Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.
KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.
Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.
Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.
Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.
Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.
sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.
mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013
Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.
Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.
Selama ini kode billing untuk pembayaran kurang bayar pajak yang tercantum pada Surat Pemberitahuan (SPT) baik SPT Masa maupun SPT Tahunan yang dibuat melalui sistem Coretax, terbuat (create) secara otomatis setelah draft SPT yang bersangkutan dibuat. Kode billing untuk pembayaran kurang bayar yang tercantum pada draft SPT ini akan dibuat secara otomatis oleh sistem Coretax DJP saat SPT sudah selesai dibuat dan disimpan, kemudian klik tombol Bayar dan Lapor serta penandatanganan secara elektronik (memasukkan kode passphrase). Kode billing yang sudah terbuat secara otomatis ini akan berlaku selama 7 hari untuk dilakukan penyetoran pajaknya. Apabila lewat 7 hari, maka kode billing tersebut akan hangus dan tidak dapat disetorkan. Untuk dapat melakukan penyetoran lagi, maka Wajib Pajak harus membuat kode billing baru melalui langkah seperti di awal yaitu klik Tombol Bayar dan Lapor pada SPT kemudian menandatangani secara elektronik lagi.
Kendala yang dihadapi Wajib Pajak selama ini adalah apabila terjadi kesalahan dalam mengisi SPT, namun kode billing sudah terbuat, Wajib Pajak tidak dapat memperbaiki SPT hingga menunggu kode billing tersebut hangus setelah 7 hari. Hal ini akan menyulitkan apabila konsep (draft) SPT Masa yang dibuat tersebut ternyata salah dan akan dibetulkan padahal jatuh tempo pembayaran atau pelaporan pajak adalah kurang dari 7 hari, karena Wajib Pajak harus menunggu hingga kode billing tersebut hangus setelah 7 hari.
Kabar gembira buat Pembaca Setia Tax Learning, bahwa saat ini Pengembang Sistem Coretax DJP telah membuat fitur baru yaitu dapat membatalkan kode billing yang telah dibuat secara otomatis saat pembuatan SPT, tanpa harus menunggu masa aktif kode billing tersebut berakhir (hangus), 7 hari sejak tanggal terbuatnya kode billing tersebut.
Fitur baru, Pembatalan Kode Billing SPT ini berfunsi untuk:
Membatalkan Kode Billing yang terbit dari SPT (baik SPT Masa maupun SPT Tahunan).
Mengubah status SPT dari MENUNGGU PEMBAYARAN ➡ KONSEP.
Langsung memperbaiki isi SPT saat itu juga.
Cara Pembatalan Kode Billing SPT
Berikut disajikan langkah-langkah untuk melakukan pembatalan kode billing SPT yang telah terbuat secara otomatis saat menandatangani SPT secara elektronik.
Fitur ini disediakan dengan tujuan utama melakukan perbaikan atas SPT sebelum masa aktif Kode Billing berakhir, misalnya salah perhitungan sehingga nilai kurang bayar yang tertera pada Kode Billing salah.
Selain Kode Billing SPT, apabila ada kesalahan angka atau masa atau data lainnya, tidak perlu dibatalkan, cukup membuat kembali Kode Billing baru sebagaimana poin-poin di atas.
Pajak Minimum Global atau Minimum Global Tax (GMT) adalah kebijakan perpajakan internasional yang merupakan inisiatif internasional yang melibatkan lebih dari 140 negara di bawah Kerangka Kerja Inklusif OECD/G20 tentang Erosi Basis Pajak dan Pengalihan Keuntungan (OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)). GMT ini diimplementasikan melalui the Global Anti-Base Erosion (GloBE) Model Rules, yang juga dikenal sebagai Pillar Two (Pilar Dua). Pajak Minimum Global merupakan kebijakan perpajakan internasional yang mengatur bahwa setiap Grup Perusahaan Multi Nasional (PMN) dengan peredaran bruto konsolidasi minimum 750 juta Euro harus membayar pajak minimum sebesar 15% di setiap negara/yurisdiksi tempat mereka beroperasi.
Potensi Pajak Minimum Global berupa top-up tax yang dihitung dengan mekanisme Income Inclusion Rules (IIR), Undertaxed Payment Rules (UTPR), dan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT).
Indonesia menerapkan kebijakan Pajak Minimum Global melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tanggal 31 Desember 2024 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Namun hingga saat ini masih belum ada aturan turunan mengenai detail tata cara administrasi penerapan pajak minimum global ini.
Berdasarkan pemaparan Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR RI dengan Direktur Jenderal Pajak pada hari ini (24/11/2025) di DPR sejak pukul 11.15 WIB, sebagaimana yang disiarkan secara langsung dalam akun Youtube TVR Parlemen milik Sekretariat DPR, Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) menjelaskan bahwa saat ini sedang dirancang Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Administrasi Pajak Minimum Global. Untuk tahun pertama penerapan Pajak Minimum Global yaitu untuk Tahun Pajak 2025, pembayaran top-up tax dibayarkan paling lambat tanggal 31 Desember 2026.
Berdasarkan timeline implementasi di Indonesia, Dirjen Pajak memaparkan bahwa:
Tahun 2024: diterbitkan PMK Nomor 136 Tahun 2024 tentang Penerapan Pajak Minimum Global,
Tahun 2025: mulai berlakunya Income Inclusion Rules (IIR) dan Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT), diseminasi kepada Wajib Pajak dan Fiskus, persiapan infrastruktur IT, rencana penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Administrasi Pajak Minimum Global, persiapan EOI
Tahun 2026: mulai berlakunya Undertaxed Payment Rules (UTPR), Pembayaran Pajak Minimum Global 2025, diseminasi kepada Wajib Pajak dan Fiskus, persiapan IT, persiapan EOI.
Tahun 2027: Penyampaian GloBE Information Return (GIR) dan notication, penyampaian SPT dalam rangka melaksanakan GloBE, implementasi EOI
Tahun 2028: Risk assessment, exchange of GIR and Notification.
Dampak dari pengenaan Pajak Minimum Global adalah mengurangi efektivitas insentif pajak namun sebatas pada entitas yang merupakan bagian dari Grup PMN yang berada dalam cakupan GloBE. Insentif pajak bagi PMN di luar cakupan tidak akan terpengaruh.
Pajak minimum global cenderung akan menggeser bentuk kompetisi insentif pajak korporasi dari tax holiday atau tax allowance menjadi refundable tax credit.
Ini karena dengan adanya prinsip GloBE dalam Pajak Minimum Global, maka insentif pajak seperti tax holiday yang membuat tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) bagi perusahaan penerima di Indonesia semula 5%, akan dikenakan pajak tambahan oleh otoritas pajak di negara induk perusahaan itu dengan selisih 10% supaya sesuai dengan Pajak Minimum Global sebesar 15%.
Bagi PMN, perusahaan tidak merasakan manfaat tax holiday yang diberikan oleh Indonesia. Pajak yang mereka bayar, meskipun tarif pajak mereka terlihat 5%, sebenarnya 15%. Akhirnya, beban pajak total mereka tetap sama, yaitu 15% dari pendapatan yang diperoleh melalui operasi di Indonesia. Daya tarik insentif pajak seperti tax holiday yang seharusnya membantu mendatangkan lebih banyak investasi menjadi sepenuhnya tidak berarti.
(c)20251124 syafrianto.blogspot.com
Saat ini Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Wewenang ini ditegaskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2025 tanggal 22 Oktober 2025 tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak Terhadap Pengusaha Kena Pajak Yang Tidak Melaksanakan Kewajiban Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Perpajakan.
Jadi akses bagi Wajib Pajak (Pengusaha Kena Pajak) untuk membuat Faktur Pajak di sistem DJP (Coretax DJP) dapat dinonaktifkan sehingga Wajib Pajak tidak dapat lagi membuat Faktur Pajak apabila sejumlah kriteria yang ditentukan dalam PER-19/PJ/2025 ini dilakukan oleh Wajib Pajak. Sejumlah kriteria yang ditentukan ini adalah merupakan tindakan ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, seperti tidak melakukan pemotongan atau pemungutan pajak selama 3 bulan berturut-turut, tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh, tidak menyampaikan SPT Masa PPN selama 3 bulan berturut-turut, tidak menyampaikan SPT Masa PPN untuk 6 Masa Pajak dalam periode 1 tahun kalender, tidak melaporkan bukti potong atau bukti pungut yang telah dibuat selama 3 bulan berturut-turut, serta memiliki tunggakan pajak dengan jumlah tertentu.
Ringkasan Peraturan
Pasal 2 PER-19/PJ/2025 mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sesuai dengan kriteria tertentu, yang meliputi:
tidak melakukan pemotongan atau pemungutan pajak untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut sebagai pemotong atau pemungut pajak secara berturut-turut dalam 3 (tiga) bulan;
tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak yang telah menjadi kewajibannya;
tidak menyampaikan SPT Masa PPN yang telah menjadi kewajibannya berturut-turut selama 3 (tiga) bulan;
tidak menyampaikan SPT Masa PPN yang telah menjadi kewajibannya untuk 6 (enam) Masa Pajak dalam periode 1 (satu) tahun kalender;
tidak melaporkan bukti potong atau bukti pungut untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut yang telah dibuat berturut-turut selama 3 (tiga) bulan; dan/atau
memiliki tunggakan pajak paling sedikit Rp250.000.000,00 untuk Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama; atau Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk Wajib Pajak yang terdaftar selain di Kantor Pelayanan Pajak Pratama, yang telah diterbitkan surat teguran dan selain yang telah memiliki surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran utang pajak yang masih berlaku.
Wewenang untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak ini dilimpahkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk mandat kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Wajib Pajak terdaftar.
Wajib Pajak yang akses pembuatan Faktur Pajaknya dinonaktifkan, akan disampaikan pemberitahuan mengenai penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak dan hak klarifikasi kepada Wajib Pajak.
Atas pemberitahuan mengenai penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, Wajib Pajak dapat memberikan klarifikasi dengan ketentuan:
disampaikan secara tertulis melalui surat kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana contoh format pada Lampiran PER-19/PJ/2025 ini;
surat klarifikasi ini minimal memuat: nomor dan tanggal surat, tujuan surat (yaitu kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, identitas Wajib Pajak atau pengurus, dan/atau penanggung jawab; penjelasan atas klarifikasi; dan daftar dokumen pendukung klarifikasi; dan
dilampiri dokumen pendukung, minimal berupa: bukti potong atau pungut pajak untuk kewajiban pemotongan atau pemungutan pajak untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut secara berturut-turut dalam 3 bulan, tanda terima penyampaian SPT Tahunan PPh, tanda terima penyampaian SPT Masa PPN yang menjadi kewajibannya berturut-turut 3 bulan, tanda terima penyampaian SPT Masa PPN untuk 6 Masa Pajak dalam periode 1 tahun kalender yang telah menjadi kewajibannya, bukti pelaporan bukti potong atau bukti pungut untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dipotong yang telah dibuat berturut-turut selama 3 bulan, dan/atau bukti pelunasan atas tunggakan pajak dan/atau surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran utang pajak yang masih berlaku.
Atas klarifikasi yang disampaikan Wajib Pajak ini, dalam waktu 5 hari kerja setelah surat klarifikasi tersebut diterima, berdasarkan penelitian Kepala KPP harus memberikan keputusan mengabulkan atau menolak klarifikasi yang diberikan Wajib Pajak tersebut.
Keputusan Kepala KPP mengabulkan atau menolak ini didasarkan atas:
mengabulkan klarifikasi Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi kewajiban perpajakannya yang menjadi dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak; atau
menolak klarifikasi Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak belum memenuhi kewajiban perpajakannya yang menjadi dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak
Jika keputusan Kepala KPP adalah mengabulkan klarifikasi dari Wajib Pajak, maka Kepala KPP mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak Wajib Pajak.
Apabila dalam jangka waktu 5 hari kerja telah terlewati, Kepala KPP masih belum memberikan jawaban (mengabulkan atau menolak) atas klarifikasi yang disampaikan Wajib Pajak, maka klarifikasi Wajib Pajak tersebut ditindaklanjuti dengan mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak Wajib Pajak. Setelah pengaktifan kembali namun dalam 5 hari kerja setelah pengaktifan kembali ternyata Wajib Pajak masih memenuhi kriteria penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, maka Kepala KPP akan menonaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak.
Apabila berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak diketahi bahwa dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, maka Kepala KPP mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak.
Pengaktifan kembali akses pembuatan Faktur Pajak yang diatur dalam PER-19/PJ/2025 ini dilakukan sepanjang Wajib Pajak tersebut tidak dilakukan penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak dalam rangka penanganan terhadap kegiatan penerbitan dan/atau penggunaan Faktur Pajak tidak sah (atau biasanya juga disebut sebagai “Faktur Pajak Fiktif”).
Akibat adanya kasus tindakan fraud yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak (pegawai pajak) yang telah resign dengan konsultan maupun Wajib Pajak membuat Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, akan membuat aturan khusus untuk membatasi para eks pegawai pajak tersebut tidak dapat melakukan pelayanan perpajakan hingga tidak dapat mengakses sistem perpajakan. Hal ini disampaikan oleh oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto sebagaimana yang penulis kutip dari artikel di media online dan saluran televisi swasta cnbcindonesia.com pada tanggal 18 November 2025.
Dalam acara talkshow yang disiarkan di saluran televisi swasta nasional dalam acara Tax Time CNBC Indonesia pada tanggal 18 November 2025, Bimo menyampaikan, “Kami sudah siapkan sistem dan kerangka regulasi untuk itu. Kami akan kunci NIK dan NPWP yang bersangkutan di Coretax, sehingga tidak bisa lagi mereka melakukan pelayanan perpajakan di luar pajak ketika mereka resign.”
Persekongkolan ini, ia sebut biasanya dilakukan oleh para pegawai pajak yang ingin mengajukan resign atau pengunduran diri, untuk menjadi bagian dari konsultan atau tim pajak wajib pajak tertentu, namun masih memiliki data-data negara yang bisa digunakan sebagai celah fraud.
"Jadi ditengarai memang ada persekongkolan antara petugas pajak, kemudian konsultan yang kurang baik dengan wajib pajak," kata Bimo.
Untuk menangani kebiasaan praktik persekongkolan itu, Bimo mengaku telah menyiapkan kebijakan khusus karena sebelumnya belum ada kerangka aturan tersebut yaitu dalam bentuk pemberlakuan masa tunggu (grace period) selama 5 tahun bagi pegawai pajak yang ingin mengajukan resign hingga mengunci NIK dan NPWP nya di sistem Coretax.
"Karena mereka-mereka yang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak ini harus menjaga independensinya. Tidak boleh ada konflik of interest, apalagi hubungan-hubungan istimewa dengan intermediaries," papar Bimo.
Masa tunggu atau grace period selama 5 tahun itu supaya pegawai pajak yang tak lagi ingin bekerja di DJP tidak bisa langsung bekerja sebagai kuasa pajak, konsultan, ataupun bekerja di bagian perpajakan di korporasi.
Masa tunggu ini diberikan karena sampai hari ini, DJP belum bisa memusatkan seluruh kepemilikan data negara yang dimiliki para pegawai termasuk kepentingan pengolahan analytics data yang terkait perpajakan lainnya.
"Ada data-data yang masih bisa disimpan di stand alone laptop, stand alone tablet, maupun HP dari para pegawai kami. Maka itu data negara yang ada di mereka, itu tidak akan bisa digunakan apabila mereka resign dalam jangka waktu 5 tahun. Karena dalam jangka waktu 5 tahun itu, itu sudah kadaluarsa," ungkap Bimo.
Sebagai catatan penulis, saat ini baru ada regulasi yang mengatur persyaratan masa tunggu bagi mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang akan menjadi seorang Konsultan Pajak. Pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.01/2022 mengatur ketentuan jangka waktu melewati 2 tahun bagi seorang mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang akan menjadi Konsultan Pajak, sebagai berikut:
Dalam hal orang perseorang yang akan menjadi Konsultan Pajak adalah orang yang pernah mengabdikan diri sebagai pegawai di Direktorat Jenderal Pajak dan mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil sebelum mencapai batas usia pensiun, maka salah satu persyaratan yang dipenuhi adalah diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atas permintaan sendiri, dan telah melewati jangka waktu 2 tahun terhitung sejak tanggal surat keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Dalam hal orang perseorang yang akan menjadi Konsultan Pajak adalah pensiunan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, maka salah satu persyaratan yang dipenuhi adalah mengabdikan diri sekurang-kurangnya untuk masa 20 tahun di Direktorat Jenderal Pajak, selama mengabdikan diri di Direktorat Jenderal Pajak tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, mengakhiri masa baktinya di lingkungan kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan memperoleh hak pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan telah melewati jangka waktu 2 tahun terhitung sejak tanggal surat keputusan pensiun.
Jadi aturan mengenai masa tunggu yang ada saat ini hanya mengikat kepada mantan Pegawai Pajak yang akan menjadi Konsultan Pajak. Namun belum ada ketentuan masa tunggu bagi mantan Pegawai Pajak yang akan menjadi Kuasa Wajib Pajak untuk pihak lain selain Konsultan Pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan penjelasannya.
(c)19112025 syafrianto.blogspot.com
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pengujian Materiil (judicial review) terhadap Ketentuan Perpajakan atas Pesangon dan Uang Pensiun yang diajukan oleh sejumlah karyawan perbankan swasta dan serikat karyawan/pekerja perbankan swasta. Uji materiil ini diajukan terhadap ketentuan perpajakan atas pesangon dan uang pensiun sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU Nomor 7/2021) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Putusan ini diambil oleh MK dalam sidang Pengucapan Putusan untuk perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025 pada hari Kamis, 13 November 2025.
Dalam amar putusannya MK menyatakan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima. MK menilai permohonan para pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur), sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Ketua MK, Suhartoyo dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 186/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta menjelaskan bahwa setelah Mahkamah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 1 UU Nomor 7/2021, telah ternyata tidak terdapat frasa tunjangan dan uang pensiun, sebagaimana dimaksud Para Pemohon, melainkan kata tunjangan dan frasa uang pensiun yang masing-masing terpisah dan tidak dalam satu-kesatuan frasa. Terlebih lagi, pada bagian Petitum angka 1, Para Pemohon menambahkan uraian kalimat Alasan Permohonan yang seharusnya diuraikan pada bagian Posita, sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakjelasan Petitum angka 1 Para Pemohon.
Selanjutnya, pada bagian Petitum angka 2. Para Pemohon memohon agar Pasal 17 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 7 Undang-Undang 7/2021 dinyatakan konstitusional bersyarat. Namun pada uraian Kewenangan Mahkamah dan Alasan Permohonan atau Posita, Para Pemohon hanya menyebut Pasal 17, tanpa menyebutkan ayat dan huruf secara spesifik, sehingga terdapat ketidakkonsistenan antara norma dalam Petitum, dengan uraian Kewenangan Makamah, dan Posita yang mengakibatkan ketidakjelasan Permohonan Para Pemohon, apakah menguji konstitusionalitas norma Pasal 17 secara keseluruhan ataukah hanya norma Pasal 17 ayat (1) huruf a saja.
Duduk Perkara
Perkara Uji Materiil ini dimohonkan oleh Jamson Frans Gultom sebagai Pemohon I; Agus Suwargi sebagai Pemohon II; Budiman Setyo Wibowo sebagai Pemohon III; Wahyuni Indrjanti sebagai Pemohon IV; Cahya Kurniawan yang mewakili Serikat Karyawan Permata Bank (SiKaP) sebagai Pemohon V; Jamil Sobir sebagai Pemohon VI; Lyan Widiya yang mewakili Serikat Pekerja Danamoners sebagai Pemohon VII; Ronald Ebenhard Pattiasina sebagai Pemohon VIII; Kamrul Kumar sebagai Pemohon IX; Ishak sebagai Pemohon X;dan Dorkas V H Sitompul sebagai Pemohon XI.
Para pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon menilai pengenaan pajak atas pesangon, pensiun, tabungan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) sebagai tambahan kemampuan ekonomis tidak adil, bertentangan dengan prinsip kesejahteraan rakyat, dan merugikan secara konstitusional.
Mereka meminta MK membatalkan ketentuan tersebut, melarang pemerintah memungut pajak atas penerimaan tersebut. Serta menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Para pemohon adalah karyawan dan mantan karyawan bank swasta yang tergabung dalam Forum Pekerja Bank Swasta, sehingga mengalami kerugian langsung akibat ketentuan tersebut.
Mereka menyoroti bahwa pajak progresif atas pesangon dan pensiun salah karena menganggapnya sebagai penghasilan baru, padahal merupakan hasil jerih payah pekerja.
Pengenaan pajak ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan prinsip keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, karena membebani kelompok rentan dan melemahkan jaminan sosial.
Selain itu, penerapan asas self assessment bagi pensiunan menimbulkan beban psikologis dan administratif, menyalahi prinsip welfare state, dan menciptakan ketidakadilan fiskal (double taxation), karena pajak sudah dibayarkan selama masa kerja. Dampaknya, pensiunan kehilangan rasa aman dan kesejahteraan di masa tua.
Oleh karena itu, serikat pekerja menilai terdapat dasar moral dan konstitusional yang kuat untuk mengajukan judicial review ke MK terkait pajak pesangon dan pensiun.
Jalannya Sidang Perkara Nomor 186, 189/PUU-XXIII/2025 - Jum'at, 17 Oktober 2025
Pemerintah berencana menerapkan skema pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) final sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan tarif 0,5% dari Peredaran Bruto (omzet) tanpa ada batasan waktu. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Sekertaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso kepada Media Kontan pada tanggal 2 November 2025 yang menyatakan bahwa insentif PPh final 0,5% yang diberlakukan tanpa batas waktu diberikan bagi UMKM Orang Pribadi (OP) dan UMKM perseroan perorangan.
“Saat ini Pemerintah sedang dalam proses merevisi PP 55/2022, antara lain mengatur PPh final 0,5% diberlakukan tanpa batas waktu bagi UMKM OP dan UMKM perseroan perorangan.” tutur Susi sebagaimana dimuat dalam salah satu artikel di Kontan, Minggu (2/11/2025).
Tak hanya itu, dalam revisi aturan tersebut pemerintah juga akan mengatur perpanjangan terhadap UMKM koperasi. Perpanjangan diberikan pemberlakuan PPh Final 0,5% kepada sektor tersebut sampai dengan tahun pajak 2029.
Sebagaimana kita ketahui bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 diatur jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0,5% paling lama tujuh tahun untuk WP OP, empat tahun untuk WP badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama (BUMDes/BUMDesama), atau perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang, dan tiga tahun untuk WP badan perseroan terbatas. Ketentuan jangka waktu pemberlakuan yang diatur pada Pasal 59 PP Nomor 55 Tahun 2022 ini mulai dihitung sejak tahun pajak 2018 ketika diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
Ketentuan yang mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 ini mengatur bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tertentu dari Pemberi Kerja dengan kriteria tertentu, sehubungan dengan pekerjaan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 diberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah. Pemberi Kerja dengan kriteria tertentu ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
melakukan kegiatan usaha pada bidang industri: alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit, atau pariwisata; dan
memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2025.
Kode klasifikasi lapangan usaha yang disebutkan dalam Lampiran huruf A ini merupakan kode klasifikasi lapangan usaha utama yang tercantum pada basis data yang terdapat dalam administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Jangka waktu pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah ini diberikan untuk:
Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Masa Pajak Desember 2025, bagi Pegawai tertentu dari Pemberi Kerja tertentu yang melakukan kegiatan usaha pada bidang industri: alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit.
Masa Pajak Oktober 2025 sampai dengan Masa Pajak Desember 2025, bagi Pegawai tertentu dari Pemberi Kerja tertentu yang melakukan kegiatan usaha pada bidang industri pariwisata.
PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2025 merupakan insentif yang harus dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai tertentu, termasuk dalam hal Pemberi Kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai. Pembayaran tunai PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah ini tidak diperhitungkan sebagai penghasilan dikenakan pajak.
Kemudian diatur pula bahwa atas pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah ini harus dibuatkan bukti pemotongan oleh Pemberi Kerja, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Perlakuan Lebih Bayar PPh Pasal 21 Bagi Pegawai Tertentu
Apabila jumlah PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah untuk Pegawai Tetap tertentu yang telah dipotong dan diberikan insentif dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) Tahun Pajak, kelebihan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah ini tidak dikembalikan kepada Pegawai Tetap bersangkutan, kecuali untuk Pegawai tertentu dari Pemberi Kerja tertentu yang melakukan kegiatan usaha pada bidang industri pariwisata yang PPh Pasal 21-nya telah dipotong dan telah diberikan insentif dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) Tahun Pajak, kelebihan PPh Pasal 21 dapat dikembalikan oleh Pemberi Kerja kepada Pegawai Tetap bersangkutan hanya sebesar bagian kelebihan pemotongan pajak yang tidak ditanggung pemerintah.
Perlakuan Lebih Bayar PPh Pasal 21 Bagi Pemberi Kerja Tertentu
Dalam hal Pemberi Kerja dengan kriteria tertentu yang memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21/26 dan menyatakan kelebihan pembayaran, kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah tidak dapat dikembalikan dan tidak dapat dikompensasikan, kecuali untuk Pemberi Kerja tertentu yang melakukan kegiatan usaha pada bidang industri pariwisata kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 yang tidak ditanggung pemerintah dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya sebesar bagian kelebihan pembayaran yang tidak ditanggung pemerintah.
Untuk dapat mengkompensasikan bagian kelebihan pembayaran yang tidak ditanggung pemerintah ini, Pemberi Kerja harus membuat:
kertas kerja penghitungan dan menyampaikannya melalui saluran tertentu pada laman Direktorat Jenderal Pajak; dan
bukti pemotongan tambahan atas bagian yang ditanggung pemerintah dan melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21/26.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah dapat dilihat di Lampiran huruf B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2025 dan contoh format kertas kerja penghitungan dan bukti pemotongan tambahan yang harus dibuat Pemberi Kerja tertentu dapat dilihat di Lampiran huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2025.
Hingga akhir September 2025, realisasi penerimaan pajak masih di bawah realisasi penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu. Dalam konferensi pers di Jakarta hari ini, 14 Oktober 2025 Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa penerimaan pajak hingga akhir September 2025 masih mengalami kontraksi. Realisasi penerimaan pajak hingga akhir September 2025 terkumpul sebanyak Rp 1.295,3 triliun atau baru setara dengan 62,4% dari outlook. Realisasi penerimaan pajak yang dicapai tahun 2025 ini turun sebesar 4,4% jika dibandingkan dengan realisasi penerimaan dalam periode yang sama tahun 2024 lalu sebesar Rp 1.354,9 triliun.
Menurut Purbaya, penurunan penerimaan ini disebabkan oleh penurunan harga komoditas global yang turut mempengaruhi penerimaan dari sektor migas dan tambang. "Penerimaan harga komoditas seperti batubara dan sawit menyebabkan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) sedikit tertahan," ujar Purbaya dalam konferensi pers tersebut.
Kendati demikian, Purbaya menyebutkan bahwa penerimaan pajak dari sektor manufaktur dan jasa masih memberikan kontribusi positif terhadap penerimaan.
Realisasi Per Jenis Pajak
Dalam paparan mengenai detail penerimaan per jenis pajak yang disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, realisasi penerimaan pajak sampai dengan 30 September 2025 adalah sebagai berikut:
PPh Badan; penerimaan bruto mencapai Rp 304,63 triliun (tumbuh 6,0%) dan penerimaan neto sebesar Rp 215,10 triliun (turun 9,4%)
PPh Orang Pribadi; penerimaan bruto mencapai Rp 16,90 triliun (tumbuh 39,4%) dan penerimaan neto sebesar Rp 16,82 triliun (tumbuh 39,8%)
PPN dan PPnBM; penerimaan bruto mencapai Rp 702,20 triliun (turun 3,2%) dan penerimaan neto sebesar Rp 474,44 triliun (turun 13,2%)
PBB; penerimaan bruto mencapai Rp 19,69 triliun (tumbuh 18,4%) dan penerimaan neto sebesar Rp 19,50 triliun (tumbuh 17,6%)
Sebagaimana yang telah dibahas pada artikel sebelumnya, dimana seluruh pegawai tetap wajib untuk mengaktivasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dimilikinya ke dalam sistem Coretax, supaya pemberi kerja dapat membuatkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 Form 1721-A1 untuk masing-masing pegawai tetap. Bukti Potong 1721-A1 di masa pajak terakhir (atau Masa Pajak Desember) tidak dapat dibuat oleh pemberi kerja jika historis penghasilan pegawai masih menggunakan NPWP Sementara/Tampungan (NPWP 9990000000999000) karena sistem Coretax memang dirancang sedemikian rupa untuk melakukan proses otomasi dengan menarik data historis atas identitas setiap subjek pajak. Dengan demikian, untuk pegawai tetap yang NIK-nya belum diaktivasi dan saat ini pemberi kerja sebagai pemotong PPh Pasal 21 menggunakan langkah sementara supaya dapat melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukannya dengan menggunakan NPWP sementara 9990000000999000, memang solusinya hanyalah:
membatalkan Bukti Pemotongan Bulanan Pegawai Tetap (BPMP) lama yang memakai NPWP Sementara 9990000000999000.
membuat ulang BPMP dengan NIK yang telah valid, barulah form 1721-A1 dapat secara otomatis ditarik.
📌 Artinya:
Pegawai tetap perlu didaftarkan di Coretax, minimal lewat "Hanya Registrasi"
Tidak ada kewajiban aktivasi NIK jadi NPWP kalau memang gajinya setahun tidak melebihi PTKP.
Bagaimana jika sudah diimbau tapi pegawai tetap belum juga registrasi?
DJP akan merilis portal eskalasi baru agar pemotong PPh 21 bisa daftarkan pegawainya langsung ke Coretax secara massal.
Oleh karena itu, silakan siapkan dari sekarang data pegawai dalam bentuk excel:
NIK Pegawai
Nama sesuai KTP (tidak ada boleh perbedaan sama sekali baik spasi, huruf dan karakter lainnya)
Email aktif Pegawai
Nomor HP Pegawai
Dengan demikian, ketika saluran eskalasinya dibuka, pemberi kerja dapat segera mengajukan proses aktivasi NIK pegawai.
Salah satu hal penting untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan membuat Bukti Pemotongan Bulanan Pegawai Tetap (BPMP) adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) Pegawai Tetap sebagai penerima penghasilan yang akan dipotong PPh Pasal 21 oleh Pemberi Kerja telah diaktivasi di dalam Sistem Coretax DJP. Setiap Pegawai Tetap penerima penghasilan wajib mengaktifkan NIK yang dimilikinya melalui sistem Coretax DJP.
Namun kenyataannya di lapangan, masih banyak ditemukan pegawai (terutama pegawai tetap) pada pemberi kerja yang masih belum mengaktifkan NIK-nya di sistem Coretax. Hal ini menyebabkan kendala ketika pemberi kerja akan melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 di sistem Coretax DJP dan membuat BPMP, karena kegagalan sistem Coretax memvalidasi NIK tersebut yang belum diaktivasi.
Saat awal tahun 2025 ketika mulai diimplementasikan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 melalui sistem Coretax, kendala kegagalan validasi NIK yang belum belum diaktivasi di sistem Coretax ini, maka diberikan solusi sementara yaitu dengan mengganti pegawai tetap yang NIK-nya belum aktivasi di sistem Coretax dengan NPWP Sementara 9990000000999000. Solusi sementara yang diberikan ini dapat mengatasi kendala para pemotong PPh Pasal 21 yang tidak dapat melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21. Namun solusi sementara ini ternyata menimbulkan dampak ketika terdapat pegawai tetap yang berhenti bekerja di tengah tahun sehingga pemberi kerja harus membuatkan bukti pemotongan (yaitu formulir 1721-A1) atas penghasilan yang diperolehnya sejak awal tahun ketika pegawai tetap ini bekerja. Kendala ini terjadi karena sistem Coretax tidak dapat menarik data pegawai tetap dengan NPWP sementara 9990000000999000 yang telah dilaporkan sejak awal tahun hingga tengah tahun ketika pegawai tetap ini berhenti bekerja. Kendala ini tentunya juga akan terjadi pada Masa Desember 2025 nanti, ketika seluruh pemotong PPh Pasal 21 harus membuatkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 selama setahun pajak (1721-A1) untuk seluruh pegawainya yang masih menggunakan NPWP sementara 9990000000999000.
Untuk diketahui bahwa tidak sama dengan sistem perpajakan sebelumnya, sistem Coretax ini tidak dapat melakukan input manual atas data pemotongan yang telah dilaporkan pada masa pajak sebelumnya. Sistem Coretax dirancang untuk melakukan proses otomasi dan hanya akan menarik data dari historis yang valid. Sehingga untuk mengatasi kegagalan penarikan data historis atas pegawai tetap yang sebelumnya dilaporkan dengan NIK sementara 9990000000999000 ini, maka Direktorat Jenderal Pajak mengumumkan solusi yang harus dilakukan oleh para pemotong PPh Pasal 21 atas permasalahan ini. Dilansir dari akun media sosial telegram, hari ini dijelaskan mekanisme untuk pembuatan bukti pemotongan 1721-A1 atas pegawai tetap yang sebelumnya masih menggunakan NIK sementara 9990000000999000.
✅ Langkah disarankan:
1️⃣ Validasi NIK Pihak yang Dipotong
👨💻 Oleh pegawai tetap bersangkutan:
Pegawai tetap yang dipotong harus memiliki akun Coretax, baik sebagai Wajib Pajak, atau sekedar punya akun tanpa aktivasi NIK menjadi NPWP. Caranya:
"Aktivasi NIK menjadi NPWP" jika belum pernah terdaftar sebagai Wajib Pajak
"Hanya Registrasi" jika tidak wajib wajib punya NPWP tapi ingin punya akun Coretax. Cara lengkap daftar Coretax bisa cek di
👨💼 Oleh pemberi kerja:
Jika jumlah pegawai signifikan tidak terdaftar, pemberi kerja silakan menyampaikan NIK penerima penghasilan melalui bit.ly/BupotPPh (untuk saat ini form penyampaian NIK penerima penghasilan ini belum dibuka. DJP akan merilis portal eskalasi baru agar pemotong PPh 21 dapat mendaftarkan pegawainya langsung ke Coretax secara massal). Data tersebut akan divalidasi secara bertahap oleh DJP ke sistem Coretax.
Sehingga penulis menyarankan untuk para pemberi kerja sebagai pemotong PPh Pasal 21 untuk menghimbau para pegawai tetap yang masih belum mengaktivasi NIK-nya di sistem Coretax, agar segera mengaktivasikan NIK-nya tersebut.
2️⃣ Pembatalan BPMP yang Pakai NPWP Sementara
Gunakan menu Pembatalan BPMP di Coretax
3️⃣ Buat Ulang BPMP dengan NIK yang Sudah Tervalidasi
Input ulang BPMP Januari dst (masa pajak akhir) dengan NIK yang sudah tervalidasi (bukan NPWP 999…)
Sistem akan mencatat penghasilan dan potongan dengan benar untuk masa selain masa pajak akhir
4️⃣ Buat Bukti Potong A1 di Masa Pajak Akhir
Setelah langkah 3, buat Bukti Potong A1, tidak perlu buat BPMP lagi.
Sistem akan otomatis menarik selain masa pajak akhir
✅ Tidak perlu input manual jika histori sudah valid
Catatan:
NIK Valid adalah NIK yang sudah terdaftar di Database Coretax:
Hari ini, 29 September 2025, Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan simulator SPT Tahunan PPh (saat ini baru tersedia untuk PPh Badan jenis usaha Perdagangan) di sistem Coretax DJP. Melalui simulator SPT Tahunan PPh Badan di Coretax DJP ini, Wajib Pajak dapat belajar pengisian SPT Tahunan PPh Badan secara simulasi. Aplikasi simulator SPT Tahunan PPh ini disediakan di halaman web https://spt-simulasi.pajak.go.id/home .
Untuk login ke aplikasi simulator, saat ini pengguna dapat login user yang akan dipakai dengan menggunakan NIK masing-masing tanpa perlu sebagai PIC suatu badan, dengan catatan bahwa NIK tersebut harus yang dimiliki oleh WNI yang telah berusia 18 tahun ke atas). Berikut ini adalah username dan password yang dapat digunakan untuk login ke aplikasi simulator SPT Tahunan PPh Badan di Coretax:
User : menggunakan NIK 16 digit (NIK usia di atas 18 tahun dan tidak perlu berstatus PIC)
Password : P@jakTumbuh1ndonesiaT@ngguh
Saat ini simulator SPT Tahunan ini masih terbatas untuk pembuatan SPT Tahunan PPh Badan untuk jenis usaha Perdagangan. Sehingga untuk menjalankan simulasi ini, maka setelah para pengguna login dengan NIK nya masing-masing, maka harus impersonate ke NPWP Badan terlebih dahulu sebelum memulai simulasi pengisian SPT Tahunan.
Untuk panduan pengisian SPT Tahunan, maka video tutorial cara mengisi SPT Tahunan PPh dapat diperoleh di Artikel berikut ini.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan untuk menunda ketentuan mengenai penunjukan pelaku niaga elektronik (e-commerce), "marketplace" atau lokapasar untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari para pedagang di platform e-commerce tersebut. Pernyataan ini disampaikan Purbaya dalam Media Briefing yang diselenggarakan di Kantor Kementerian Keuangan pada Jumat (26/09/2025) dengan pertimbangan guna menjaga daya beli masyarakat.
"Saya lihat begini, ini kan baru ribut-ribut kemarin. Kita tunggu dulu deh, paling tidak sampai kebijakan Rp200 triliun untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti," kata Purbaya.
“Kami tunggu dulu, paling tidak sampai kebijakan uang Rp200 triliun, kebijakan untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya. Baru kami akan pikirkan nanti,” katanya.
"Semuanya, bukan e-commerce tertentu. Kalau ada tertentu yang enggak ikut [ditunjuk], Anda bikin perusahaan di situ. Anda untung banyak nanti. Jadi, kita enggak ganggu dulu daya beli sebelum dorongan ekonomi masuk ke sistem perekonomian," ujarnya.
Meski belum ada satupun penyedia marketplace yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22, lanjut Purbaya, sistem untuk memfasilitasi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 sudah disiapkan.
"Kami sudah ngetes sistemnya. Uangnya sudah bisa diambil beberapa. Jadi, sistemnya sudah siap," tutur Purbaya.
Untuk diketahui bahwa sebelumnya pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 mewajibkan penyedia marketplace untuk memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran bruto pada pedagang dalam negeri yang berdagang di marketplace.
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh penyedia marketplace bisa diklaim oleh wajib pajak pedagang sebagai kredit pajak dalam SPT Tahunan PPh-nya pada tahun berjalan atau sebagai bagian dari pelunasan PPh final.
Penyedia marketplace ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 bila menggunakan escrow account untuk menampung penghasilan dan memenuhi salah satu dari kedua kriteria berikut:
nilai transaksi dengan pemanfaat jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam 12 bulan atau Rp50 juta dalam 1 bulan; dan/atau
jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam 12 bulan atau 1.000 dalam 1 bulan.
Di dalam ketentuan perpajakan, ditemukan ada istilah “data konkret”. Berdasarkan penelusuran, istilah “data konkret” ini pengaturannya dapat kita temukan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tanggal 17 Februari 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pengaturan mengenai data konkret ini dapat kita temukan pada Pasal 4 ayat (1) huruf b, ayat (1a), Pasal 11 huruf d, Pasal 13 huruf g, Pasal 15 ayat (4), Pasal 15 ayat (6) Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) huruf d, Pasal 22 ayat (3), Pasal 41 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 43 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021.
Petunjuk teknis mengenai tindak lanjut atas data konkret diatur lebih lanjut pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-9/PJ/2023 tanggal 4 Agustus 2023 tentang Penyelesaian Tindak Lanjut atas Data Konkret.
Lebih lanjut ketentuan mengenai pemeriksaan atas data konkret ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 tanggal 10 Februari 2025 tentang Pemeriksaan Pajak. Pemeriksaan atas data konkret ini diatur pada Pasal 4 ayat (1) huruf l dan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025.
Selain itu, tindak lanjut atas data konkret ini juga diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tanggal 24 September 2025 tentang Tindak Lanjut atas Data Konkret.
Data Konkret dan Tindak Lanjutnya
Data konkret sebagaimana yang didefinisikan pada Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 adalah merupakan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak yang berupa:
faktur pajak yang sudah memperoleh persetujuan melalui sistem informasi milik Direktorat Jenderal Pajak tetapi belum atau tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai;
bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang belum atau tidak dilaporkan oleh penerbit bukti pemotongan atau pemungutan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan; dan/atau
bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak,
yang ditindaklanjuti melalui (di PER-18/PJ/2025 kata “ditindaklanjuti melalui” diganti dengan kata “memerlukan”) pengujian secara sederhana.
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 merinci lebih detail atas jenis bukti transaksi atau data perpajakan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 dan Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tersebut (sebagaimana angka 3 di atas-red), dapat berupa:
kelebihan kompensasi pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang tidak didukung dengan kelebihan bayar pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebelumnya;
penghitungan kembali pajak masukan sebagai pengurang pajak keluaran oleh Wajib Pajak yang tidak berhak menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang dan penyerahan yang tidak terutang pajak;
Pajak Pertambahan Nilai disetor di muka yang tidak atau kurang dibayar;
pemanfaatan insentif pajak yang tidak sesuai ketentuan;
pengkreditan pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan;
penghasilan yang tidak atau kurang dilaporkan berdasarkan data bukti potong yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak dan/atau kekeliruan sehubungan dengan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto;
data dan/atau keterangan yang bersumber dari ketetapan dan/atau keputusan di bidang perpajakan dan/atau putusan atas sengketa penerapan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan, yang bersifat inkrah, yang dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan yang tidak atau kurang dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan; dan/atau
data dan/atau keterangan yang telah: (1) diterbitkan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan; dan (2) dibuat berita acara permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan yang memuat persetujuan Wajib Pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakan dan telah ditandatangani Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa, namun pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut belum atau tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah disetujui oleh Wajib Pajak,
yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak
Data konkret ini akan ditindaklanjuti dengan:
pengawasan; dan/atau
Pemeriksaan.
Pemeriksaan yang dilakukan ini adalah dengan Pemeriksaan spesifik atas data konkret sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pemeriksaan pajak (saat ini adalah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025).
Pemeriksaan Spesifik (sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025) adalah Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara spesifik atas satu atau beberapa pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ini dilakukan dalam jangka waktu Pemeriksaan yang meliputi:
jangka waktu pengujian; dan
jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.
Jangka waktu pengujian dengan Pemeriksaan Spesifik untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam hal terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar dilakukan paling lama adalah 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Sedangkan jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan adalah paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
@27092025 syafrianto.blogspot.com
Sekitar 3 bulan lagi, seluruh Wajib Pajak di Indonesia sudah harus mulai melaksanakan kewajibannya dengan menyampaikan SPT Tahunan PPh, bagi bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan. Pemenuhan kewajiban Penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2025 ini akan berbeda dengan yang selama ini sudah dilakukan oleh Wajib Pajak hingga Tahun Pajak 2024 yang lalu. Terakhir di Tahun Pajak 2024, Wajib Pajak melaksanakan kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh melalui sistem perpajakan di djponline, dimana penyampaian SPT selama ini dilakukan secara e-filing melalui situs djponline atau penyampaian menggunakan fasilitas e-Form berbentuk PDF.
Nantinya untuk tahun pajak 2025, seluruh penyampaian SPT Tahunan PPh (baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan) dilakukan secara online melalui sistem CoretaxDJP di coretaxdjp.pajak.go.id. Untuk itu, maka saat ini Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat tengah gencar mengadakan sosialisasi mengenai cara pembuatan dan penyampaian SPT Tahunan PPh melalui sistem Coretax DJP. Salah satunya adalah kegiatan sosialisasi yang dilakukan pada siang hari ini (25/09/2025) melalui aplikasi Zoom Meeting dan Youtube kepada ribuan peserta yang berasal dari Asosiasi Konsultan Pajak.
Berikut ini penulis sajikan materi mengenai panduan pembuatan SPT Tahunan PPh yang harus dilakuan melalui sistem Coretax DJP yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pandan Pembuatan dan Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Karyawan
Panduan Pembuatan dan Pengisian SPT Tahunan PPh Badan - Perusahaan Dagang
Berdasarkan informasi yang disampaikan para penyaji materi pada sosialisasi tersebut bahwa saat ini sedang disiapkan menu simulasi untuk pembuatan SPT Tahunan ini dalam aplikasi Coretax DJP sehingga Wajib Pajak dapat mempelajari sistem pembuatan SPT Tahunan PPh secara real melalui sistem Coretax ini.
Video Tutorial Pembuatan SPT Tahunan PPh Melalui Coretax
Selain materi slide yang disajikan di atas, berikut ini penulis sajikan juga video tutorial pembuatan SPT Tahunan PPh melalui aplikasi Coretax DJP yang telah dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
1. Video Tutorial Panduan Pembuatan SPT Tahunan PPh Badan UMKM
2. Video Tutorial Panduan Pembuatan SPT Tahunan PPh Badan Perusahaan Dagang
3. Video Tutorial Panduan Pembuatan SPT Tahunan PPh Badan Perusahaan Manufaktur
4. Video Tutorial Panduan Pembuatan SPT Tahunan PPh Badan Sektor Jasa
5. Video Tutorial Panduan Pembuatan SPT Tahunan PPh Badan Sektor Perbankan
Panduan Aktivasi Akun Coretax
Bagi Para Pembaca Setia Tax Learning yang belum mengaktivasi akun Coretaxnya, maka langkah awal yang harus dilakukan sebelum dapat melakukan proses pemenuhan kewajiban perpajakannya, maka haruslah mengaktivasi akun Coretaxnya. Berikut ini adalah panduan untuk melakukan aktivasi akun Coretax.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada hari ini, Senin, 15 September 2025 usai rapat bersama Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah menteri di Istana Kepresidenan, Jakarta, mengumumkan 17 Program Paket Stimulus Ekonomi. Dalam konferensi pers usai rapat dengan Kepala Negara tersebut, Menko Perekonomian mengumumkan, “Rapat dengan Pak Presiden tadi membahas terkait dengan kebijakan yang akan diambil yang kita beri nama program paket ekonomi di tahun 2025 ini.” 17 Program Paket Stimulus Ekonomi ini terbagi dalam 8 program akselerasi di 2025, 4 program yang dilanjutkan di 2026, dan 5 program yang terkait dengan andalan pemerintah terkait penyerapan tenaga kerja.
Program Paket Stimulus Ekonomi di Bidang Perpajakan
Dari ketujuh belas program tersebut, terdapat beberapa program yang merupakan stimulus di bidang perpajakan, yaitu.
Perluasan PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor terkait pariwisata (masuk dalam 8 program akselerasi program 2025).
Perpanjangan jangka waktu pemanfaatan PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM hingga tahun 2029 serta penyesuaian penerima PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM (masuk dalam 4 program dilanjutkan di program 2026).
Perpanjangan PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor terkait Pariwisata dalam APBN 2026 (masuk dalam 4 program dilanjutkan di program 2026).
17 Paket Stimulus Ekonomi Yang Diumumkan Pemerintah Tanggal 15 September 2025
Berikut ini adalah 17 Paket Stimulus Ekonomi yang akan dijalankan Pemerintah yang diumumkan sore ini.
8 program akselerasi program 2025
Program magang lulusan perguruan tinggi (maksimal fresh graduate 1 tahun)
Perluasan PPh 21 DTP untuk pekerja di sektor terkait pariwisata
Bantuan pangan periode Oktober-November 2025
Bantuan Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi Bukan Penerima Upah (BPU) transportasi online/ojol (termasuk ojek pangkalan, sopir, kurir, dan logistik) selama 6 bulan
Program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan BPJS Ketenagakerjaan
Program Padat Karya Tunai (cash for work) Kemenhub dan Kementerian Pekerjaan Umum
Percepatan Deregulasi PP28 (Integrasi Sistem K/L dan RD TR Digital ke OSS)
Program Perkotaan (Pilot Project DKI Jakarta): peningkatan kualitas pemukiman dan penyediaan tempat untuk Gig Economy
4 program dilanjutkan di program 2026
Perpanjangan jangka waktu pemanfaatan PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM Tahun 2029 serta Penyesuaian Penerima PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM
Perpanjangan PPh 21 DTP untuk Pekerja di Sektor terkait Pariwisata (APBN 2026)
PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor Industri Padat Karya (APBN 2026)
4. Diskon iuran JKK dan JKM untuk semua penerima Bukan Penerima Upah (BPU)
5 program penyerapan tenaga kerja
Operasional Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih diharapkan menyerap tenaga kerja di atas 1 juta tenaga kerja pada Desember.
Kampung Nelayan Merah Putih ditargetkan jangka panjang menciptakan 200.000 lapangan kerja.
Presiden Prabowo menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada tanggal 8 September 2025 pukul 16.00 WIB. Kemudian pada tanggal 9 September 2025 dilakukan serah terima jabatan Menteri Keuangan di Aula Djuanda, Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan, Jl. Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Sebelumnya Sri Mulyani telah menjadi Menteri Keuangan sejak 27 Juli 2016 di Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Purbaya Yudhi Sadewa yang mengganti Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, sebelumnya menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Berikut profil singkat Purbaya Yudhi Sadewa.
Purbaya Yudhi Sadewa lahir di Bogor, 7 Juli 1964 (usia 61 tahun)
1. Latar Belakang Akademik
Purbaya dikenal memiliki perpaduan disiplin ilmu yang unik. Ia menekuni bidang teknik elektro pada awalnya, lalu beralih ke ekonomi hingga meraih gelar doktor.
Awalnya sosok Purbaya mengenyam pendidikan Sarjana Teknik Elektro dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat dengan meraih gelar Magister Sains (MSc)
Selanjutnya ia menyelesaikan program Doktoral (Ph.D.) di bidang Ilmu Ekonomi dari Purdue University, Indiana.
2. Karir Profesional di Perusahaan
Perjalanan kariernya dimulai sebagai Field Engineer di Schlumberger Overseas SA (1989–1994).
Setelah itu, ia beralih ke dunia riset ekonomi sebagai Senior Economist di Danareksa Research Institute (2000–2005), kemudian dipercaya menjadi Chief Economist (2005–2013).
Purbaya juga sempat menduduki jabatan sebagai Direktur Utama PT Danareksa Securities (2006–2008) dan menjadi Anggota Dewan Direksi PT Danareksa (Persero) (2013–2015).
3. Karir di Pemerintahan
Mengutip dari laman lps.go.id, Purbaya memiliki pengalaman di Pemerintahan sejak tahun 2010 hingga saat ini, sebagai berikut.
Staf Khusus Bidang Ekonomi di Kemenko Perekonomian (2010–2014)
Kemenko Polhukam (2015–2016), serta Kemenko Maritim (2016–2020).
Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis di Kantor Staf Presiden (2015)
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi di Kemenko Maritim dan Investasi (2018–2020).
Sejak 2020 hingga menjelang pelantikannya sebagai Menteri Keuangan, Purbaya menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 58/M Tahun 2020 tanggal 3 September 2020
4. Aktivitas di Forum Strategis
Selain aktif di birokrasi, Purbaya terlibat dalam berbagai forum penting. Ia merupakan Anggota Komite Ekonomi Nasional (2010–2014), Wakil Ketua Satgas “Debottlenecking” (Pokja IV) di Kemenko Perekonomian sejak 2016.
Selain itu, Purbaya terdaftar Anggota Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Indonesia Economic Forum sejak 2015.
Selamat bertugas Bapak Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan.
Serta terima kasih atas pengabdian Ibu Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan sejak 2016 hingga 8 September 2025.
Kantor Berita Nasional Republic of China/China Taipei, Central News Agency (CNA), melaporkan bahwa Directorate-General of Budget, Accounting and Statistics atau DGBAS (Direktorat Jenderal Anggaran, Akuntansi, dan Statistik) China Taipei (Taiwan) pada hari Jumat 15 Agustus 2025 mengumumkan mengenai tunjangan biaya hidup dasar tahunan yang dapat dikurangkan dari pajak mulai tahun 2026 dinaikkan menjadi NT$213.000 atau setara dengan nilai US$7.092 (senilai Rp 116.748.504 dengan asumsi kurs Rp 16.462 per USD1) per orang bagi wajib pajak pada tahun 2026.
Sebagaimana berita yang dimuat dalam media online berbahasa Inggrisnya, Focus Taiwan, menyebutkan bahwa dalam presentasi survei pendapatan dan pengeluaran rumah tangga tahun 2024, DGBAS menyatakan bahwa rata-rata pendapatan yang dapat dibelanjakan per kapita adalah NT$355.617, naik 1,9 persen dari tahun pelaporan sebelumnya.
Dengan menggunakan angka ini, tunjangan biaya hidup dasar yang dapat dikurangkan dari pajak per orang diperkirakan akan mencapai sekitar NT$213.000 untuk tujuan pajak penghasilan tahun 2025, meningkat NT$3.000 dari NT$210.000 pada tahun 2024, ungkap badan statistik tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Hak Wajib Pajak yang disahkan pada tahun 2017, pemerintah Taiwan tidak akan mengenakan pajak atas jumlah yang dibutuhkan individu untuk kebutuhan pokok, yang ditetapkan sebesar 60 persen dari pendapatan rata-rata per kapita yang dapat dibelanjakan dari tahun sebelumnya.
Kementerian Keuangan (MOF) menyatakan bahwa angka pasti untuk tunjangan pengurangan pajak yang disesuaikan untuk biaya hidup pokok akan diumumkan secara resmi pada akhir tahun 2025.
Berdasarkan sistem perpajakan Taiwan, jika tunjangan biaya hidup pokok melebihi jumlah pembebasan pajak pribadi, pengurangan standar, dan pengurangan khusus yang diberikan kepada seluruh wajib pajak di Taiwan, selisihnya dapat dikurangkan dari pendapatan kotor wajib pajak.
Kelonggaran ini umumnya digunakan oleh rumah tangga dengan anak yang mengajukan pajak, karena bagi wajib pajak tunggal dan pasangan tanpa tanggungan, total gabungan pembebasan pajak dasar, pengurangan standar, dan pengurangan khusus biasanya lebih menguntungkan. Akuntan PwC Taiwan, Hung Lien-sheng (洪連盛), mengatakan bahwa jika tunjangan pengurangan pajak untuk biaya hidup dasar dinaikkan sebesar NT$3.000, sebuah keluarga beranggotakan empat orang yang terdiri dari pasangan suami istri dan dua anak di bawah umur akan mengalami kenaikan total biaya hidup dasar sebesar NT$12.000.
Hal ini secara efektif berarti tambahan pendapatan sebesar NT$12.000 akan bebas pajak, ujar Hung.
Jika tarif pajak penghasilan yang berlaku untuk rumah tangga tersebut adalah 12 persen, mereka dapat menghemat pajak sebesar NT$1.440, kata Hung, dan jika tarif pajak yang berlaku adalah 20 persen, mereka akan membayar pajak sebesar NT$2.400 lebih sedikit.
Kegiatan Donor Darah yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mencatatkan rekor nasional sebagai asosiasi profesi di rumpun keuangan yang menyelenggarakan donor darah dengan jumlah pendonor terbanyak di Indonesia yang tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI).
Kegiatan donor darah yang diselenggarakan oleh IKPI, hari ini (24/08/2025) di Gedung IKPI, serta 45 cabang IKPI di seluruh Indonesia yang telah dan sedang berlangsung, diikuti lebih dari 5.000 pendonor sebagaimana target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, dalam siaran pers menyatakan bahwa capaian ini sebagai momen bersejarah bagi organisasi, karena untuk pertama kalinya dalam 60 tahun berdiri, kegiatan donor darah dilakukan secara nasional.
Hingga kemarin (23/08/2025) jumlah pendonor sudah mencapai lebih dari 4.500 orang yang telah dilaksanakan oleh 21 cabang IKPI. Hari ini dengan tambahan kegiatan yg diselenggarakan di Gedung IKPI dan 21 titik di cabang, maka jumlah pendonor diperkirakan akan lebihi 5.000 pendonor.
Kegiatan donor darah ini merupakan salah satu kegiatan dari rangkai acara dalam rangka peringatan HUT IKPI ke-60 yg jatuh pada tanggal 27 Agustus 2025 mengangkat tema "IKPI Untuk Nusa dan Bangsa". Menurut Vaudy HUT ini bukan sekedar perayaan internal, melainkan momen utk berbagi.
"Filosofi yang kami angkat adalah bahwa merayakan ulang tahun sejati adalah ketiga organisasi mampu memberi manfaat bagi sesama. Dari IKPI yang dikenal penuh integritas dalam profesinya, kini kami hadir juga sebagai IKPI untuk kemanusiaan." tutur Vaudy.
Vaudy mengaitkan filosofi donor darah dengan pajak. Menurutnya, keduanya sama-sama menjadi bentuk kontribusi nyata demi kepentingan bersama. "Seperti donor darah yang memberi kehidupan bagi orang lain, pajak yang kita bayarkan juga kembali untuk kita semua. Pajak bukan sekedar sumber APBN, tetapi juga menjadi instrumen pemerataan dan pembangunan bangsa. Jadi mari sama-sama berkontribusi, baik melalui pajak maupun aksi kemanusiaan," tambahnya.
Rangkaian Perayaan HUT IKPI Ke-60
Sebelumnya IKPI juga telah menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam rangkaian perayan HUT ke-60, antara lain turnamen golf dan kegiatan bersepeda santai. Selain itu juga ada lomba cerdas cermat perpajakan tingkat mahasiswa yang babak finalnya akan dilangsungkan besok (25/08/2025).
Selanjutnya, pada 26 Agustus 2025, IKPI akan menyelenggarakan Seminar Nasional sebagai bentuk kontribusi peningkatan sumber daya manusia (SDM). Seminar Nasional yang mengangkat beberapa topik seperti pemeriksaan dan penyidikan pajak, pengaturan kuasa hukum pengadilan pajak serta arah kebijakan dan pengawasan konsultan pajak dan non konsultan pajak yang pesertanya akan diikuti oleh seluruh anggota IKPI dan dan umum akan mengundang berbagai nara sumber dari Direktorat Jenderal Pajak, Pengadilan Pajak dan Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan.
Kemudian pada tanggal 27 Agustus 2025, akan diselenggarakan acara perayaan HUT ke-60 IKPI.
Untuk diketahui bahwa IKPI adalah merupakan asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia dengan jumlah anggotanya lebih dari 7.200 orang memiliki 13 Pengurus Daerah dan 45 Pengurus Cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. (SYA)
Pada tanggal 22 Juli 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara resmi meluncurkan Piagam Wajib Pajak (Taxpayers’ Charter) yang dipimpin langsung oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto dan disaksikan oleh jajaran pimpinan Kementerian Keuangan, perwakilan Wajib Pajak, akademisi, konsultan pajak serta mitra pemangku kepentingan lainnya.
Piagam Wajib Pajak ini adalah berupa dokumen yang memuat hak dan kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2025 tanggal 14 Juli 2025 tentang Piagam Wajib Pajak (Taxpayers’ Charter).
Latar belakang dibuatnya Piagam Wajib Pajak ini adalah dalam rangka memperkuat komitmen DJP untuk mendukung transparansi, akuntabilitas, dan keadilan, meningkatkan hubungan saling percaya antara wajib pajak dan DJP dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, serta menyesuaikan dengan kelaziman dan praktik terbaik secara internasional.
Dalam sistem perpajakan, Negara memiliki wewenang untuk mengenakan pajak dan wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Di sisi lain, negara wajib memberikan jaminan keadilan kepada wajib pajak dan wajib pajak berhak mendapatkan perlindungan hukum serta memperoleh keadilan. Oleh karena itu diperlukan keseimbangan hak dan kewajiban antara negara dan wajib pajak, sehingga perlu disusun dokumen yang berisi hak dan kewajiban wajib pajak dalam bentuk Piagam Wajib Pajak (Taxpayers’ Charter).
Tujuan dari Piagam Wajib Pajak ini adalah untuk meningkatkan hubungan saling percaya, saling menghormati, dan saling bertanggung jawab antara wajib pajak dan negara. Hubungan tersebut akan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan, dengan pengakuan dan pemenuhan hak dan kewajiban kedua belah pihak secara seimbang. Piagam Wajib Pajak ini berfungsi sebagai jembatan yang mendukung transparansi, akuntanbilitas, dan keadilan dalam sistem perpajakan.
Isi Piagam Wajib Pajak (Taxpayers’ Charter) DJP
Piagam Wajib Pajak ini berisi 8 (delapan) hak dan 8 (delapan) kewajiban wajib pajak sebagai berikut.
Hak Wajib Pajak
Hak untuk memperoleh informasi dan edukasi di bidang perpajakan.
Hak untuk mendapatkan pelayanan di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tanpa dipungut biaya.
Hak untuk mendapatkan perlakuan secara adil, setara, dihormati, dan dihargai dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Hak untuk membayar tidak lebih dari jumlah pajak yang terutang.
Hak untuk mengajukan upaya hukum atas sengketa perpajakan serta hak untuk memilih penyelesaian secara administratif dalam rangka mencegah timbulnya sengketa perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Hak atas kerahasiaan dan keamanan data wajib pajak.
Hak untuk diwakili oleh kuasa dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Hak untuk menyampaikan pengaduan dan melaporkan pelanggaran pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Kewajiban Wajib Pajak
Kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Kewajiban untuk bersikap jujur dan transparan dalam pemenuhan kewajiban sebagai wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai dengan menjunjung tinggi etika, sopan santun, dan moralitas dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan.
Kewajiban untuk bersikap kooperatif dalam menyampaikan data, informasi, dan hal lain sebagai dasar dalam kegiatan pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum di bidang perpajakan.
Kewajiban untuk menggunakan fasilitas atau kemudahan di bidang perpajakan secara jujur, tepat guna, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Kewajiban untuk melakukan dan menyimpan pembukuan atau pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Kewajiban untuk menunjuk kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan bagi wajib pajak yang menunjuk kuasa.
Kewajiban untuk tidak memberikan gratifikasi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Piagam Wajib Pajak adalah merupakan suatu dokumen yang menguraikan komitmen pemerintah terhadap Wajib Pajak yang memperlakukan wajib pajak secara adil, menghargai dan wajar dalam melakukan hubungan saling percaya dengan wajib pajak. Otoritas perpajakan akan melakukan tugasnya secara cepat, adil, menghargai, transparan dan profesional.
Piagam Wajib Pajak telah banyak diterapkan oleh otoritas perpajakan di dunia yang biasanya dikenal dengan istilah taxpayer charter, taxpayer’s service charter, declarations of taxpayer rights, taxpayer bill of rights, atau istilah lainnya yang sejenis. Dikutip dari panduan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dipublikasikan dalam publikasi “Tax Administration 2022 – Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies” menyebutkan bahwa hak dan kewajiban wajib pajak seringkali tertuang dalam undang-undang atau piagam wajib pajak. Hak dan kewajiban ini didasari oleh akses yang efektif terhadap proses yang memungkinkan wajib pajak untuk mengajukan sanggahan atas penetapan dan keputusan. Hal ini untuk melindungi hak wajib pajak dan memastikan adanya mekanisme pengawasan dan keseimbangan yang memadai terhadap pelaksanaan kewenangan perpajakan oleh instansi pemerintah. Pada saat yang sama, instansi pemerintah dan wajib pajak juga harus berupaya bekerja sama untuk mencegah timbulnya sengketa sejak dini, sehingga mengurangi beban dan ketidakpastian bagi kedua belah pihak. (OECD, p.132)
Berdasarkan pencarian di internet, sudah banyak yurisdiksi yang menetapkan taxpayer charter ini untuk menguraikan hak dan kewajiban serta standar layanan minimum yang harus diterima oleh Wajib Pajak yang dilakukan oleh pihak otoritas perpajakan, seperti Internal Revenue Service (IRS) Amerika Serikat, Kanada, India, Australia, Malta, Hongkong, Maldives, Zambia, Malawi, Uni Emirat Arab, Sri Lanka.