Pendahuluan
Judul artikel di atas akhir-akhir ini menjadi suatu isu yang cukup menghebohkan di kalangan blogger di Indonesia. Isu ini timbul setelah adanya pernyataan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kardiman pada tanggal 15 April 2009, sebagaimana diberitakan dalam situs Bisnis Indonesia pada tanggal 16 April 2009. Situs ini mengutip pernyataan dari Menristek bahwa tingginya pertumbuhan blog pribadi yang dimanfaatkan sebagai sarana jual beli, mulai dari promosi hingga pemesanan merupakan sebuah potensi positif. Sehingga Pemerintah melihat itu sebagai suatu potensi pemasukan baru dari pajak.
Pernyataan inilah yang mendapatkan pertentangan keras dari kalangan blogger di Indonesia. Pertentangan ini dapat kita lihat dari tulisan beberapa blogger yang ditampilkan dalam blog mereka (dapat dicari melalui google). Sebenarnya bagaimanakah penerapan pajak bagi para pemilik blog ini? Apakah memang Pemerintah merencanakan untuk menerapkan pengenaan pajak bagi para pemilik situs dan blog?
Berikut ini penulis akan membahas masalah pengenaan pajak atas blog dan situs ini dari sudut pandang akademisi, untuk memberikan sedikit pencerahan kepada para blogger di Indonesia.
Konsep Pemajakan
Sebenarnya dari teori perpajakan Indonesia, pengenaan pajak pada transaksi yang umum terjadi, akan terkait dengan jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan jenis Pajak Penghasilan (PPh).
a. PPN
PPN merupakan pajak objektif yang akan dikenakan terhadap barang atau jasanya tanpa melihat siapa orang yang menjadi konsumen dari barang atau jasa tersebut. Pada prinsipnya PPN akan dikenakan terhadap konsumen akhir dari suatu barang atau jasa. Dalam artian, jika PPN yang dikenakan terhadap produsen suatu barang atau jasa, maka PPN bagi si produsen ini akan dibebankan lagi kepada konsumen yang membeli barang atau jasa dari produsen ini. Demikian juga seandainya jika konsumen tadi menjualnya kembali barang atau jasa tersebut kepada konsumen berikutnya maka beban PPN yang sebelumnya telah ditanggungnya akan dibebankan kepada konsumen berikutnya berikut tambahan PPN yang dikenakan atas selisih harga jualnya. Demikian seterusnya hingga konsumen terakhir yang akan menanggung seluruh biaya PPN tersebut. Walaupun adanya pembebanan PPN secara terus menerus kepada konsumen berikutnya ini tidak akan menyebabkan terjadinya pengenaan PPN yang berganda terhadap objek barang atau jasa yang sama. Hal ini disebabkan karena sistem PPN di Indonesia yang menganut sistem pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran. Dengan adanya sistem pengkreditan pajak ini, maka phak yang menjualkan suatu barang atau jasa kepada konsumen terakhir hanya akan memungut dan menyetorkan selisih kekurangan PPN yang berasal dari selisih harga beli dengan harga jual.
Tidak setiap pengusaha atau pihak yang melakukan transaksi diwajibkan untuk memungut PPN. Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2003 mengatur bahwa atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil (yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000) tidak dikenakan PPN. Namun jika Pengusaha Kecil ini memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak akan dikenakan PPN. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), karena terdapat keuntungan bagi seorang yang telah PKP.
b. PPh
PPh merupakan pajak subjektif yang akan dikenakan terhadap orang yang memperoleh penghasilan. Definisi penghasilan menurut Undang-Undang PPh adalah sebagai suatu pertambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Bagi orang pribadi, penghasilan yang akan menjadi objek PPh adalah atas penghasilan kena pajak. Apakah penghasilan kena pajak? Penghasilan Kena Pajak adalah merupakan penghasilan neto secara fiskal (penghasilan setelah dikurangkan dengan biaya-biaya yang diperkenankan menurut ketentuan pajak) yang kemudian dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Saat ini PTKP diberikan sebesar Rp 15.840.000 untuk diri Wajib Pajak sendiri per tahun, dan akan bertambah sebesar Rp 1.320.000 per tahun jika Wajib Pajak telah menikah, serta bertambah lagi untuk setiap tanggungan anggota keluarga sebesar Rp 1.320.000 per anggota keluarga yang ditanggung, per tahun, untuk maksimal 3 anggota keluarga yang ditanggung (Pasal 7 UU PPh).
Ketentuan kedua jenis pajak ini telah diberlakukan sejak tahun 1984 yaitu melalui Undang-Undang Perpajakan tahun 1983.
Transaksi dan Penghasilan yang Diperoleh dari Blog atau Situs dikenakan Pajak
Dewasa ini perkembangan dunia internet sangatlah marak. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Saat ini setiap orang sudah dapat membuat situs di internet secara gratis dan bebas. Hal ini ditunjang dengan banyaknya situs-situs yang menyediakan fasilitas bagi para pengunjung internet untuk dapat membuat situs secara gratis dan mudah yang dikenal sebagai blog.
Kemudahan dalam membuat blog ini, juga dimanfaatkan oleh berbagai kalangan masyarakat untuk menjadikan sarana blog ini sebagai penghasil uang. Mulai dari menyediakan ruangan dalam blognya untuk dipasang iklan, memperjualbelikan suatu domain (alamat internet) yang sudah terkenal, hingga menjadikan blog sebagai sarana untuk mempromosikan dan memperjualbelikan aneka barang dan jasa. Saat ini transaksi di dunia internet sudah layaknya seperti transaksi di pasar nyata yang kita kenal selama ini. Transaksi melalui dunia internet lebih disukai daripada transaksi di pasar nyata, karena biaya yang dikeluarkan dalam pemasaran melalui dunia internet relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan transaksi di pasar nyata. Di samping itu, pemasaran melalui dunia internet ini juga dipandang lebih efektif.
Jika kita mau jujur, sebenarnya transaksi di dunia internet prosedur dan cara kerjanya sama seperti transaksi di pasar nyata. Hanya saja yang membedakan transaksi di dunia internet umumnya para pelaku transaksi tidak/jarang untuk secara langsung bertemu dan melakukan penawaran secara fisik. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam transaksi di dunia internet juga pada umumnya adalah dengan menggunakan dokumen elektronis yang bersifat paperless (tanpa kertas). Namun pada dasarnya baik transaksi di dunia internet maupun di pasar nyata, sama-sama memperjualbelikan barang atau jasa dengan alat bertransaksi yang melibatkan uang.
Setelah kita membaca uraian tersebut di atas, serta mempelajari teori perpajakan yang telah dikemukana sebelumnya, maka dapat disimpulkan seharusnya perlakuan perpajakan atas transaksi yang terjadi melalui dunia internet (dalam hal ini yang dilakukan oleh para blogger melalui situs atau blog-nya) sebenarnya adalah sama dengan transaksi yang dilakukan oleh para pengusaha yang memiliki toko atau outlet yang nyata di pasar. Maka sebenarnya terhadap transaksi yang dilakukan oleh toko-toko online ini (baca: situs atau blog) juga akan dikenakan PPh dan PPN.
Kembali lagi kepada keresahan dari para blogger atas isu pengenaan pajak sebagaimana yang dilontarkan oleh Menristek tersebut, yang antara lain menyebutkan bahwa penghasilan yang diperoleh dari blog adalah tidak seberapa sehingga tidak tepat jika harus dikenakan pajak, dan seakan-akan ada pemikiran bahwa selama ini belum ada aturan mengenai pemajakan terhadap situs atau blog. Berikut penulis akan mengemukakan beberapa pendapat dari penulis yang diambil berdasarkan beberapa fakta.
Sebenarnya pengenaan pajak yang dimaksudkan oleh Menristek tersebut, bukanlah atas suatu blog yang dibuat yang berisi materi-materi yang dapat diperdagangkan (seperti blog yang ada iklannya, atau blog yang memajang barang atau jasa yang diperdagangkan). Namun pajak baru akan dikenakan terhadap transaksi yang telah terjadi melalui toko online tersebut.
Sebenarnya transaksi yang dilakukan melalui situs di internet ini pada dasarnya juga sama dengan transaksi yang dilakukan secara real di pasar nyata. Aspek perpajakannya juga berlaku ketentuan pajak umum sebagaimana telah diatur dalam UU PPh dan UU PPN sejak tahun 1984 yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh dan pajak pertambahan nilai atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan.
Selama ini Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan beberapa penegasan mengenai perlakuan pajak atas transaksi di dunia internet, antara lain yaitu:
(c) syafrianto 22052009
Judul artikel di atas akhir-akhir ini menjadi suatu isu yang cukup menghebohkan di kalangan blogger di Indonesia. Isu ini timbul setelah adanya pernyataan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kardiman pada tanggal 15 April 2009, sebagaimana diberitakan dalam situs Bisnis Indonesia pada tanggal 16 April 2009. Situs ini mengutip pernyataan dari Menristek bahwa tingginya pertumbuhan blog pribadi yang dimanfaatkan sebagai sarana jual beli, mulai dari promosi hingga pemesanan merupakan sebuah potensi positif. Sehingga Pemerintah melihat itu sebagai suatu potensi pemasukan baru dari pajak.
Pernyataan inilah yang mendapatkan pertentangan keras dari kalangan blogger di Indonesia. Pertentangan ini dapat kita lihat dari tulisan beberapa blogger yang ditampilkan dalam blog mereka (dapat dicari melalui google). Sebenarnya bagaimanakah penerapan pajak bagi para pemilik blog ini? Apakah memang Pemerintah merencanakan untuk menerapkan pengenaan pajak bagi para pemilik situs dan blog?
Berikut ini penulis akan membahas masalah pengenaan pajak atas blog dan situs ini dari sudut pandang akademisi, untuk memberikan sedikit pencerahan kepada para blogger di Indonesia.
Konsep Pemajakan
Sebenarnya dari teori perpajakan Indonesia, pengenaan pajak pada transaksi yang umum terjadi, akan terkait dengan jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan jenis Pajak Penghasilan (PPh).
a. PPN
PPN merupakan pajak objektif yang akan dikenakan terhadap barang atau jasanya tanpa melihat siapa orang yang menjadi konsumen dari barang atau jasa tersebut. Pada prinsipnya PPN akan dikenakan terhadap konsumen akhir dari suatu barang atau jasa. Dalam artian, jika PPN yang dikenakan terhadap produsen suatu barang atau jasa, maka PPN bagi si produsen ini akan dibebankan lagi kepada konsumen yang membeli barang atau jasa dari produsen ini. Demikian juga seandainya jika konsumen tadi menjualnya kembali barang atau jasa tersebut kepada konsumen berikutnya maka beban PPN yang sebelumnya telah ditanggungnya akan dibebankan kepada konsumen berikutnya berikut tambahan PPN yang dikenakan atas selisih harga jualnya. Demikian seterusnya hingga konsumen terakhir yang akan menanggung seluruh biaya PPN tersebut. Walaupun adanya pembebanan PPN secara terus menerus kepada konsumen berikutnya ini tidak akan menyebabkan terjadinya pengenaan PPN yang berganda terhadap objek barang atau jasa yang sama. Hal ini disebabkan karena sistem PPN di Indonesia yang menganut sistem pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran. Dengan adanya sistem pengkreditan pajak ini, maka phak yang menjualkan suatu barang atau jasa kepada konsumen terakhir hanya akan memungut dan menyetorkan selisih kekurangan PPN yang berasal dari selisih harga beli dengan harga jual.
Tidak setiap pengusaha atau pihak yang melakukan transaksi diwajibkan untuk memungut PPN. Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2003 mengatur bahwa atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil (yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000) tidak dikenakan PPN. Namun jika Pengusaha Kecil ini memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak akan dikenakan PPN. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), karena terdapat keuntungan bagi seorang yang telah PKP.
b. PPh
PPh merupakan pajak subjektif yang akan dikenakan terhadap orang yang memperoleh penghasilan. Definisi penghasilan menurut Undang-Undang PPh adalah sebagai suatu pertambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Bagi orang pribadi, penghasilan yang akan menjadi objek PPh adalah atas penghasilan kena pajak. Apakah penghasilan kena pajak? Penghasilan Kena Pajak adalah merupakan penghasilan neto secara fiskal (penghasilan setelah dikurangkan dengan biaya-biaya yang diperkenankan menurut ketentuan pajak) yang kemudian dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Saat ini PTKP diberikan sebesar Rp 15.840.000 untuk diri Wajib Pajak sendiri per tahun, dan akan bertambah sebesar Rp 1.320.000 per tahun jika Wajib Pajak telah menikah, serta bertambah lagi untuk setiap tanggungan anggota keluarga sebesar Rp 1.320.000 per anggota keluarga yang ditanggung, per tahun, untuk maksimal 3 anggota keluarga yang ditanggung (Pasal 7 UU PPh).
Ketentuan kedua jenis pajak ini telah diberlakukan sejak tahun 1984 yaitu melalui Undang-Undang Perpajakan tahun 1983.
Transaksi dan Penghasilan yang Diperoleh dari Blog atau Situs dikenakan Pajak
Dewasa ini perkembangan dunia internet sangatlah marak. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Saat ini setiap orang sudah dapat membuat situs di internet secara gratis dan bebas. Hal ini ditunjang dengan banyaknya situs-situs yang menyediakan fasilitas bagi para pengunjung internet untuk dapat membuat situs secara gratis dan mudah yang dikenal sebagai blog.
Kemudahan dalam membuat blog ini, juga dimanfaatkan oleh berbagai kalangan masyarakat untuk menjadikan sarana blog ini sebagai penghasil uang. Mulai dari menyediakan ruangan dalam blognya untuk dipasang iklan, memperjualbelikan suatu domain (alamat internet) yang sudah terkenal, hingga menjadikan blog sebagai sarana untuk mempromosikan dan memperjualbelikan aneka barang dan jasa. Saat ini transaksi di dunia internet sudah layaknya seperti transaksi di pasar nyata yang kita kenal selama ini. Transaksi melalui dunia internet lebih disukai daripada transaksi di pasar nyata, karena biaya yang dikeluarkan dalam pemasaran melalui dunia internet relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan transaksi di pasar nyata. Di samping itu, pemasaran melalui dunia internet ini juga dipandang lebih efektif.
Jika kita mau jujur, sebenarnya transaksi di dunia internet prosedur dan cara kerjanya sama seperti transaksi di pasar nyata. Hanya saja yang membedakan transaksi di dunia internet umumnya para pelaku transaksi tidak/jarang untuk secara langsung bertemu dan melakukan penawaran secara fisik. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam transaksi di dunia internet juga pada umumnya adalah dengan menggunakan dokumen elektronis yang bersifat paperless (tanpa kertas). Namun pada dasarnya baik transaksi di dunia internet maupun di pasar nyata, sama-sama memperjualbelikan barang atau jasa dengan alat bertransaksi yang melibatkan uang.
Setelah kita membaca uraian tersebut di atas, serta mempelajari teori perpajakan yang telah dikemukana sebelumnya, maka dapat disimpulkan seharusnya perlakuan perpajakan atas transaksi yang terjadi melalui dunia internet (dalam hal ini yang dilakukan oleh para blogger melalui situs atau blog-nya) sebenarnya adalah sama dengan transaksi yang dilakukan oleh para pengusaha yang memiliki toko atau outlet yang nyata di pasar. Maka sebenarnya terhadap transaksi yang dilakukan oleh toko-toko online ini (baca: situs atau blog) juga akan dikenakan PPh dan PPN.
Kembali lagi kepada keresahan dari para blogger atas isu pengenaan pajak sebagaimana yang dilontarkan oleh Menristek tersebut, yang antara lain menyebutkan bahwa penghasilan yang diperoleh dari blog adalah tidak seberapa sehingga tidak tepat jika harus dikenakan pajak, dan seakan-akan ada pemikiran bahwa selama ini belum ada aturan mengenai pemajakan terhadap situs atau blog. Berikut penulis akan mengemukakan beberapa pendapat dari penulis yang diambil berdasarkan beberapa fakta.
Sebenarnya pengenaan pajak yang dimaksudkan oleh Menristek tersebut, bukanlah atas suatu blog yang dibuat yang berisi materi-materi yang dapat diperdagangkan (seperti blog yang ada iklannya, atau blog yang memajang barang atau jasa yang diperdagangkan). Namun pajak baru akan dikenakan terhadap transaksi yang telah terjadi melalui toko online tersebut.
Sebenarnya transaksi yang dilakukan melalui situs di internet ini pada dasarnya juga sama dengan transaksi yang dilakukan secara real di pasar nyata. Aspek perpajakannya juga berlaku ketentuan pajak umum sebagaimana telah diatur dalam UU PPh dan UU PPN sejak tahun 1984 yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh dan pajak pertambahan nilai atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan.
Selama ini Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan beberapa penegasan mengenai perlakuan pajak atas transaksi di dunia internet, antara lain yaitu:
- Surat Edaran Nomor SE-45/PJ.531/1996 mengenai PPN atas jasa layanan jaringan internet.
- Surat Nomor S-429/PJ.22/1998 mengenai imbauan kepada Wajib Pajak yang melakukan transaksi melalui electronic commerce.
- Surat Nomor S-762/PJ.53/2002 mengenai perlakuan PPN atas pembelian software dengan cara download lewat internet.
- Surat Nomor S-349/PJ.53/2003 mengenai pengenai PPh dan PPN atas biaya bandwidth.
- Surat Nomor S-739/PJ.53/2004 mengenai PPN atas jasa bandwidth.
- Surat Nomor S-702/PJ.332/2006 mengenai legalitas dokumen dari transaksi e-Commerce.
(c) syafrianto 22052009
0 Comments
Posting Komentar