..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label New Regulations - KUP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label New Regulations - KUP. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Agustus 2014

Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan Badan untuk Tahun Pajak 2014

Untuk mengakomodasi beberapa ketentuan perpajakan yang baru serta menyesuaikan dengan kebijakan yang ada, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan bentuk Formulir SPT Tahunan PPh yang baru untuk tahun pajak 2014. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh yang baru ini ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014 tanggal 3 Juli 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya.

Bentuk formulir SPT Tahunan PPh yang akan diberlakukan untuk pengisian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2014 dan seterusnya sebagaimana yang ditetapkan dalam PER-19/PJ/2014 ini adalah:
  1. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (Formulir 1770)
  2. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S)
  3. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir 1770 SS)
  4. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Rupiah (Formulir 1771) dan US Dollar (Formulir 1771/$)

Dalam formulir baru ini, salah satu ketentuan baru yang telah diakomodasi adalah pelaporan PPh bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang dikenakan PPh Final sebesar 1% atas Peredaran Brutonya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (baik dalam Formulir 1770 maupun dalam Formulir 1771 atau 1771/$).

Download Peraturan:
-PER-19/PJ/2014
-Lampiran I
-Lampiran II - Petunjuk Pengisian 1770
-Lampiran III
-Lampiran IV - Petunjuk Pengisian 1770 S
-Lampiran V
-Lampiran VI
-Lampiran VII
-Lampiran VIII - Petunjuk Pengisian 1771

Rabu, 20 November 2013

Bayar PPh Final 1% Bisa Lewat ATM

Slogan membayar pajak itu mudah semakin gencar dikampanyekan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam prakteknya tidak hanya melalui kampanye saja, namun DJP juga berupaya mendukung dan membuat semua kemudahan dalam melakukan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak tersebut melalui regulasi, sarana, prasarana dan prosedur. Pada tanggal 15 November 2013, DJP kembali meluncurkan satu metode baru dalam pembayaran pajak yang semakin memudahkan bagi Wajib Pajak. Prosedur baru ini adalah pembayaran pajak melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Sebagaimana kita ketahui bahwa mulai 1 Juli 2013, DJP telah mengeluarkan satu kebijakan baru bagi para pengusaha dan Wajib Pajak dalam melakukan penghitungan PPh atas penghasilan yang diperolehnya. Kebijakan baru ini adalah berupa pemberlakuan ketentuan untuk menghitung PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan omzet setahun yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar. PPh yang terutang atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak ini adalah sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) setiap bulannya dan bersifat final.

Sebagai upaya untuk lebih memudahkan bagi Wajib Pajak ini dalam melakukan pembayarannya, maka sejak 15 November 2013 diluncurkanlah program pembayaran PPh Final 1% ini melalui ATM. Bekerja sama dengan 4 (empat) bank, yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Mandiri Tbk, dan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), DJP membuat suatu terobosan baru yang mempermudah Wajib Pajak yang akan membayar PPh Final 1% ini. Direncanakan pada akhir Desember, DJP juga akan bekerja sama dengan Bank DKI untuk menyelenggarakan pembayaran PPh Final 1% melalui ATM ini.

Selain melalui ATM, pembayaran PPh Final 1% dapat juga dilakukan melalui mobile banking (m-banking).

Bukti Pembayaran Pajak

Pembayaran PPh Final 1% yang dilakukan melalui ATM ini akan dibuktikan dengan struk bukti transaksi yang dicetak dari mesin ATM pada saat transaksi dilakukan. Jadi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran melalui ATM ini harus menyimpan struk ini dan kelak akan dilampirkan pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh (Orang Pribadi atau Badan).

Sebagaimana kita ketahui bahwa struk bukti transaksi yang dicetak dari mesin ATM tersebut umumnya akan memudar setelah beberapa lama, oleh sebab itu penulis menyarankan kepada para Pembaca setia Tax Learning yang melakukan pembayaran PPh melalui ATM ini agar mem-fotokopi struk ATM tersebut untuk diarsip.

Namun apabila struk ATM ini hilang, pihak DJP berjanji dapat membantu untuk melacak pembayaran tersebut serta membuatkan salinan bukti pembayaran tersebut. Namun prakteknya seperti apa, hingga saat ini penulis belum memperoleh ketentuan dan prosedurnya.

Langkah-Langkah Pembayaran PPh melalui ATM

Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan bagi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Final 1% melalui ATM.



Tampilan lengkap pada layar ATM adalah sebagai berikut:




(c) http://syafrianto.blogspot.com

Kamis, 16 Mei 2013

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

Sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan kewajiban pemungutan PPh atas pembayaran penghasilan kepada Pegawai dan Bukan Pegawai orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan adalah dengan menggunakan Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26. Selama ini formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini diberi kode Formulir 1721.

Kelak mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013.

Bentuk Formulir

Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dengan peraturan ini sebagaimana ditentukan dalam Lampiran 1 (Formulir 1721 tahun 2014 dalam bentuk Ms. Excel ini dapat di-download di sini) terdiri dari:


  1. Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721);
  2. Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-I);
  3. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-II);
  4. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-III);
  5. Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-IV);
  6. Daftar Biaya - (Formulir 1721-V);
Sedangkan bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang merupakan dokumen pendukung dari SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dalam Lampiran 2 peraturan ini terdiri dari:

  1. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) atau Pasal 26 - (Formulir 1721-VI);
  2. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-VII);
  3. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala - (Formulir 1721-A1);
  4. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya - (Formulir 1721-A2);

Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini adalah berupa:
-formulir kertas (hard copy); atau
-e-SPT

Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26

a.Pelaporan dengan formulir kertas (hard copy)

Wajib Pajak/Pemotong Pajak dapat menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dalam bentuk kertas (hard copy) adalah apabila:
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau;
  2. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada angka 1 dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  3. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  4. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

b.Pelaporan dengan e-SPT

Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang diperbolehkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir dalam bentuk kertas, namun ingin melaporkannya menggunakan e-SPT, maka dalam ketentuan ini Wajib Pajak ini diperolehkan untuk melaporkan dengan menggunakan e-SPT.

Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang tidak memenuhi salah satu dari keempat ketentuan yang memperbolehkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir kertas, maka wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT.

Apabila Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang telah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT, maka tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) untuk masa-masa pajak berikutnya.

Bagi Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan e-SPT namun tetap menyampaikannya dengan formulir kertas, maka atas SPT yang telah dilaporkannya dengan menggunakan formulir kertas ini dianggap tidak pernah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26

Bentuk Formulir Yang Harus Digunakan

Bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir kertas, maka bentuk, isi dan ukuran formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 tersebut harus sama seperti bentuk formulir yang ditetapkan dalam Lampiran 1 PER-14/PJ/2013 ini dan tidak boleh diubah

Bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan e-SPT, maka harus menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Cara Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dapat disampaikan oleh Pemotong dengan cara:

a. langsung ke KPP atau KP2KP;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP;
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
d. e-filing yang tata cara penyampaiannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Formulir Yang Harus Dilaporkan

Dalam Hal Pelaporan Menggunakan Formulir Kertas (hard copy)
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) tidak perlu dilampiri dengan:
  • Formulir 1721-I dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap, Penerima Pensiun, Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya;
  • Formulir 1721-II dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan Pasal 26 dengan menggunakan Formulir 1721-VI;
  • Formulir 1721-III dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan menggunakan Formulir 1721-VII;
  • Formulir 1721-IV dalam hal tidak ada penyetoran dan pemindahbukuan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 dengan menggunakan SSP dan Bukti Pbk;
  • Formulir 1721-V dalam hal Pemotong wajib menyampaikan SPT Tahunan;
  • Formulir 1721-VI;
  • Formulir 1721-VII;
  • Formulir 1721-A1;
  • Formulir 1721-A2;

Dalam Hal Pelaporan Menggunakan e-SPT
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT harus disampaikan dengan disertai Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy).

Kapan dan Formulir Apa yang Harus Digunakan?

Ketentuan perubahan saat penggunaan formulir baru (Formulir 1721 tahun 2014) sesuai PER-14/PJ/2014 dan kapan masih harus menggunakan formulir sesuai PER-32/PJ/2009 (Formulir 1721 tahun 2009) adalah:
1. Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 sampai dengan Masa November 2013 (baik SPT Normal maupun SPT Pembetulan)
Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak sampai dengan Masa Pajak November 2013 yang dilakukan sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

2. Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember 2013 (SPT Normal dan SPT Pembetulan)
Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak Desember 2013 yang dilakukan:
  • sampai dengan tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26;
  • setelah tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pengisian Pada Masa Desember

Berbeda dengan formulir SPT Masa yang sebelumnya, pada formulir SPT Masa PPh Pasal 21 1721 sesuai dengan ketentuan PER-14/PJ/2013 ini untuk pengisian masa Desember, pada Induk SPT (Form 1721, jumlah penghasilan bruto dan PPh terutang yang diisikan hanyalah jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan kepada karyawan serta PPh terutang yang terjadi pada bulan Desember saja (bukan jumlah akumulasi dari Januari sampai dengan Desember). Sedangkan pada Form 1721-I, pada masa Desember harus mengisi 2 Form, yaitu:
  • satu Form yang diisi hanya untuk penghasilan bruto yang diterima setiap karyawan dan PPh terutangnya pada bulan Desember saja (pada bagian atas formulir dipilih "SATU MASA PAJAK"), dan;
  • satu Form yang untuk penghasilan bruto yang diterima setiap karyawan dan PPh terutangnya selama bulan Januari sampai dengan Desember (pada bagian atas formulir dipilih "SATU TAHUN PAJAK")

Download:
Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 (Form 1721) format Excel

Artikel Terkait:
Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Baru tahun 2015

Rabu, 23 Januari 2013

Bank Indonesia Diwajibkan untuk Mengirim Laporan Keuangan Debitor ke Ditjen Pajak

Pemerintah semakin berupaya untuk membuka data dan informasi agar dapat diakses oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak. Dengan diberikannya wewenang kepada pihak Direktorat Jenderal Pajak untuk mengakses dan memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012, maka untuk mengatur mengenai teknis pemberian data dan informasi serta data dan informasi apa yang harus disampaikan oleh instansi-instansi dan pihak yang telah ditentukan tersebut, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2013 tanggal 4 Januari 2013 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan.

Salah satu hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2013 adalah mewajibkan Bank Indonesia untuk menyampaikan Informasi Debitur yang paling sedikit memuat tentang:
-Identitas Debitur
-Identitas Pengurus dan Pemilik Debitur, bagi debitur berbentuk badan usaha
-Agunan/pinjaman
-Laporan Keuangan Debitur
-Fasilitas Penyediaan Dana

Data ini harus disampaikan oleh Bank Indonesia dalam bentuk elektronik (namun sementara dapat berbentuk hardcopy apabila data elektronik belum tersedia) dan disampaikan secara online. Data ini harus disampaikan pertama kali pada tanggal 1 Mei 2013. Selanjutnya data ini harus disampaikan secara tahunan paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya.

Dengan diwajibkannya kepada pihak Bank Indonesia untuk menyampaikan data laporan keuangan dari para debitur, maka menurut penulis akan menutup kemungkinan kepada para calon debitur untuk melakukan "window dressing" dengan mengajukan laporan keuangan dengan kondisi keuangan yang terbaik kepada pihak perbankan ketika akan mengajukan kredit pinjaman namun membuat laporan keuangan dengan kondisi keuangan terburuk untuk keperluan pelaporan kewajiban perpajakan yang selama ini diindikasikan dilakukan oleh beberapa oknum debitor.

Rabu, 29 Februari 2012

Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah

Dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP (UU KUP) mewajibkan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang melaksanakan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas untuk menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan yang dibuat oleh Wajib Pajak ini diwajibkan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia.

Walaupun adanya ketentuan untuk membuat pembukuan dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia, namun dalam Pasal 28 ayat (4) UU KUP menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat membuat pembukuan dengan menggunakan bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. Pada ayat (8) disebutkan bahwa untuk menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan.
Untuk melaksakana ketentuan ini, maka Menteri Keuangan menerbitkan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007. Sejak tanggal 2 Februari 2012, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 ini diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing Dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini tentang pembukuan dalam bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah adalah:

Bahasa dan Mata Uang Yang Dapat Digunakan

Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing yaitu Bahasa Inggris. Sedangkan untuk Mata Uang selain Rupiah yang dapat digunakan adalah satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.

Wajib Pajak Yang Dapat Menggunakan Pembukuan Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah

Wajib Pajak yang dapat menggunakan pembukuan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah adalah Wajib Pajak yang berbentuk:
  1. Wajib Pajak Penanaman Modal Asing
  2. Wajib Pajak Kontrak Karya untuk Pertambangan selain Migas
  3. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama untuk Pertambangan Migas
  4. Bentuk Usaha Tetap
  5. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri
  6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Bapepam-Lembaga Keuangan
  7. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri
  8. Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Pengajuan Permohonan dan Jangka Waktu

Untuk dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh Wajib Pajak, maka terlebih dahulu harus mendapatkan izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau Wajib Pajak dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Permohonan ini harus diajukan ke Kantor Wilayah yang wilayah kerjanya meliputi KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai; atau sejak tanggal pendirian bagi Wajib Pajak baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama.

Jangka Waktu Pengajuan Permohonan Untuk Masa Peralihan

Sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012 (tanggal 2 Februari 2012) maka Wajib Pajak yang akan mengajukan ijin untuk menggunakan pembukuan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah yang tahun bukunya dimulai pada bulan Januari, Februari, Maret, April 2012, harus mengajukan permohonan paling lambat 30 hari setelah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012. Ini berarti batas waktu pengajuan adalah tanggal 3 Maret 2012.

Selasa, 31 Januari 2012

PP tentang Perubahan Aturan Pelaksana UU KUP

Selama ini aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007. Namun karena adanya beberapa hal yang diatur dalam PP ini yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha, sehingga Pemerintah menyempurnakan dan mengubah PP ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tanggal 29 Desember 2011.

.

Jumat, 18 Februari 2011

Perubahan Ketentuan Cara Penghitungan Imbalan Bunga

Apabila Wajib Pajak memiliki kelebihan akibat pembayaran pajak dan terlambat dikembalikan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, maka Wajib Pajak akan memperoleh imbalan bunga sebesar 2% per bulan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak yang terlambat dikembalikan tersebut.

Tata Cara penghitungan dan pemberian imbalan bunga selama ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.03/2007.

Namun mulai tanggal 19 Januari 2011, ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pemberian imbalan bunga telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2011 tanggal 19 Januari 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga.

Perubahan dilakukan hanya pada Pasal 3 ayat (2) yang menjadi:

Imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (2) Undang Undang KUP, sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

Ketentuan sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.03/2007), mengatur bahwa imbalan bunga diberikan:

Imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sebesar 2% (dua persen) perbulan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak:
  1. jangka waktu 12 (dua belas) bulan berakhir untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
  2. jangka waktu 3 (tiga) bulan berakhir untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) Pajak Penghasilan; atau
  3. jangka waktu 1 (satu) bulan berakhir untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) Pajak Pertambahan Nilai
sampai dengan tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP).


Selasa, 11 Januari 2011

Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan PPh

Seperti yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya, penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan Badan untuk tahun pajak 2010 ini juga dapat dilakukan di tempat-tempat yang telah disediakan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak melalui Tempat Pelayanan Terpadu (TPT)/Pojok Pajak/Mobil Pajak/Drop Box di seluruh Indonesia. Ketentuan ini telah diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2010. Dan sebagai petunjuk pelaksanaannya, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ/2011 tanggal 10 Januari 2011

Dalam SE-02/PJ/2011 ini diatur mengenai teknis penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan PPh Badan untuk tahun pajak 2010 serta petunjuk bagi pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam menerima dan mengolah SPT Tahunan PPh tersebut.

Senin, 27 Desember 2010

Perubahan Ketentuan Tata Cara Pendaftaran NPWP

Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran NPWP dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selama ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2009. Dalam ketentuan pelaksanaan ini ternyata dirasakan adanya kelemahan sistem dalam proses pendaftara NPWP dan pengukuhan Pengukuhan Kena Pajak terutama dalam hal pengawasannya.

Sehingga untuk meningkatkan pengawasan terhadap proses pendaftaran NPWP dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan perubahan kedua terhadap PER-44/PJ/2008 melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2010 tanggal 22 Desember 2010.

Dalam PER-62/PJ/2010 ini, mengubah ketentuan Pasal 8 serta Lampiran I dan Lampiran II. Ketentuan Pasal 8 diubah menjadi:

KPP harus melakukan konfirmasi lapangan untuk:
a. membuktikan kebenaran pengisian formulir permohonan pengukuhan PKP, formulir Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah dan/atau Formulir Perubahan Data dan PKP Pindah bagi PKP yang mengalami perubahan data, serta Formulir Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah dan/atau Formulir Perubahan Data dan PKP Pindah bagi PKP yang pindah tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lain.
b. melakukan penelitian kelayakan usaha, meliputi:
  1. Peta Tempat Kegiatan Usaha;
  2. Foto Tempat Kegiatan Usaha;
  3. Gambaran Kegiatan Usaha;
  4. Data Peredaran Usaha;
  5. Daftar Harta di Tempat Kegiatan Usaha.
Konfirmasi Lapangan ini harus dilakukan paling lama 6 (enam) bulan setelah terbitnya NPWP dan SKT dan/atau SPPKP dengan prioritas sesuai tingkat risiko Wajib Pajak baru.

Pada saat melakukan konfirmasi lapangan, KPP dapat meminta dokumen kepada Wajib Pajak dan/atau PKP yang wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak dan/atau PKP yang bersangkutan.

Hasil konfirmasi lapangan ini dituangkan dalam Berita Acara Hasil Konfirmasi Lapangan.

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya Peraturan ini, yaitu tanggal 22 Desember 2010.

Artikel Terkait:
Ketentuan PER-41/PJ/2009

Kamis, 30 September 2010

Pemberian Pelayanan, Edukasi dan Pembinaan Kepada WP Orang Pribadi Baru

Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang memfokuskan pelayanan kepada para Wajib Pajak Orang Pribadi. Saat ini pemahaman dan pengetahuan Wajib Pajak Orang Pribadi mengenai kewajiban perpajakan masih sangat rendah. Apalagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak. Oleh sebab itu, guna meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang baru terdaftar serta memberikan edukasi dan pembinaan terhadap Wajib Pajak ini, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-94/PJ/2010 tanggal 14 September 2010.


SE-94/PJ/2010 ini diterbitkan sekaligus untuk menindaklanjuti Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2010 yang telah diterbitkan pada tanggal 9 Maret 2010 (baca artikelnya di sini).

Jumat, 13 Agustus 2010

Ralat PER-11/PJ/2010 - Izin Pembukuan Mata Uang Dollar dan Bahasa Inggris

Akibat adanya kesalahan yang terjadi pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2010 tanggal 9 Maret 2010 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberitahuan, Pemberian dan Pembatalan Izin Menyelenggarakan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Inggris dan Satuan Mata Uang Dollar Amerika Serikat, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Ralat PER-11/PJ/2010.
Ralat ini dilakukan terhadap kesalahan yang terjadi pada Lampiran III dan Lampiran IV.

Artikel Terkait:
Ketentuan PER-11/PJ/2010 sebelum diralat

Rabu, 04 Agustus 2010

Prosedur Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT dan STP

Sebagai petunjuk pelaksanaan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2010 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2010, maka diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2010 tanggal 30 Juli 2010 tentang Prosedur Penerbitan Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau Surat Tagihan Pajak.
Ketentuan ini disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-82/PJ/2010 tanggal 30 Juli 2010.


Selasa, 20 Juli 2010

Standard Operating Procedure Layanan Unggulan Bidang Perpajakan

Reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus dilakukan. Pembenahan dalam segala segi dan aspek di Direktorat ini semakin disempurnakan. Salah satunya adalah dengan penetapan standar pelayanan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi Wajib Pajak dan masyarakat. Penetapan standar pelayanan ini dilakukan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 187/KMK.01/2010 tanggal 3 Mei 2010 dan dijabarkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-79/PJ/2010 tanggal 15 Juli 2010 tentang Standard Operating Procedure (SOP) Layanan Unggulan Bidang Perpajakan.

SOP Layanan Unggulan Bidang Perpajakan merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dibakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan eksternal dan/atau internal DJP dengan peraturan perundang-undangan untuk kepentingan masyarakat atau para pemangku kepentingan lainnya atas jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan DJP ini. Kepastian pelayanan ini ditetapkan untuk kegiatan proses, jangka waktu penyelesaian, biaya atas jasa pelayanan, dan persyaratan administrasi serta digunakan sebagai acuan pelaksanaan pelayanan publik bagi unit pelaksana teknis di DJP. Jadi saat ini masyarakat dan para Pembaca setia Tax Learning dapat mengetahui bagaimana sebenarnya prosedur pengurusan suatu kegiatan perpajakan dan berapa lama jangka waktu pelayanan yang wajib diberikan oleh pihak DJP.

Layanan Unggulan Bidang Perpajakan yang ditetapkan ini terdiri dari 16 jenis layanan, yang terdiri dari:

1. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Jangka waktu penyelesaian: 1 (satu) hari kerja sejak permohonan pendaftaran NPWP diterima secara lengkap atau 1 (satu) hari kerja sejak informasi pendaftaran melalui Sistem e-Registration diterima Kantor Pelayanan Pajak (KPP), sepanjang permohonan pendaftaran NPWP diisi secara lengkap.

2. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Jangka waktu penyelesaian: 1 (satu) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.

3. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran PPN
Jangka waktu penyelesaian:
  1. Untuk Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu (WP Patuh) sesuai Pasal 17C UU KUP: 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Proses melalui penelitian.
  2. Untuk Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sesuai Pasal 17D UU KUP: 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan secara lengkap.
  3. Untuk Wajib Pajak selain yang memenuhi syarat Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP: jangka waktu penyelesaian adalah paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal WP datang memenuhi surat panggilan dalam Rangka Pemeriksaan Kantor atau paling lama 8 (delapan) bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Lapangan.

4. Pelayanan Penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP)
Jangka waktu penyelesaian: 3 (tiga) minggu sejak:
  1. permohonan WP diterima;
  2. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)/Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) diterbitkan;
  3. Surat Keputusan (SK) Keberatan, SK Pembetulan, SK Pengurangan Sanksi Administrasi atau SKP Penghapusan Sanksi Administrasi, SKP Pengurangan Ketetapan Pajak atau SK Pembatalan Ketetapan Pajak, yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak, diterbitkan;
  4. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak, diterima kantor DJP yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.

5. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Keberatan Penetapan PPh, PPN dan PPnBM
Jangka waktu penyelesaian: 9 (sembilan) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima.

6. Pelayanan Penyelesaian Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemungutan PPh Pasal 22 Impor
Jangka waktu penyelesaian: 5 (lima) hari kerja seja surat permohonan diterima lengkap.

7. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pengurangan PBB
Jangka waktu penyelesaian:
  1. KPP Pratama dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak permohonan pengurangan diterima,
  2. Kantor Wilayah DJP dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan pengurangan diterima;
  3. Kantor Pusat DJP dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) bulan sejak permohonan diterima lengkap.


8. Pelayanan Pendaftaran Objek Pajak Baru dengan Penelitian Kantor
Jangka waktu penyelesaian: 3 (tiga) hari kerja sejak surat permohonan diterima lengkap.

9. Pelayanan Penyelesaian Mutasi Seluruhnya Objek dan Subjek PBB
Jangka waktu penyelesaian: 5 (lima) hari kerja sejak surat permohonan diterima lengkap.

10. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan PPh Pasal 23
Jangka waktu penyelesaian: 1 (satu) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

11. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan PPh atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI yang diterima atau Diperoleh Dana Pensiun Yang Pendiriannya telah Disahkan oleh Menteri Keuangan
Jangka waktu penyelesaian: 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.

12. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Jangka waktu penyelesaian: 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal surat permohonan diterima secara lengkap.

13. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN atas Barang Kena Pajak Tertentu
Jangka waktu penyelesaian: 5 (lima) hari kerja setelah surat permohonan diterima secara lengkap.

14. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Keberatan PBB
Jangka waktu penyelesaian: 9 (sembilan) bulan sejak surat permohonan diterima.

15. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pengurangan dan Penghapusan Sanksi Administrasi
Jangka waktu penyelesaian: 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya berkas permohonan lengkap.

16. Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pengurangan dan Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar
Jangka waktu penyelesaian: 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya berkas permohonan Wajib Pajak.

Seluruh pelayanan yang diberikan DJP ini tidak dipungut biaya atas jasa layanannya. Untuk persyaratan kelengkapan dokumen serta arus proses pelayanan dapat dilihat pada lampiran SE-79/PJ/2010 ini.

Dengan adanya SE-79/PJ/2010 ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-37/PJ/2007 tanggal 14 Agustus 2007 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. SE-79/PJ/2010 ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu tanggal 15 Juli 2010.

Jumat, 07 Mei 2010

Tata Cara Penelitian SSP atas Penghasilan dari Penjualan Tanah/Bangunan

Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan ketika akan mengajukan pembuatan akta atas transaksi kepada pejabat yang berwenang membuat akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (yaitu Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku) harus dapat menunjukkan bukti pembayaran PPh atas transaksinya tersebut ke Kas Negara kepada pejabat yang berwenang tersebut. Pembuktian pembayaran PPh ini dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang telah diteliti oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan menunjukkan asli SSP yang bersangkutan.
Mekanisme penelitian dan pengesahan fotokopi SSP oleh KPP diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 tanggal 4 Mei 2010.


Selasa, 04 Mei 2010

Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak

Sehubungan dengan adanya beberapa perubahan ketentuan perpajakan (antara lain dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN) dan untuk menyempurnakan kegiatan administrasi piutang pajak serta memberikan kepastian hukum mengenai dasar penagihan pajak khususnya untuk menindaklanjuti ketetapan mengenai tindaklanjut atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak diketemukan lagi, maka ditetapkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2010 tanggal 13 April 2010.

Peraturan Menteri Keuangan ini mengubah Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku sebelumnya yaitu nomor 23/PMK.03/2008 dengan mengubah ketentuan pada Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 6 serta menambahkan Pasal 5A dan Pasal 6A

Rabu, 28 April 2010

Penyampaian Transkrip Kutipan Elemen Laporan Keuangan

Transkrip Kutipan Elemen Laporan Keuangan yang wajib diisi dan disampaikan oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 ini masih belum mengakomodasi bentuk laporan keuangan dari suatu badan usaha yang bergerak di bidang Dana Pensiun dan perusahaan pembiayaan.
Saat ini transkrip elemen laporan keuangan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2009, terdiri dari 3 jenis yaitu:
-Lampiran Khusus 8A-1 untuk Perusahaan Industri, Manufactur
-Lampiran Khusus 8A-2 untuk Perusahaan Dagang
-Lampiran Khusus 8B-6 untuk Non-Kualifikasi
Walaupun terdapat Lampiran Khusus 8B-6, namun formulir ini tetap tidak mengakomodasi elemen laporan keuangan dari jenis usaha Dana Pensiun dan perusahaan pembiayaan.

Untuk mengantisipasi hal ini, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-55/PJ/2010 tanggal 27 April 2010 yang menegaskan bahwa sepanjang belum ada ketentuan mengenai formulir transkrip kutipan elemen-elemen dari laporan keuangan bagi Wajib Pajak Badan yang bergerak pada bidang dana pensiun dan perusahaan pembiayaan, maka kepada Wajib Pajak Badan yang bergerak di bidang usaha tersebut tetap wajib menyampaikan SPT Tahunan beserta laporan keuangannya tanpa perlu melampirkan transkrip kutipan elemen-elemen laporan keuangan.


Sebagai penyempurnaan, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014 yang mengubah formulir SPT Tahunan PPh Badan yang berlaku untuk tahun pajak 2014 sampai dengan sekarang (sampai dengan tulisan ini dibuat, berlaku juga untuk tahun pajak 2016):
1. Formulir SPT Tahunan PPh Badan Rupiah
2. Lampiran Khusus SPT Tahunan PPh Badan Rupiah
3. Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal untuk Transfer Pricing Documentation sesuai PMK 213/PMK.03/2016

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Senin, 26 April 2010

Penambahan Kode Jenis Setoran pada SSP

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah merupakan bukti pembayaran atau bukti penyetoran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak ke kas negara melalui Kantor Pos dan Giro serta Bank Persepsi sebagai tempat pembayaran pajak yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Saat ini ketentuan mengenai bentuk SSP ini telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tanggal 23 Juni 2009. Formulir SSP yang ditetapkan melalui PER-38/PJ/2009 ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2009 (dengan masa peralihan formulir SSP lama masih dapat digunakan hingga 31 Desember 2009).
Namun karena dalam PER-38/PJ/2009 masih terdapat beberapa jenis setoran pajak yang terakomodasi dalam SSP ini, maka Direktur Jenderal Pajak kembali menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 tanggal 22 April 2010 untuk menambahkan beberapa kode jenis setoran pajak yang sebelumnya belum tercantum dalam PER-38/PJ/2009.

Kententuan PER-23/PJ/2010 ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan pengantar Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-54/PJ/2010 tanggal 22 April 2010 yang menyampaikan bahwa beberapa perubahan yang dilakukan dalam PER-23/PJ/2010 ini adalah terdiri dari:
  1. Penambahan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk pembayaran deposit atas penggunaan Mesin Teraan Meterai Digital untuk membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas, dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP): 411611 dan KJS 2XX
  2. Penambahan KJS untuk denda administrasi atas pemeteraian kemudian, yaitu menggunakan KAP 411611 dan KJS 512.
  3. Penambahan KJS untuk pembayaran PPh Pasal 15 atas Jasa Penerbangan Dalam Negeri dalam bentuk charter, dengan menggunakan KAP 411129 KJS 101, serta penambahan KJS 301, 311, 321 untuk pembayaran jumlah yang harus dibayar sesuai dengan yang tercantum dalam STP, SKPKB dan SKPKBT.
  4. Perbaikan redaksional pada KAP 411612 (Penjualan Benda Meterai) dengan KJS 500, 501, dan 510 berupa perubahan istilah dari "Bea Meterai" menjadi "Benda Meterai".

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu tanggal 22 April 2010.

Artikel Terkait:
  1. PER-38/PJ/2009 beserta lampirannya
  2. Formulir SSP format Excel (formulir ini penulis buat 5 rangkap, lembar ke-5 dicetak jika dibutuhkan sesuai dengan petunjuk dari PER-38/PJ/2009


Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Rabu, 21 April 2010

Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak

Akibat adanya beberapa perubahan ketentuan termasuk mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN), maka ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) yang selama ini diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2010 tanggal 13 April 2010.



Tata Cara Penagihan Dengan Surat Paksa dan Penagihan Seketika/Sekaligus

Pemerintah kembali menyempurnakan ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penagihan utang pajak seiring dengan pencanangan tahun 2010 sebagai tahun penagihan dan penegakan pajak. Menteri Keuangan mengubah ketentuan tata cara pelaksanaan penagihan pajak yang selama ini diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 tanggal 13 April 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus.



Rabu, 14 April 2010

Saat Jatuh Tempo Setor dan Lapor Pajak

Mulai 1 April 2010, ketentuan saat setor PPN Kurang Bayar dan lapor SPT Masa PPN telah berubah sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 42 Tahun 2009. Sebelumnya ketentuan tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan tanggal jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPN adalah tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Namun dengan mulai berlakunya UU Nomor 42 Tahun 2009 maka tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan sebelum SPT Masa PPN dilaporkan. Sedangkan untuk tanggal jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPN adalah pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Untuk mengatur kembali ketentuan ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 yang mengubah ketentuan yang berlaku sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007.

Dalam ketentuan ini diatur tanggal jatuh tempo untuk penyetoran PPN adalah:
  1. PPN Kegiatan Membangun Sendiri disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak Berakhir.
  2. PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
  3. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  4. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
  5. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.


Dalam ketentuan ini selain mengatur tentang jatuh tempo penyetoran dan pelaporan PPN juga diatur untuk PPh dan mulai berlaku 1 April 2010.