kesepakatan harga transfer dan penjelasan rinci mengenai transaksi tersebut.
  7. metode Penentuan Harga Tranfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak dan dokumentasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak mengenai Analisis Kesebandingan, analisis fungsional, pemilikan dan penentuan pembanding, dan penentu metode Harga Transfer;
  8. penjelasan rinci mengenai situasi atau keadaan dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak yang perubahannya dapat mempengaruhi secara material kesesuaian metode Penentuan Harga Tranfer Wajib Pajak.
  9. penjelasan rinci mengenai system akuntansi, proses produksi, dan proses pembuatan keputusan.
  10. penjelasan rinci mengenai pihak lain yang menjadi pesaing yang mempunyai jenis kegiatan atau usaha atau produk yang sama atau sejenis dengan Wajib Pajak, termasuk penjelasan mengenai karakteristik dan pangsa pasar pesaing.
  11. Fotokopi SPT Tahunan PPh dan Laporan Keuangan Wajib Pajak yang telah diaudit Akuntan Publik selama 3 (tiga) tahun terakhir.
  12. dokumen lain yang dianggap oleh Wajib Pajak relevan untuk disampaikan.
Tahap-tahap yang harus ditempuh dalam pembentukan Kesepakatan Harga Transfer adalah:
a. Pembicaraan awal (pre-lodgement meeting) antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak
Tujuannya antara lain untuk:
  1. membahas perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer;
  2. memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menjelaskan penentuan metode Penentuah Harga Transfer yang diusulkannya;
  3. membahas kemungkinan pembentukan Kesepakatan Harga Transfer yang melibatkan otoritas pajak negara lain;
  4. membahas dokumentasi dan analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
  5. menyepakati rencana waktu pelaksanaan pembentukan Kesepakatan Harga Transfer; dan
  6. membahas hal-hal lain yang relevan dengan pembentukan dan penerapan Kesepakatan Harga Tranfer.


b.penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal.
c.pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak
d.penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
e.Pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Tranfer.

Jangka Waktu
  • Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan Wajib Pajak secara lengkap, harus memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang persetujuan atau penolakan untuk membahas lebih lanjut tentang Kesepakatan Harga Transfer. Apabila permohonan Wajib Pajak ditolak, maka Wajib Pajak tidak dapat melanjutkan pembahasan ke tahap selanjutnya tentang kesepakatan harga transfer, namun harus mengajukan permohonan baru lagi.
  • Naskah Kesepakatan Harga Transfer harus dibuat dalam jangka waktu 20 hari kerja setelah pembahasan Kesepakatan Harga Transfer diselesaikan dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
  • Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) Tahun Pajak yang dihitung sejak tahun pajak saat kesepakatan harga transfer disepakati. Kesepakatan harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum Kesepakatan Harga Transfer disepakati sepanjang SPT Tahunan PPh Wajib Pajak untuk tahun pajak dimaksud: belum pernah dilakukan pemeriksaan, belum pernah diajukan keberatan atau banding oleh Wajib Pajak dan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.

Kamis, 11 November 2010

Prosedur Persetujuan Bersama Berdasarkan Tax Treaty

Umumnya dalam setiap Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang disebut sebagai tax treaty antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara mitra, diatur mengenai Prosedur Persetujuan Bersama atau lazim disebut sebagai Mutual Agreement Procedure (MAP). Sebagai tindak lanjut untuk menetapkan suatu Prosedur Persetujuan Bersama yang baku sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2010 tanggal 3 Nopember 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Ketentuan yang terdiri dari 26 Pasal dan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan (yaitu 3 Nopember 2010) ini mengatur prosedur-prosedur teknis penetapan dan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure.

Rabu, 08 September 2010

Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Transaksi Hubungan Istimewa

Dalam dunia usaha, adanya kegiatan transaksi antara perusahaan atau orang yang memiliki hubungan afiliasi, hubungan keluarga dan hubungan kepemilikan adalah lazim terjadi. Dalam prakteknya di dunia akuntansi, hubungan transaksi antar pihak-pihak yang memiliki hubungan afiliasi, hubungan keluarga dan hubungan kepemilikan ini diistilahkan sebagai transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi hubungan istimewa). Transaksi hubungan istimewa ini dapat diakui sah secara akuntasi asalkan adanya penerapan kewajaran dan kelaziman usaha.

Dalam ketentuan Perpajakan, transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa ini diatur dalam Pasal 18 UU PPh dan Pasal 2 ayat (1) UU PPN. Guna memberikan kepastian dan kelancaran dalam penerapan kewajaran dan kelaziman usaha bagi para Wajib Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.


Senin, 30 Agustus 2010

Penetapan WP yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham/Aktiva

Salah satu modus yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menghindarkan pengenaan pajak di Indonesia melalui kegiatan transfer pricing yang berupa Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company). Seperti halnya juga untuk mencegah tindakan transfer pricing pengalihan pembayaran imbalan kepada orang pribadi menjadi pembebanan biaya ke perusahaan di Luar Negeri (baca artikel sebelumnya), maka untuk menghindari modus transfer pricing ini dalam Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) mengatur bahwa Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.

Penetapan ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.03/2010 tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penetapan Wajib Pajak Sebagai Pihak Yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham Atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain Atau Badan Yang Dibentuk Untuk Maksud Demikian (Special Purpose Company) Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Dengan Pihak Lain Dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.03/2010 ini diatur bahwa:
Pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian dimaksud sepanjang:
  1. Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company); dan
  2. Terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian.

Saham atau aktiva perusahaan yang dimaksud dalam peraturan ini adalah:
  1. Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
  2. Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang.

Pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company) ini merupakan pihak atau badan yang tidak mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bertujuan antara lain untuk membeli saham atau aktiva Wajib Pajak dalam negeri lainnya.

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya Peraturan ini, yaitu tanggal 11 Agustus 2010.

Peraturan Menteri Keuangan ini disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-110/PJ/2010 tanggal 3 Nopember 2010.

Download Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.03/2010 hasil scan dokumen asli KLIK DI SINI.

Penentuan Gaji Wajar untuk WP Orang Pribadi Yang Bekerja Di Perusahaan LN Hubungan Istimewa

Berbagai motif penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam memanfaatkan transaksi internasional. Salah satu motif yang selama ini dilakukan adalah berupa pengalihan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang memiliki hubungan istimewa. Tindakan ini tentunya akan mengakibatkan potensi pemajakan yang seharusnya dikenakan oleh Indonesia kepada Wajib Pajak ini menjadi hilang.

Untuk mengantisipasi tindakan ini, maka dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah menambahkan satu ayat baru, yaitu pada Pasal 18 ayat (3d). Pada pasal ini ditegaskan bahwa apabila terjadi transaksi pengalihan pembayaran penghasilan kepada orang pribadi ini, maka besarnya penghasilan wajar yang seharusnya diterima oleh orang pribadi tersebut (sebagai akibat adanya pemberian imbalan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia) dapat ditentukan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Untuk mengatur penentuan kembali nilai wajar pembayaran penghasilan kepada orang pribadi ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2010 tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penentuan Kembali Besarnya Penghasilan Yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Dari Pemberi Kerja Yang Memiliki Hubungan Istimewa Dengan Perusahaan Lain Yang Tidak Didirikan Dan Tidak Bertempat Kedudukan Di Indonesia.

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah:

Ruang Lingkup Transaksi Yang Dimaksud Dalam Ketentuan Ini

Hubungan Istimewa yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra yang berlaku.

Jenis Penghasilan yang harus ditentukan kembali adalah besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya kepada perusahaan di luar negeri tersebut.

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pegawai dari perusahaan di luar negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.

Jenis biaya atau pengeluaran lainnya yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar negeri yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa biaya atau pengeluaran sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.

Cara Penentuan Kembali Besarnya Penghasilan Yang Wajar

Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini ditentukan kembali dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan. Penghasilan ini adalah penjumlahan dari penghasilan Wajib Pajak yang diterima di Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.

Besarnya selisih penghasilan setelah ditentukan kembali tersebut tidak boleh melebihi jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan Istimewa.

Atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali ini menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dalam rangka menentukan kembali besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ini, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji karyawan asing. Sebagaimana kita ketahui bahwa hingga saat ini, pedoman standar gaji karyawan asing diatur melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-173/PJ./2002 (baca artikel terkait di sini).

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya peraturan ini, yaitu tanggal 11 Agustus 2010.