..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPh. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Januari 2024

Ketentuan PPh Pasal 21 Terbaru di Januari 2024 dan Lapor Gunakan Menu eBupot 21/26

Mulai Masa Pajak Januari 2024, ketentuan mengenai penghitungan, pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 21/26 atas penghasilan yang diterima oleh Orang Pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan telah berubah. Perubahan ini dituangkan dalam ketentuan:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tanggal 27 Desember 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan;
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tanggal 29 Desember 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi; dan
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 tanggal 19 Januari 2024 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 serta Bentuk, Isi, Tata Cara pengisian, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26.
Sebelum ini juga telah ada ketentuan terbaru yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yaitu yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tanggal 27 Juni 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan dan telah diberlakukan sejak 1 Juli 2023.

Menindaklanjuti ketentuan terbaru ini, maka pada hari ini (21/1/2024) Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan aplikasi pembuatan Bukti Pemotongan dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 melalui djponline.pajak.go.id pada menu e-Bupot 21/26. Seperti halnya dengan menu e-Bupot Unifikasi, maka Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 haruslah memiliki sertifikat elektronik (sertel).

Untuk diketahui bahwa salah satu ketentuan baru dalam pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 21/26 bagi pegawai tetap selain menggunakan tarif efektif dalam nenghitung besarnya PPh terutang Masa Pajak Januari sampai dengan November, adalah juga harus membuatkan Bukti Pemotongan PPh dengan menggunakan Formulir 1721-VIII untuk setiap bulannya pada Masa Pajak Januari sampai dengan November. Kemudian pada Masa Pajak Desember setiap tahunnya, dilakukanlah penghitungan PPh Pasal 21/26 setahun dengan menggunakan tarif normal Pasal 17 UU PPh, dan dibuatkan bukti pemotongan PPh Formulir 1721-A1 atau 1721-A2.


Pada Pasal 2 ayat (5) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 mengatur bahwa Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 kepada Penerima Penghasilan untuk:
  1. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final atau PPh Pasal 26 (Formulir 1721-VI) dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang Bersifat Final (Formulir 1721-VII) diberikan kepada Penerima Penghasilan untuk setiap kali pembuatan Bukti Pemotongan PPh;
  2. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Bulanan (Formulir 1721-VIII) diberikan kepada Penerima Penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah masa pajak berakhir; dan
  3. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala (Formulir 1721-A1) diberikan kepada Penerima Penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah masa pajak terakhir.
Komentar atas Menu eBupot 21/26 di djponline:
Menurut penulis, Menu eBupot 21/26 yang dibuat oleh DJP dengan mentautkan Menu ini ke dalam akun djponline tanpa adanya security tambahan mengakibatkan saat ini hasil pelaporan Pemotongan PPh Pasal 21 menjadi mudah untuk diketahui oleh Pegawai lain di Perusahaan yang mengerjakan pelaporan perpajakan. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa praktik di lapangan, masalah penggajian dan penghitungan PPh Pasal 21 adalah merupakan suatu data yang sangat sensitif, sehingga selama ini banyak perusahaan yang mengerjakan penghitungan PPh Pasal 21 ini dilakukan oleh pegawai khusus (seperti Manager HRD, owner perusahaan atau bahkan di-outsource ke pihak ketiga/konsultan). Sedangkan pelaporan pajak lainnya biasanya dikerjakan oleh pegawai lainnya. Saran penulis adalah agar DJP menambahkan satu security khusus ke menu eBupot 21/26 ini agar kerahasiaan data dari sistem penggajian ini masih dapat dikelola oleh setiap Wajib Pajak.

Rabu, 26 Juli 2023

Jenis Harta Sesuai Kelompok Harta Berwujud Selain Bangunan Untuk Penyusutan Fiskal

Baik dalam standar akuntansi maupun ketentuan perpajakan, perlakuan atas suatu aktiva tetap berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun buku, pembebanan atas nilai perolehan dari aktiva tersebut harus dilakukan melalui metode penyusutan untuk mengalokasikan nilai perolehan aktiva tersebut sepanjang masa manfaat dari aktiva tersebut.

Dalam ketentuan perpajakan, aturan mengenai penyusutan aktiva tetap ini diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP). Aturan pelaksanaan dari Pasal 11 UU Nomor 7 Tahun 2021 terkait dengan penyusutan ini diatur lebih lanjut dalam Bab V Pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55 Tahun 2022) serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2023 tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Tak Berwujud.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2023 (PMK Nomor 72 Tahun 2023) yang ditetapkan pada tanggal 13 Juli 2023 mengatur secara teknis dan detil mengenai penyusutan aktiva berwujud dan amortisasi aktiva tidak berwujud yang telah diatur pada Pasal 11 dan 11A UU PPh. PMK Nomor 72 Tahun 2023 mengubah dan menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009 yang sejak tahun pajak 2009 telah digunakan sebagai panduan bagi Wajib Pajak dalam menerapkan ketentuan penyusutan aktiva berwujud dan amortisasi aktiva tidak berwujud.

PMK Nomor 72 Tahun 2023 ini juga menetapkan kembali jenis-jenis aktiva berwujud yang dikelopokkan ke 4 Kelompok Aktiva Untuk Penyusutan secara Perpajakan (fiskal) sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 11 ayat (6) UU PPh. Jika kita bandingkan Jenis-jenis harta yang telah ditetapkan dalam setiap kelompok pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya jenis harta yang dikelompokkan ke setiap kelompok aktiva tersebut masih serupa. Hanya ada penambahan sekelompok aktiva tetap untuk jenis usaha Industri Pengolahan Tembakau pada PMK Nomor 72 Tahun 2023 ini ke dalam Kelompok 2. Jenis harta tambahan di Kelompok 2 pada PMK Nomor 2 Tahun 2023 ini yaitu "Mesin yang menghasilkan/ memproduksi hasil olahan tembakau, seperti mesin rajang tembakan, mesin linting rokok, dan sejenisnya."

Selebihnya jenis harta yang ditetapkan pada Lampiran PMK Nomor 72 Tahun 2023 hanyalah memperbaiki kesalahan ketik typo) atau revisi redaksional saja.

Untuk dapat melihat perbedaan jenis-jenis harta yang dibagi ke dalam 4 Kelompok Aktiva Tetap Berwujud antara yang ditetapkan dalam Lampiran PMK Nomor 96/PMK.03/2009 dengan PMK Nomor 72 Tahun 2023, penulis sajikan dalam tabel berikut ini.
(c)syafrianto.blogspot.com 26072023

Selasa, 04 Juli 2023

Perlakuan PPh atas Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan

Menteri Keuangan telah menerbitkan petunjuk teknis mengenai perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penggantian atau Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (PMK 66 Tahun 2023) tanggal 27 Juni 2023. PMK 66 Tahun 2023 yang merupakan peraturan pelaksana dari PP Nomor 55 Tahun 2022 khususnya Pasal 31, berlaku mulai 1 Juli 2023 ini antara lain mengatur ketentuan sebagai berikut.

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan menjadi objek PPh

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menjadi objek PPh sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah merupakan:
  1. penggantian atau imbalan yang berkaitan dengan hubungan kerja antara pemberi kerja dan Pegawai.
  2. penggantian atau imbalan karena adanya transaksi jasa antar-Wajib Pajak.
  3. penggantian atau imbalan dalam bentuk barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima.
  4. penggantian atau imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan yang bersumber dari aktiva pemberi penggantian atau imbalan; dan/atau pihak ketiga yang disewa dan/atau dibiayai pemberi, untuk dimanfaatkan oleh penerima.
Ketentuan mengenai penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagai objek PPh berlaku sejak:
  1. tanggal 1 Januari 2022, bagi Pegawai atau penerima penggantian atau imbalan yang menerima atau memperoleh penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan atau imbalan dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum 1 Januari 2022.
  2. tahun buku 2022 dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dimulai, bagi Pegawai atau penerima penggantian atau imbalan yang menerima atau memperoleh penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari pemberi kerja atau pemberi penggantian imbalan yang menyelenggarakan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya.
Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan yang Dikecualikan Dari Objek PPh

Dikecualikan dari objek PPh atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang meliputi:
  1. makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai;
  2. natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
  3. natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
  4. natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan/atau anggaran pendapatan dan belanja desa; atau
  5. natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Makanan Minuman Yang Dikecualikan dari Objek PPh

Makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang dikecualikan dari objek PPh meliputi:
  1. makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja;
  2. kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya; dan/atau
  3. bahan makanan dan/atau bahan minuman bagi seluruh Pegawai dengan batasan nilai tertentu.

Kupon makanan dan/atau minuman

Kupon makanan dan/atau minuman yang dimaksud pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b PMK 66 Tahun 2023 ini merupakan alat transaksi bukan uang yang dapat ditukarkan dengan makanan dan/atau minuman. Termasuk dalam pengertian kupon ini merupakan penggantian oleh pemberi kerja atas pengeluaran untuk pembelian atau perolehan makanan dan/atau minuman di luar tempat kerja yang ditanggung terlebih dahulu oleh Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya (sistem reimbursement).

Nilai kupon yang dikecualikan dari objek PPh ini sepanjang:

  1. tidak melebihi Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) untuk setiap Pegawai dalam jangka waktu 1 (satu) bulan; atau
  2. nilai pengeluaran penyediaan makanan dan/atau minuman untuk tiap Pegawai dalam jangka waktu 1 (satu) bulan yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, dalam hal nilai pengeluaran oleh pemberi kerja dimaksud lebih dari Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) untuk tiap Pegawai dalam jangka waktu 1 (satu) bulan.

Selisih lebih dari nilai kupon yang sebenarnya setelah dikurangi nilai Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) sebagaimana disebutkan di atas, adalah merupakan objek PPh.

Natura dan/atau Kenikmatan yang Harus Disediakan oleh Pemberi Kerja Dalam Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dikecualikan dari Objek PPh

Natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan meliputi natura dan/atau kenikmatan sehubungan dengan persyaratan mengenai keamanan, kesehatan, dan/atau keselamatan Pegawai yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan peraturan perundang-undangan, meliputi:

  1. pakaian seragam;
  2. peralatan untuk keselamatan kerja;
  3. sarana antar jemput Pegawai;
  4. penginapan untuk awak kapal dan sejenisnya; dan/atau
  5. natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional.

Natura dan/atau Kenikmatan Dengan Jenis dan/atau Batasan Tertentu Yang Dikecualikan dari Objek PPh

Penentuan natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu didasarkan pada:

  1. jenis natura dan batasan tertentu dari natura berupa kriteria penerima dan/atau nilai dari natura; dan
  2. jenis kenikmatan dan batasan tertentu dari kenikmatan berupa kriteria penerima, nilai, dan/atau fungsi dari kenikmatan.

Penentuan natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan batasan tertentu termasuk untuk yang diperuntukkan bagi bahan makanan dan/atau bahan minuman dengan batasan nilai tertentu dan termasuk juga diperuntukkan bagi natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh penerima selama tahun 2022.

Selisih lebih dari nilai natura atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh penerima setelah dikurangi batasan tertentu, adalah merupakan objek PPh.
(c)syafriannto.blogspot.com

Kamis, 29 Desember 2022

Ketentuan Baru PPh: Penyusutan Secara Perpajakan untuk Bangunan Permanen Dapat Melebihi 20 Tahun

Ada hal baru untuk perlakuan penyusutan secara perpajakan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagaimana yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55 Tahun 2022). Perlakuan baru ini adalah ketentuan mengenai penyusutan bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun.

Perlakuan baru ini dapat kita temukan pada Pasal 11 ayat (6a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 sebagaimana diatur lebih lanjut pada Pasal 21 ayat (5) PP 55 Tahun 2022 yang mengatur bahwa apabila bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun, maka penyusutan dilakukan dalam bagian yang sama besar dengan masa manfaat (istilah akuntansinya adalah metode garis lurus/straight line method):
  1. 20 (dua puluh) tahun; atau
  2. sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak,
dengan syarat dilakukan secara taat asas.

Ini artinya bahwa sejak diundangkannya PP 55 Tahun 2022, yaitu tanggal 20 Desember 2022, maka Wajib Pajak diberikan pilihan untuk menyusutkan bangunan permanen untuk Tahun Pajak 2022 apakah dengan masa manfaat 20 tahun sesuai perlakuan yang telah berjalan selama ini, ataukah akan memilih masa manfaat yang melebihi 20 tahun sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya dari perlakuan akuntansi yang dilakukan Wajib Pajak atas bangunan permanen tersebut, dengan syarat penyusutan harus dilakukan secara taat asas.

Di ayat berikutnya yaitu Pasal ayat (6) PP 55 Tahun 2022, terdapat pengaturan atas perlakuan penyusutan bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun, dimana aktiva bangunan permanen ini telah dimiliki dan digunakan sebelum Tahun Pajak 2022. Di ayat (6) ini ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki aktiva bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun dapat memilih untuk melakukan penyusutan sesuai masa manfaat yang sebenarnya dari perlakuan akuntansi yang dilakukan Wajib Pajak atas bangunan permanen tersebut (penyusutan dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun), dengan syarat harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022 (untuk Wajib Pajak yang Tahun Pajak sama dengan Tahun Kalender, maka batas waktu penyampaian pemberitahuan adalah tanggal 31 Desember 2022).

Kritik atas Ketentuan Pasal 21 ayat (6) PP 55 Tahun 2022

Jika dicermati dari persyaratan bagi Wajib Pajak yang akan menggunakan masa manfaat untuk aktiva bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun yang dimiliki dan telah digunakan sebelum tahun pajak 2022 adalah harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022, sedangkan PP 55 Tahun 2022 baru diterbitkan dan diundangkan tanggal 20 Desember 2022, maka tentulah hal ini akan menjadi kendala bagi Wajib Pajak untuk dapat mengajukan pemberitahuan ini secara tepat waktu (terutama bagi Wajib Pajak yang Tahun Pajaknya sama dengan Tahun Kalender dimana batas waktu pengajuan pemberitahuan adalah tanggal 31 Desember 2022).

Mengingat bahwa PP 55 Tahun 2022 ini diterbitkan di kala sebagian Wajib Pajak telah memasuki masa liburan akhir tahun 2022, serta hingga saat ini belum ada peraturan teknis yang mengatur format dari surat pemberitahuan yag harus disampaikan ini.

Oleh sebab itu, mungkin Pemerintah perlu membuat ketentuan khusus mengenai cara penyampaian pemberitahuan ini, supaya jangka waktu pengajuan tidak dibatasi sesingkat yang diatur di PP 55 Tahun 2022 (yang hanya 11 hari sejak PP 55 Tahun 2022 ini diterbitkan dan diundangkan).

Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang ingin mengikuti ketentuan untuk masa manfaat bangunan permanen yang lebih dari 20 tahun, agar segera menyampaikan surat pemberitahuan (walaupun belum ada panduan mengenai format maupun isi suratnya) yang intinya berisi tentang aktiva bangunan apa, masa manfaat komersial berapa lama (lebih dari 20 tahun) dan akan untuk tujuan perpajakan, penyusutannya akan mengikuti masa manfaat dari akuntansi komersial tersebut.

Jumat, 25 Februari 2022

Pajak Penghasilan atas Jasa Konstruksi Tahun 2022

Pemerintah telah melakukan revisi atas ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas usaha Jasa Konstruksi yang selama ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009. Revisi ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022 tanggal 21 Februari 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasila atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstuksi.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2022 yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya, yaitu tanggal 21 Februari 2022 mengatur mengenai pengenaan PPh yang bersifat final atas Jasa Konstruksi yang merupakan jasa yang diberikan dalam bentuk berupa jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.

Jenis Usaha Jasa Konstruksi

PP Nomor 9 Tahun 2022 ini menegaskan bahwa Usaha Jasa Konstruksi yang diatur dalam PP ini Jasa Konstruksi yang memiliki klasifikasi meliputi:
  1. klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi untuk sifat umum;
  2. klasifikasi usaha jasa konsultansi konstruksi untuk sifat spesialis;
  3. klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi untuk sifat umum;
  4. klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi untuk sifat spesialis; dan
  5. klasifikasi usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi,
yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jasa Konstruksi dan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

Usaha Jasa Konstruksi yang dimaksud pada PP Nomor 9 Tahun 2022 ini dilakukan melalui kegiatan berupa layanan:
  1. konsultansi konstruksi; mencakup layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan;
  2. pekerjaan konstruksi; mencakup kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan; dan
  3. pekerjaan konstruksi terintegrasi; mencakup gabungan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi konstruksi, termasuk di dalamnya penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan.

Tarif PPh Final Usaha Jasa Konstruksi

Dalam PP Nomor 9 Tahun 2022 ini, untuk Usaha Jasa Konstruksi dikenakan PPh yang bersifat Final dengan membedakan menjadi 7 (tujuh) kelompok jasa konstruksi. Besarnya tarif pada masing-masing kelompok jasa konstruksi tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 2022 yaitu sebagaimana disajikan dalam Tabel berikut ini.

Pengelompokan tarif PPh Final Jasa Konstruksi pada PP Nomor 9 Tahun 2022 ini berbeda dengan pengelompokan yang diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 (yang hanya ada 5 kelompok tarif PPh Final). Persandingan perbedaan tarif PPh Final yang diatur pada PP Nomor 9 Tahun 2022 jika dibandingkan dengan yang diatur pada PP Nomor 51 Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel persandingan berikut ini.

Secara umum dapat kita lihat bahwa ada penambahan kategori Jasa Konstruksi untuk pekerjaan yang bersifat terintegrasi mulai dari pekerjaan perencanaan, pengkajian, perancangan, pengadaan, hingga pekerjaan konstruksi dan pengawasannya, pada PP Nomor 9 Tahun 2022. Selama ini jenis pekerjaan yang terintegrasi ini belum diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2008, sehingga praktiknya cukup menyulitkan bagi Wajib Pajak pelaku usaha jasa konstruksi dalam menentukan tarif PPh final yang harus diterapkan apabila dalam suatu kontrak pekerjaan terdapat fungsi layanan pekerjaan jasa konstruksi yang terintegrasi seperti ini.

Beberapa Ketentuan tentang PPh Final Usaha Jasa Konstruksi Pada PP Nomor 9 Tahun 2022

Beberapa ketentuan lainnya yang diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 2022 ini yaitu:
  1. Adanya penegasan bahwa pengenaan PPh yang bersifat final terhadap Penyedia Jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan tidak meniadakan kewajiban untuk memiliki sertifikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jasa Konstruksi.
  2. Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif PPh Final yang ditetapkan pada Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 2022, tidak termasuk PPh atas sisal aba bentuk usaha tetap setelah PPh yang bersifat final.
  3. Adanya penegasan kembali bahwa penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.
  4. Keuntungnan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi termasuk dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang dikenakan PPh yang bersifat final. 5. Pelaksanaan ketentuan PPh yang bersifat final pada PP Nomor 9 Tahun 2022 ini akan dievaluasi oleh pemerintah di bidang keuangan setelah 3 (tiga) Tahun Pajak terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
Ketentuan Peralihan

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum PP Nomor 9 Tahun 2022 ini diundangkan berlaku kenteuan sebagai berikut:
  1. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sebelum berlakunya PP Nomor 9 Tahun 2022 ini, pengenaan PPh dilaksanakan berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 40 Tahun 2009.
  2. untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak terhitung sejak PP Nomor 9 Tahun 2022 ini berlaku, pengenaan PPh dilaksanakan berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 2022.
(c)24022022 https://syafrianto.blogspot.com

Download artikel ini

Download PP Nomor 9 Tahun 2022

Sabtu, 04 September 2021

Hore… Tarif PPh atas Penghasilan Bunga Obligasi Turun Jadi 10%

Mulai tanggal 30 Agustus 2021, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2021 menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Bunga Obligasi yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap menjadi sebesar 10% (dari tarif yang selama ini adalah sebesar 15% final).

Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2021 tanggal 30 Agustus 2021 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap diterbitkan guna menyelaraskan kebijakan penurunan tarif PPh atas penghasilan bunga obligasi serta untuk mendorong pengembangan dan pendalaman pasar obligasi.

Obligasi yang diatur dalam PP Nomor 91 Tahun 2021 ini adalah surat utang, surat utang Negara, dan obligasi daerah yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan yang diterbitkan oleh pemerintah dan non pemerintah, termasuk surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah (sukuk).

Ketentuan Pengenaan PPh atas Penghasilan Bunga Obligasi

Ketentuan ini mengatur bahwa atas penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (baik orang pribadi maupun badan) dan bentuk usaha tetap, dikenai PPh yang bersifat final, dengan tarif sebesar 10% dari dasar pengenaan PPh.

Dasar pengenaan PPh ini didefinisikan untuk:
  1. bunga dari obligasi dengan kupon, adalah sebesar jumlah bruto sesuai dengan masa kepemilikan obligasi;
  2. diskonto dari obligasi dengan kupon, sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan;
  3. diskonto dari obligasi tanpa bunga, sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
Dalam hal terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan obligasi dengan kupon, diskonto negatif atau rugi tersebut dapat diperhitungkan dengan dasar pengenaan pajak penghasilan atas Bunga Obligasi berjalan untuk bunga dari obligasi dengan kupon.

Pengecualian Dari Ketentuan Pengenaan PPh Sebesar 10% Bersifat Final

Ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 10% atas penghasilan berupa bunga dari obligasi ini tidak berlaku dalam hal penerima penghasilan berupa bunga obligasi merupakan:
  1. Wajib Pajak dana pension yang pendiriannya atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan dan memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang PPh dan aturan pelaksanaannya; dan
  2. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
Khusus untuk penghasilan berupa bunga obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia, dikenai PPh berdasarkan tarif umum sesuai dengan UU PPh.

Pemotong PPh atas Bunga Obligasi

Pada Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 91 Tahun 2021 ini mengatur bahwa PPh yang bersifat final sebesar 10% atas penghasilan dari Bunga Obligasi ini wajib dipotong oleh:
  1. penerbit obligasi atau custodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo bunga obligasi dan diskonto yang diterim pemegang obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi;
  2. perusahaan efek, dealer, bank, dana pension, atau reksa dana selaku pedagang perantara dan/atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual obligasi pada saat transaksi; dan/atau
  3. kustodian atau subregistry selaku pihak yang melakukan pencatatan mutai hak kepemilikan, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual obligasi dalam hal transaksi penjualan dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara dan pembeli obligasi bukan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong sebagaimana yang dimaksud pada nomor 2 di atas.
Dalam hal bunga obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah ditatausahakan melalui Bank Indonesia Scriptless Securities Settlement System, pajak penghasilan yang bersifat final tersebut disetor sendiri oleh penerima penghasilan.

Pemohon pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 91 Tahun 2021 dan wajib pajak yang membayar
sendiri PPh final ini wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan/atau penyetoran PPh kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Ketentuan Lebih Lanjut

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas bunga obligasi ini diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. 
 
 
Dengan adanya penurunan tarif PPh atas bunga obligasi ini, membuat investasi dalam produk obligasi menjadi salah satu produk yang cukup menarik di masa Pandemi ini.

Rabu, 03 Maret 2021

Tata Cara dan Jangka Waktu untuk Investasi Agar Dividen Bebas Pajak Penghasilan

Salah satu ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 adalah dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri atau dividen yang berasal dari Luar Negeri yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan badan dalam negeri, dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Ketentuan ini sudah berlaku sejak tanggal 2 November 2020

Kriteria, tata cara dan jangka waktu untuk investasi atas penghasilan dari dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berasal dari dalam negeri ini secara detil diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 (PMK-18/2021) tanggal 17 Februari 2021.

Bentuk Investasi

Kriteria bentuk investasi yang ditentukan dalam PMK-18/2021 ini adalah:
  1. surat berharga Negara Republik Indonesia dan surat berharga syariah Negara Republik Indonesia;
  2. obligasi atau sukuk Badan Usaha Milik Negara yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  3. obligasi atau sukuk lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  4. investasi keuangan pada bank persepsi termasuk bank syariah;
  5. obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  6. investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha;
  7. investasi sector riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah;
  8. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
  9. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
  10. kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
  11. penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
  12. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan investasi untuk bentuk investasi yang disebutkan pada angka 1 sampai dengan angka 5 dan angka 12, ditempatkan pada instrument investasi di pasar keuangan:
  1. efek bersifat utang, termasuk medium term notes;
  2. sukuk;
  3. saham;
  4. unit penyertaan reksa dana;
  5. efek beragun asset;
  6. unit penyertaan dana investasi real estat;
  7. deposito;
  8. tabungan;
  9. giro;
  10. kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka di Indonesia; dan/atau
  11. instrumen investasi pasar keuangan lainnya termasuk produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, atau modal ventura, yang mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Sedangkan untuk bentuk investasi yang disebutkan pada angka 6 sampai dengan angka 11 ditempatkan pada instrumen investasi di luar pasar keuangan:
  1. investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha;
  2. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh pemerintah (meliputi sektor yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang dilakukan melalui mekanisme penyertaan modal ke dalam perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas;
  3. investasi pada properti dalam bentuk tanah dan/atau bangunan yang didirikan di atasnya (properti yang dimaksud di sini tidak termasuk properti yang mendapatkan subsidi dari pemerintah);
  4. investasi langsung pada perusahaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan melalui mekanisme penyertaan modal ke dalam perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas;
  5. investasi pada logam mulia berbentuk emas batangan atau lantakan dengan kadar kemurnian 99,99% yang diproduksi di Indonesia dan mendapatkan akreditasi dan sertifikat dari Standar Nasional Indonesia (SNI) dan/atau London Bullion Market Association (LBMA);
  6. kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
  7. penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
  8. bentuk investasi lainnya di luar pasar keuangan yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Saat dan Jangka Waktu Investasi

Investasi yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri atau badan dalam negeri yang menerima dividen yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan, paling lambat:
  1. akhir bulan ketiga, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
  2. akhir bulan keempat, untuk Wajib Pajak badan,
setelah Tahun Pajak berakhir, untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya dividen atau penghasilan lain.

Investasi ini harus dilakukan paling singkat selama 3 (tiga) Tahun Pajak terhitung sejak Tahun Pajak dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh.

Investasi yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak dapat dialihkan, kecuali ke dalam bentuk investasi sesuai yang sudah ditentukan tersebut.
(c)syafrianto.blogspot.com

Sumber gambar: iconomics

Selasa, 02 Maret 2021

Insentif PPN Ditanggung Pemerintah untuk Pembelian Rumah Siap Huni sampai dengan Rp 5 miliar

Kabar gembira buat Anda yang ingin membeli properti rumah. Satu lagi insentif perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah untuk memulihkan kegiatan ekonomi di Indonesia akibat Pandemi Covid-19 menyasar ke sektor properti.

Melalui Peraturan Pemerintah Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.010/2021 tanggal 1 Maret 2021 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021, Pemerintah memberikan insentif berupa PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun, Ditanggung oleh Pemerintah (DTP).
 
Kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah berupa PPN terutang yang ditanggung Pemerintah atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun dengan syarat bahwa penyerahan rumah tapak dan rumah susun tersebut terjadi pada saat:
  1. ditandatanganinya akta jual beli; atau
  2. diterbitkan surat keterangan lunas dari penjual,
serta dilakukan penyerahan hak secara nyata untuk menggunakan atau menguasai rumah tapak atau unit hunian rumah susun siap huni yang dibuktikan dengan berita acara serah terima.

Persyaratan Penyerahan Rumah Tapak dan Rumah Susun Yang Mendapat Fasilitas PPN DTP
  1. Merupakan rumah tapak baru dan unit hunian rumah susun baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni dengan harga jual paling tinggi Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
  2. Rumah tapak baru dan unit hunian rumah susun baruini merupakan yang pertama kali diserahkan oleh pengembang (developer) dan belum pernah dilakukan pemindahtanganan.
  3. PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) ini dimanfaatkan untuk setiap 1 orang pribadi atas perolehan 1 rumah tapak atau 1 unit hunian rumah susun.
  4. PPN DTP ini diberikan untuk penyerahan yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2021 sampai dengan Masa Pajak Agustus 2021.
  5. Rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun yang mendapatkan fasilitas PPN DTP ini tidak boleh dipindahtangankan dalam jangka waktu 1 tahun sejak penyerahan.
  6. Rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidadk mendapatkan fasilitas PPN DTP sesuai PMK ini. 

Dalam hal atas rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun yang telah dilakukan pembayaran uang muka atau cicilan kepada penjual sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dapat diberikan PPN DTP dengan ketentuan:
  1. dimulainya pembayaran uang muka atau cicilan pertama kali kepada penjual paling lama 1 Januari 2021;
  2. pemenuhan ketentuan penyerahan hak secara nyata untuk menggunakan atau menguasai rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun dilakukan dalam periode pemberian insentif PPN DTP ini (yaitu periode Maret 2021 sampai dengan Agustus 2021);
  3. PPN DTP diberikan hanya atas PPN yang terutang atas pembayaran sisa cicilan dan pelunasan yang dibayarkan selama periode pemberian PPN DTP ini,

Besarnya PPN yang Ditanggung Pemerintah atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun adalah:

  1. sebesar 100% dari PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah); dan
  2.  sebesar 50% dari PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun dengan harga jual di atas Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) sampai dengan Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Ketentuan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Rumah Tapak dan/atau Unit Hunian Rumah Susun

  1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan rumah tapak dan/atau unit hunian rumah susun ini (dalam hal ini developer) wajib membuat Faktur Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan laporan realisasi PPN DTP.
  2. Faktur Pajak yang dibuat ini harus diisi secara lengkap dan benar, termasuk identitas pembeli berupa nama pembeli dan NPWP atau Nomor Induk Kependudukan (NIK).
  3. Faktur Pajak harus diberikan keterangan "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 21/PMK.010/2021"

Tunggu apa lagi, segeralah manfaatkan fasilitas pajak ini untuk mendapatkan rumah yang Anda idamkan. (c)syafrianto.blogspot.com 



Senin, 01 Februari 2021

Penegasan atas Perlakuan PPN dan PPh atas Penyerahan Pulsa, Kartu Perdana, Token Listrik dan Voucher

Beberapa hari terakhir masyarakat dan pelaku ekonomi di Indonesia dihebohkan dengan adanya informasi yang beredar mengenai adanya aturan pajak baru terhadap transaksi penjualan pulsa telepon, kartu perdana telepon seluler dan token listrik. Informasi yang beredar ini menyebutkan bahwa transaksi penjualan pulsa telepon, kartu perdana telepon seluler dan token listrik akan dikenakan PPN dan PPh sehingga akan menjadikan harga jualnya menjadi lebih tinggi. Informasi ini beredar sebagai akibat dari diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 (PMK-06/2021) tanggal 22 Januari 2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.

Sebenarnya informasi yang beredar tentang adanya pengenaan pajak baru atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer adalah keliru. Apabila dicermati isi dari PMK-06/2021 ini, maka sebenarnya ketentuan pengenaan PPN dan PPh atas transaksi penyerahan atau penghasilan sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer ini untuk lebih mempertegas bagaimana mekanisme pengenaan kedua jenis pajak di pada praktiknya di lapangan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pulsa dan token yang dijual selama ini merupakan pulsa yang terkait dengan jasa telekomunikasi yang disediakan oleh provider serta penjualan listrik dimana merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak. Dengan demikian, maka selama ini pengenaan PPN dan PPh atas transaksi penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer sering menimbulkan sengketa di lapangan serta terkesan terjadi pengenaan pajak yang berganda atas transaksi ini.

Menghindari hal tersebut, maka PMK-06/2021 memberikan penegasan mengenai bagaimana perlakuan pengenaan PPN dan PPh atas transaksi penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Pada intinya aturan yang diatur dalam PMK-06/2021 dapat diringkaskan sebagai berikut.

KETENTUAN PPN

1. Pulsa/Kartu Perdana

Pemungutan PPN atas pulsa dan kartu perdana hanya dilakukan mulai dari operator telekomunikasi sampai dengan distributor tingkat II (server) saja. Sehingga rantai distribusi berikutnya, seperti dari transaksi penjualan pulsa/kartu perdana dari distributor selanjutnya (tingkat III dan seterusnya) atau pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi.

Ketentuan sebelumnya mengharuskan pemungutan PPN atas penyerahan pulsa dan kartu perdana ini dilakukan dalam setiap tingkat distribusi sampai dengan pengecer. Dengan demikian maka di aturan baru ini telah menyederhanakan pemungutan PPN hanya sampai distributor tingkat II (server) saja.

2. Token Listrik

Pemungutan PPN atas penjualan token listrik hanya dikenakan atas jasa penjualan/pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, dan bukan atas nilai token listriknya.

3. Voucher

Pemungutan PPN atas penjualan voucher dikenakan atas jasa penjualan atau jasa pemasaran voucher berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucher, dan bukan atas nilai voucher itu sendiri, karena voucher diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang tidak terutang PPN.

KETENTUAN PPh

Pemungutan PPh Pasal 22 untuk pembelian pulsa/kartu perdana oleh distributor, dan PPh Pasal 23 untuk jasa pemasaran/penjualan token listrik dan voucher, merupakan pajak yang dipotong dimuka dan tidak bersifat final, sehingga dapat dikreditkan oleh distributor pulsa/agen penjual token dan voucher dalam SPT Tahunan.

Jumat, 01 Mei 2020

Perluasan Sektor Usaha Penerima Fasilitas Pajak Dalam Menghadapi Dampak Covid-19

Dengan perkembangan penyebaran Virus Corona (Covid-19) yang semakin meluas dan semakin mempengaruhi berbagai sektor ekonomi, maka Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah mengeluarkan kebijakan tambahan dengan menambah jumlah sektor usaha yang dapat menerima fasilitas pajak dalam rangka mengurani beban ekonomi Wajib Pajak akibat wabah Covid-19.

Selain menambah jumlah sektor usaha penerima fasilitas pajak yang sebelumnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020, dalam ketentuan baru yang dikeluarkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tanggal 27 April 2020 ini juga memberikan fasilitas baru yang ditujukan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Secara ringkas fasilitas dan insentif pajak yang diberikan adalah sebagai berikut.

1. Insentif PPh Pasal 21

Insentif PPh Pasal 21 ini diberikan untuk karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1.062 bidang usaha tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf A Peraturan ini (pada peraturan sebelumnya fasilitas ini hanya diberikan kepada 440 bidang industri tertentu dan perusahaan KITE), pada perusahaan yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), atau pada perusahaan di kawasan berikat. Fasilitas yang diperoleh adalah berupa fasilitas PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah dengan kriteria karyawan yang memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200 juta.

2. Insentif PPh Pasal 22 Impor

Insentif ini diberikan untuk Wajib Pajak yang bergerak di salah satu dari 431 bidang industri tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf I Peraturan ini (pada peraturan sebelumnya fasilitas ini hanya diberikan kepada 102 bidang industri tertentu dan perusahaan KITE), atau pada perusahaan KITE, atau pada perusahaan di kawasan berikat. Fasilitas yang diperoleh adalah berupa fasilitas pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor.

3. Insentif Angsuran PPh Pasal 25

Wajib Pajak yang bergerak di salah satu dari 846 bidang industri tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf N Peraturan ini (pada peraturan sebelumnya fasilitas ini hanya diberikan kepada 102 bidang industri tertentu dan perusahaan KITE), atau pada perusahaan KITE, atau pada perusahaan di kawasan berikat, mendapatkan fasilitas insentif angsuran PPh Pasal 25. Fasilitas yang diperoleh adalah berupa fasilitas pengurangan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebesar 30% dari angsuran yangn seharusnya terutang.

4. Insentif PPN

Insentif ini diberikan untuk Wajib Pajak yang bergerak di salah satu dari 431 bidang industri tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran huruf I Peraturan ini (pada peraturan sebelumnya fasilitas ini hanya diberikan kepada 102 bidang industri tertentu dan perusahaan KITE), atau pada perusahaan KITE, atau pada perusahaan di kawasan berikat. Fasilitas yang diperoleh adalah berupa fasilitas restitusi PPN dipercepat hingga jumlah lebih bayar paling banyak Rp 5 miliar bagi PKP berisiko rendah, tanpa persyaratan melakukan kegiatan tertentu seperti melakukan ekspor barang atau jasa kena pajak, penyerahan kepada pemungut PPN atau penyerahan yang tidak dipungut PPN.

5. Insentif Pajak UMKM

Pelaku UMKM mendapatkan fasilitas pajak penghasilan final tarif 0,5% sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 yang ditanggung pemerintah (DTP). Dengan demikian WP UMKM tidak perlu melakukan setoran pajak dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak dilakukan oleh pemotong/pemungut pajak. Fasilitas ini diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan September 2020 dengan terlebih dahulu WP UMKM mendapatkan Surat Keterangan PP 23 serta wajib membuat laporan realisasi PPh Final DTP setiap masa pajak.

Seluruh fasilitas pajak ini diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan September 2020.
(c) https://syafrianto.blogspot.com

Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020
- Siaran Pers Nomor 19/2020

Artikel Terkait:
Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona

Sabtu, 21 September 2019

Peraturan Pelaksana atas Fasilitas Pengurangan Pajak PP Nomor 45 Tahun 2019 Terkait Pembinaan dan Pengembangan SDM

Pemerintah telah menerbitkan regulasi untuk memberikan insentif dan fasilitas bagi Wajib Pajak untuk memperoleh pengurangan pajak melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 (baca artikelnya di sini). Sebagai tindak lanjutnya, untuk mengatur mengenai teknis pemberian fasilitas pengurangan pajak tersebut, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.010/2019 tanggal 6 September 2019. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.010/2019 ini mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 9 September 2019 diterbitkan khusus untuk mengatur pemberian fasilitas bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang mengeluarkan biaya untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu.

Fasilitas yang dapat diberikan kepada Wajib Pajak berupa pengurangan penghasilan bruto paling tinggi sebesar 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran. Pengurangan ini meliputi:
  1. Pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran; dan
  2. Tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran sebagaimana dimaksud pada nomor 1 di atas.
Syarat untuk memperoleh tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran sebagaimana dimaksud pada nomor 2 di atas, Wajib Pajak badan harus memenuhi ketentuan:
  1. telah melakukan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu;
  2. memiliki Perjanjian Kerja Sama;
  3. tidak dalam keadaan rugi fiskal pada Tahun Pajak pemanfaatan tambahan pengurangan penghasilan bruto; dan
  4. telah menyampaikan Surat Keterangan Fiskal.
Kompetensi tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1 ini merupakan kompetensi yang diajarkan pada:
  1. sekolah menengah kejuruan dan/atau madrasah aliyah kejuruan untuk siswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan;
  2. perguruan tinggi program diploma pada program vokasi untuk mahasiswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan; dan/atau
  3. balai latihan kerja untuk perorangan serta peserta latih, instruktur, dan/atau tenaga kepelatihan.
Daftar Kompetensi tertentu ini dapat dilihat di Lampiran A Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.010/2019.

Kegiatan Praktik Kerja dan/atau Pemagangan

Kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan yang dimaksud dalam Peraturan ini (Pasal 2 ayat (1)) merupakan kegiatan yang diikuti oleh:
  1. siswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan di sekolah menengah kejuruan atau madrasah aliyah kejuruan;
  2. mahasiswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan di perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi;
  3. peserta latih, instruktur, dan/atau tenaga kepelatihan di balai latihan kerja; dan/atau
  4. perorangan yang tidak terikat hubungan kerja dengan pihak manapun yang dikoordinasikan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan Pusat, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota,
yang dilakukan Wajib Pajak di tempat usaha Wajib Pajak, sebagai bagian dari kurikulum pendidikan kejuruan atau vokasi dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian di bidang tertentu.

Kegiatan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan ini merupakan kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh pihak yang ditugaskan oleh Wajib Pajak untuk mengajar di sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, dan/atau balai latihan kerja. Biaya untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang mendapatkan tambahan pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, meliputi biaya:
  1. penyediaan fasilitas fisik khusus berupa tempat pelatihan dan biaya penunjang fasilitas fisik khusus meliputi listrik, air, bahan bakar, biaya pemeliharaan, dan biaya terkait lainnya untuk keperluan pelaksanaan praktik kerja dan/atau kegiatan pemagangan. Dalam hal biaya penyediaan fasilitas fisik khusus berupa tempat pelatihan ini merupakan barang berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan tidak digunakan penuh selama satu Tahun Pajak untuk kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), tambahan pengurangan penghasilan bruto dibebankan secara proporsional berdasarkan waktu pemanfaatan dalam satu Tahun Pajak. Dalam hal biaya penyediaan fasilitas fisik khusus berupa tempat pelatihan merupakan biaya listrik, air, dan bahan bakar ini tidak dapat dipisahkan antara biaya untuk tujuan produksi komersial dan biaya terkait pelaksanaan praktik kerja dan/atau pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PMK ini, tambahan pengurangan penghasilan bruto dibebankan secara proporsional berdasarkan pemanfaatan yang terkait dengan kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan;
  2. instruktur atau pengajar sebagai tenaga pembimbing praktik kerja, pemagangan, dan/atau kegiatan pembelajaran;
  3. barang dan/atau bahan untuk keperluan pelaksanaan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran;
  4. honorarium atau pembayaran sejenis yang diberikan kepada siswa, mahasiswa, peserta latih, perorangan yang tidak terikat hubungan kerja pihak manapun, pendidik/pelatih, tenaga kependidikan/kepelatihan, dan/atau instruktur yang merupakan peserta praktik kerja dan/atau pemagangan. Untuk biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d yang diberikan kepada peserta praktik kerja dan/atau pemagangan yang mempunyai hubungan:
        1.     keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
        2.     usaha, dan/atau
        3.     kepemilikan atau penguasaan,
    dengan pemilik, komisaris, direksi, dan/atau pengurus dari Wajib Pajak,tidak dapat diberikan tambahan pengurangan penghasilan bruto; dan/atau
  5. Biaya sertifikasi kompetensi bagi siswa, mahasiswa, peserta latih, perorangan yang tidak terikat hubungan kerja pihak manapun, pendidik/pelatih, tenaga kependidikan/kepelatihan, dan/atau instruktur yang merupakan peserta praktik kerja dan/atau pemagangan oleh lembaga yang memiliki kewenangan melakukan sertifikasi kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan.
Tata Cara Pengajuan Untuk Mendapatkan Fasilitas Pengurangan Pajak

Untuk mendapatkan tambahan pengurangan penghasilan bruto ini, Wajib Pajak melakukan penyampaian pemberitahuan melalui sistem OSS dengan melampirkan:
  1. Perjanjian Kerja Sama; dan
  2. Surat Keterangan Fiskal yang masih berlaku.
Pemberitahuan ini dilakukan paling lambat sebelum dilakukannya kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tertentu dimulai.

Rabu, 10 Juli 2019

Fasilitas Pengurangan Pajak Besar-Besaran

Sebagaimana fokus pembangunan yang sedang dilakukan Pemerintah saat ini yaitu dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan guna mendorong investasi pada industri padat karya, mendukung program penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja Indonesia, mendorong keterlibatan dunia usaha dan dunia industri dalam penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, dan meningkatkan daya saing, serta mendorong peran dunia usaha dan dunia industri dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia, maka Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan memberikan insentif besar-besaran (super tax deduction) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tanggal 25 Juni 2019 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Selama ini dalam Undang-Undang PPh telah diberikan fasilitas perpajakan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah dalam bentuk:
  1. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
  2. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
  3. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
  4. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud Pasal 26 UU PPh sebesar 10%, kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
Selama ini, bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh fasilitas perpajakan sesuai ketentuan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, maka diberikan fasilitas pengurangan pajak yang diatur dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010.

Dan saat ini, Pemerintah yang berkomitmen untuk mendukung dunia usaha dan menciptakan lapangan kerja serta sumber daya manusia yang berkualitas melalui diterbitkannya PP Nomor 45 Tahun 2019 ini. PP Nomor 45 Tahun 2019 yang berlaku mulai tanggal diundangkan (diundangkan tanggal 26 Juni 2019) menambahkan beberapa insentif pengurangan pajak yang disisipkan di Pasal 29A, 29B dan 29C ini adalah berupa:
  1. Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Industri pionir ini adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, member nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
  2. Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang: merupakan industri padat karya; dan tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 atau Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019; dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha utama, yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
  3. Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran. Kompetensi tertentu ini adalah merupakan kompetensi untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui program praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran yang strategis untuk mencapai efektivitas dan efisiensi tenaga kerja sebagai bahan dari investasi sumber daya manusia, dan memenuhi struktur kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan/atau dunia industri.
  4. Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu yang dimaksud ini adalah merupakan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia untuk menghasilkan invensi, menghasilkan inovasi, penguasaan teknologi baru, dan/atau alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional.
Untuk jenis industri pioneer sebagaimana diatur dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut (sumber gambar dari ortax):


Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sebelumnya Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pemberian fasilitas sesuai ketentuan Pasal 29 PP Nomor 94 Tahun 2010 diatur terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.010/2018.

Update:
Peraturan Menteri Keuangan sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 94 Tahun 2010 yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.010/2019.

Jumat, 11 Januari 2019

Ketentuan Pajak untuk Usaha e-Commerce

Tax Learning - 11 Januari 2018
Setelah sekian lama disusun, akhirnya Pemerintah mengeluarkan ketentuan perpajakan bagi kegiatan perdagangan secara elektronik atau yang dikenal sebagai e-commerce. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce). Dengan diterbitkannya ketentuan perpajakan atas kegiatan perdagangan secara e-commerce ini, maka diharapkan akan memberikan kepastian bagi para pelaku industri e-commerce serta menjaga perlakuan yang setara antara perdagangan secara e-commerce dengan perdagangan konvensional.

Istilah dan Definisi

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 ini digunakan beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut.
  1. Wadah Elektronik (Platform) adalah wadah berupa aplikasi, situs web, dan/atau layanan konten lainnya berbasis internet yang digunakan untuk transaksi dan/atau fasilitasi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce).
  2. Pasar Elektronik (Marketplace) adalah sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi yang ditujukan untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan secara elektronik.
  3. Penyedia Wadah Pasar Elektronik (Penyedia Platform Marketplace) adalah pihak baik orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha Tetap yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan atau memiliki kegiatan usaha di dalam Daerah Pabean (wilayah Republik Indonesia yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan) yang menyediakan platform berupa Marketplace, termasuk Over the Top di bidang transportasi di dalam Daerah Pabean sebagai sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik di mana pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang dan jasa kepada calon pembeli. Contoh penyedia platform marketplace yang dikenal di Indonesia antara lain adalah Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia serta perusahaan pelaku over-the-top di bidang transportasi.
  4. Pedagang adalah orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha Tetap yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan atau memiliki kegiatan usaha di dalam Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pembeli dan menggunakan fasilitas Platform yang disediakan oleh Penyedia Platform Marketplace.
  5. Penyedia Jasa adalah orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha Tetap yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan atau memiliki kegiatan usaha di dalam Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan penerima jasa dengan menggunakan fasilitas Platform yang disediakan oleh Penyedia Platform Marketplace.
  6. Nilai Transaksi E-Commerce adalah nilai transaksi pembayaran yang dilakukan oleh Pembeli tidak termasuk ongkos kirim, biaya langganan, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Ketentuan Perpajakan Transaksi e-Commerce

Secara garis besar, ketentuan perpajakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 ini adalah sebagai berikut.

Ketentuan Bagi Pedagang dan Penyedia Jasa
  1. Memberitahukan NPWP kepada pihak penyedia platform marketplace;
  2. Apabila belum memiliki NPWP, Pedagang dan Penyedia Jasa dapat memilih untuk (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP serta memberikan NPWP ini kepada pihak penyedia platform marketplace, atau (2) memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace;
  3. Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet apabila omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun atau membayar dan melaporkan pajak atas penghasilan berdasarkan ketentuan PPh Pasal 17, PPh Pasal 25/PPh Pasal 29 apabila omzet telah melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, serta
  4. Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.
Ketentuan Bagi Penyedia Platform Marketplace
  1. Memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP;
  2. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa;
  3. Memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, serta
  4. Melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang penggunakan platform.
Ketentuan Bagi e-Commerce di Luar Platform Marketplace

Pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

Saat Berlakunya Ketentuan Ini

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.010/2018 ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2019.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.010/2018 telah ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu 29 Maret 2019. Pencabutan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.010/2019 tanggal 29 Maret 2019.

Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.010/2019

Jumat, 23 November 2018

DJP Permudah Administrasi Penerapan Tax Treaty

Dalam rangka mempermudah dan mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak atas penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau biasanya lebih dikenal dengan Tax Treaty, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tanggal 21 November 2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Ketentuan yang mulai berlaku 1 Januari 2018 ini menyederhanakan administrasi terkait dengan penerapan P3B ini antara lain yaitu:
  1. Menyederhanakan bentuk formulir Surat Keterangan Domisili WP Luar Negeri (Form DGT) yang semula terdiri dari 2 jenis formulir masing-masing sebanyak 3 halaman dan 2 halaman, diubah menjadi hanya 1 jenis formulir saja yang terdiri dari 2 halaman;
  2. Menyederhana penyampaian Form DGT dari semula harus disampaikan setiap bulan dalam SPT Masa setiap Pemotong/Pemungut Pajak menjadi hanya satu kali dalam periode yang dicakup dalam Form DGT oleh Pemotong/Pemungut Pajak yang pertama kali menyampaikan Form DGT;
  3. Meningkatkan pelayanan dengan menyediakan saluran penyampaian Form DGT yang semula harus secara manual melalui salinan yang dilegalisasi menjadi dapat disampaikan secara elektronik; dan
  4. Periode masa dan tahun pajak pada Form DGT paling lama 12 bulan dan dimungkinkan melewati tahun kalender (misalnya Agustus 2018 - Juli 2019).

Minggu, 09 September 2018

Peraturan Pelaksana dari Ketentuan Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu yang Dikenakan PPh 0,5%

Untuk mengatur teknis pelaksanaan dan tata cara terkait dengan ketentuan mengenai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu yang dikenakan PPh Final sebesar 0,5% (dimana sebelumnya dikenakan sebesar 1%) sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangann Nomor 99/PMK.03/2018 tanggal 24 Agustus 2018 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Selain mengatur megenai kriteria dan ketentuan bagi Wajib Pajak yang diatur dalam ketentuan ini sebagaimana telah diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2018, Peraturan Menteri Keuangan ini secara rinci mengatur juga mengenai tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018, tata cara pengajuan surat permohonan dan penerbitan surat keterarangan sebagai Wajib Pajak yang dikenakan PPh sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018, tata cara mengenai angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan, serta ketentuan peralihannya.

Download:
Peraturan Menteri Keuangann Nomor 99/PMK.03/2018

Kebijakan Pemerintah Menaikan Tarif PPh Pasal 22 Impor

Akibat kondisi ekonomi global dalam beberapa hari terakhir terhadap perekonomian di Indonesia terutama terhadap neraca transaksi berjalan (current account) dan mata uang Rupiah dimana posisi nilai mata uang Rupiah yang semakin tertekan akibat menguatnya nilai mata uang Dollar Amerika Serikat. Kurs Dollar Amerika Serikat sempat menguat terhadap Rupiah hingga Rp 14.927, berdasarkan kurs tengah BI, pada tanggal 5 September 2018. Nilai ini merupakan nilai terendah sejak tahun 1998. Penguatan mata uang Dollar Amerika Serikat ini dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Salah satu faktor internal yang menyebabkan melemahnya mata uang Rupiah adalah defisit neraca transaksi berjalan Indonesia, dimana transaksi impor lebih besar daripada transaksi ekspor.

Pada semester I tahun 2018, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia mencapai USD13,5 miliar (2,6% terhadap PDB). Salah satu penyebab defisit transaksi berjalan adalah pertumbuhan impor (24,5% year to date Juli 2018) yang jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspor (11,4% year to date Juli 2018). Akibat kondisi ini maka Pemerintah memandang perlu untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan untuk menjaga fundamental ekonomi Indonesia.

Pemerintah telah mengupayakan berbagai cara dalam rangka mencegah penguatan mata uang Dollar Amerika Serikat ini, antara lain dengan cara melakukan tinjauan terhadap proyek-proyek infrastruktur Pemerintah khususnya proyek strategi nasional, implementasi penggunaan Biodiesel (B-20) untuk mengurangi impor bahan bakar solar, serta melakukan tinjauan kebijakan Pajak Penghasilan terhadap barang konsumsi impor untuk mendorong penggunaan produk domestik.

Langkah pengendalian dengan meninjau kebijakan Pajak Penghasilan atas barang konsumsi yang diimpor ini dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018 tanggal 5 September 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, sebagai revisi atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018 ini melakukan penyesuaian tarif PPh Pasal 22 terhadap 1.147 pos tarif dengan rincian sebagai berikut:
  1. 210 item komoditas, tarif PPh 22 naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Termasuk dalam kategori ini adalah barang mewah seperti mobil CBU, dan motor besar.
  2. 218 item komoditas, tarif PPh 22 naik dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Termasuk dalam kategori ini adalah seluruh barang konsumsi yang sebagian besar telah dapat diproduksi di dalam negeri seperti barang elektronik (dispenser air, pendingin ruangan, lampu), keperluan sehari hari seperti sabun, sampo, kosmetik, serta peralatan masak/dapur.
  3. 719 item komoditas, tarif PPh 22 naik dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. Termasuk dalam kategori ini seluruh barang yang digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan lainnya. Contohnya bahan bangunan (keramik), ban, peralatan elektronik audio-visual (kabel, box speaker), produk tekstil (overcoat, polo shirt, swim wear).
Rincian detail komoditas beserta tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan dapat dilihat pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018.

Ketentuan penyesuaian tarif PPh Pasal 22 Impor berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018 yang diundangkan pada tanggal 6 September 2018 mulai berlaku setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Download:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018

Jumat, 03 Agustus 2018

Penetapan Pemotong Yang Wajib Buat eBukti Potong PPh Pasal 23/26

Mulai Masa Pajak Juli 2018, Direktur Jenderal Pajak telah menunjuk 153 Wajib Pajak Pemotong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang terdaftar di 12 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 dan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 harus secara elektronik dalam bentuk eBukti Potong sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2017. Penunjukkan ini ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-178/PJ/2018 tanggal 26 Juni 2018.

Apabila Wajib Pajak sebagai Pemotong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang telah ditunjuk ini berpindah lokasi KPP, maka ketentuan membuat eBukti Potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2017 tetap berlaku.

Pemotong Pajak yang diwajibkan untuk membuat eBukti Potong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 ini dapat ditambah lagi melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang terpisah dari keputusan ini.

Jadi bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang termasuk ke 153 Pemotong PPh yang ditunjuk ini atau termasuk lawan transaksi yang bertransaksi dan mendapatkan Bukti Pemotongan PPh dari ke-153 Wajib Pajak yang ditunjuk melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-178/PJ/2018 ini, dapat melihat daftar ke-153 Wajib Pajak ini adalah sebagai berikut:
PT Circleka Indonesia Utama
PT Eka Bogainti
PT Fastrata Buana
PT Joenoes Ikamulya
PT Monde Mahkota Biskuit
PT Mora Telematika Indonesia
PT Sinarmas Distribusi Nusantara
PT Total Chemindo Loka
PT Wahyu Abadi
PT Citrausaha Lamindo
PT Dipa Pharmalab Intersains
PT Mustika Citra Rasa
PT Prima Komponen Indonesia
PT Sadikun Niagamas Raya
PT Sinemart Indonesia
PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir
PT Torabika Eka Semesta
PT Ultra Prima Abadi
PT Warna Mardhika
PT Cipta Prima Auto Raya
PT Esajaya Serasi
PT Focus Distribusi Nusantara
PT Lion Super Indo
PT Puninar Jaya
PT Rekso Nasional Food
PT Elnusa, Tbk.
PT Pertamina Patra Niaga
PT Pertamina Trans Kontinental
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk
PT Pupuk Indonesia (Persero)
PT Semen Indonesia (Persero) Tbk
PT Aventis Pharma
PT Johnson & Johnson Indonesia
PT Lion Wings
PT Pabrik Cat dan Tinta Pacific
PT Petrojaya Boral Plasterboard
PT Pfizer Indonesia
PT Pharos Indonesia
PT Reckitt Benckiser Indonesia
PT Rohto Laboratories Indonesia
BUT APL Co, Pte, Ltd
PT Adi Sarana Armada, Tbk
PT Akasha Wira International, Tbk
PT Astra Otoparts, Tbk
PT Indo-Rama Synthetics, Tbk
PT Inti Bangun Sejahtera, Tbk
PT Mitra Pinasthika Mustika, Tbk
PT Nomura Sekuritas Indonesia
PT Summarecon Agung, Tbk
PT Tigaraksa Satria, Tbk
PT Akebono Brake Astra Indonesia
PT Citas Otis Elevator
PT FMC Santana Petroleum Equipment Indonesia
PT Grundfos Pompa
PT Honda Power Products Indonesia
PT Jakarta Central Asia Steel
PT Komponen Futaba Nusapersada
PT Steel Center Indonesia
PT Castrol Indonesia
PT Komatsu Marketing and Support Indonesia
PT Multi Bintang Indonesia Niaga
PT Nexwave
PT Tech Data Advanced Solutions Indonesia
PT Total Oil Indonesia
PT Tupperware Indonesia
PT Yamaha Musik Indonesia (Distributor)
PT ABC President Indonesia
PT Amerta Indah Otsuka
PT Cargill Indonesia
PT Coca Cola Indonesia
PT Indokuat Sukses Makmur
PT Kahoindah Citragarment
PT Mars Symbioscience Indonesia
PT Sinar Meadow International Indonesia
PT Sioen Indonesia
PT Yakult Indonesia Persada
PT Aetra Air Jakarta
PT Artisan Wahyu
PT DFDS Transport Indonesia
PT G4S Cash Services
PT Indonesia Airasia
PT Jones Lang Lasalle
PT Sankyu Indonesia International
PT Schenker Petrolog Utama
PT YCH Indonesia
PT Epiroc Southern Asia
PT Honda Trading Indonesia
PT Kisco Indonesia
PT Makmur Sejahtera Wisesa
PT Manggala Gelora Perkasa
PT Pacific Place Jakarta
PT Senayan Trikarya Sempana
PT Unza Vitalis
PT Wisma Nusantara International
Koperasi Telkomsel
PT Barclay Product
PT Citra Lintas Indonesia
PT Finnet Indonesia
PT Herbalife Indonesia
PT Mitra Integrasi Informatika
PT Orindo Alam Ayu
PT Tempo
PT Tempo Promosi
PT CSM Corporatama
PT Cursor Media
PT Datascrip
PT Dentsu Inter Admark Media Group Indonesia
PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh
PT Gramedia Pustaka Utama
PT Interbat
PT Teletama Artha Mandiri
PT United Chemicals Inter Aneka
PT Air Drilling
PT Apexindo Pratama Duta Tbk
PT Baker Hughes Indonesia
PT Dowell Anadrill Schlumberger
PT Exspan Petrogas Intranusa
PT Medco Energi International, Tbk
PT Adaro Energy, Tbk
PT Bayan Resources, Tbk
PT Bharinto Ekatama
PT DNX Indonesia
PT Indo Tambangraya Megah, Tbk
PT Indominco Mandiri
PT Jorong Barutama Greston
PT Kaltim Prima Coal
PT Kitadin
PT Mandiri Intiperkasa
PT Marunda Graha Mineral
PT Saptaindra Sejati
PT Trubaindo Coal Mining
PT Chandra Asri Petrochemical, Tbk
PT Ericsson Indonesia
PT Hutchison 3 Indonesia
PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk
PT Jakarta Cakratunggal Steel Mills
PT Pindo Deli Pulp and Papermills
PT Smart Telecom
Lembaga Kantor Berita Nasional Antara
Perum Perikanan Indonesia
PT Asuransi Jiwasraya
PT Jasa Marga
PT Multimedia Nusantara
PT Pegadaian (Persero)
PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk
PT Permodalan Nasional Madani (Persero)
PT Pins Indonesia
PT Pos Indonesia (Persero)
PT Wijaya Karya Bangunan Gedung, Tbk
PT Wijaya Karya Beton, Tbk
PT Bank Syariah Mandiri
PT Cipta Mortar Utama
PT Bhinneka Mentaridimensi

Minggu, 24 Juni 2018

Mulai Juli 2018 Tarif PPh Final UMKM Turun Jadi 0,5%

Sebagaimana informasi yang sudah beredar bahwa tarif PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang bersifat final (yang selama ini diatur dengan PP Nomor 46 Tahun 2013) akan diturunkan dari tarif sebelumnya yaitu sebesar 1% menjadi 0,5%. Informasi ini menyebabkan banyak Wajib Pajak yang penasaran apakah aturannya sudah ada ataukah kapan ketentuan baru ini akan diberlakukan.

Pada hari Jumat, 22 Juni 2018, resmilah ketentuan mengenai penurunan tarif PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu ini diumumkan. Adalah Presiden Joko Widodo sendiri yang merilis ketentuan baru tentang penurunan tarif PPh bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang biasanya dikenal juga sebagai PPh bagi UMKM. Secara resmi Presiden Joko Widodo meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu di JX International (Jatim Expo), Surabaya.

PP Nomor 23 Tahun 2018 (yang ditandatangani tanggal 8 Juni 2018) sebagai aturan yang mengubah PP Nomor 46 Tahun 2013 mengenai PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu, secara garis besar mengatur beberapa hal, yaitu:

Subjek Pajak
  1. Wajib Pajak orang pribadi; dan 
  2. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma atau perseroan terbatas,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Batasan besarnya peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000 dalam 1 Tahun Pajak ini adalah merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terkahir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami isteri yang menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau isterinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan sendiri, maka besarnya peredaran bruto yang dimaksud ini ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan isteri.

Subjek Pajak Yang Dikecualikan
  1. Wajib Pajak memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif umum/non final (yaitu sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU PPh);
  2. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 23 Tahun 2018 ini;
  3. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas PPh berdasarkan ketentuan Pasal 31A UU PPh (mendapatkan fasilitas tax holiday) atau PP Nomor 94 Tahun 2010; dan
  4. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Wajib Pajak yang dikecualikan untuk menggunakan tarif 0,5% sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak. Sehingga untuk Tahun Pajak - Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai PPh tarfi 0,5% sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini.

Jangka Waktu Penerapan Tarif Sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018

Jangka waktu tertentu pengenaan PPh yang bersifat final sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini paling lama adalah:
  1. 7 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  2. 4 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
  3. 3 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Jangka waktu ini adalah terhitung sejak:
  1. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar sejak berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018 ini, atau
  2. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018 ini.

Tarif PPh

Tarif PPh Final untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu adalah sebesar 0,5% dari peredaran bruto atas penghasilan dari usaha setiap bulannya yang merupakan dasar pengenaan pajak.

Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak ini adlaah merupakan imbalan atau nilai penggantian berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
Bersambung ke Artikel berikutnya.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Download:
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018