..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Desember 2009

Ingat: Nomor Seri Faktur Pajak (PPN) agar Kembali ke Nomor Seri "1"

Tinggal beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru 2010. Tentunya untuk memasuki tahun baru 2010 ini, kita harus lebih optimis lagi. Segala kegagalan yang kita alami selama tahun 2009 dapat kita jadikan sebagai pemicu dan cambuk bagi kita untuk memperbaiki bahkan meraih sukses di tahun 2010 ini.

Memasuki 1 Januari 2010 ini, kita juga perlu memperhatikan beberapa kegiatan administrasi yang dilakukan dalam usaha kita. Salah satunya adalah dalam masalah perpajakan yaitu kegiatan administrasi dalam menerbitkan Faktur Pajak.

Faktur Pajak adalah merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
  2. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
  3. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
  4. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.

Kembali mengenai ketentuan pemberian nomor urut dalam faktur pajak, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-159/PJ./2006, maka setiap PKP yang menerbitkan faktur pajak, pada awal tahun (mulai tanggal 1 Januari 2010 ini) nomor faktur pajak harus dikembalikan ke nomor urut awal yaitu nomor urut "1" serta kode tahunnya menjadi: "10".
Sehingga format nomor faktur pajak yang diterbitkan pertama kali mulai 1 Januari 2010 ini adalah menjadi (diandaikan bahwa penyerahan ini adalah kepada "penyerahan kepada selain Pemungut PPN" dengan kode transaksi 01 dan faktur normal serta kode cabang adalah "000"):
010.000-10.00000001

Catatan: Ketentuan ini sudah diubah, baca artikel terbaru di sini

Rabu, 25 November 2009

FORMULIR SPT TIDAK LAGI DIKIRIM KE WAJIB PAJAK

Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang Wajib Pajak yang telah terdaftar dan memiliki NPWP adalah kewajiban mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap dan jelas dan menandatangani serta menyampaikan SPT tersebut ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar/dikukuhkan atau ke tempat lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan jangka waktu pelaporan, SPT terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu SPT Masa (surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak) dan SPT Tahunan (surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak).
Kebiasaan selama ini, dalam memenuhi kewajiban melaporkan kewajiban SPT Tahunan, setiap akhir tahun pihak Direktorat Jenderal Pajak selalu mengirimkan formulir SPT Tahunan PPh kepada setiap Wajib Pajak supaya Wajib Pajak dapat mengisi dan melaporkan kewajiban SPT Tahunannya tersebut. Kadang jika formulir SPT tersebut tidak diterima, maka Wajib Pajak yang bersangkutan akan beranggapan bahwa hal ini menandakan bahwa ia tidak perlu melaporkan SPT Tahunannya tersebut. Tidak jarang pula ada Wajib Pajak yang akan menyalahkan pihak Direktorat Jenderal Pajak karena tidak mengirimkan formulir SPT Tahunan kepada mereka.
Sebenarnya bagaimanakah ketentuan mengenai pengiriman oleh Direktorat Jenderal Pajak atau pengambilan sendiri formulir SPT (terutama SPT Tahunan) itu?

Jika kita cermati ketentuan yang mengatur mengenai formulir SPT dan cara untuk mendapatkan formulir SPT itu telah diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, disebutkan bahwa bahwa setiap Wajib Pajak harus mengambil sendiri SPT di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Saat ini dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, juga masih ditegaskan bahwa setiap Wajib Pajak diwajibkan untuk mengambil sendiri SPT di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Namun pada prakteknya, selama ini sebagai bentuk pelayanan kepada Wajib Pajak, maka ada kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak yaitu berupa memberikan pelayanan dengan mengirimkan SPT tersebut kepada Wajib Pajak. Sebenarnya kebijakan ini tidak diatur (atau jika mau dikatakan “bertentangan”) dalam Undang-Undang Perpajakan tersebut.
Mulai tahun pajak 2009 ini, untuk menjalankan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam rangka proses pembelajaran kepada Wajib Pajak, pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerapkan kebijakan bahwa Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir SPT. Jadi untuk tahun pajak 2009 SPT Tahunan tidak akan dikirimkan lagi ke alamat masing-masing Wajib Pajak, melainkan Wajib Pajak harus mengambil sendiri SPT Tahunannya tersebut. Ketentuan ini dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-102/PJ/2009 tanggal 19 Oktober 2009.
Dalam rangka memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak untuk memperoleh formulir SPT tersebut, di samping menyediakan formulir SPT tersebut di Kantor yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, pihak Direktorat Jenderal Pajak juga akan menyediakan formulir tersebut di tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh Wajib Pajak melalui Pojok Pajak, Mobil Pajak atau counter-counter khusus yang bekerja sama dengan Pemerintah Daerah setempat.
Dalam rangka membantu pihak Direktorat Jenderal Pajak untuk menyediakan formulir SPT, maka situs Tax Learning juga menyediakan formulir SPT yang dapat didownload oleh para Pembaca melalui link berikut ini:

- SPT Tahunan PPh Badan (2009) Format Excel
- SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Form 1770 SS (2009) format Excel
- SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Form 1770 S (2009) format Excel
- SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Form 1770 (2009) format Excel

Akhirnya, penulis mengingatkan para Pembaca sekalian untuk segera mendapatkan formulir SPT serta bersiap-siap untuk mengisi serta melaporkan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2009 mulai awal tahun 2010. Selamat melaporkan pajak penghasilan Anda dan jadilah Wajib Pajak yang baik, karena kelanjutan dari Bangsa kita tercinta ini adalah berasal dari pajak yang kita bayarkan.


Selasa, 11 Agustus 2009

Lapor SPT PPh Pasal 21 untuk Pegawai yang Pindah

PERMASALAHAN
Bagaimanakah melaporkan pegawai tetap yang telah keluar pada bulan Agustus 2009, namun pada bulan November 2009, pegawai yang bersangkutan masih mendapatkan bonus atas prestasi kerjanya salama bulan Juli 2009?

PENDAHULUAN
Mulai masa pajak Juli 2009 ini, setiap Wajib Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 21 wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 dengan menggunakan formulir SPT Masa yang baru berdasarkan ketentuan PER-32/PJ/2009. Terdapat perubahan yang cukup signifikan pada formulir SPT Masa PPh Pasal 21 yang baru ini jika dibandingkan dengan bentuk dan isi dari formulir SPT Masa PPh Pasal 21 lama yang masih digunakan selama ini hingga masa pajak Juni 2009 yang lalu. Perubahan signifikan yang terjadi adalah akibat dari perubahan ketentuan untuk pelaporan PPh Pasal 21. Ketentuan yang berlaku sebelumnya, yaitu bahwa PPh Pasal 21 dilaporkan dalam setiap masa pajak melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan kemudian pada akhir tahun pajak, seluruh pemotongan PPh Pasal 21 yang terjadi dan telah dilaporkan setiap masa pajak (selama satu tahun pajak) tersebut dikumpulkan dan dihitung ulang dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21. Namun berdasarkan ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2007, UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 saat ini kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 ditiadakan dan sebagai gantinya perhitungan PPh Pasal 21 sebenarnya yang terjadi selama satu tahun pajak tersebut harus dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 masa pajak Desember.

SPT Masa PPh Pasal 21 yang baru berdasarkan ketentuan PER-31/PJ/2009 utamanya terdiri dari formulir:
- SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26; Formulir 1721
- Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala; Formulir 1721 – I
- Daftar Perubahan Pegawai Tetap; Formulir 1721 – II
- Daftar Pegawai Tetap/Penerima Pensiun Berkala;Formulir 1721 – T
Di samping formulir SPT Masa PPh Pasal 21 ini, masih terdapat juga formulir lainnya, yang digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tidak tetap atau bukan pegawai, yaitu:
- Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (Final)
- Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final)
- Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (Tidak Final)
- Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 (Tidak Final)
- Formulir 1721 - A1 atau 1721 - A2 (formulir ini tidak perlu dilaporkan, hanya perlu diberikan ke pegawai yang bersangkutan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan petunjuk pengisian SPT Masa PPh Pasal 21 berdasarkan ketentuan PER-31/PJ/2009, Wajib Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 21 harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 dengan ketentuan bagian formulir yang harus diisi dan dilaporkan adalah sebagai berikut:

1. Formulir yang harus dilaporkan oleh Wajib Pajak yang baru memiliki kewajiban PPh Pasal 21 dan untuk laporan pertama kali di Masa Juli 2009 ini, yaitu:
- Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26)
- Formulir 1721 – T
- Formulir 1721 – II (jika terjadi adanya pegawai tetap yang keluar, atau Pegawai tetap yang masuk, atau pegawai yang baru memiliki NPWP pada masa pajak yang bersangkutan.
- Jika ada pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tidak tetap atau bukan pegawai, maka perlu melampirkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/26 dan Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/26.

2. Formulir yang harus dilaporkan untuk setiap masa pajak, mulai dari masa pajak Januari s.d. November (tanpa ada peristiwa-peristiwa seperti yang disebutkan pada angka 1 di atas.
- Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26)
- Jika ada pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tidak tetap atau bukan pegawai, maka perlu melampirkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/26 dan Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/26.

3. Formulir yang harus dilaporkan untuk masa pajak Desember
- Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26)
- Formulir 1721 - I
- Jika ada pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tidak tetap atau bukan pegawai, maka perlu melampirkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/26 dan Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/26.
- Perlu membuat formulir 1721 - A1 atau 1721 - A2

JAWABAN ATAS PERMASALAHAN
Jika melihat bentuk formulir SPT Masa PPh Pasal 21 formulir 1721 dan berdasarkan pemikiran penulis, atas kasus adanya pegawai tetap yang pindah (keluar) pada masa pajak Agustus 2009 tersebut, maka penghasilan untuk pegawai tersebut pada masa Agustus 2009 tetap dilaporkan dalam Formulir 1721 bagian B angka 6 (pegawai tetap). Kemudian untuk masa Agustus ini, Pemotong PPh Pasal 21 juga perlu menyampaikan Formulir 1721 – II (Daftar Perubahan Pegawai Tetap) dengan melaporkan pegawai yan berhenti ini pada bagian A (Pegawai Tetap yang keluar).
Sedangkan atas pembayaran bonus yang dilakukan pada masa November 2009, pemotong PPh Pasal 21 harus membuatkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (tidak final) dan memotong PPh Pasal 21 atas mantan pegawai dengan diperlakukan sebagai “Jasa Produksi, Tantiem, Bonus atau Imbalan Lain kepada Mantan Pegawai” (nomor 7 pada bukti pemotongan tersebut). Pemotongan PPh Pasal 21 atas pegawai ini sudah tidak dapat dikategorikan lagi sebagai pegawai tetap, karena yang bersangkutan telah berhenti sejak masa Agustus 2009, melainkan dikategorikan sebagai mantan pegawai yang menerima imbalan.
(c)syafrianto 11082009

Artikel Terkait:
- Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 sebelum Masa Juli 2009 Pakai Form Baru
- Lapor SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Juli 2009 Pakai Formulir Baru
- Aturan Pelaksana Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21
- SPT Masa PPh Pasal 21 Baru, Berlaku Masa Juli 2009

Minggu, 12 Juli 2009

Wajib Pajak Tidak Perlu Lapor SSP PPh Pasal 25

Beberapa hari terakhir ini, penulis mendapatkan pertanyaan dari para Pembaca setia Tax Learning dan rekan-rekan penulis mengenai adanya permintaan dari pihak KPP ataupun adanya isu yang beredar mengenai ketentuan untuk tidak perlu melaporkan lagi SSP Lembar ketiga PPh Pasal 25 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Apakah memang ketentuan ini benar? Apakah kelak bagi Wajib Pajak yang tidak melaporkan SSP Lembar ketiga pembayaran PPh Pasal 25 ini tidak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00? Berikut ini akan penulis uraikan ketentuan mengenai tidak perlu dilaporkannya lagi SSP PPh Pasal 25 ke Kantor Pelayanan Pajak.

Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak berdasarkan sistem yang dianut dalam perpajakan di Indonesia (sistem Self Assessment) adalah menyetorkan pajaknya ke kas Negara (melalui bank persepsi atau kantor pos dan giro) serta melaporkan pajaknya ke Direktorat Jenderal Pajak. Jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban ini, maka ia akan dikenakan sanksi perpajakan mulai dari sanksi administrasi berupa bunga atau denda sampai dengan sanksi pidana. Memang sangat berat sanksinya bagi Wajib Pajak apabila ia melalaikan kewajiban ini.

Sanksi yang akan dikenakan apabila Wajib Pajak terlambat atau tidak menyetorkan dan melaporkan kewajiban perpajakannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pasal 7 UU KUP mengatur bahwa untuk SPT Masa PPh yang jika tidak disampaikan tepat pada waktu sesuai dengan yang telah ditentukan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 per SPT Masa. Sedangkan atas penyetoran yang terlambat dilakukan akan dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) UU KUP.

Ketentuan mengenai jangka waktu penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 25 diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP (tentang saat jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPh) serta Pasal 9 ayat (1) UU KUP; dan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007. Pada Pasal 2 ayat (7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 disebutkan bahwa PPh Pasal 25 harus dibayar paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi misalkan penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2009 ini, paling lambat harus disetor pada tanggal 15 Agustus 2009. Namun bagaimanakan jika ternyata pada tanggal jatuh tempo tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional, karena ternyata tanggal 15 Agustus 2009 itu jatuh pada hari Sabtu? Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 ditegaskan bahwa jika tanggal jatuh pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Berarti untuk penyetoran PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 dapat disetorkan paling lambat pada hari Selasa tanggal 18 Agustus 2009 (karena tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, tanggal 16 jatuh pada hari Minggu, tanggal 17 jatuh pada hari Senin yang bertepatan dengan hari Libur Nasional Peringatan Hari Kemerdekaan RI).

Ketentuan mengenai jangka waktu pelaporan SPT Masa diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007. Dalam Pasal ini, antara lain diatur bahwa untuk penyetoran PPh Pasal 25 yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak harus dilaporkan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Artinya untuk pelaporan PPh Pasal 25 Masa Juli 2009 sebagaimana telah disetorkan pada contoh di atas, harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 Agustus 2009 yang jatuh pada hari Senin. Bagaimana seandainya jika tanggal jatuh tempo pelaporan ini ternyata jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional? Perlakuan untuk hal seperti ini adalah sama dengan ketentuan jatuh tempo pembayaran. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2), bahwa jika jatuh tempo tanggal pelaporan ternyata jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pelaporan pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

PPh Pasal 25 tidak Perlu Lapor

Sehubungan dengan sudah on-line-nya sistem penerimaan setoran pajak pada Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan Direktorat Jenderal Pajak serta untuk memberikan kemudahan dan efisiensi bagi Wajib Pajak, maka saat ini Direktorat Jenderal Pajak memberlakukan ketentuan bagi Wajib Pajak dalam melaporkan PPh Pasal 25 yang telah disetorkannya setiap bulan. Ketentuan tersebut adalah diberikannya kemudahan kepada Wajib Pajak untuk tidak perlu lagi melaporkan PPh Pasal 25 yang telah disetorkannya ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang sistemnya telah on-line dengan Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 tanggal 21 Mei 2008.

Pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 menegaskan bahwa bagi Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara on-line dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP yang telah mendapatkan validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) oleh tempat penerima pembayaran tersebut, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Dengan adanya ketentuan ini, maka Wajib Pajak tidak perlu lagi melaporkan SSP yang dibayar melalui tempat pembayaran yang telah on-line tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak. Dengan demikian, apabila Wajib Pajak menyetorkan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 ke Bank Persepsi pada tanggal 14 Agustus 2009, maka pelaporan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 dianggap telah disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar pada tanggal 14 Agustus 2009 dan Wajib Pajak tidak perlu melaporkan lagi SSP Lembar ketiga.

Namun apabila Wajib Pajak ternyata terlambatT Lmenyetorkan PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2009, yang baru disetorkannya pada tanggal 25 Agustus 2009 maka PPh Pasal 25 ini dianggap dilaporkan ke KPP pada tanggal 25 Agustus 2009. Hal ini berarti bahwa Wajib Pajak terlambat melaporkan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 tersebut, sehingga akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah ketentuan mengenai pelaporan PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang setoran PPh Pasal 25-nya adalah nihil. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 ditegaskan bahwa Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu melaporkan SSP PPh Pasal 25 Lembar ketiga ini ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar.

Perlu diperhatikan bagi para Wajib Pajak, bagaimanakah ciri-ciri bahwa Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro tempat Wajib Pajak menyetorkan pajaknya tersebut telah on-line Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Langkah paling mudah yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah menanyakan ke tempat Wajib Pajak menyetorkan pajaknya tersebut, apakah sistem penerimaan pajak mereka telah on-line dengan sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Selain itu, Wajib Pajak dapat meneliti sendiri apakah pembayaran pajaknya tersebut telah tercatat ke dalam Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara secara langsung (on-line) dengan melihat tanda validasi pembayaran yang diberikan oleh Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro apakah terdapat Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN ini adalah suatu baris angka yang terdiri dari 16 digit. Pada beberapa Bank Persepsi (pengalaman penulis di Bank Mandiri dan BNI 46) serta di Kantor Pos dan Giro, Wajib Pajak akan diberikan 1 (satu) lembar tersendiri hasil cetakan dari tempat penerima pembayaran tersebut yang berisi identitas pembayar, jenis dan jumlah pajak yang dibayar serta terdapat NTPN yang dituliskan secara jelas.
Sebenarnya ketentuan ini telah berlaku mulai tanggal 21 Mei 2008.

Jadi bagi para Pembaca setia Tax Learning yang tidak mau repot lagi untuk melaporkan SSP Lembar ketiga PPh Pasal 25 (yang memiliki nilai setoran), setorkanlah PPh Pasal 25 Anda ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang telah on-line dan terhubung ke Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
© http://syafrianto.blogspot.com 12072009
Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008

Rabu, 27 Mei 2009

PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tenaga Ahli

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008, maka cara perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 tidak seperti cara perhitungan sebelumnya. Perubahan yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2009 ini, telah menimbulkan kebingungan bagi para Wajib Pajak, karena belum disertai dengan petunjuk ataupun penjelasan teknis mengenai bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 atas tenaga ahli.
Namun dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009, maka kebingungan dalam melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas tenaga ahli dapat terjawab. Dalam Pasal 16 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 ini menegaskan bahwa penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada tenaga ahli adalah: dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dan ditetapkan atas jumlah kumulatif dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.



Jumat, 22 Mei 2009

Blog dan Situs Menjadi Objek Pajak

Pendahuluan

Judul artikel di atas akhir-akhir ini menjadi suatu isu yang cukup menghebohkan di kalangan blogger di Indonesia. Isu ini timbul setelah adanya pernyataan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kardiman pada tanggal 15 April 2009, sebagaimana diberitakan dalam situs Bisnis Indonesia pada tanggal 16 April 2009. Situs ini mengutip pernyataan dari Menristek bahwa tingginya pertumbuhan blog pribadi yang dimanfaatkan sebagai sarana jual beli, mulai dari promosi hingga pemesanan merupakan sebuah potensi positif. Sehingga Pemerintah melihat itu sebagai suatu potensi pemasukan baru dari pajak.
Pernyataan inilah yang mendapatkan pertentangan keras dari kalangan blogger di Indonesia. Pertentangan ini dapat kita lihat dari tulisan beberapa blogger yang ditampilkan dalam blog mereka (dapat dicari melalui google). Sebenarnya bagaimanakah penerapan pajak bagi para pemilik blog ini? Apakah memang Pemerintah merencanakan untuk menerapkan pengenaan pajak bagi para pemilik situs dan blog?
Berikut ini penulis akan membahas masalah pengenaan pajak atas blog dan situs ini dari sudut pandang akademisi, untuk memberikan sedikit pencerahan kepada para blogger di Indonesia.

Konsep Pemajakan

Sebenarnya dari teori perpajakan Indonesia, pengenaan pajak pada transaksi yang umum terjadi, akan terkait dengan jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan jenis Pajak Penghasilan (PPh).

a. PPN
PPN merupakan pajak objektif yang akan dikenakan terhadap barang atau jasanya tanpa melihat siapa orang yang menjadi konsumen dari barang atau jasa tersebut. Pada prinsipnya PPN akan dikenakan terhadap konsumen akhir dari suatu barang atau jasa. Dalam artian, jika PPN yang dikenakan terhadap produsen suatu barang atau jasa, maka PPN bagi si produsen ini akan dibebankan lagi kepada konsumen yang membeli barang atau jasa dari produsen ini. Demikian juga seandainya jika konsumen tadi menjualnya kembali barang atau jasa tersebut kepada konsumen berikutnya maka beban PPN yang sebelumnya telah ditanggungnya akan dibebankan kepada konsumen berikutnya berikut tambahan PPN yang dikenakan atas selisih harga jualnya. Demikian seterusnya hingga konsumen terakhir yang akan menanggung seluruh biaya PPN tersebut. Walaupun adanya pembebanan PPN secara terus menerus kepada konsumen berikutnya ini tidak akan menyebabkan terjadinya pengenaan PPN yang berganda terhadap objek barang atau jasa yang sama. Hal ini disebabkan karena sistem PPN di Indonesia yang menganut sistem pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran. Dengan adanya sistem pengkreditan pajak ini, maka phak yang menjualkan suatu barang atau jasa kepada konsumen terakhir hanya akan memungut dan menyetorkan selisih kekurangan PPN yang berasal dari selisih harga beli dengan harga jual.
Tidak setiap pengusaha atau pihak yang melakukan transaksi diwajibkan untuk memungut PPN. Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2003 mengatur bahwa atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil (yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000) tidak dikenakan PPN. Namun jika Pengusaha Kecil ini memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak akan dikenakan PPN. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), karena terdapat keuntungan bagi seorang yang telah PKP.

b. PPh
PPh merupakan pajak subjektif yang akan dikenakan terhadap orang yang memperoleh penghasilan. Definisi penghasilan menurut Undang-Undang PPh adalah sebagai suatu pertambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Bagi orang pribadi, penghasilan yang akan menjadi objek PPh adalah atas penghasilan kena pajak. Apakah penghasilan kena pajak? Penghasilan Kena Pajak adalah merupakan penghasilan neto secara fiskal (penghasilan setelah dikurangkan dengan biaya-biaya yang diperkenankan menurut ketentuan pajak) yang kemudian dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Saat ini PTKP diberikan sebesar Rp 15.840.000 untuk diri Wajib Pajak sendiri per tahun, dan akan bertambah sebesar Rp 1.320.000 per tahun jika Wajib Pajak telah menikah, serta bertambah lagi untuk setiap tanggungan anggota keluarga sebesar Rp 1.320.000 per anggota keluarga yang ditanggung, per tahun, untuk maksimal 3 anggota keluarga yang ditanggung (Pasal 7 UU PPh).
Ketentuan kedua jenis pajak ini telah diberlakukan sejak tahun 1984 yaitu melalui Undang-Undang Perpajakan tahun 1983.

Transaksi dan Penghasilan yang Diperoleh dari Blog atau Situs dikenakan Pajak
Dewasa ini perkembangan dunia internet sangatlah marak. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Saat ini setiap orang sudah dapat membuat situs di internet secara gratis dan bebas. Hal ini ditunjang dengan banyaknya situs-situs yang menyediakan fasilitas bagi para pengunjung internet untuk dapat membuat situs secara gratis dan mudah yang dikenal sebagai blog.
Kemudahan dalam membuat blog ini, juga dimanfaatkan oleh berbagai kalangan masyarakat untuk menjadikan sarana blog ini sebagai penghasil uang. Mulai dari menyediakan ruangan dalam blognya untuk dipasang iklan, memperjualbelikan suatu domain (alamat internet) yang sudah terkenal, hingga menjadikan blog sebagai sarana untuk mempromosikan dan memperjualbelikan aneka barang dan jasa. Saat ini transaksi di dunia internet sudah layaknya seperti transaksi di pasar nyata yang kita kenal selama ini. Transaksi melalui dunia internet lebih disukai daripada transaksi di pasar nyata, karena biaya yang dikeluarkan dalam pemasaran melalui dunia internet relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan transaksi di pasar nyata. Di samping itu, pemasaran melalui dunia internet ini juga dipandang lebih efektif.
Jika kita mau jujur, sebenarnya transaksi di dunia internet prosedur dan cara kerjanya sama seperti transaksi di pasar nyata. Hanya saja yang membedakan transaksi di dunia internet umumnya para pelaku transaksi tidak/jarang untuk secara langsung bertemu dan melakukan penawaran secara fisik. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam transaksi di dunia internet juga pada umumnya adalah dengan menggunakan dokumen elektronis yang bersifat paperless (tanpa kertas). Namun pada dasarnya baik transaksi di dunia internet maupun di pasar nyata, sama-sama memperjualbelikan barang atau jasa dengan alat bertransaksi yang melibatkan uang.
Setelah kita membaca uraian tersebut di atas, serta mempelajari teori perpajakan yang telah dikemukana sebelumnya, maka dapat disimpulkan seharusnya perlakuan perpajakan atas transaksi yang terjadi melalui dunia internet (dalam hal ini yang dilakukan oleh para blogger melalui situs atau blog-nya) sebenarnya adalah sama dengan transaksi yang dilakukan oleh para pengusaha yang memiliki toko atau outlet yang nyata di pasar. Maka sebenarnya terhadap transaksi yang dilakukan oleh toko-toko online ini (baca: situs atau blog) juga akan dikenakan PPh dan PPN.
Kembali lagi kepada keresahan dari para blogger atas isu pengenaan pajak sebagaimana yang dilontarkan oleh Menristek tersebut, yang antara lain menyebutkan bahwa penghasilan yang diperoleh dari blog adalah tidak seberapa sehingga tidak tepat jika harus dikenakan pajak, dan seakan-akan ada pemikiran bahwa selama ini belum ada aturan mengenai pemajakan terhadap situs atau blog. Berikut penulis akan mengemukakan beberapa pendapat dari penulis yang diambil berdasarkan beberapa fakta.
Sebenarnya pengenaan pajak yang dimaksudkan oleh Menristek tersebut, bukanlah atas suatu blog yang dibuat yang berisi materi-materi yang dapat diperdagangkan (seperti blog yang ada iklannya, atau blog yang memajang barang atau jasa yang diperdagangkan). Namun pajak baru akan dikenakan terhadap transaksi yang telah terjadi melalui toko online tersebut.
Sebenarnya transaksi yang dilakukan melalui situs di internet ini pada dasarnya juga sama dengan transaksi yang dilakukan secara real di pasar nyata. Aspek perpajakannya juga berlaku ketentuan pajak umum sebagaimana telah diatur dalam UU PPh dan UU PPN sejak tahun 1984 yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh dan pajak pertambahan nilai atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan.
Selama ini Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan beberapa penegasan mengenai perlakuan pajak atas transaksi di dunia internet, antara lain yaitu:
  1. Surat Edaran Nomor SE-45/PJ.531/1996 mengenai PPN atas jasa layanan jaringan internet.
  2. Surat Nomor S-429/PJ.22/1998 mengenai imbauan kepada Wajib Pajak yang melakukan transaksi melalui electronic commerce.
  3. Surat Nomor S-762/PJ.53/2002 mengenai perlakuan PPN atas pembelian software dengan cara download lewat internet.
  4. Surat Nomor S-349/PJ.53/2003 mengenai pengenai PPh dan PPN atas biaya bandwidth.
  5. Surat Nomor S-739/PJ.53/2004 mengenai PPN atas jasa bandwidth.
  6. Surat Nomor S-702/PJ.332/2006 mengenai legalitas dokumen dari transaksi e-Commerce.
Nantikan artikel berikutnya mengenai aspek perpajakan bagi transaksi di dunia blog.
(c) syafrianto 22052009

Rabu, 29 April 2009

Daftar Tax Haven Country Berdasarkan OECD

Tax Haven Country (Negara Surga Pajak) adalah merupakan suatu istilah yang menyatakan bahwa sebuah negara atau teritori yang menjadi tempat berlindung bagi para pembayar pajak sehingga para pembayar pajak ini dapat menghindarkan pembayaran pajaknya. Suatu negara/wilayah dapat dikategorikan sebagai Tax Haven Country, menurut Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation Development/OECD), jika memenuhi salah satu faktor:
  1. Pajaknya sangat rendah, bahkan tidak ada pajak yang dikenakan, dengan tujuan untuk menyediakan negara/wilayahnya sebagai negara/wilayah tempat pelarian warga asing yang akan menghindarkan pajak.
  2. Memiliki fasilitas perlindungan yang sangat ketat terhadap informasi nasabah.
  3. Tidak adanya transparansi dalam operasi tax haven tersebut.

Berdasarkan hasil pertemuan G-20 pada tanggal 2 April 2009, negara-negara anggota OECD menetapkan daftar negara-negara yang dikategorikan sebagai Tax Haven Country, yang terdiri dari:

Daftar Negara yang Telah Menerapkan Perjanjian Pajak Internasional Sesuai Standar:
Terdiri dari 40 negara, yaitu:
Argentina
Australia
Barbados
Canada
China
Cyprus
Czech Republic
Denmark
Finland
France
Germany
Greece (Yunani)
Guernsey
Hungary
Iceland (Islandia)
Ireland
Isle of Man
Italy
Japan
Jersey
Korea
Malta
Mauritius
Mexico
Netherlands
New Zealand
Norway
Poland
Portugal
Russian Federation
Seychelles
Slovak Republic
South Africa
Spain
Sweden
Turkey
United Arab Emirates
United Kingdom
United States
US Virgin Islands

DAFTAR ABU-ABU: Daftar Negara yang telah berkomitmen untuk mengikuti standar perjanjian pajak internasional, namun belum menerapkannya. Terdiri dari 30 Negara, yaitu:
Andorra
Anguilla
Antigua and Barbuda
Aruba
Bahamas
Bahrain
Belize
Bermuda
British Virgin Islands
Cayman Islands
Cook Islands
Dominica
Gibraltar
Grenada
Liberia
Liechtenstein
Marshall Islands
Monaco
Montserrat Nauru
Netherlands Antilles
Niue
Panama
St. Kitts and Nevis
St. Lucia
St. VIncent & Grenadines
Samoa
San Marino
Turks and Caicos Islands
Vanuatu
Austria
Belgium
Brunei
Chile
Guatemala
Luxembourg
Singapore
Switzerland

DAFTAR BLACK LIST, TAX HAVEN COUNTRY
Costa Rica
Malaysia (Labuan)
Philippines
Uruguay

Selasa, 21 April 2009

Apakah Punya NPWP Sekarang Kena PPh Tarif Lebih Tinggi?

Penulis menerima beberapa pertanyaan mengenai pengenaan tarif PPh yang lebih tinggi akan dikenakan kepada Wajib Pajak yang baru mendaftarkan diri setelah tanggal 28 Februari 2009. Menurut beberapa penyanya tersebut mereka mendapatkan informasi tersebut dari Harian Kompas tanggal 17 April 2009.
Dalam salah satu artikelnya pada Harian Kompas tanggal 17 April 2009 tersebut, yang berjudul "Belum Punya NPWP Kena PPh Lebih Tinggi 20 Persen", tertulis (paragraf pertama):

"Wajib Pajak yang baru membuat nomor pokok wajib pajak setelah 28 Februari 2009 akan dikenai pajak penghasilan lebih tinggi 20-100 persen dibanding yang sudah memiliki NPWP sebelum tanggal tersebut. Tidak ada lagi fasilitas tambahan untuk mereka."

Setelah penulis mempelajari lebih seksama keseluruhan dari isi artikel tersebut, tampaknya bahwa penulisan pada paragraf pertama tersebut adalah akibat kesalahan editing dari pihak penulis artikel tersebut. Penulis telah mengkonfirmasikan hal ini ke Redaktur Harian Kompas melalui e-mail, namun hingga saat tulisan ini dimuat masih belum ada konfirmasi dari pihak Harian Kompas.

Saat ini ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan tarif PPh yang besarnya berbeda antara yang memiliki NPWP dengan yang tidak memiliki NPWP diatur dalam Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Berdasarkan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh disebutkan bahwa:
"Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak."

Berdasarkan Pasal 22 ayat (3) UU PPh disebutkan bahwa:
"Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yagn diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak."

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) UU PPh disebutkan bahwa:
"Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."

Dalam ketiga ayat ini hanya mengatur mengenai pengenaan PPh dengan tarif yang lebih tinggi kepada penerima penghasilan yang belum memiliki NPWP (atau tidak dapat menunjukkan NPWP ketika akan dipotong PPh) dibandingkan dengan penerima penghasilan yang telah memiliki NPWP. Namun ketika yang bersangkutan telah memiliki NPWP, maka pengenaan tarif PPh-nya akan kembali kepada tarif yang normal. Kepemilikan NPWP ini tidak dibatasi kapan paling lambatnya. Namun ketika pada suatu saat (sepanjang tahun) yang bersangkutan telah memiliki NPWP, maka ia menerima penghasilan lagi, akan dikenakan PPh dengan tarif normal. Sedangkan potongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya ketika yang bersangkutan belum memiliki NPWP (dengan tarif yang lebih tinggi) dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak, ketika orang pribadi tersebut telah memiliki NPWP dan akan memenuhi kewajiban pajak tahunannya (SPT Tahunan).

Sebagai contoh, misalkan si A bekerja pada PT XYZ dan belum memiliki NPWP. Pada tanggal 1 April 2009 dan 1 Mei 2009 menerima gaji (baca sebagai = penghasilan kena pajak) sebesar masing-masing Rp 4 juta se bulan dari PT XYZ, maka akan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi, yaitu sebesar 20% x 5% x Rp 4 juta pada tanggal 1 April 2009 dan 1 Mei 2009.
Pada tanggal 15 Mei 2009 si A mendaftarkan diri serta mendapatkan NPWP. Maka jika pada tanggal 1 Juni 2009 si A menerima gaji (=penghasilan kena pajak) sebesar Rp 4 juta dari PT XYZ, maka akan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif normal kembali yaitu sebesar 5%.

Rabu, 08 April 2009

Diskon PPh 50% Bagi WP Badan

Salah satu insentif perpajakan yang diberikan melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah pemberian pengurangan PPh sebesar 50% dari tarif seharusnya menurut Pasal 17 ayat (1) huruf b kepada Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar). Pemberian fasilitas pengurangan sebesar 50% dari tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b hanya diberikan untuk Penghasilan Kena Pajak (yang berasal dari bagian Peredara Usaha yang sebesar Rp 50 milyar tersebut) sampai dengan Rp 4,8 miliar.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan berlaku untuk tahun pajak 2009.

Dengan adanya ketentuan ini, maka bagi WP Badan yang memiliki peredaran usaha setahunnya tidak melebihi Rp 50 miliar (Usaha Kecil dan Menengah/UKM), hanya akan membayar PPh sebesar setengahnya dari yang seharusnya dibayar. Sebagaimana kita ketahui bahwa tarif PPh Pasal 17 untuk Wajib Pajak Badan di tahun 2009 ini adalah sebesar 28%. Dengan demikian WP Badan yang memenuhi kriteria Pasal 31E UU PPh ini, hanya perlu membayar PPh Badan-nya hanya sebesar 14%. Sedangkan kelak di tahun 2010, dimana tarif PPh Badan akan diturunkan menjadi 25% (Pasal 17 ayat (2a)), maka WP Badan yang memenuhi kriteria Pasal 31E ini hanya membayar PPh Badan sebesar 12,5%.

Contoh perhitungan PPh-nya adalah:

Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Maka perhitungannya,
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
PPh Terutang = (50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00

Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Maka perhitungannya,
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
PPh terutang=
- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang Rp 772.800.000,00

Dengan adanya penurunan tarif PPh untuk tahun pajak 2009 ini, maka para Wajib Pajak Badan yang saat ini tengah mempersiapkan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2008 perlu mengantisipasi mengenai besarnya PPh Pasal 25 yang harus disetorkan mulai masa April 2009 ini. Hal ini supaya kelak tidak terjadi adanya kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 yang mengakibatkan SPT Tahunan PPh Tahun 2009 menjadi Lebih Bayar.
Sebenarnya sewaktu melakukan penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk masa April s.d. Desember 2009, Wajib Pajak dapat mengantisipasinya dalam SPT Tahunan PPh Tahun 2008 (sebagaimana pernah dibahas dalam artikel ini). Namun karena aturan penegasan yang masih belum ada, maka penulis menyarankan agar Wajib Pajak mencoba untuk mengajukan pengurangan angsuran secara tertulis.

Artikel terkait:
Angsuran PPh Pasal 25
Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2009

Selasa, 07 April 2009

Angsuran PPh Pasal 25

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dikenal adanya satu sistem pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan di awal tahun pajak, sebelum suatu penghasilan yang menjadi objek pajak dapat ditentukan (baca: dihitung). Sistem ini diatur dalam Pasal 25 UU PPh. Pembayaran pajak yang diatur dalam pasal ini (biasanya diistilahkan sebagai PPh Pasal 25) akan diperlakukan sebagai pembayaran pajak di muka dan akan diperhitungkan sebagai kredit pajak pengurang atas PPh terutang yang dihitung pada akhir tahun pajak.
Rumus untuk menentukan besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (baik orang pribadi maupun badan) setiap bulannya dalam tahun berjalan adalah besarnya PPh terutang tahun pajak sebelumnya (PPh terutang tahun berjalan diasumsikan akan sama dengan PPh terutang tahun sebelumnya) dikurangi dengan kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga (yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 26) dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak (berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh).
Bagaimanakah cara penghitungan PPh Pasal 25 menurut ayat ini, apalagi jika kita melihat bahwa ada beberapa perubahan di tahun 2009 ini jika dibandingkan dengan ketentuan tahun 2008? Artikel terkait mengenai perhitungan PPh Pasal 25 di tahun 2009 ini pernah dibahas dalam artikel ini. Namun dalam artikel tersebut tidak dijelaskan bagaimana perlakuannya untuk kredit pajak yang dipotong oleh pihak ketiga. Khusus untuk kredit pajak yang dipotong oleh pihak ketiga yang juga telah mengalami perubahan tarif di tahun 2009 ini (misalkan PPh Pasal 21 yang ada perubahan PTKP dan tarif PPh; PPh Pasal 23 yang ada perubahan tarif), maka dalam perhitungan angsuran PPh Pasal 25, juga harus menyesuaikan perhitungan kredit pajak berdasarkan tarif yang berlaku di tahun 2009.
PPh Pasal 25 ini harus disetorkan oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya (misalkan untuk masa Januari, maka harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari) serta dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (misal untuk masa Januari, maka paling lambat lapor adalah tanggal 20 Februari).
Apakah perhitungan PPh Pasal 25 ini berlaku mulai bulan Januari 2009?
Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPh, ditegaskan bahwa besarnya angsuran pajak (PPh Pasal 25) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh disampaikan besarnya adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu (= bulan Desember tahun sebelumnya).
Kapankah yang dimaksud sebagai bulan-bulan sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh disampaikan?
Dengan adanya perbedaan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh antara orang pribadi dengan badan di tahun 2009 ini, menyebabkan perlakuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh ini akan berbeda untuk orang pribadi dan badan.
Untuk tahun pajak 2009 ini, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 2008 adalah tanggal 31 Maret 2009. Oleh sebab itu, untuk PPh Pasal 25 masa Januari 2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2009) dan masa Februari 2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Maret 2009) batas waktu pelaporannya adalah sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 disampaikan, sehingga tidak dapat dihitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan menggunakan Pasal 25 ayat (1) UU PPh. Maka untuk kedua masa ini, dasar untuk menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetorkan adalah berdasarkan setoran untuk masa Desember 2008).
Bagaimanakah dengan Wajib Pajak badan yang sebagaimana kita ketahui bahwa batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan mulai tahun pajak 2008 adalah tanggal 30 April 2009. Untuk Wajib Pajak badan, selain PPh Pasal 25 masa Januari 2009 dan masa Februari 2009 yang angsurannya tetap menggunakan angsuran berdasarkan masa Desember 2008, untuk masa Maret 2009 (yang harus disetorkan paling lambat tanggal 15 April 2009 dan batas penyetorannya ini masih sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh badan) PPh Pasal 25-nya juga mengikuti besarnya angsuran masa Desember 2008.
Barulah untuk setoran PPh Pasal 25 masa April 2009, Wajib Pajak badan harus menyesuaikannya berdasarkan perhitungan pada angsuran Pasal 25 ayat (1).

Artikel Terkait:
Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2009

Rabu, 11 Maret 2009

Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2009. Terdapat beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ini dibandingkan dengan yang selama ini berlaku. Antara lain adanya perubahan tarif PPh Pasal 17 dan perubahan PTKP. Dengan adanya perubahan ini, akan berakibat besarnya PPh yang terutang jika dihitung dengan menggunakan ketentuan di tahun 2008 jumlahnya akan lebih besar jika dibandingkan dengan PPh terutang yang dihitung berdasarkan ketentuan di tahun 2009 nanti. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan besarnya PTKP dan penurunan tarif PPh Pasal 17 (secara agregat).
Adanya perbedaan besarnya PPh Terutang jika dihitung menggunakan 2 ketentuan yang berbeda ini, cukup berpengaruh dalam menentukan angsuran PPh Pasal 25 yang harus diangsur oleh Wajib Pajak selama tahun berjalan 2009.
Berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh, penentuan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dilunasi (dibayar sendiri) oleh Wajib Pajak adalah sebesar:
PPh Terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi PPh yang dipotong/dipungut (berupa PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23) serta PPh Pasal 24 kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Filosofi dari Pasal 25 UU PPh ini adalah bahwa diasumsikan pajak terutang atas penghasilan yang akan kita peroleh dalam tahun berjalan minimal adalah sama dengan besarnya pajak terutang atas penghasilan yang diterima pada tahun sebelumnya.
Namun jika rumus menghitung PPh Pasal 25 ini yang kita gunakan untuk menentukan besarnya PPh Pasal 25 untuk tahun 2009, niscaya PPh Pasal 25 yang telah kita hitung tersebut akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan PPh yang akan terutang seharusnya di tahun 2009, akibat adanya perbedaan tarif PPh Pasal 12 dan besarnya PTKP.
Jadi, bagaimanakah seharusnya kita menghitung besarnya PPh Pasal 25 yang harus diangsur selama tahun 2009?

Dalam menghitung PPh Pasal 25 yang harus diangsur selama tahun 2009 ini, kita perlu memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di tahun 2009 terutama mengenai besarnya PTKP yang akan digunakan untuk tahun 2009 serta besarnya tarif PPh Pasal 17.
Jadi seharusnya Wajib Pajak menghitung ulang PPh yang diperkirakan akan terutang di tahun 2009 dengan menggunakan tarif PPh Pasal 17 dan PTKP yang berlaku di tahun 2009 sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Sedangkan dasar penghasilan yang digunakan untuk mencari besarnya PPh yang diperkirakan akan terutang di tahun 2009 tetap menggunakan penghasilan neto (dari penghasilan rutin) yang diperoleh tahun 2008, yaitu yang berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2008.
Namun yang menjadi pertanyaan saat ini adalah adakah dasar hukumnya jika kita menghitung PPh Pasal 25 tahun 2009 dengan menggunakan metode ini? Apakah perhitungan seperti ini diperbolehkan?
Sebenarnya untuk tahun-tahun sebelumnya, ketika terjadi perubahan ketentuan perpajakan yang menyebabkan adanya perubahan besarnya perhitungan PPh terutang akibat adanya perbedaan perlakuan tarif, Direktur Jenderal Pajak selalu mengeluarkan penegasan kepada Wajib Pajak untuk menyesuaikan perhitungan PPh Pasal 25. Hal ini dapat kita lihat antara lain:
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.41/2005
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-210/PJ./2001
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.41/1995
Namun untuk perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2009, hingga saat ini Direktur Jenderal Pajak masih belum mengeluarkan penegasannya.

Contoh penghitungan PPh Pasal 25 untuk tahun 2009
Berdasarkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tn. Adi Tahun 2008, diketahui bahwa:
Penghasilan Neto sebesar Rp 60.000.000
PTKP (TK/0)......sebesar Rp 13.200.000
Penghasilan Kena Pajak...Rp 46.800.000
PPh Terutang:
- Rp 25.000.000 x 5 % = Rp 1.250.000
- Rp 21.800.000 x 10% = Rp 2.180.000
Total PPh Terutang.......Rp 3.430.000

Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2009:
Penghasilan Neto berdasarkan SPT Tahun 2008 Rp 60.000.000
PTKP (TK/0) di tahun 2009...................Rp 15.840.000
Penghasilan Kena Pajak......................Rp 44.160.000
PPh Terutang:
- Rp 44.160.000 x 5 % = Rp 2.208.000
Maka Angsuran PPh Pasal 29 untuk tahun 2009 adalah sebesar
Rp 2.208.000 : 12 bulan
atau sebesar Rp 184.000.
(c)syafrianto 11032009

Artikel Terkait:
Angsuran PPh Pasal 25

Rabu, 25 Februari 2009

31 Maret 2009, Batas Waktu Sunset Policy untuk Wajib Pajak Baru

"Benarkah Program Sunset Policy berakhir tanggal 28 Februari 2009?"

Hari ini tanggal 25 Februari 2009. Jika kita membuka situs www.pajak.go.id pada hari ini, maka pada sebelah kanan (agak ke bawah) situs tersebut akan kita temukan sebuah banner pemberitahuan bahwa batas waktu pelaksanaan perpanjangan program sunset policy TINGGAL 4 HARI LAGI. Ini berarti bahwa batas waktu pelaksanaan program sunset policy adalah tanggal 28 Februari 2009. Bagi Anda yang masih belum melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Anda untuk memanfaatkan program sunset policy ini tentu menjadi bimbang. Bahkan ada yang panik karena akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa seluruh warga negara Indonesia harus memanfaatkan fasilitas sunset policy ini, jika tidak maka akan timbul risiko tertentu di kemudian hari. Akibatnya orang berbondong-bondong ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP. Selain itu, tidak sedikit juga orang yang kembali membongkar dokumen-dokumennya yang berhubungan dengan penghasilan, harta kekayaan serta pelaporan perpajakan selama ini, hanya untuk memanfaatkan fasilitas sunset policy ini.

Dalam kondisi yang serba mendesak ini, maka timbullah pertanyaan dan harapan dari para Wajib Pajak, apakah program sunset policy ini akan diperpanjang, seperti sebelumnya yang telah diperpanjang hingga 28 Februari 2009 ini. Jika tidak ada perpanjangan lagi, sebagaimana pernyataan dari Direktur Jenderal Pajak, apakah berarti batas waktu pelaksanaan sunset policy hanya sampai tanggal 28 Februari 2009, padahal ada di antara para pembaca yang merupakan Wajib Pajak yang baru terdaftar di tahun 2008 dan tahun 2009 dan masih belum memanfaatkan program sunset policy.

Untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para pembaca ini, maka penulis akan mengulas dan membahas berbagai ketentuan mengenai batas waktu pelaksanaan sunset policy dalam tulisan berikut ini.

Jika kita kaji lebih dalam, dasar dilaksanakannya program sunset policy ini adalah Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 5 Tahun 2008.
Dalam ketentuan ini, secara garis besar fasilitas sunset policy diberikan kepada 2 (dua) jenis Wajib Pajak, yaitu:
- Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum 1 Januari 2008 (disebut: Wajib Pajak Lama)
- Wajib Pajak yang telah terdaftar setelah 1 Januari 2008 (disebut: Wajib Pajak Baru)
Fasilitas sunset policy diberikan kepada:
Wajib Pajak Lama dalam bentuk melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh untuk tahun-tahun pajak sebelum tahun 2007 yang mengakibatkan ada pajak yang masih kurang bayar.
Wajib Pajak Baru orang pribadi dalam bentuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP mulai 1 Januari 2008 hingga 28 Februari 2009 serta melakukan penyampaian SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya.
Dalam ketentuan ini hanya disebutkan bahwa jangka waktu yang diberikan untuk memanfaatkan ketentuan Pasal 37A ini adalah 1 (satu) tahun sejak ketentuan ini berlaku (berarti sampai dengan 31 Desember 2008 yang kemudian diperpanjang dengan PERPU Nomor 5 tahun 2008 menjadi tanggal 28 Februari 2009) untuk:
  1. Pembetulan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2006 dan sebelumnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak Lama.
  2. Mendaftarkan diri dan mendapatkan NPWP untuk Wajib Pajak Baru (baca: Daftar NPWP Januari dan Pebruari 2009 Dapat Fasilitas Sunset Policy).

Namun dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 ini tidak dapat kita ketahui apakah berarti bagi Wajib Pajak Baru, jika mereka akan melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh untuk mendapatkan fasilitas sunset policy, apakah batas waktunya adalah juga tanggal 28 Februari 2009.

Untuk itu, kita harus mengkaji lebih mendalam atas aturan pelaksanaan dari Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 ini.

Ketentuan mengenai batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak baru supaya dapat memperoleh fasilitas sunset policy secara tegas diatur dalam Pasal 33 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007. Dalam ayat ini secara jelas ditegaskan bahwa batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak Baru harus disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Maret 2009, supaya mendapatkan fasilitas sunset policy.
Penegasan lebih mendetil mengenai batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak Baru yang mendapatkan fasilitas sunset policy diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa bagi Anda yang baru mendaftarkan diri secara sukarela untuk mendapatkan NPWP mulai 1 Januari 2008 hingga 28 Februari 2009 masih dapat memanfaatkan fasilitas sunset policy dengan menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dan menyatakan adanya PPh yang kurang bayar hingga tanggal 31 Maret 2009.

Marilah kita gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
(c) syafrianto 25022009

Selasa, 10 Februari 2009

Perhitungan PPh Pasal 21 untuk Januari 2009 Telah Berubah

Hari ini adalah hari terakhir penyetoran PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawan ke kas negara untuk masa Januari 2009. Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, perhitungan PPh Pasal 21 untuk masa Januari 2009 ini telah berubah. Hal ini sesuai dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan serta aturan-aturan pelaksananya yaitu:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 mengenai Biaya Jabatan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 mengenai tata cara pemotongan PPh Pasal 21
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008 mengenai batasan upah harian yang tidak dipotong PPh Pasal 21.
Oleh sebab itu, bagi para pembaca yang merupakan pemotong PPh Pasal 21 agar memperhatikan ketentuan-ketentuan baru ini supaya tidak terjadi kelebihan setor pajak untuk masa Januari 2009 ini.
Apa saja ketentuan yang telah berubah mulai masa Januari 2009 ini?
Beberapa Perubahan atas Ketentuan Pemotongan PPh Pasal 21

PTKP BAGI PENERIMA PENGHASILAN BUKAN PEGAWAI
PTKP Bagi orang pribadi bukan Pegawai seperti petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus sebagai pegawai, distributor MLM atau direct selling, penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai atau penerima penghasilan lainnya yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan.
Syarat bagi penerima penghasilan bukan pegawai untuk mendapatkan pengurangan PTKP yaitu orang pribadi bukan pegawai penerima penghasilan tersebut harus memiliki NPWP (untuk wanita kawin, maka suaminya harus memiliki NPWP) dan memberikan fotokopi kartu NPWP miliknya (atau milik suaminya, bagi wanita kawin) kepada pemotong PPh Pasal 21.
Pasal 12 PMK 252/PMK.03/2008)

TARIF PPh PASAL 21 MENGGUNAKAN TARIF PASAL 17 UU PPh
Dalam ketentuan baru ini, tarif pemotongan PPh Pasal 21 adalah dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas penghasilan yang diterima oleh:
  1. Pegawai tetap
  2. Penerima Pensiun
  3. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan
  4. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak dibayarkan secara bulanan
  5. Pembayaran kepada bukan pegawai atas jasa/pekerjaan yang bersifat tidak berkesinambungan, pembayaran utuh yang tidak dipecah-pecah dan pembayaran yang bersifat berkesinambungan berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis.
  6. honor atau imbalan anggota komisaris atau dewan pengawas yang bukan pegawai
  7. jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima mantan pegawai
  8. penarikan dana pensiun pada dana pensiun yang didirikan dan disahkan Menteri Keuangan.
(Pasal 13, 14, 15 dan 16 PMK 252/PMK.03/2008)
Jadi saat ini tenaga ahli tidak lagi dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 7,5%?

PEMOTONGAN PPh PASAL 21 YANG TIDAK MEMILIKI NPWP
Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai dan bukan pegawai yang tidak memiliki NPWP, dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan dalam PPh Pasal 21, sehingga jumlah PPh yang dipotong tarifnya menjadi 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong.
(Pasal 20 PMK 252/PMK.03/2008)

BIAYA JABATAN
Biaya Jabatan ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan jumlah setinggi-tingginya Rp 6.000.000,00 setahun atau Rp 500.000,00 sebulan.
Biaya Pensiun ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan jumlah setinggi-tingginya Rp 2.400.000,00 setahun atau Rp 200.000,00 sebulan.
(Pasal 1 PMK 250/PMK.03/2008)

BATAS UPAH HARIAN YANG TIDAK DIPOTONG PPh PASAL 21
Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai harian, mingguan dan pegawai tidak tetap lainnya sampai dengan jumlah Rp 150.000,00 sehari tidak dipotong PPh Pasal 21. Namun ketentuan ini tidak berlaku jika penghasilan bruto ini telah melebihi Rp 1.320.000,00 (jika upah harian tersebut diakumulasikan selama sebulan) atau jika penghasilan upah harian ini dibayarkan secara bulanan.
(Pasal 1 dan Pasal 2 PMK 254/PMK.03/2008)
(c) syafrianto 10022009

Rabu, 21 Januari 2009

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Jika kita cermati isi dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 dimana dalam salah satu pasalnya mengenai Definisi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ternyata terdapat “perbedaan” pendefinisian istilah "wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu" dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Berikut definisi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu mengenai kedua aturan tersebut:

  1. Dalam Memori Penjelasan Pasal 25 ayat (7) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan bahwa: Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto.
  2. Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 disebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang mempunyai tempat usaha lebih dari satu, atau mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili.

Bagi sebagian orang awam yang membaca definisi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dari kedua ketentuan tersebut, maka akan mengatakan bahwa definisi yang dikemukakan kedua aturan tersebut adalah bertentangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah orang pribadi yang memiliki 1 (satu) atau lebih tempat usaha. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008, Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah orang pribadi yang memiliki tempat usaha lebih dari satu, atau memiliki tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili. Apakah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 ini bertentangan dengan UU PPh?


Jika kita kaji lebih mendalam terhadap isi dari kedua ketentuan ini, sebenarnya tidak ada yang bertentangan antara kedua aturan tersebut. Dalam UU PPh, ditegaskan bahwa yang dimaksud sebagai Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah orang pribadi yang memiliki 1 (satu) atau lebih tempat usaha, artinya orang pribadi pengusaha tertentu ini dapat hanya memiliki 1 (satu) tempat usaha ataupun lebih dari 1 (satu) tempat usaha/beberapa tempat usaha. Jadi Wajib Pajak orang pribadi yang hanya memiliki 1 (satu) tempat usahapun dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.

Sedangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008, ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah orang pribadi yang memiliki tempat usaha lebih dari satu. Jika kita hanya baca sampai kalimat ini saja, maka akan ditafsirkan bahwa menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 menegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu harus memiliki beberapa tempat usaha (lebih dari satu tempat usaha) dan ini tentunya bertentangan dengan UU PPh yang menegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dapat berupa orang pribadi yang memiliki 1 (satu) tempat usaha. Namun jika kita baca lebih lanjut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008, maka terdapat kalimat bahwa Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dapat juga berupa orang pribadi yang memiliki tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili. Artinya bahwa orang pribadi yang memiliki tempat usaha (walaupun hanya satu saja) yang lokasi/alamatnya berbeda dengan alamat tempat tinggalnya (domisili).

Simpulan


Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah orang pribadi yang memiliki tempat usaha:
  1. Satu tempat usaha, yang didefinisikan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki 1 (satu) tempat usaha dengan syarat alamat tempat usahanya tersebut berbeda dengan alamat domisilinya (tempat tinggalnya), atau
  2. Lebih dari satu tempat usaha.
© Syafrianto 21012009

Jumat, 16 Januari 2009

NPWP dari Pendaftaran Kolektif Karyawan Dapat Digunakan untuk Pembebasan Fiskal LN

Saat ini banyak beredar isu yang mengatakan bahwa NPWP yang diperoleh dari pendaftaran secara kolektif melalui pemberi kerja (pendaftaran NPWP sesuai Peraturan Dirjek Pajak Nomor PER-16/PJ/2007 atau diistilahkan sebagai NPWP untuk karyawan) tidak akan mendapatkan fasilitas bebas fiskal luar negeri ketika orang pribadi yang bersangkutan pemilik NPWP tersebut akan ke luar negeri (NPWPnya tidak valid). Bahkan banyak pertanyaan dan email yang diterima oleh penulis dimana para pengirim email atau pertanyaan tersebut merasa panik, khawatir bahwa NPWP yang mereka peroleh melalui pendaftaran secara kolektif oleh perusahaan tempat mereka bekerja tersebut tidak dapat digunakan untuk mendapatkan pembebasan fiskal luar negeri ketika mereka akan bepergian ke luar negeri.

Apakah memang demikian?

Isu yang saat ini beredar yang mengatakan bahwa NPWP yang diperoleh secara kolektif melalui pendaftaran yang dilakukan oleh pemberi kerja tidak valid dan tidak dapat digunakan untuk mendapatkan pembebasan Fiskal Luar Negeri bagi orang pribadi yang bersangkutan ketika akan bepergian ke luar negeri adalah TIDAK BENAR. Hal ini terjadi akibat adanya kesalahan penafsiran di lapangan.

Sebenarnya NPWP yang diperoleh melalui pendaftaran secara kolektif di tempat orang pribadi yang bersangkutan bekerja dikategorikan sebagai NPWP yang diperoleh oleh orang pribadi yang bersangkutan secara sukarela. Walaupun pendaftarannya tidak dilakukan sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat, namun NPWP ini diterbitkan berdasarkan permohonan dari Wajib Pajak sendiri. Dalam ketentuan perpajakan, Wajib Pajak wajib untuk mendaftarkan sendiri dirinya untuk mendapatkan NPWP. Jika Wajib Pajak yang telah memenuhi ketentuan perpajakan namun tidak mendaftarkan diri, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan secara jabatan kepada Wajib pajak yang bersangkutan untuk mendapatkan NPWP.
Pendaftaran NPWP baik secara sukarela maupun secara jabatan adalah valid dan Wajib Pajak yang bersangkutan secara langsung memiliki kewajiban serta dapat pula menuntut haknya.
Hak-hak yang dimiliki oleh seorang Wajib Pajak antara lain adalah:

  1. Mendapatkan pengembalian atas kelebihan pembayaran/pemotongan pajak
  2. Mengajukan keberatan/banding/peninjauan kembali jika terjadi sengketa dalam penetapan pajak
  3. Mendapatkan fasilitas pembebasan pengenaan pajak, antara lain adalah pembebasan pembayaran fiskal luar negeri.
Oleh sebab itu, maka Wajib Pajak yang mendapatkan NPWP melalui proses pendaftaran secara koleksi dari tempatnya bekerja juga berhak untuk mendapatkan fasilitas perpajakan termasuk juga pembebasan fiskal luar negeri. Oleh sebab itu, maka isu yang beredar saat ini tentang NPWP yang diperoleh karyawan dari pendaftaran secara kolektif tidak mendapatkan fasilitas pembebasan fiskal luar negeri adalah TIDAK BENAR.

Selasa, 06 Januari 2009

Tarif Pemotongan PPh Pasal 23 Berubah mulai 1 Januari 2009?

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2009. Dalam UU PPh yang baru ini, banyak sekali ketentuan yang telah mengalami perubahan. Salah satunya yang cukup penting adalah perubahan atas Pasal 23.

Pasal 23 UU PPh mengatur mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus (dan sejenisnya), sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)) serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang wajib dilakukan oleh pihak yang membayarkan penghasilan tersebut.

Tarif pemotongan PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus (dan sejenisnya), dalam UU PPh yang baru ini telah jelas, yaitu sebesar 15% dari jumlah bruto penghasilan tersebut. (sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a.

Untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)) besarnya tarif pemotongan PPh juga sudah jelas diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1, yaitu sebesar 2% dari jumlah bruto penghasilan tersebut.

Sedangkan untuk jenis penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, besarnya tarif pemotongan yang diatur dalam Pasal 23 UU PPh ini besarnya adalah 2% dari jumlah bruto penghasilan tersebut (Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2). Namun jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam bagian ini, harus diatur lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 23 ayat (2)).

Hingga hari ini, Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lain tersebut masih belum diterbitkan. Oleh sebab itu, bagaimanakah Wajib Pajak harus melakukan kewajiban pemotongan atas penghasilan tersebut?


Sebelum tanggal 1 Januari 2009, ketentuan mengenai jenis-jenis jasa lainnya yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 serta besarnya perkiraan penghasilan Neto dari setiap jasa tersebut diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tanggal 9 April 2007. Selama ini berlaku ketentuan bahwa besarnya PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lainnya tersebut adalah 15% dari Perkiraan Penghasilan Neto.

Namun mulai tanggal 1 Januari 2009 besarnya PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lainnya adalah sebesar 2% dari Penghasilan Bruto. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menegaskan bahwa jenis jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23 ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Namun hingga saat ini, peraturan lebih lanjut yang mengatur jenis jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23 tersebut belum juga terbit. Sehingga timbul kebingungan di kalangan Wajib Pajak. Bagaimanakah solusinya untuk pemenuhan kewajiban pajak jika telah melakukan transaksi pembayaran jasa yang sebelumnya menjadi objek PPh Pasal 23? Penulis menyarankan untuk sementara waktu, selama belum ada aturan jelas mengenai jenis jasa yang ditetapkan menjadi objek PPh Pasal 23, maka jika Wajib Pajak melakukan transaksi pembayaran penghasilan jasa dan terutang kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23, maka Wajib Pajak dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 23 untuk seluruh jenis jasa tersebut sebesar 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan. Jika kelak ternyata jasa tersebut tidak terutang PPh Pasal 23, maka dapat dilakukan pemindahbukuan atas kesalahan setor tersebut. Hal ini sebagai upaya agar Wajib Pajak terbebas dari pengenaan sanksi bunga keterlambatan setor atas pajak yang seharusnya mereka potong namun tidak dipotong.

Saat ini telah terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagai Objek Pajak Penghasilan Pasal 23. Untuk mengetahui artikel yang berhubungan lebih lanjut silakan klik artikel terkait di bawah ini:

* Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh

Jumat, 08 Agustus 2008

Seputar Sunset Policy

A. UMUM


Apa yang dimaksud dengan Sunset Policy?

Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya di tahun 2008, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).


Apa yang melatarbelakangi adanya Sunset Policy?

Undang-Undang KUP Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun dana perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan ini memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar, Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2008 ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela dan melaksanakannya dengan benar.


Sampai kapan Sunset Policy ini berlaku?

Sunset Policy ini berlaku dalam satu tahun, yaitu mulai berlaku dari 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2008.


Siapa yang dapat memanfaatkan Sunset Policy?

Yang dapat memanfaatkan Sunset Policy adalah:

1. Orang Pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang dalam tahun 2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya paling lambat 31 Maret 2009.

2. Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2008, yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun pajak sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan.

Informasi selengkapnya mengenai Seputar Sunset Policy dapat diakses di sini.

Jumat, 01 Agustus 2008

PERLUKAH MEMILIKI NPWP?

Saat ini kata Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP sangat sering kita dengar. Bahkan Direktorat Jenderal Pajak tengah gencar melaksanakan program agar seluruh masyarakat di Indonesia yang telah memenuhi persyaratan supaya terdaftar dan memiliki NPWP.
Apalagi pada tahun 2008 ini, Direktorat Jenderal Pajak tengah gencar mencanangkan program sunset policy, yang salah satunya adalah memberikan fasilitas "pengampunan pajak terbatas" yang akan dinikmati oleh masyarakat yang secara sukarela telah mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP.
Sering penulis mendapatkan pertanyaan mengenai perlukah untuk mendaftar dan mendapatkan NPWP? Jika telah memiliki NPWP, apakah justru tidak akan menjadi masalah karena kelak akan selalu dikejar-kejar oleh aparat pajak? Sebenarnya bagaimanakah kewajiban kita untuk memiliki NPWP dan apa manfaat dari memiliki NPWP tersebut?

Dasar Ketentuan atas Kewajiban Memiliki NPWP

Dasar aturan bahwa semua warga negara yang penghasilan di atas PTKP harus memiliki NPWP:

1. UU No 28 Tahun 2007 (UU KUP) Pasal 2 ayat (1) yang berisi:

“Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak."

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan objektif: persyaratan objektif adalah memiliki penghasilan yang menjadi objek pajak (dalam hal ini berarti di atas PTKP). Baca juga penjelasannya.

2. Pasal 2 ayat (1) Peraturan MenKeu nomor 20/PMK.03/2008 juga menyebutkan hal yang sama dengan UU KUP , yaitu: “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak."

Jika Masyarakat telah memenuhi kewajiban pajak secara subjektif dan objektif namum belum juga mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, maka ia akan dikenakan NPWP yang diterbitkan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Aturan ini ada di Pasal 2 ayat (4) UU KUP dan Pasal 2 ayat (7) dan (8) Peraturan MenKeu nomor 20/PMK.03/2008. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan kegiatan ekstensifikasi untuk menjaring masyarakat yang belum memiliki NPWP untuk diberikan NPWP secara jabatan.

Manfaat memiliki NPWP

Untuk tahun 2009 nanti, bagi masyarakat yang telah memiliki NPWP memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan memiliki NPWP antara lain adalah:

1. Akan mendapatkan pemotongan pajak dengan tarif normal yang besarnya lebih rendah jika dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki NPWP.

Dalam Pasal 21 ayat (5a) RUU PPh disebutkan bahwa bagi karyawan yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja dengan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal.

Demikian juga untuk pemotongan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23, pemotongan PPh terhadap masyarakat yang tidak memiliki NPWP ini akan dikenakan sebesar 100% lebih tinggi dari tarif normal.

Informasi ini dapat dibaca pada bagian ini.

2. Selain itu, keuntungan bagi orang pribadi yang telah memiliki NPWP, akan dibebaskan dari pengenaan Fiskal Luar Negeri, jika yang bersangkutan bepergian ke Luar Negeri.

Informasi ini dapat dibaca pada bagian ini.



Jumat, 18 Juli 2008

JATUH TEMPO PELAPORAN SPT MASA

Pada bulan Juli 2008 ini, batas waktu pelaporan SPT Masa (baik PPh maupun PPN) untuk masa pajak Juni 2008, yang jatuh pada tanggal 20 Juli 2008 bertepatan dengan hari Minggu. Sehubungan dengan hal ini, Penulis sering mendapatkan pertanyaan dari Wajib Pajak yang akan melaporkan kewajiban perpajakannya, apakah pelaporan pajak harus dilakukan sebelum tanggal 20 atau boleh dilaporkan pada hari Senin tanggal 21.
Bagaimana jika tidak dapat memenuhi tenggat waktu tersebut, dan jika SPT tersebut dilaporkan pada tanggal 21 Juli 2008 (hari Senin), apakah akan dikenakan Denda atas keterlambatan pelaporan SPT tersebut. Mengingat cukup besarnya denda yang dikenakan atas keterlambatan pelaporan SPT Masa (untuk SPT Masa PPh adalah Rp 100.000 dan SPT Masa PPN adalah Rp 500.000), maka kita perlu mewaspadai supaya tidak terkena sanksi ini.
Pada saat masih diberlakukannya Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang lama, untuk pelaporan SPT Masa, jika batas waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka pelaporan SPT Masa harus dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelum batas waktu yang bertepatan dengan hari libur tersebut.
Namun dengan diberlakukannya UU KUP yang baru (UU Nomor 28 Tahun 2007), maka batas waktu pelaporan SPT Masa yang bertepatan dengan hari libur, dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007. Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan ini menyebutkan bahwa dalam hal batas waktu pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu dan hari libur nasional, maka pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Dalam Pasal 8 ayat (3) ditegaskan lebih lanjut bahwa yang termasuk sebagai hari libur nasional adalah hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Berarti, batas waktu pelaporan SPT Masa untuk masa Juni 2008 ini dapat dilakukan paling lambat pada hari Senin tanggal 21 Juli 2008.