..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Minggu, 21 Januari 2024

Ketentuan PPh Pasal 21 Terbaru di Januari 2024 dan Lapor Gunakan Menu eBupot 21/26

Mulai Masa Pajak Januari 2024, ketentuan mengenai penghitungan, pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 21/26 atas penghasilan yang diterima oleh Orang Pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan telah berubah. Perubahan ini dituangkan dalam ketentuan:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tanggal 27 Desember 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan;
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tanggal 29 Desember 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi; dan
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 tanggal 19 Januari 2024 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 serta Bentuk, Isi, Tata Cara pengisian, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26.
Sebelum ini juga telah ada ketentuan terbaru yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yaitu yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tanggal 27 Juni 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan dan telah diberlakukan sejak 1 Juli 2023.

Menindaklanjuti ketentuan terbaru ini, maka pada hari ini (21/1/2024) Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan aplikasi pembuatan Bukti Pemotongan dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 melalui djponline.pajak.go.id pada menu e-Bupot 21/26. Seperti halnya dengan menu e-Bupot Unifikasi, maka Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 haruslah memiliki sertifikat elektronik (sertel).

Untuk diketahui bahwa salah satu ketentuan baru dalam pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 21/26 bagi pegawai tetap selain menggunakan tarif efektif dalam nenghitung besarnya PPh terutang Masa Pajak Januari sampai dengan November, adalah juga harus membuatkan Bukti Pemotongan PPh dengan menggunakan Formulir 1721-VIII untuk setiap bulannya pada Masa Pajak Januari sampai dengan November. Kemudian pada Masa Pajak Desember setiap tahunnya, dilakukanlah penghitungan PPh Pasal 21/26 setahun dengan menggunakan tarif normal Pasal 17 UU PPh, dan dibuatkan bukti pemotongan PPh Formulir 1721-A1 atau 1721-A2.


Pada Pasal 2 ayat (5) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 mengatur bahwa Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 kepada Penerima Penghasilan untuk:
  1. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang Tidak Bersifat Final atau PPh Pasal 26 (Formulir 1721-VI) dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang Bersifat Final (Formulir 1721-VII) diberikan kepada Penerima Penghasilan untuk setiap kali pembuatan Bukti Pemotongan PPh;
  2. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Bulanan (Formulir 1721-VIII) diberikan kepada Penerima Penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah masa pajak berakhir; dan
  3. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala (Formulir 1721-A1) diberikan kepada Penerima Penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah masa pajak terakhir.
Komentar atas Menu eBupot 21/26 di djponline:
Menurut penulis, Menu eBupot 21/26 yang dibuat oleh DJP dengan mentautkan Menu ini ke dalam akun djponline tanpa adanya security tambahan mengakibatkan saat ini hasil pelaporan Pemotongan PPh Pasal 21 menjadi mudah untuk diketahui oleh Pegawai lain di Perusahaan yang mengerjakan pelaporan perpajakan. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa praktik di lapangan, masalah penggajian dan penghitungan PPh Pasal 21 adalah merupakan suatu data yang sangat sensitif, sehingga selama ini banyak perusahaan yang mengerjakan penghitungan PPh Pasal 21 ini dilakukan oleh pegawai khusus (seperti Manager HRD, owner perusahaan atau bahkan di-outsource ke pihak ketiga/konsultan). Sedangkan pelaporan pajak lainnya biasanya dikerjakan oleh pegawai lainnya. Saran penulis adalah agar DJP menambahkan satu security khusus ke menu eBupot 21/26 ini agar kerahasiaan data dari sistem penggajian ini masih dapat dikelola oleh setiap Wajib Pajak.

Selasa, 02 Januari 2024

Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2023 Lampaui Target APBN

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun 2023 mencapai Rp 1.869,2 triliun. Realisasi ini telah melampaui target yang ditetapkan dalam APBN maupun Perpres 75 Tahun 2023 sebesar 108,8% dari APBN 2023 dan 102,8% dari Perpres 75 Tahun 2023. Dari sisi tax rasionya hasil perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDb) tahun 2023 adalah 10,21%. Informasi ini disampaikan oleh Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Selasa (2 Januari 2024).

Adapun penerimaan pajak tahun 2023 ini tumbuh 8,9% dari tahun 2022 yang realisasinya sebesar Rp 1.716,8 triliun. Penerimaan pajak yang meningkat ini didukung oleh kinerja ekonomi domestik yang stabil serta keberhasilan aktivitas pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).
Rincian penerimaan pajak tahun 2023 ini diperoleh dari:
  1. Pajak Penghasilan (PPh) minyak dan gas (migas) sebesar Rp 68,8 triliun. Realisasinya tidak mencapai target dan hanya sebesar 96,0% dari target. PPh migas mengalami kontraksi sebesar 11,6% akibat penurunan harga komoditas.
  2. PPh non migas realisasinya mencapai Rp 993 triliun. Realisasi ini mencapai 101,5% dari target, dan tumbuh 7,9% dari periode sama tahun 2022.
  3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) realisasinya mencapai Rp 764,3 triliun atau 104,6% dari target. Realisasi ini juga tumbuh 11,2% dari periode sama tahun 2022
  4. Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak lainnya mencapai Rp 43,1 triliun atau sebesar 114,4% dari target. Realisasi ini juga tumbuh 39% dari periode sama tahun 2022.
Walaupun demikian, Sri Mulyani mengakui bahwa pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2023 mengalami perlambatan dibandingkan dengan tahun 2022. Hal ini disebabkan karena penurunan signifikan harga komoditas, penurunan impor dan tidak terulangnya kebijakan tax amnesty

Selasa, 12 Desember 2023

Resmi: Implementasi Penuh NIK Menggantikan NPWP Ditunda Hingga 1 Juli 2024

Sedianya mulai 1 Januari 2024, Nomor Induk Kependudukan (NIK) akan menggatikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 15 digit yang selama ini digunakan oleh Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022, maka mulai 1 Januari 2024, Wajib Pajak orang pribadi yang masih belum melakukan pemadanan NPWP dengan NIK, maka Wajib Pajak yang bersangkutan tidak akan dapat mengakses akun pajak onlinenya (akun djponline) masing-masing. Hal ini disebabkan karena sejak 1 Januari 2024, NPWP yang digunakan saat ini yang berjumlah 15 digit angka sudah tidak dapat digunakan lagi dan harus diganti dengan NIK yang terdiri dari 16 digit angka.

Pemadanan NPWP adalah suatu proses yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menginput NIK yang berjumlah 16 digit ke Menu Profil pada akun djponline miliknya. Proses pemadanan NPWP dengan NIK dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagaimana video tutorial yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berikut ini.



Walaupun Wajib Pajak diminta oleh DJP untuk melakukan pemadanan NPWP secara mandiri, namun untuk sebagian NPWP yang telah menyampaikan NIK ke DJP selama Wajib Pajak yang bersangkutan melakukan beberapa aktivitas perpajakannya, maka pemadanan NIK ini akan dilakukan secara sistem oleh DJP.

Untuk mengetahui apakah akun NPWP Anda telah dipadankan dengan NIK, maka kita dapat melakukan pengecekan sebagaimana informasi yang disampaikan pada link berikut: Channel Tax Learning

Sehubungan dengan adanya penyesuaian waktu implementasi Coretax Administration System (CTAS) dan juga terkait dengan kesiapan seluruh stakeholder yang terdampak dengan perubahan NIK menjadi NPWP ini, seperti ILAP (Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi dan Pihak Ketiga Lainnya) dan Wajib Pajak, maka Pemerintah menetapkan pengaturan kembali saat mulainya implementasi penuh Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi penduduk dan NPWP 16 digit bagi Wajib Pajak (WP) orang pribadi bukan penduduk, badan, dan instansi pemerintah dari yang semula 1 Januari 2024 menjadi 1 Juli 2024. Pengaturan kembali ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 tanggal 8 Desember 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.

Pasal 2 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 mengatur bahwa NPWP dengan 15 digit (NPWP format lama) masih dapat digunakan pada layanan administrasi perpajakan secara terbatas sampai dengan 30 Juni 2024. Sedangkan pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 mengatur bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk yang tidak melakukan perubahan data atas data identitas dengan status belum valid, hanya dapat menggunakan NPWP dengan format 15 digit sampai dengan tanggal 30 Juni 2024 dalam layanan administrasi perpajakan dan administrasi pihak lain yang menggunakan NPWP.

Jumat, 24 November 2023

Tarif Efektif Rata-rata PPh Pasal 21 Akan Berlaku 1 Januari 2024

Direktorat Jenderal Pajak berencana akan melakukan simplifikasi (penyederhanaan) perhitungan PPh Pasal 21 bagi Orang Pribadi Pegawai dan Bukan Pegawai dengan menggunakan formula perhitungan tarif efektif rata-rata (TER). Rencananya penyederhanaan ini akan mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari 2024. Dasar hukum penyederhanaan penghitungan PPh Pasal 21 ini akan diatur melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Berdasarkan konferensi pers secara daring yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, pada hari ini Jumat, 24 November 2023 menjelaskan bahwa sampai saat ini proses penyusunan atau dasar hukum untuk tetapkan tarif efektif rata-rata yaitu PP dalam proses dan insya Allah beberapa saat ke depan akan ditandatangani dan diterbitkan. "Dan aturan pelaksanaannya, PMK sudah kami siapkan dan insya Allah mulai masa Januari 2024 sekiranya semua bisa terlaksana dengan baik, tertandatangani dan terpublikasikan, mulai dapat kami jalankan dengan baik," kata Suryo Utomo.

Rencana penerapan tarif efektif rata-rata dalam menghitung PPh Pasal 21 ini dilatarbelakangi oleh kondisi saat ini dimana pemotong PPh Pasal 21 kerepotan dalam menghitung PPh Pasal 21 baik untuk pegawai maupun bukan pegawai, karena terdapat sekitar 400 skenario penghitungan pemotongan PPh Pasal 21. Sehingga sesuai dengan Reformasi Perpajakan yang terus dijalankan oleh Pemerintah, seiring dengan implementasi sistem perpajakan terintegrasi di Direktorat Jenderal Pajak, Coretax System, maka Pemerintah akan melakukan simplifikasi dalam penghitungan PPh Pasal 21.

Simplifikasi dalam penghitungan PPh Pasal 21 ini bertujuan untuk memberikan kemudahan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak terutama dalam menghitung PPh Pasal 21, yaitu dengan cara menerapkan Tarif Efektif Pemotongan PPh Pasal 21. Pengaturan ini akan dituankan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Untuk diketahui bahwa selama ini peraturan mengenai tata cara penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 diatur untuk:

A. Umum; yang diatur dalam:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21 Umum dan teknis tata cara penghitungannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.03/2016 tentang penetapan bagian penghasilan pegawai harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan PPh.

B. PNS (ASN)/TNI/Polri/Pejabat Negara; yang diatur dalam:

  1. PP Nomor 80 Tahun 2010 tentang tarif pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan dari APBN/APBD.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21 PNS/TNI/Polri/Pejabat Negara.

Rencana Pengaturan Tarif Efektif PPh Pasal 21

Kelak simplifiasi penghitungan PPh Pasal 21 ini akan diatur melalui jenis peraturan:

  1. Peraturan Pemerintah, yang akan mengatur TER. TER akan berlaku untuk Pegawai kriteria Umum dan PNS/TNI/Polri/Pejabat Negara.
  2. Peraturan Menteri Keuangan, yang akan mengubah dan mengatur ulang tata cara penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana yang selama diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.03/2016.
  3. Pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 serta penyempurnaan administrasi pemotongan PPh Pasal 21 akan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Rencananya Tarif Efektif Rata-rata (TER) ini akan dibuat nilai persentase tarif efektif PPh untuk setiap lapisan tarif (tabel). TER ini akan terbagi menjadi:
  1. TER untuk Pegawai Tetap yang terbagi dalam 3 Tabel Tarif Bulanan berdasarkan PTKP yang terdiri dari sekitar 40 lapisan tarif/tabel. 
  2. TER untuk Bukan Pegawai yang terbagi dalam 1 Tabel Tarif yang terdiri dari 35 lapisan tarif.
  3. TER untuk Pegawai Harian yang terbagi dalam 2 kelompok tarif berdasarkan jumlah penghasilan bruto yaitu untuk kelompok penghasilan bruto yang kurang dari Rp 450.000 (dengan tarif harian 0%) dan kelompok penghasilan bruto lebih dari Rp 450.000 sampai dengan Rp 2.500.000 (dengan tarif 0,5%).
Rencananya mekanisme penghitungan PPh Pasal 21 kelak akan terbagi menjadi 2 jenis perhitungan yaitu:
  1. Untuk masa pajak Januari s.d. November yaitu mengalikan TER dengan Penghasilan Bruto setiap bulannya; dan
  2. Untuk masa pajak terakhir (Desember) yaitu dengan mengalikan tarif Pasal 17 UU PPh dengan jumlah penghasilan bruto dikurangi Biaya Jabatan/Pensiun, Iuran Pensiun dan PTKP.
(c) syafrianto.blogspot.com

Rabu, 26 Juli 2023

Jenis Harta Sesuai Kelompok Harta Berwujud Selain Bangunan Untuk Penyusutan Fiskal

Baik dalam standar akuntansi maupun ketentuan perpajakan, perlakuan atas suatu aktiva tetap berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun buku, pembebanan atas nilai perolehan dari aktiva tersebut harus dilakukan melalui metode penyusutan untuk mengalokasikan nilai perolehan aktiva tersebut sepanjang masa manfaat dari aktiva tersebut.

Dalam ketentuan perpajakan, aturan mengenai penyusutan aktiva tetap ini diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP). Aturan pelaksanaan dari Pasal 11 UU Nomor 7 Tahun 2021 terkait dengan penyusutan ini diatur lebih lanjut dalam Bab V Pasal 21 dan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55 Tahun 2022) serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2023 tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Tak Berwujud.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2023 (PMK Nomor 72 Tahun 2023) yang ditetapkan pada tanggal 13 Juli 2023 mengatur secara teknis dan detil mengenai penyusutan aktiva berwujud dan amortisasi aktiva tidak berwujud yang telah diatur pada Pasal 11 dan 11A UU PPh. PMK Nomor 72 Tahun 2023 mengubah dan menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009 yang sejak tahun pajak 2009 telah digunakan sebagai panduan bagi Wajib Pajak dalam menerapkan ketentuan penyusutan aktiva berwujud dan amortisasi aktiva tidak berwujud.

PMK Nomor 72 Tahun 2023 ini juga menetapkan kembali jenis-jenis aktiva berwujud yang dikelopokkan ke 4 Kelompok Aktiva Untuk Penyusutan secara Perpajakan (fiskal) sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 11 ayat (6) UU PPh. Jika kita bandingkan Jenis-jenis harta yang telah ditetapkan dalam setiap kelompok pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya jenis harta yang dikelompokkan ke setiap kelompok aktiva tersebut masih serupa. Hanya ada penambahan sekelompok aktiva tetap untuk jenis usaha Industri Pengolahan Tembakau pada PMK Nomor 72 Tahun 2023 ini ke dalam Kelompok 2. Jenis harta tambahan di Kelompok 2 pada PMK Nomor 2 Tahun 2023 ini yaitu "Mesin yang menghasilkan/ memproduksi hasil olahan tembakau, seperti mesin rajang tembakan, mesin linting rokok, dan sejenisnya."

Selebihnya jenis harta yang ditetapkan pada Lampiran PMK Nomor 72 Tahun 2023 hanyalah memperbaiki kesalahan ketik typo) atau revisi redaksional saja.

Untuk dapat melihat perbedaan jenis-jenis harta yang dibagi ke dalam 4 Kelompok Aktiva Tetap Berwujud antara yang ditetapkan dalam Lampiran PMK Nomor 96/PMK.03/2009 dengan PMK Nomor 72 Tahun 2023, penulis sajikan dalam tabel berikut ini.
(c)syafrianto.blogspot.com 26072023