Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2009. Dalam UU PPh yang baru ini, banyak sekali ketentuan yang telah mengalami perubahan. Salah satunya yang cukup penting adalah perubahan atas Pasal 23.
Pasal 23 UU PPh mengatur mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus (dan sejenisnya), sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)) serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang wajib dilakukan oleh pihak yang membayarkan penghasilan tersebut.
Tarif pemotongan PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus (dan sejenisnya), dalam UU PPh yang baru ini telah jelas, yaitu sebesar 15% dari jumlah bruto penghasilan tersebut. (sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a.
Untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)) besarnya tarif pemotongan PPh juga sudah jelas diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1, yaitu sebesar 2% dari jumlah bruto penghasilan tersebut.
Sedangkan untuk jenis penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, besarnya tarif pemotongan yang diatur dalam Pasal 23 UU PPh ini besarnya adalah 2% dari jumlah bruto penghasilan tersebut (Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2). Namun jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam bagian ini, harus diatur lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 23 ayat (2)).
Hingga hari ini, Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lain tersebut masih belum diterbitkan. Oleh sebab itu, bagaimanakah Wajib Pajak harus melakukan kewajiban pemotongan atas penghasilan tersebut?
Sebelum tanggal 1 Januari 2009, ketentuan mengenai jenis-jenis jasa lainnya yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 serta besarnya perkiraan penghasilan Neto dari setiap jasa tersebut diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tanggal 9 April 2007. Selama ini berlaku ketentuan bahwa besarnya PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lainnya tersebut adalah 15% dari Perkiraan Penghasilan Neto.
Namun mulai tanggal 1 Januari 2009 besarnya PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lainnya adalah sebesar 2% dari Penghasilan Bruto. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menegaskan bahwa jenis jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23 ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Namun hingga saat ini, peraturan lebih lanjut yang mengatur jenis jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23 tersebut belum juga terbit. Sehingga timbul kebingungan di kalangan Wajib Pajak. Bagaimanakah solusinya untuk pemenuhan kewajiban pajak jika telah melakukan transaksi pembayaran jasa yang sebelumnya menjadi objek PPh Pasal 23? Penulis menyarankan untuk sementara waktu, selama belum ada aturan jelas mengenai jenis jasa yang ditetapkan menjadi objek PPh Pasal 23, maka jika Wajib Pajak melakukan transaksi pembayaran penghasilan jasa dan terutang kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23, maka Wajib Pajak dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 23 untuk seluruh jenis jasa tersebut sebesar 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan. Jika kelak ternyata jasa tersebut tidak terutang PPh Pasal 23, maka dapat dilakukan pemindahbukuan atas kesalahan setor tersebut. Hal ini sebagai upaya agar Wajib Pajak terbebas dari pengenaan sanksi bunga keterlambatan setor atas pajak yang seharusnya mereka potong namun tidak dipotong.
Saat ini telah terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagai Objek Pajak Penghasilan Pasal 23. Untuk mengetahui artikel yang berhubungan lebih lanjut silakan klik artikel terkait di bawah ini:
* Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh
Pasal 23 UU PPh mengatur mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus (dan sejenisnya), sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)) serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang wajib dilakukan oleh pihak yang membayarkan penghasilan tersebut.
Tarif pemotongan PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, bonus (dan sejenisnya), dalam UU PPh yang baru ini telah jelas, yaitu sebesar 15% dari jumlah bruto penghasilan tersebut. (sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a.
Untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)) besarnya tarif pemotongan PPh juga sudah jelas diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 1, yaitu sebesar 2% dari jumlah bruto penghasilan tersebut.
Sedangkan untuk jenis penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, besarnya tarif pemotongan yang diatur dalam Pasal 23 UU PPh ini besarnya adalah 2% dari jumlah bruto penghasilan tersebut (Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2). Namun jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam bagian ini, harus diatur lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 23 ayat (2)).
Hingga hari ini, Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lain tersebut masih belum diterbitkan. Oleh sebab itu, bagaimanakah Wajib Pajak harus melakukan kewajiban pemotongan atas penghasilan tersebut?
Sebelum tanggal 1 Januari 2009, ketentuan mengenai jenis-jenis jasa lainnya yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 serta besarnya perkiraan penghasilan Neto dari setiap jasa tersebut diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tanggal 9 April 2007. Selama ini berlaku ketentuan bahwa besarnya PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lainnya tersebut adalah 15% dari Perkiraan Penghasilan Neto.
Namun mulai tanggal 1 Januari 2009 besarnya PPh Pasal 23 untuk jenis jasa lainnya adalah sebesar 2% dari Penghasilan Bruto. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menegaskan bahwa jenis jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23 ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Namun hingga saat ini, peraturan lebih lanjut yang mengatur jenis jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23 tersebut belum juga terbit. Sehingga timbul kebingungan di kalangan Wajib Pajak. Bagaimanakah solusinya untuk pemenuhan kewajiban pajak jika telah melakukan transaksi pembayaran jasa yang sebelumnya menjadi objek PPh Pasal 23? Penulis menyarankan untuk sementara waktu, selama belum ada aturan jelas mengenai jenis jasa yang ditetapkan menjadi objek PPh Pasal 23, maka jika Wajib Pajak melakukan transaksi pembayaran penghasilan jasa dan terutang kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23, maka Wajib Pajak dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 23 untuk seluruh jenis jasa tersebut sebesar 2% dari penghasilan bruto yang dibayarkan. Jika kelak ternyata jasa tersebut tidak terutang PPh Pasal 23, maka dapat dilakukan pemindahbukuan atas kesalahan setor tersebut. Hal ini sebagai upaya agar Wajib Pajak terbebas dari pengenaan sanksi bunga keterlambatan setor atas pajak yang seharusnya mereka potong namun tidak dipotong.
Saat ini telah terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagai Objek Pajak Penghasilan Pasal 23. Untuk mengetahui artikel yang berhubungan lebih lanjut silakan klik artikel terkait di bawah ini:
* Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh
0 Comments
Posting Komentar