..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Rabu, 28 April 2010

Penyampaian Transkrip Kutipan Elemen Laporan Keuangan

Transkrip Kutipan Elemen Laporan Keuangan yang wajib diisi dan disampaikan oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 ini masih belum mengakomodasi bentuk laporan keuangan dari suatu badan usaha yang bergerak di bidang Dana Pensiun dan perusahaan pembiayaan.
Saat ini transkrip elemen laporan keuangan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2009, terdiri dari 3 jenis yaitu:
-Lampiran Khusus 8A-1 untuk Perusahaan Industri, Manufactur
-Lampiran Khusus 8A-2 untuk Perusahaan Dagang
-Lampiran Khusus 8B-6 untuk Non-Kualifikasi
Walaupun terdapat Lampiran Khusus 8B-6, namun formulir ini tetap tidak mengakomodasi elemen laporan keuangan dari jenis usaha Dana Pensiun dan perusahaan pembiayaan.

Untuk mengantisipasi hal ini, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-55/PJ/2010 tanggal 27 April 2010 yang menegaskan bahwa sepanjang belum ada ketentuan mengenai formulir transkrip kutipan elemen-elemen dari laporan keuangan bagi Wajib Pajak Badan yang bergerak pada bidang dana pensiun dan perusahaan pembiayaan, maka kepada Wajib Pajak Badan yang bergerak di bidang usaha tersebut tetap wajib menyampaikan SPT Tahunan beserta laporan keuangannya tanpa perlu melampirkan transkrip kutipan elemen-elemen laporan keuangan.


Sebagai penyempurnaan, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014 yang mengubah formulir SPT Tahunan PPh Badan yang berlaku untuk tahun pajak 2014 sampai dengan sekarang (sampai dengan tulisan ini dibuat, berlaku juga untuk tahun pajak 2016):
1. Formulir SPT Tahunan PPh Badan Rupiah
2. Lampiran Khusus SPT Tahunan PPh Badan Rupiah
3. Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal untuk Transfer Pricing Documentation sesuai PMK 213/PMK.03/2016

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Selasa, 27 April 2010

Beberapa Ketentuan Baru Yang Perlu Diperhatikan Dalam Melaporkan SPT Tahunan PPh Badan

Sebenarnya penulis ingin menuliskan artikel tentang seluruh perubahan yang terjadi atas kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009. Namun akibat keterbatasan waktu, akhirnya penulis buatkan saja ringkasannya.

Formulir SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 Sedikit Berubah!

Untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009, mengalami sedikit perubahan antara lain mengenai transaksi hubungan istimewa. Saat ini pernyataan transaksi hubungan istimewa ada pada halaman induk SPT (pada bagian G No. 16 Formulir 1771). Jika Wajib Pajak memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka Wajib melampirkan formulir Lampiran Khusus 3A, 3A-1, dan 3A-2.

Ada Lampiran Khusus Transkrip Elemen Laporan Keuangan, yang harus dibuat dan dilampirkan oleh Wajib Pajak. Transkrip ini dibuat menurut jenis-jenis usaha Wajib Pajak.

Untuk mendapatkan formulir SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 format Microsoft Excel, silakan download di sini. Sedangkan Formulir Lampiran Khusus berupa Pernyataan dapat didownload di sini (namun di sini masih dalam bentuk file pdf, karena penulis belum sempat mengubah ke file excel).

Lampiran Daftar Nominatif untuk Biaya Promosi

Bagi Wajib Pajak yang selama tahun 2009 mengeluarkan dan membebankan biaya promosi sehubungan dengan usahanya, maka wajib melampirkan daftar nominatif untuk biaya promosi ini. Ketentuan ini adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010. Artikel dan bentuk Daftar Nominatif ini silakan download di sini.

Tarif PPh Berubah

a. Tarif PPh Badan umum
Tarif PPh Badan untuk tahun pajak 2009 adalah tarif tetap (flat) sebesar 28%. Berbeda dengan tahun pajak sebelumnya yang masih mengenal tarif berlapis atau progresif. Sedangkan tarif PPh Badan untuk tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% (Pasal 17 ayat (2a) UU PPh). Akibat adanya penurunan tarif PPh Badan untuk tahun 2010, maka dalam menghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang akan disetorkan mulai Masa Pajak April 2010 hingga Desember 2010 (dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009). Ulasan serupa (berkaitan dengan perubahan tarif PPh Orang Pribadi) mengenai penghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang harus disesuaikan dengan perubahan ketentuan ini pernah dibahas dalam artikel: Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2009. Jadi untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kelebihan penyetoran PPh untuk tahun pajak 2010, kita perlu mencermati adanya perubahan ketentuan ini dan menyesuaikan angsuran PPh Pasal 25.

b. Tarif PPh Badan untuk perseroan terbuka (go public)
Khusus untuk Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008, dapat memperoleh tarif PPh sebesar 5% lebih rendah daripada tarif yang berlaku. Jadi untuk tahun 2009 ini tarif PPh Badan yang berlaku adalah 28%, maka untuk Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka yang memenuhi ketentuan ini berhak menggunakan tarif 23%. Ulasan mengenai ketentuan ini sudah penulis bahas pada artikel: WP Badan Go Publik Otomatis Dapat Penurunan Tarif PPh Badan untuk SPT Tahunan 2008.

c. Tarif PPh untuk WP Badan dengan peredaran usaha kurang dari Rp 50 milyar
Wajib Pajak badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapatkan fasilitas berupa pengurangan tarif PPh sebesar 50% dari tarif yang berlaku berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, dengan ketentuan bahwa pengenaan tarif sebesar 50% lebih rendah dari tarif yang berlaku ini akan dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh perusahaan ini dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00. Ketentuan mengenai fasilitas ini diatur dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
Mengutip contoh perhitungan dari penjelasan Pasal 31E ayat (1) adalah sebagai berikut:
Contoh 1:
Peredaran Bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00.
Maka perusahaan ini memenuhi kriteria sebagai WP Badan yang berhak memperoleh fasilitas pengenaan tarif PPh sebesar 50% (karena peredaran bruto masih di bawah Rp 50 miliar).
Pengenaan tarif PPh sebesar 50% dapat dikenakan terhadap seluruh Penghasilan Kena Pajak PT Y, yaitu Rp 500.000.000,00 (karena peredaran usahanya masih di bawah batas bagian peredaran usaha yang mendapatkan fasilitas ini yaitu Rp 4.800.000.000,00).
Jadi PPh Badan Terutang PT Y Tahun 2009 = (50% x 28%) x Rp 500.000.000,00 atau PPh Terutangnya adalah sebesar Rp 70.000.000,00.

Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3 miliar. Maka Penghitungan PPh yang terutang adalah:
-Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas adalah (Rp 4,8 miliar : Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480.000.000,00.
-Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas adalah Rp 3 miliar - Rp 480 juta = Rp 2.520.000.000,00
Sehingga PPh Terutangnya adalah:
-(50% x 28%) x Rp 480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
-28% x Rp 2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00
Jumlah PPh Terutang = Rp 772.800.000,00

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah ketentuan ini dapat langsung ditetapkan oleh semua Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sesuai persyaratan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 50 miliar? Padahal sampai dengan saat ini penulis belum menemukan peraturan pelaksana untuk menerapkan ketentuan Pasal 31E ini. Menurut penulis ketentuan ini sudah dapat diterapkan walau tidak ada peraturan pelaksananya, karena tidak dalam Pasal ini mensyaratkan bahwa aturan lebih lanjut akan diatur dengan peraturan di bawahnya. Pada ayat (2)-nya hanya menyebutkan bahwa yang akan diatur dengan peraturan lebih lanjut (yaitu Peraturan Menteri Keuangan) hanyalah mengenai ketentuan menaikkan batasan peredaran bruto.
(c) syafrianto.blogspot.com 27042010

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Senin, 26 April 2010

Penambahan Kode Jenis Setoran pada SSP

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah merupakan bukti pembayaran atau bukti penyetoran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak ke kas negara melalui Kantor Pos dan Giro serta Bank Persepsi sebagai tempat pembayaran pajak yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Saat ini ketentuan mengenai bentuk SSP ini telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tanggal 23 Juni 2009. Formulir SSP yang ditetapkan melalui PER-38/PJ/2009 ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2009 (dengan masa peralihan formulir SSP lama masih dapat digunakan hingga 31 Desember 2009).
Namun karena dalam PER-38/PJ/2009 masih terdapat beberapa jenis setoran pajak yang terakomodasi dalam SSP ini, maka Direktur Jenderal Pajak kembali menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 tanggal 22 April 2010 untuk menambahkan beberapa kode jenis setoran pajak yang sebelumnya belum tercantum dalam PER-38/PJ/2009.

Kententuan PER-23/PJ/2010 ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan pengantar Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-54/PJ/2010 tanggal 22 April 2010 yang menyampaikan bahwa beberapa perubahan yang dilakukan dalam PER-23/PJ/2010 ini adalah terdiri dari:
  1. Penambahan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk pembayaran deposit atas penggunaan Mesin Teraan Meterai Digital untuk membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas, dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP): 411611 dan KJS 2XX
  2. Penambahan KJS untuk denda administrasi atas pemeteraian kemudian, yaitu menggunakan KAP 411611 dan KJS 512.
  3. Penambahan KJS untuk pembayaran PPh Pasal 15 atas Jasa Penerbangan Dalam Negeri dalam bentuk charter, dengan menggunakan KAP 411129 KJS 101, serta penambahan KJS 301, 311, 321 untuk pembayaran jumlah yang harus dibayar sesuai dengan yang tercantum dalam STP, SKPKB dan SKPKBT.
  4. Perbaikan redaksional pada KAP 411612 (Penjualan Benda Meterai) dengan KJS 500, 501, dan 510 berupa perubahan istilah dari "Bea Meterai" menjadi "Benda Meterai".

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu tanggal 22 April 2010.

Artikel Terkait:
  1. PER-38/PJ/2009 beserta lampirannya
  2. Formulir SSP format Excel (formulir ini penulis buat 5 rangkap, lembar ke-5 dicetak jika dibutuhkan sesuai dengan petunjuk dari PER-38/PJ/2009


Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Jumat, 23 April 2010

Apakah Pajak yang Saya Bayarkan Tidak Akan Masuk Ke Kantong Pribadi Pegawai Pajak?

Pendahuluan

Sebulan terakhir ini kita banyak mendengar dan membaca berita mengenai kasus penyelewengan dan korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai pajak terhadap uang pajak. Kasus yang sempat menggemparkan adalah Makelar Kasus Pengadilan Pajak yang dilakukan oleh oknum Gayus Tambunan yang dibongkar oleh Susno Duadji, serta yang baru-baru ini terungkap adalah kasus pemalsuan setoran pajak yang dilakukan oleh suatu jaringan (mafia) di Surabaya. Akibat mencuatnya berita mengenai kasus-kasus ini mengakibatkan, menimbulkan kembali terjadinya resistensi (penolakan) di kalangan masyarakat terhadap kewajiban membayar pajak. Bahkan kita sebagai Wajib Pajak yang selama ini telah menjalankan kewajiban perpajakan kita termasuk juga melakukan penyetoran pajak akan merasa khawatir, jangan-jangan pajak yang selama ini telah kita setorkan bisa dikorupsi oleh oknum-oknum seperti yang disebutkan di atas?

Sistem Pembayaran Pajak

Untuk membahas pertanyaan tersebut di atas, penulis akan membahas dari sisi akademisi sesuai dengan bidang yang dikuasai oleh penulis. Tulisan berikut ini adalah murni hasil pemikiran penulis dan tidak bermaksud untuk menuduh atau menyudutkan pihak manapun yang terkait dalam tulisan berikut. Tujuan dari tulisan berikut adalah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang apa sebenarnya dan bagaimana mekanisme pembayaran pajak.

Jika kita tinjau dari sistem penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajak yang telah diterapkan di Indonesia sejak Reformasi Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983, Indonesia menganut sistem yang disebut sebagai self assessment system. Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk menghitung sendiri, melakukan penyetoran sendiri atas pajak terutang yang telah dihitungnya tersebut, serta melaporkannya sendiri ke Direktorat Jenderal Pajak/DJP (dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak setempat). Karena sistem inilah menyebabkan pihak DJP tidak lagi melakukan penetapan dan menarik setoran pajak langsung dari para Wajib Pajak. Fungsi DJP hanyalah sebagai pengawas terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak.

Dalam self assessment system ini, Wajib Pajak harus menghitung pajak terutangnya atas seluruh penghasilan yang diterimanya. Maka di sini dituntut kejujuran dari pihak Wajib Pajak sendiri. Uang pajak yang telah dihitung dan terutang selama suatu periode tertentu haruslah disetorkan sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau ke Kantor Pos dan Giro. Namun sampai dengan saat ini masih banyak pihak yang salah persepsi dan menganggap bahwa uang pajak yang terutang tersebut harus disetorkan ke kantor pajak (DJP), seperti isu yang beredar di masyarakat selama ini. Setelah kasus Gayus ini terungkap, maka timbullah gerakan dari masyarakat untuk tidak membayar pajak, karena mereka khawatir uang pajak yang dibayarkannya ini akan masuk ke kantong pribadi oknum petugas pajak. Bahkan saat pembahasan di Panja Wakil Rakyat, bahkan ada kesan bahwa para Wakil Rakyat juga masih awam soal pembayaran pajak.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah, apakah uang untuk pembayaran pajak yang telah kita bayarkan ke bank persepsi atau kantor pos dan giro itu akan aman dan tidak dapat dikorupsi oleh oknum aparat pajak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlulah kita ketahui bagaimana sebenarnya sistem penerimaan negara kita melalui pajak, serta bagaimana distribusi dari pajak yang telah diterima ini untuk digunakan sebagai biaya pembangunan.

Dalam sistem tata negara kita, sumber pembiayaan negara kita ini sebagian besar berasal dari penerimaan pajak dari masyarakat (Wajib Pajak). Pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak yang masuk ke bank persepsi dan kantor pos dan giro akan masuk langsung kas negara (dalam pos-pos penerimaan). Pos-pos penerimaan ini dapat kita ibaratkan sebagai suatu “rekening bank”, jadi Wajib Pajak yang menyetorkan pajaknya akan masuk ke “rekening bank” tersebut. Sama halnya seperti rekening bank yang kita miliki di Bank maka untuk mengambil uang dari “rekening bank” setoran pajak ini haruslah orang yang telah diotorisasikan. Uang yang diterima oleh negara (termasuk juga penerimaan dari pajak) yang telah masuk ke “rekening bank” kas negara ini baru akan dapat dikeluarkan setelah adanya APBN serta penjabaran penggunaannya dalam pos-pos dan untuk instansi-instansi yang telah ditetapkan dan disetujui oleh Wakil Rakyat dalam Rapat Paripurnanya. Melalui kuasa hasil penetapan para Wakil Rakyat inilah baru pihak Pemerintah dapat mencairkan (mengambil) uang dalam rekening kas negara ini untuk pembiayaan pembangunan, yang didelegasikan ke masing-masing instansi dan departemen.

Dengan demikian, maka apabila kita menyetorkan uang ke kas negara (antara lain berupa pajak), mustahil jika akan diambil atau dicairkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi, karena uang di kas negara baru dapat dicairkan jika ada proyek pembiayaan sebagaimana yang tercantum dalam APBN yang telah disetujui oleh Wakil Rakyat. Justru sebenarnya penyimpangan yang mungkin terjadi adalah pada saat uang tersebut telah dicairkan (sesuai dengan APBN) dan akan digunakan oleh tiap instansi untuk digunakan dalam pembiayaan negara. Oleh sebab itu, mengapa DJP saat ini menggunakan slogan: “Lunasi Pajaknya dan Awasi Penggunaannya”. Dengan demikian, maka kita sebagai masyarakat para pembayar pajak, kita dapat mengawasi penggunaan dana dari pajak yang telah kita bayar ini dengan memantau kegiatan seluruh instansi dan lembaga pemerintahan negara kita ini dalam hal pengelolaan dan penggunaan anggaran yang mereka terima melalui APBN atau APBD setiap tahunnya.

Sampai di sini mungkin para Pembaca Setia Tax Learning sudah mulai dapat memahami mengenai mekanisme penyetoran pajak serta dapat menjawab pertanyaan “Apakah Pajak yang Saya Bayarkan Tidak Akan Masuk Ke Kantong Pribadi Pegawai Pajak?”

Jadi sepanjang pajak dari para Pembaca Setia Tax Learning (dan juga para Wajib Pajak) disetorkan sendiri langsung ke bank persepsi atau kantor pos dan giro, maka uang pajak ini tidak akan mungkin masuk ke kantong pribadi oknum Pegawai Pajak.

Skema tentang mekanisme penghitungan pajak, pembayaran pajak, pelaporan pajak serta alokasi penggunaannya dapat dilihat pada gambar berikut ini (gambar ini diambil dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, www.pajak.go.id):


Mengapa Terjadi Kasus Uang Pajak Masuk ke Kantong Pribadi Oknum Tertentu?

Namun pertanyaan berikutnya mungkin akan muncul, “Jika memang setoran pajak ini tidak akan masuk ke kantong pribadi oknum Pegawai Pajak, lalu mengapa kasus Gayus dan kasus pemalsuan setoran pajak di Surabaya dapat terjadi?

Sebenarnya kasus Gayus ini dapat terjadi akibat adanya kolusi (penulis kurang setuju dengan istilah korupsi, karena kejadian ini sebenarnya terjadi karena adanya kesepakatan dari pihak Wajib Pajak dan oknum Pegawai Pajak untuk menghilangkan atau mengurangkan ketetapan pajak). Kasus ini kemungkinan dilakukan pada saat Wajib Pajak mengajukan Banding di Pengadilan dengan cara membuat hasil keputusan dari banding tersebut untuk membatalkan ketetapan pajak yang sudah ditetapkan pihak DJP sebelumnya (simpulan ini diambil oleh penulis setelah membaca dan menganalisis informasi dari media massa, pihak Kementerian Keuangan, Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum serta pihak-pihak lainnya).

Sedangkan untuk kasus yang terjadi di Surabaya, kemungkinan dapat terjadi akibat manipulasi setoran pajak yang dibuat oleh pihak ketiga.
Berdasarkan analisis penulis, manipulasi setoran pajak ini dapat terjadi, akibat adanya Wajib Pajak yang menyerahkan sepenuhnya penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya ke pihak ketiga yang tidak berkompeten (menurut informasi di media massa adalah staf dari konsultan pajak). Modus ini dilakukan oleh oknum konsultan pajak yang mengurus penghitungan, penyetoran serta pelaporan pajak dari seorang Wajib Pajak (yang biasanya karena belum mengerti atau tidak mau repot untuk melakukannya sendiri). Si oknum akan meminta sejumlah uang kepada Wajib Pajak yang meminta tolong untuk diurus perhitungan dan pelaporan pajaknya tersebut sebagai dana untuk menyetorkan pajak berdasarkan perhitungan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), namun oknum ini akan menyetorkan nilai yang lebih kecil dari dana yang telah diperoleh dari Wajib Pajak (atau bahkan tidak menyetorkan pajaknya tersebut), kemudian bukti penyetoran pajak yang sesuai dengan dana yang telah diberikan oleh Wajib Pajak ini akan dipalsukan (dibuatkan surat setoran pajak palsu, seolah-olah dana untuk pajak tersebut seluruhnya telah disetorkan).

Dengan demikian, menurut penulis atas 2 kasus penyelewengan setoran pajak di atas terjadi akibat adanya kolusi antara Wajib Pajak sendiri dengan oknum petugas pajak dan akibat adanya Wajib Pajak yang menyerahkan penyetoran pajak kepada pihak ketiga yang kurang bertanggung jawab sehingga setoran pajaknya ini dimanipulasi.

Oleh sebab itu, saran penulis kepada para Pembaca Setia Tax Learning untuk menghindari tindakan yang mengarah kepada tindakan pidana perpajakan (atau terlibat melakukan tindakan tersebut) seperti kedua kasus di atas, maka sebaiknya Wajib Pajak melakukan perhitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya secara sendiri. Apabila menggunakan jasa konsultan pajak, gunakanlah konsultan pajak yang resmi yang memiliki ijin praktek yang diakui oleh instansi yang berwenang. Selain itu, laporkanlah pajak Anda secara jujur dan benar sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam sistem perpajakan kita serta sebagai wujud bahwa kita adalah warga negara yang bertanggung jawab. Karena pajak yang Anda setorkan ini adalah modal untuk melakukan pembangunan bangsa kita ini. Apabila tidak ada pembayaran pajak dari Anda, maka kemungkinan besar jalannya roda pemerintahan negara kita akan terhenti.

Selamat membayar pajak dengan jujur dan benar.
(c)23042010 @ http://syafrianto.blogspot.com

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Rabu, 21 April 2010

Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak

Akibat adanya beberapa perubahan ketentuan termasuk mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN), maka ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) yang selama ini diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2010 tanggal 13 April 2010.



Tata Cara Penagihan Dengan Surat Paksa dan Penagihan Seketika/Sekaligus

Pemerintah kembali menyempurnakan ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penagihan utang pajak seiring dengan pencanangan tahun 2010 sebagai tahun penagihan dan penegakan pajak. Menteri Keuangan mengubah ketentuan tata cara pelaksanaan penagihan pajak yang selama ini diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 tanggal 13 April 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus.



Selasa, 20 April 2010

Produk Ikan Bebas PPN, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Tidak Dikenakan Pajak

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah mulai 1 April 2010 akan mengecualikan produk ikan segar. Demikian dikemukakan Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Catur Rini Widosari seusai konferensi pers di Jakarta, Kamis (1/4).

Dalam UU No 42/2009 disebutkan, kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging segar tanpa diolah, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Catur mengemukakan, dalam perumusan UU PPN Barang dan Jasa dan PPnBM dengan DPR, pihaknya telah menaruh perhatian mengenai daging segar.
Oleh karena itu, produk daging yang bebas PPN akan dirinci berupa ikan segar dalam aturan pelaksana UU tersebut "Adapun produk pakan dan ikan olahan tetap dikenakan PPN," ujar Catur.

Ia menambahkan, aturan pelaksana UU PPN Barang dan Jasa serta PPnBM berupa peraturan pemerintah. Saat ini sedang disiapkan dan diharapkan selesai pada akhir April 2010.

Pihaknya, kata Catur, telah berkoordinasi dengan Biro Hukum pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai penyusunan peraturan pemerintah itu. Sebelumnya, pemberlakuan PPN barang dan jasa mulai 1 April dikeluhkan sejumlah produsen perikanan.

Pengenaan pajak atas produk ikan utuh beku akan membebani biaya produksi sehingga pelaku usaha kesulitan meningkatkan daya saing serta mendorong harga jual ikan semakin mahal. Catur mengatakan, sepanjang aturan PP baru belum diterbitkan, produk PP barang strategis yang kini berlaku masih bisa diterapkan.

Beberapa Perubahan

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Mochamad Tjiptardjo, dalam konferensi pers, mengemukakan, terdapat beberapa pokok perubahan aturan dalam UU PPN Barang dan Jasa serta PPnBM.

Perubahan itu di antaranya kenaikan batas atas tarif PPnBM dari 75 persen menjadi 200 persen. Namun, tarif tertinggi itu baru diterapkan jika benar-benar
diperlukan. "Dalam pelaksanaannya, kita belum akan menerapkan tarif batas atas 200 persen itu," ujar Tjiptardjo.

Adapun ekspor barang kena pajak tidak berwujud dan ekspor jasa kena pajak dikenakan .PPN sebesar nol persen. Kelompok jasa keuangan, seperti jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, juga tidak dikenakan PPN. Sementara itu, tidak dikenal lagi istilah faktur pajak standar dan faktur pajak sederhana, yang ada hanya faktur pajak.

Faktur pajak dibuat pada saat penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum penyerahan barang atau jasa, faktur pajak dibuat pada saat pembayaran. Insentif pajak ini diberlakukan pada saat Dirjen Pajak sedang disorot menyusul adanya kasus makelar pajak.


Sumber : Kompas

Senin, 19 April 2010

Penghapusan Piutang Tak Tertagih

Dengan berlakunya Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret 2010 yang mengatur mengenai Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2010 tanggal 9 April 2010 untuk mencabut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-238/PJ./2001.

Sehingga saat ini ketentuan mengenai perlakuan atas piutang yang tidak dapat ditagih berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut:

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul di bidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. Piutang yang dimaksud di sini tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat tertagih ini dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
  1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
  2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
  3. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

Jumat, 16 April 2010

Penunjukan Kontraktor Migas dan Panas Bumi Sebagai Pemungut PPN

Seperti yang telah berlaku saat ini dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16A ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, maka ditetapkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusaha Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.



Kamis, 15 April 2010

Tax Refund Bagi Turis Asing Yang Berbelanja Di Indonesia

Mulai 1 April 2010 berlaku ketentuan yang menguntungkan bagi para Wisatawan Asing yang berbelanja ke Indonesia. Keuntungan tersebut adalah bagi Wisatawan Asing yang berbelanja Barang Kena Pajak (BKP) di Indonesia, kemudian BKP tersebut akan dibawa pulang ke negara asalnya, maka si Wisatawan Asing tersebut akan mendapatkan pengembalian PPN yang telah dipotong oleh Toko tempat si Wisatawan Asing tersebut berbelanja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, dan lebih lanjut diatur dalam:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2010 tanggal 31 Maret 2010
Serta disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ/2010 tanggal 31 Maret 2010.

Ketentuan meminta pengembalian pajak (tax refund), dalam hal ini PPN, bagi wisatawan asing yang diatur adalah sebagai berikut:
  1. Pengembalian PPN bagi wisatawan asing hanya berlaku untuk pembelanjaan pada toko yang sudah ditunjuk.
  2. Hanya boleh dilakukan oleh wisatawan asing yang datang ke Indonesia dalam jangka waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan serta memiliki paspor luar negeri.
  3. Hanya boleh dilakukan untuk pembelian dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum yang bersangkutan meninggalkan Indonesia.
  4. Diberikan jika wisatawan asing menunjukkan barang yang dibelinya tersebut.
  5. Wisatawan asing hanya dapat meminta tax refund untuk pembelian barang yang jumlah PPN minimal Rp 500.000,00 dengan meminta Faktur Pajak Khusus (bentuk Faktur Pajak Khusus dapat dilihat di Lampiran 76/PMK.03/2010) dari toko yang ditunjuk.


Saat ini proses restitusi ini baru dapat dilakukan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta dan di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Ini berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 141/KMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010.

Sedangkan untuk Toko yang sudah ditunjuk untuk dapat mengeluarkan Faktur Pajak khusus baru 8 (delapan) toko yang berada di Jakarta, Tangerang dan Bali. Toko-toko ini ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-184/PJ/2010 tanggal 29 Maret 2010, yang terdiri dari:
- Pasaraya, di Blok M, Jakarta
- Sarinah, di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta
- Metro, di Pondok Indah Mal, Jakarta
- Metro, di Plaza Senayan, Jakarta
- Keris Gallery, di Terminal 2D Bandara Soekarno Hatta, Tangerang
- Batik Keris, di Discovery Shopping Mall, Bali
- UC Silver, di Batubulan, Gianyar, Bali
- Mayang Bali, di Kuta Square Blok A No. 12, Bali

Mekanisme dan ketentuan mengenai pengembalian PPN bagi turis asing ini dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2010 tanggal 30 April 2010.

Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010
- Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010

Baca Prosedur Restitusi dalam Bahasa Inggris

Artikel Terkait:
- Daftar 10 Toko Di Yogyakarta dan Sleman Yang Ditunjuk sebagai Toko Retail


Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Rabu, 14 April 2010

Penyetoran Kembali PM yang Telah Dikreditkan Untuk PKP Gagal Produksi

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang Saat Penghitungan Dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan Yang Telah Dikreditkan Dan Telah Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi.



Saat Jatuh Tempo Setor dan Lapor Pajak

Mulai 1 April 2010, ketentuan saat setor PPN Kurang Bayar dan lapor SPT Masa PPN telah berubah sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 42 Tahun 2009. Sebelumnya ketentuan tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan tanggal jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPN adalah tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Namun dengan mulai berlakunya UU Nomor 42 Tahun 2009 maka tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan sebelum SPT Masa PPN dilaporkan. Sedangkan untuk tanggal jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPN adalah pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Untuk mengatur kembali ketentuan ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 yang mengubah ketentuan yang berlaku sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007.

Dalam ketentuan ini diatur tanggal jatuh tempo untuk penyetoran PPN adalah:
  1. PPN Kegiatan Membangun Sendiri disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak Berakhir.
  2. PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
  3. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  4. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
  5. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.


Dalam ketentuan ini selain mengatur tentang jatuh tempo penyetoran dan pelaporan PPN juga diatur untuk PPh dan mulai berlaku 1 April 2010.

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP Usaha Tertentu

Sebagai petunjuk pelaksana dari ketentuan Pasal 9 ayat (7a) UU PPN mengenai besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010.

PKP dengan usaha tertentu yang diatur dalam ketentuan ini adalah:
  1. PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukannya adalah sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Jadi PPN Kurang Bayar yang harus disetorkan oleh PKP jenis ini adalah sebesar: 10% x 90% x Total Penyerahan.
  2. PKP yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran, pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukannya adalah sebesar 80% dari Pajak Keluaran. Jadi PPN Kurang Bayar yang harus disetorkan oleh PKP jenis ini adalah sebesar: 10% x 80% x Total Penyerahan.

Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode Mei 2010

Badan Penyelenggara Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) kembali akan menggelar USKP untuk periode Mei 2010 ini. Ujian yang dijadwalkan akan diselenggarakan pada tanggal 25 s.d 27 Mei 2010 ini telah dibuka pendaftarannya sejak tanggal 5 April 2010.
Berikut jadwal penyelenggaraan USKP Periode Mei 2010 ini:

Tanggal-tanggal Penting
Tahun 2010, Ujian diadakan 2 (dua) kali, Periode Mei dan Periode Nopember.






















Periode I
Masa Pendaftaran (penyerahan/verifikasi formulir dan berkas persyaratan)
5 s.d 30 April 2010
Batas akhir Pembayaran Biaya Pendaftaran, Pengembalian Formulir & Berkas
23 April 2010
Batas akhir Pembayaran Biaya Ujian
28 April 2010
Pengambilan Kartu Nomor Tanda Peserta
17 s.d 22 Mei 2010 (elektronik)
18 s.d 21 Mei 2010 (manual)
Penyelenggaraan Ujian
25 s.d 27 Mei 2010
Pengumuman Hasil Ujian
30 Juli 2010



Berikut ini penulis lampirkan Hasil USKP Periode November 2009. Kepada para Peserta yang lulus dalam USKP ini, diucapkan selamat.

Hasil Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak PERIODE III (NOPEMBER) 2009

Lampiran I A : Keputusan Pengurus Pusat
Badan Penyelenggara Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak
Nomor : Kep.001/SK-BP.USKP/II/2010
Tanggal : 11 Februari 2010

Info mengenai USKP selengkapnya dapat dilihat di sini.


Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP yang Melakukan Penyerahan Terutang dan Tidak Terutang PPN

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usahanya sekaligus melakukan kegiatan Penyerahan Barang/Jasa yang terutang PPN dan yang tidak terutang PPN, maka Pajak Masukan yang diperoleh dari pembelian/perolehan BKP/JKP yang digunakan untuk menghasilkan BKP/JKP yang akan diserahkan tersebut tidak seluruhnya dapat dikreditkan.
Karena pada prinsipnya atas perolehan BKP/JKP yang nantinya digunakan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa yang tidak terutang PPN, maka Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan. Maka untuk PKP yang melakukan penyerahan yang terdiri dari barang/jasa yang terutang PPN dan yang tidak terutang PPN, Pajak Masukannya tersebut harus dihitung kembali untuk dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. Pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan ini diatur dalam Pasal 9 ayat (6) UU PPN dan aturan pelaksanaan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.



Selasa, 13 April 2010

Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan PPN

Dalam melaksanakan ketentuan Pasal 8A ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 mengenai penetapan nilai lain sebagai dasar pengenaan PPN, maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Nilai lain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 ini adalah:

  1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
  2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
  3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
  4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
  5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
  6. untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
  7. untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan;
  8. untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli;
  9. untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang;
  10. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
  11. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

Jadi untuk perhitungan pengenaan PPN atas DPP Nilai Lain rumusnya adalah: = Tarif PPN x DPP Nilai Lain
= 10% x (10% x Nilai Transaksi)
= 1% x Nilai Transaksi

(c)http://syafrianto.blogspot.com

Artikel Terkait:
Aturan Terbaru tentang Pajak atas Impor Film Cerita

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP Dengan Omzet Tertentu

Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan akan kesulitan jika harus melaporkan dan mengkreditkan Pajak Masukan atas Pajak Keluaran yang harus dipungut dan disetornya tersebut. Untuk mengakomodasi bagi Wajib Pajak yang demikian, maka ketentuan pajak (terutama dalam ketentuan PPN) memberikan suatu kemudahan. Kemudahan ini diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (7) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Dalam ketentuan Pasal ini diatur bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu.


PKP Berisiko Rendah Yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak

Pengusaha Kena Pajak yang mengalami kelebihan pembayaran PPN dapat diberikan pengembalian pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN-nya tersebut. Ketentuan mengenai pengembalian pendahuluan ini, sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.

Dalam ketentuan ini diatur mengenai:

Pengusaha Kena Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak adalah Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi ketentuan:

a. melakukan kegiatan:
  1. ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
  2. penyerahan BKP dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Pemungut PPN;
  3. penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya tidak dipungut;
  4. ekspor BKP Tidak Berwujud; dan/atau
  5. ekspor JKP; dan
b. telah ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah.

Untuk dapat ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah ini, harus memenuhi kriteria:
  1. PKP merupakan Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
  2. PKP merupakan perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
  3. produsen selain PKP sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 di atas, yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 bulan terakhir.

Persyaratan sebagai produsen selain PKP perusahaan Terbuka dan perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah adalah:
  1. tepat waktu dalam penyampaian SPT Masa PPN selama 12 bulan terakhir;
  2. nilai BKP yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% adalah produksi sendiri; dan
  3. Laporan Keuangan untuk 2 tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian.


Untuk dapat ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah ini, PKP yang bersangkutan harus menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan kelengkapan dokumen:
  1. Keterangan dari instansi yang berwenang untuk pemenuhan persyaratan sebagai PKP Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia (selanjutnya diistilahkan sebagai: perusahaan "go public") atau persyaratan sebagai PKP yang saham mayoritasnya dimiliki Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah (selanjutnya diistilahkan sebagai: Perusahaan Pemerintah).
  2. Laporan Keuangan yang telah diaudit dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar dengan Pengecualian bagi produsen selain Perusahaan "go public" atau Perusahaan Pemerintah.
  3. Dokumen-dokumen lain yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan atas permohonan yang diajukan oleh PKP ini dalam jangka waktu 15 hari sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap. Surat Keputusan dari Direktur Jenderal Pajak ini dapat berupa keputusan penetapan sebagai PKP berisiko rendah atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Kamis, 08 April 2010

BATASAN PENGUSAHA KECIL PPN

Tidak setiap Pengusaha (baca sebagai: Wajib Pajak baik perorangan maupun suatu badan) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) harus memenuhi kewajiban PPN. Dalam ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN ditegaskan bahwa bagi pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dikecualikan dari kewajiban PPN ini. Sebagai tindaklanjut dari ketentuan ini, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tanggal 23 Maret 2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan yang mulai berlaku sejak 1 April 2010 ini menetapkan batasan bagi pengusaha kecil ini adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600 juta (masih sama dengan aturan yang berlaku selama ini). Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto yang dimaksudkan di sini adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.

Sedangkan bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah sama dengan tahun kalender.

Dalam ketentuan ini diatur bahwa pengusaha kecil yang termasuk dalam kategori sesuai Peraturan Menteri Keuangan ini tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannya. Namun apabila pengusaha kecil ini memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka terhadap pegnusaha kecil ini dikenakan kewajiban PPN.

Apabila seorang pengusaha yang sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600 juta, maka pengusaha ini diwajibkan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600 juta. Dan apabila pengusaha ini tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak (berdasarkan data dan/atau Informasi yang diperoleh) dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan serta dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600 juta.
Jika pada suatu saat, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 600 juta, maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 dan 571/KMK.03/2003.

:: Print Halaman Ini

Senin, 05 April 2010

Prosedur Pemusatan Tempat PPN Terutang

Perubahan lainnya yang ada dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) adalah mengenai prosedur dan mekanisme penetapan satu tempat atau lebih sebagai tempat PPN Terutang (atau biasa dikenal dengan istilah pemusatan tempat PPN Terutang). Ketentuan mengenai pemusatan tempat PPN Terutang ini diatur dalam Pasal 12 ayat (2) UU PPN. Dalam UU PPN yang baru ini sekarang bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang akan melakukan pemusatan tempat PPN Terutang hanya perlu memberitahukan pemusatan tempat PPN Terutang dengan surat pemberitahuan.
Aturan pelaksaan mengenai mekanisme pemberitahuan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2010 tanggal 29 Maret 2010 tentang Penetapan Satu Tempat atau Lebih Sebagai Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang dan disampaikan melalui Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2010 tanggal 29 Maret 2010.
Secara teori sebenarnya PPN terutang pada setiap tempat kegiatan PKP yang melakukan penyerahan BKP dan JKP. Jika PKP memiliki lokasi kegiatan penyerahan di beberapa tempat (misalnya memiliki beberapa lokasi cabang), maka atas setiap kegiatan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan di setiap cabang maupun lokasi terutang PPN dan setiap lokasi ini harus memenuhi kewajiban PPN secara tersendiri. Namun untuk memudahkan bagi PKP, maka dimungkinkan bagi untuk memusatkan seluruh tempat kegiatan usaha ini sehingga PPN hanya terutang di satu (atau beberapa) tempat sehingga PKP tidak perlu repot lagi harus memenuhi kewajiban PPN untuk setiap cabang dari usahanya. Prosedur melakukan pemusatan PPN terutang inilah yang diatur dalam PER-19/PJ/2010 ini.

Mulai 1 April 2010 prosedur untuk melakukan pemusatan tempat PPN terutang dapat dilakukan hanya dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah tempat lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat pusat pelaporan kewajiban PPN dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi-lokasi kegiatan penyerahan BKP dan/atau JKP yang akan dipusatkan.

Namun tidak semua tempat dapat dijadikan sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang, tempat-tempat yang tidak dapat dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang atau tempat PPN Terutang yang akan dipusatkan adalah tempat tinggal, tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha PKP yang:
-berada di Kawasan Berikat;
-berada di Kawasan Ekonomi Khusus;
-mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.

Pemberitahuan secara tertulis yang harus disampaikan oleh PKP yang akan melakukan pemusatan harus memenuhi persyaratan:
  1. memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang;
  2. memuat nama, alamat dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan; dan
  3. dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat pada tempat PPN terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang.

Atas pemberitahuan yang diajukan oleh PKP ini, Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat Keputusan tentang Persetujuan Pemusatan Tempat PPN Terutang dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dari PKP tersebut.