Penulis menerima beberapa pertanyaan mengenai pengenaan tarif PPh yang lebih tinggi akan dikenakan kepada Wajib Pajak yang baru mendaftarkan diri setelah tanggal 28 Februari 2009. Menurut beberapa penyanya tersebut mereka mendapatkan informasi tersebut dari Harian Kompas tanggal 17 April 2009.
Dalam salah satu artikelnya pada Harian Kompas tanggal 17 April 2009 tersebut, yang berjudul "Belum Punya NPWP Kena PPh Lebih Tinggi 20 Persen", tertulis (paragraf pertama):
"Wajib Pajak yang baru membuat nomor pokok wajib pajak setelah 28 Februari 2009 akan dikenai pajak penghasilan lebih tinggi 20-100 persen dibanding yang sudah memiliki NPWP sebelum tanggal tersebut. Tidak ada lagi fasilitas tambahan untuk mereka."
Setelah penulis mempelajari lebih seksama keseluruhan dari isi artikel tersebut, tampaknya bahwa penulisan pada paragraf pertama tersebut adalah akibat kesalahan editing dari pihak penulis artikel tersebut. Penulis telah mengkonfirmasikan hal ini ke Redaktur Harian Kompas melalui e-mail, namun hingga saat tulisan ini dimuat masih belum ada konfirmasi dari pihak Harian Kompas.
Saat ini ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan tarif PPh yang besarnya berbeda antara yang memiliki NPWP dengan yang tidak memiliki NPWP diatur dalam Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Berdasarkan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh disebutkan bahwa:
"Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak."
Berdasarkan Pasal 22 ayat (3) UU PPh disebutkan bahwa:
"Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yagn diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak."
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) UU PPh disebutkan bahwa:
"Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
Dalam ketiga ayat ini hanya mengatur mengenai pengenaan PPh dengan tarif yang lebih tinggi kepada penerima penghasilan yang belum memiliki NPWP (atau tidak dapat menunjukkan NPWP ketika akan dipotong PPh) dibandingkan dengan penerima penghasilan yang telah memiliki NPWP. Namun ketika yang bersangkutan telah memiliki NPWP, maka pengenaan tarif PPh-nya akan kembali kepada tarif yang normal. Kepemilikan NPWP ini tidak dibatasi kapan paling lambatnya. Namun ketika pada suatu saat (sepanjang tahun) yang bersangkutan telah memiliki NPWP, maka ia menerima penghasilan lagi, akan dikenakan PPh dengan tarif normal. Sedangkan potongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya ketika yang bersangkutan belum memiliki NPWP (dengan tarif yang lebih tinggi) dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak, ketika orang pribadi tersebut telah memiliki NPWP dan akan memenuhi kewajiban pajak tahunannya (SPT Tahunan).
Sebagai contoh, misalkan si A bekerja pada PT XYZ dan belum memiliki NPWP. Pada tanggal 1 April 2009 dan 1 Mei 2009 menerima gaji (baca sebagai = penghasilan kena pajak) sebesar masing-masing Rp 4 juta se bulan dari PT XYZ, maka akan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi, yaitu sebesar 20% x 5% x Rp 4 juta pada tanggal 1 April 2009 dan 1 Mei 2009.
Pada tanggal 15 Mei 2009 si A mendaftarkan diri serta mendapatkan NPWP. Maka jika pada tanggal 1 Juni 2009 si A menerima gaji (=penghasilan kena pajak) sebesar Rp 4 juta dari PT XYZ, maka akan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif normal kembali yaitu sebesar 5%.
Dalam salah satu artikelnya pada Harian Kompas tanggal 17 April 2009 tersebut, yang berjudul "Belum Punya NPWP Kena PPh Lebih Tinggi 20 Persen", tertulis (paragraf pertama):
"Wajib Pajak yang baru membuat nomor pokok wajib pajak setelah 28 Februari 2009 akan dikenai pajak penghasilan lebih tinggi 20-100 persen dibanding yang sudah memiliki NPWP sebelum tanggal tersebut. Tidak ada lagi fasilitas tambahan untuk mereka."
Setelah penulis mempelajari lebih seksama keseluruhan dari isi artikel tersebut, tampaknya bahwa penulisan pada paragraf pertama tersebut adalah akibat kesalahan editing dari pihak penulis artikel tersebut. Penulis telah mengkonfirmasikan hal ini ke Redaktur Harian Kompas melalui e-mail, namun hingga saat tulisan ini dimuat masih belum ada konfirmasi dari pihak Harian Kompas.
Saat ini ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan tarif PPh yang besarnya berbeda antara yang memiliki NPWP dengan yang tidak memiliki NPWP diatur dalam Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Berdasarkan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh disebutkan bahwa:
"Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak."
Berdasarkan Pasal 22 ayat (3) UU PPh disebutkan bahwa:
"Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yagn diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak."
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) UU PPh disebutkan bahwa:
"Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
Dalam ketiga ayat ini hanya mengatur mengenai pengenaan PPh dengan tarif yang lebih tinggi kepada penerima penghasilan yang belum memiliki NPWP (atau tidak dapat menunjukkan NPWP ketika akan dipotong PPh) dibandingkan dengan penerima penghasilan yang telah memiliki NPWP. Namun ketika yang bersangkutan telah memiliki NPWP, maka pengenaan tarif PPh-nya akan kembali kepada tarif yang normal. Kepemilikan NPWP ini tidak dibatasi kapan paling lambatnya. Namun ketika pada suatu saat (sepanjang tahun) yang bersangkutan telah memiliki NPWP, maka ia menerima penghasilan lagi, akan dikenakan PPh dengan tarif normal. Sedangkan potongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya ketika yang bersangkutan belum memiliki NPWP (dengan tarif yang lebih tinggi) dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak, ketika orang pribadi tersebut telah memiliki NPWP dan akan memenuhi kewajiban pajak tahunannya (SPT Tahunan).
Sebagai contoh, misalkan si A bekerja pada PT XYZ dan belum memiliki NPWP. Pada tanggal 1 April 2009 dan 1 Mei 2009 menerima gaji (baca sebagai = penghasilan kena pajak) sebesar masing-masing Rp 4 juta se bulan dari PT XYZ, maka akan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi, yaitu sebesar 20% x 5% x Rp 4 juta pada tanggal 1 April 2009 dan 1 Mei 2009.
Pada tanggal 15 Mei 2009 si A mendaftarkan diri serta mendapatkan NPWP. Maka jika pada tanggal 1 Juni 2009 si A menerima gaji (=penghasilan kena pajak) sebesar Rp 4 juta dari PT XYZ, maka akan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif normal kembali yaitu sebesar 5%.
0 Comments
Posting Komentar