Beberapa hari terakhir ini, penulis mendapatkan pertanyaan dari para Pembaca setia Tax Learning dan rekan-rekan penulis mengenai adanya permintaan dari pihak KPP ataupun adanya isu yang beredar mengenai ketentuan untuk tidak perlu melaporkan lagi SSP Lembar ketiga PPh Pasal 25 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Apakah memang ketentuan ini benar? Apakah kelak bagi Wajib Pajak yang tidak melaporkan SSP Lembar ketiga pembayaran PPh Pasal 25 ini tidak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00? Berikut ini akan penulis uraikan ketentuan mengenai tidak perlu dilaporkannya lagi SSP PPh Pasal 25 ke Kantor Pelayanan Pajak.
Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak berdasarkan sistem yang dianut dalam perpajakan di Indonesia (sistem Self Assessment) adalah menyetorkan pajaknya ke kas Negara (melalui bank persepsi atau kantor pos dan giro) serta melaporkan pajaknya ke Direktorat Jenderal Pajak. Jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban ini, maka ia akan dikenakan sanksi perpajakan mulai dari sanksi administrasi berupa bunga atau denda sampai dengan sanksi pidana. Memang sangat berat sanksinya bagi Wajib Pajak apabila ia melalaikan kewajiban ini.
Sanksi yang akan dikenakan apabila Wajib Pajak terlambat atau tidak menyetorkan dan melaporkan kewajiban perpajakannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Pasal 7 UU KUP mengatur bahwa untuk SPT Masa PPh yang jika tidak disampaikan tepat pada waktu sesuai dengan yang telah ditentukan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 per SPT Masa. Sedangkan atas penyetoran yang terlambat dilakukan akan dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) UU KUP.
Ketentuan mengenai jangka waktu penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 25 diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP (tentang saat jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPh) serta Pasal 9 ayat (1) UU KUP; dan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007. Pada Pasal 2 ayat (7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 disebutkan bahwa PPh Pasal 25 harus dibayar paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi misalkan penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2009 ini, paling lambat harus disetor pada tanggal 15 Agustus 2009. Namun bagaimanakan jika ternyata pada tanggal jatuh tempo tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional, karena ternyata tanggal 15 Agustus 2009 itu jatuh pada hari Sabtu? Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 ditegaskan bahwa jika tanggal jatuh pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Berarti untuk penyetoran PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 dapat disetorkan paling lambat pada hari Selasa tanggal 18 Agustus 2009 (karena tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, tanggal 16 jatuh pada hari Minggu, tanggal 17 jatuh pada hari Senin yang bertepatan dengan hari Libur Nasional Peringatan Hari Kemerdekaan RI).
Ketentuan mengenai jangka waktu pelaporan SPT Masa diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007. Dalam Pasal ini, antara lain diatur bahwa untuk penyetoran PPh Pasal 25 yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak harus dilaporkan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Artinya untuk pelaporan PPh Pasal 25 Masa Juli 2009 sebagaimana telah disetorkan pada contoh di atas, harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 Agustus 2009 yang jatuh pada hari Senin. Bagaimana seandainya jika tanggal jatuh tempo pelaporan ini ternyata jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional? Perlakuan untuk hal seperti ini adalah sama dengan ketentuan jatuh tempo pembayaran. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2), bahwa jika jatuh tempo tanggal pelaporan ternyata jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pelaporan pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
PPh Pasal 25 tidak Perlu Lapor
Sehubungan dengan sudah on-line-nya sistem penerimaan setoran pajak pada Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan Direktorat Jenderal Pajak serta untuk memberikan kemudahan dan efisiensi bagi Wajib Pajak, maka saat ini Direktorat Jenderal Pajak memberlakukan ketentuan bagi Wajib Pajak dalam melaporkan PPh Pasal 25 yang telah disetorkannya setiap bulan. Ketentuan tersebut adalah diberikannya kemudahan kepada Wajib Pajak untuk tidak perlu lagi melaporkan PPh Pasal 25 yang telah disetorkannya ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang sistemnya telah on-line dengan Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 tanggal 21 Mei 2008.
Pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 menegaskan bahwa bagi Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara on-line dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP yang telah mendapatkan validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) oleh tempat penerima pembayaran tersebut, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Dengan adanya ketentuan ini, maka Wajib Pajak tidak perlu lagi melaporkan SSP yang dibayar melalui tempat pembayaran yang telah on-line tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak. Dengan demikian, apabila Wajib Pajak menyetorkan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 ke Bank Persepsi pada tanggal 14 Agustus 2009, maka pelaporan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 dianggap telah disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar pada tanggal 14 Agustus 2009 dan Wajib Pajak tidak perlu melaporkan lagi SSP Lembar ketiga.
Namun apabila Wajib Pajak ternyata terlambatT Lmenyetorkan PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2009, yang baru disetorkannya pada tanggal 25 Agustus 2009 maka PPh Pasal 25 ini dianggap dilaporkan ke KPP pada tanggal 25 Agustus 2009. Hal ini berarti bahwa Wajib Pajak terlambat melaporkan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 tersebut, sehingga akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah ketentuan mengenai pelaporan PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang setoran PPh Pasal 25-nya adalah nihil. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 ditegaskan bahwa Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu melaporkan SSP PPh Pasal 25 Lembar ketiga ini ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar.
Perlu diperhatikan bagi para Wajib Pajak, bagaimanakah ciri-ciri bahwa Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro tempat Wajib Pajak menyetorkan pajaknya tersebut telah on-line Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Langkah paling mudah yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah menanyakan ke tempat Wajib Pajak menyetorkan pajaknya tersebut, apakah sistem penerimaan pajak mereka telah on-line dengan sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Selain itu, Wajib Pajak dapat meneliti sendiri apakah pembayaran pajaknya tersebut telah tercatat ke dalam Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara secara langsung (on-line) dengan melihat tanda validasi pembayaran yang diberikan oleh Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro apakah terdapat Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN ini adalah suatu baris angka yang terdiri dari 16 digit. Pada beberapa Bank Persepsi (pengalaman penulis di Bank Mandiri dan BNI 46) serta di Kantor Pos dan Giro, Wajib Pajak akan diberikan 1 (satu) lembar tersendiri hasil cetakan dari tempat penerima pembayaran tersebut yang berisi identitas pembayar, jenis dan jumlah pajak yang dibayar serta terdapat NTPN yang dituliskan secara jelas.
Sebenarnya ketentuan ini telah berlaku mulai tanggal 21 Mei 2008.
Jadi bagi para Pembaca setia Tax Learning yang tidak mau repot lagi untuk melaporkan SSP Lembar ketiga PPh Pasal 25 (yang memiliki nilai setoran), setorkanlah PPh Pasal 25 Anda ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang telah on-line dan terhubung ke Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
© http://syafrianto.blogspot.com 12072009
Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008
Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak berdasarkan sistem yang dianut dalam perpajakan di Indonesia (sistem Self Assessment) adalah menyetorkan pajaknya ke kas Negara (melalui bank persepsi atau kantor pos dan giro) serta melaporkan pajaknya ke Direktorat Jenderal Pajak. Jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban ini, maka ia akan dikenakan sanksi perpajakan mulai dari sanksi administrasi berupa bunga atau denda sampai dengan sanksi pidana. Memang sangat berat sanksinya bagi Wajib Pajak apabila ia melalaikan kewajiban ini.
Sanksi yang akan dikenakan apabila Wajib Pajak terlambat atau tidak menyetorkan dan melaporkan kewajiban perpajakannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Pasal 7 UU KUP mengatur bahwa untuk SPT Masa PPh yang jika tidak disampaikan tepat pada waktu sesuai dengan yang telah ditentukan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 per SPT Masa. Sedangkan atas penyetoran yang terlambat dilakukan akan dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) UU KUP.
Ketentuan mengenai jangka waktu penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 25 diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP (tentang saat jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPh) serta Pasal 9 ayat (1) UU KUP; dan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007. Pada Pasal 2 ayat (7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 disebutkan bahwa PPh Pasal 25 harus dibayar paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi misalkan penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2009 ini, paling lambat harus disetor pada tanggal 15 Agustus 2009. Namun bagaimanakan jika ternyata pada tanggal jatuh tempo tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional, karena ternyata tanggal 15 Agustus 2009 itu jatuh pada hari Sabtu? Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 ditegaskan bahwa jika tanggal jatuh pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Berarti untuk penyetoran PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 dapat disetorkan paling lambat pada hari Selasa tanggal 18 Agustus 2009 (karena tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, tanggal 16 jatuh pada hari Minggu, tanggal 17 jatuh pada hari Senin yang bertepatan dengan hari Libur Nasional Peringatan Hari Kemerdekaan RI).
Ketentuan mengenai jangka waktu pelaporan SPT Masa diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007. Dalam Pasal ini, antara lain diatur bahwa untuk penyetoran PPh Pasal 25 yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak harus dilaporkan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Artinya untuk pelaporan PPh Pasal 25 Masa Juli 2009 sebagaimana telah disetorkan pada contoh di atas, harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 Agustus 2009 yang jatuh pada hari Senin. Bagaimana seandainya jika tanggal jatuh tempo pelaporan ini ternyata jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional? Perlakuan untuk hal seperti ini adalah sama dengan ketentuan jatuh tempo pembayaran. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2), bahwa jika jatuh tempo tanggal pelaporan ternyata jatuh pada hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pelaporan pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
PPh Pasal 25 tidak Perlu Lapor
Sehubungan dengan sudah on-line-nya sistem penerimaan setoran pajak pada Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan Direktorat Jenderal Pajak serta untuk memberikan kemudahan dan efisiensi bagi Wajib Pajak, maka saat ini Direktorat Jenderal Pajak memberlakukan ketentuan bagi Wajib Pajak dalam melaporkan PPh Pasal 25 yang telah disetorkannya setiap bulan. Ketentuan tersebut adalah diberikannya kemudahan kepada Wajib Pajak untuk tidak perlu lagi melaporkan PPh Pasal 25 yang telah disetorkannya ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang sistemnya telah on-line dengan Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 tanggal 21 Mei 2008.
Pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 menegaskan bahwa bagi Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara on-line dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP yang telah mendapatkan validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) oleh tempat penerima pembayaran tersebut, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Dengan adanya ketentuan ini, maka Wajib Pajak tidak perlu lagi melaporkan SSP yang dibayar melalui tempat pembayaran yang telah on-line tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak. Dengan demikian, apabila Wajib Pajak menyetorkan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 ke Bank Persepsi pada tanggal 14 Agustus 2009, maka pelaporan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 dianggap telah disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar pada tanggal 14 Agustus 2009 dan Wajib Pajak tidak perlu melaporkan lagi SSP Lembar ketiga.
Namun apabila Wajib Pajak ternyata terlambatT Lmenyetorkan PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli 2009, yang baru disetorkannya pada tanggal 25 Agustus 2009 maka PPh Pasal 25 ini dianggap dilaporkan ke KPP pada tanggal 25 Agustus 2009. Hal ini berarti bahwa Wajib Pajak terlambat melaporkan PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli 2009 tersebut, sehingga akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah ketentuan mengenai pelaporan PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang setoran PPh Pasal 25-nya adalah nihil. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 ditegaskan bahwa Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu melaporkan SSP PPh Pasal 25 Lembar ketiga ini ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar.
Perlu diperhatikan bagi para Wajib Pajak, bagaimanakah ciri-ciri bahwa Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro tempat Wajib Pajak menyetorkan pajaknya tersebut telah on-line Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Langkah paling mudah yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah menanyakan ke tempat Wajib Pajak menyetorkan pajaknya tersebut, apakah sistem penerimaan pajak mereka telah on-line dengan sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara. Selain itu, Wajib Pajak dapat meneliti sendiri apakah pembayaran pajaknya tersebut telah tercatat ke dalam Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara secara langsung (on-line) dengan melihat tanda validasi pembayaran yang diberikan oleh Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro apakah terdapat Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN ini adalah suatu baris angka yang terdiri dari 16 digit. Pada beberapa Bank Persepsi (pengalaman penulis di Bank Mandiri dan BNI 46) serta di Kantor Pos dan Giro, Wajib Pajak akan diberikan 1 (satu) lembar tersendiri hasil cetakan dari tempat penerima pembayaran tersebut yang berisi identitas pembayar, jenis dan jumlah pajak yang dibayar serta terdapat NTPN yang dituliskan secara jelas.
Sebenarnya ketentuan ini telah berlaku mulai tanggal 21 Mei 2008.
Jadi bagi para Pembaca setia Tax Learning yang tidak mau repot lagi untuk melaporkan SSP Lembar ketiga PPh Pasal 25 (yang memiliki nilai setoran), setorkanlah PPh Pasal 25 Anda ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang telah on-line dan terhubung ke Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
© http://syafrianto.blogspot.com 12072009
Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008
9 Comments
Berkunjung
Saya mau tanya apakah (pelaporan dengan NTPN) ini diperlakukan sama untuk setoran pajak lainnya yang tanpa SPT seperti PPN JKP LN contohnya
Terimakasih atas penjelasannya
Salam
Yoy
Tidak. Ketentuan untuk tidak perlu melaporkan SSP yang telah disetorkan ini hanya berlaku khusus untuk setoran PPh Pasal 25.
kalau misalnya selama tahun 2012 ssp saya nilainya nihil dan baru akan dilaporkan pada bulan maret 2013 berapa denda yang harus saya bayarkan akibat keterlambatan pelaporan ssp?
Dalam kasus pertanyaan ini, saya asumsikan kewajiban perpajakan dalam SSP tersebut adalah PPh Pasal 25. Karena SSP yang harus Anda setor atau laporkan tersebut nihil (tidak ada setoran), maka tidak ada sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan setor. Sanksi yang ada hanyalah sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan lapor atas SSP tersebut (terlambat lapor SSP PPh Pasal 25) yang akan dikenakan sebesar Rp 100.000 per masa laporan.
Pajak toko saya sudah di pungut oleh bendahara pemungut..tp istri saya membayar lagi pajak toko saya dan telah membuat spt tahunan orang pribadi ...tolong bantuannya
Dari pertanyaan di atas, penulis menyimpulkan bahwa atas transaksi penjualan di toko Anda, dipungut PPh Pasal 22 oleh Bendahara Pemungut. PPh Pasal 22 yang dipungut Bendahara ini adalah merupakan kredit pajak dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Anda.
Namun ternyata isteri Anda juga telah menyetorkan sendiri PPh, maka setoran PPh ini harus diperhitungkan juga dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Anda. Saya tidak mendapatkan informasi PPh yang disetorkan oleh isteri Anda ini apakah merupakan PPh Pasal 25 atau PPh Final untuk WP dengan Peredaran Usaha Tertentu sesuai PP No. 46 Tahun 2013.
saya mau tanya apakah kita harus membuat pelaporan dari faktur pajak yg kita terima saat kita membeli barang/jasa dari pelanggan
Apabila Anda/perusahaan Anda telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka atas faktur pajak yang diperoleh dari pembelian barang/jasa yang berhubungan dengan kegiatan usaha dapat dikreditkan dan dilaporkan sebagai faktur pajak masukan dalam SPT Masa PPN, sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN.
Posting Komentar