..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 September 2014

Dokumen Yang Wajib Dilampirkan untuk Pelaporan SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi

Direktur Jenderal Pajak kembali melakukan penyempurnaan atas tata cara dan prosedur penyampaian SPT Masa PPN yang selama ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010. Penyempurnaan yang dilakukan adalah dengan mengubah ketentuan pelaporan SPT Masa PPN 1111 Lebih Bayar yang diajukan permintaan untuk dikembalikan (restitusi) dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sesuai ketentuan Pasal 17C UU KUP.

Perubahan yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2014 tanggal 23 Septeber 2014 ini menambah satu pasal yaitu Pasal 8A yang mengatur ketentuan bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN 1111 Lebih Bayar yang diajukan permintaan untuk dikembalikan (restitusi) dengan mekanisme pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sesuai ketentuan Pasal 17C UU KUP wajib melampirkan dokumen-dokumen dalam bentuk hardcopy berupa:
  1. Pemberitahuan Ekspor Barang, Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 A1;
  2. Faktur Pajak Keluaran dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 A2; 
  3. Pemberitahuan Impor Barang atas Impor Barang Kena Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B1; 
  4. Faktur Pajak Masukan dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B2;
  5. Faktur Pajak Masukan dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B3.
SPT Masa PPN 1111 Lebih Bayar restitusi yang tidak dilampirkan dengan lengkap dokumen-dokumen sebagaimana disebutkan di atas akan dianggap sebagai SPT tidak lengkap. Konsekuensinya maka proses pengembalian kelebihan bayar PPN tersebut juga akan terhambat, karena jangka waktu penyelesaian proses atas permintaan restitusi kelebihan bayar PPN adalah dihitung sejak SPT lengkap disampaikan.

Pengecualian Melampirkan Dokumen Hardcopy

Dalam PER-25/PJ/2014 ini ditegaskan bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan atau menerima dokumen berupa Faktur Pajak yang berbentuk elektronik (e-faktur) yang terdiri dari:
  1. Faktur Pajak Keluaran dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 A2; 
  2. Faktur Pajak Masukan dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B2;
  3. Faktur Pajak Masukan dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B3
dikecualikan dari ketentuan untuk melampirkan dokumen hardcopy-nya.

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya PER-25/PJ/2014 ini yaitu tanggal 23 September 2014.

Senin, 15 September 2014

Putusan Mahkamah Agung Menyebabkan Produk Pertanian “Menjadi” Kena PPN

Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan uji materiil atas ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang diajukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diajukan permohonan uji materiil oleh KADIN ini mengatur tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Putusan Mahkamah Agung atas permohonan uji materiil ini dituangkan dalam putusan Nomor 70P/HUM/2013 dan diputus pada tanggal 25 Februari 2014.

Dalam amar Putusan MA yang berlaku secara otomatis dalam waktu 90 hari setelah putusan MA ini menyatakan bahwa Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c PP Nomor 31 Tahun 2007 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Oleh sebab itu, ketentuan ini dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku umum dan harus dicabut.

Untuk memberikan kepastian hukum dan penegasan kepada masyarakat, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2014 tanggal 25 Juli 2014. Dalam SE-24/PJ/2014 ini ditegaskan bahwa barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran serta barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai adalah barang yang tidak dikenai PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN.

Sedangkan barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana yang ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN saat ini berubah menjadi dikenakan PPN.

Secara rinci dalam Lampiran dari Surat Edaran ini, ditegaskan bahwa untuk barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang merupakan Barang Kena Pajak yang dikenai PPN terdiri dari:
  1. Komoditi hasil perkebunan yang terdiri dari buah kakao, buah kopi, buah dan cangkang kelapa sawit, nira aren dan daun/batang aren, biji/kacang mete, lada (buah), pala (biji, buah, bunga, kulit ari), cengkeh (bunga, tangkai/daun), getah karet, daun teh, daun tembakau, tebu, kapas, kapuk, rami, rosella, jute, kenaf, abaca, kayu manis (kulit batang), Kina (kulit batang), panili (buah/biji) daun nilam, buah jarak pagar, daun sereh, atsiri (daun, akar, bunga, buah), kelapa (buah, kulit buah/sabut, tempurung, batang), serta tanaman perkebunan dan sejenisnya.
  2. Komoditas tanaman hias dan obat yang terdiri dari: tanaman hias, tanaman potong (daun, bunga), tanaman obat (buah, daun, biji, umbi, batang, kulit, bunga).
  3. Komoditas tanaman pangan yang terdiri dari: padi (merang, sekam, bekatul, dedak, jerami dan komposnya); jagung (tongkol, bonggol, daun, klobot, batang); kacang tanah (polong); ubi kayu (umbi, batang, daun); ubi jalar; kacang hijau, gude, dan kacang lainnya; serta talas, garut, gembili, dan umbi lainnya.
  4. Komoditas hasil hutan kayu yang terdiri dari: kayu, kayu kelapa sawit, kayu karet, batang bamboo.
  5. Komoditas hasil hutan bukan kayu yang terdiri dari rotan, gaharu, agathis (kopal), shorea (damar), biji kemiri, biji tengkawang.

Sedangkan untuk barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang bukan merupakan Barang Kena Pajak adalah hasil produk hortikultura yang terdiri dari:
  1. Buah-buahan, yaitu: pisang, jeruk, mangga, salak, nanas, belimbing, manggis, rambutan, durian, melon, semangka, pepaya, duku, bengkuang, nangka, cempedak.
  2. Sayuran, yaitu: sayuran daun, sayuran buah, sayuran umbi, sayuran jamur.

Akibatnya bagi Wajib Pajak/Pengusaha (baik orang pribadi maupun badan) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian yang merupakan barang kena pajak ini wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut PPN, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet dampai dengan Rp 4,8 milyar per tahun.

Historis Ketentuan yang Dicabut

Penulis mencoba mengkaji kaitan dan ketentuan yang dicabut dengan Putusan MA ini sebagai akibat dari adanya pengajuan uji materiil oleh pihak KADIN terhadap PP Nomor 31 Tahun 2007. Berikut adalah ketentuan-ketentuan terkait dengan Barang Kena Pajak dan bukan Barang Kena Pajak.

1. Jenis Barang Yang Bukan Objek PPN

Berdasarkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut sebagai UU PPN) menegaskan jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu barang tertentu dalam kelompok barang:
  1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
  2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan 
  4. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Lebih lanjut dalam Penjelasan atas Pasal 4A ayat (2) huruf b merinci jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, terdiri dari:
  • beras;
  • gabah;
  • jagung;
  • sagu;
  • kedelai;
  • garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  • daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  • telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  • susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  • buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  • sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa kini dalam UU PPN telah menganut prinsip negatif list, artinya bahwa selain jenis-jenis barang atau jasa yang telah tercantum dalam Pasal 4A ayat (2) dan ayat (3) UU PPN ini adalah merupakan objek PPN.

2. Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Menurut UU PPN

Pasal 16B ayat (1) UU PPN memberikan 2 (dua) jenis fasilitas kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yaitu berupa PPN yang terutang tidak dipungut dan PPN terutang yang dibebaskan.

Jenis Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang tidak dipungut dan PPN terutang yang dibebaskan ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dengan berpedoman pada penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang tidak dipungut, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan.

Sedangkan atas penyerahan Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang dibebaskan dari pengenaan PPN, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.

3. Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Menurut Peraturan Pemerintah

Selama ini ketentuan lebih lanjut yang mengatur tentang Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 (selanjutnya disebut PP Nomor 31 Tahun 2007).

Dalam Pasal 2 PP Nomor 31 Tahun 2007 diatur bahwa: Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:
  1. barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
  2. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan;
  3. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;
  4. barang hasil pertanian;
serta atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa :
  1. Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
  2. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan;
  3. barang hasil pertanian;
  4. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;
  5. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum;
  6. listrik kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 (enam ribu enam ratus) watt sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf h; dan
  7. RUSUNAMI;
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Barang hasil pertanian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 31 Tahun 2007 ini adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
  1. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
  2. peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
  3. perikanan baik dari penangkapan atau budidaya,
yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran PP Nomor 31 Tahun 2007 ini.

Dalam pelaksanaannya, untuk mendapatkan pembebasan dari pengenaan PPN, khusus untuk penyerahan atau impor Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, terlebih dahulu Pengusaha Kena Pajak wajib memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar. Sedangkan untuk impor atau penyerahan lainnya yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN, Pengusaha Kena Pajak tidak perlu mendapatkan SKB. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN wajib menerbitkan Faktur Pajak dan membubuhkan cap “PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007.”

Simpulan

Sebenarnya selama ini barang hasil pertanian (kecuali untuk barang yang dinyatakan bukan objek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, daging telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran) adalah merupakan Barang Kena Pajak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, maka Pemerintah memberikan fasilitas berupa PPN yang terutang dibebaskan atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yang salah satunya adalah barang hasil pertanian.

Dengan adanya putusan Mahkamah Agung ini menyebabkan saat ini fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa barang hasil pertanian yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan, penangkaran dan perikanan sudah tidak berlaku lagi. Otomatis atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak hasil pertanian ini terutang PPN dan wajib untuk dipungut PPN terutangnya.

Walau demikian, ketentuan pemberian fasilitas pembebasan pengenaan PPN atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis untuk barang modal, makanan ternak, bibit dan/atau benih, air bersih, listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt, dan RUSUNAMI tetap berlaku.

Apabila kita simak jenis komoditas yang dinyatakan sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN, maka ada 2 (dua) jenis komoditas yang mungkin dapat menimbulkan perbedaan penafsiran, yaitu padi dan jagung. Sebenarnya komoditas padi dan jagung yang dinyatakan sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN menurut SE-24/PJ/2014 ini adalah merang, sekam, bekatul, dedak, jerami dan komposnya yang merupakan hasil pemisahan dari padi/beras serta tongkol jagung, bonggol jagung, daun jagung, klobot dan batang jagung. Sedangkan untuk gabah atau yang sudah dipisahkan menjadi beras serta biji jagung adalah tetap merupakan bukan barang kena pajak.

Rabu, 23 Juli 2014

Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Elektronik (e-Faktur)

Selama ini banyak pihak yang tidak bertanggung jawab berusaha untuk melakukan penggelapan pajak melalui pemalsuan Faktur Pajak. Faktur Pajak adalah merupakan dokumen yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bagi pihak PKP pembeli yang PPN-nya dipungut, dapat menjadikan Faktur Pajak yang diterima dari pihak PKP Penjual ini sebagai kredit pajak untuk mengurangi jumlah PPN yang telah dipungutnya dari hasil penjualan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Berbagai modus pemalsuan Faktur Pajak dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan sistem dari pembuatan dan pengawasan penerbitan dan penggunaan Faktur Pajak oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak. Akibatnya negara dirugikan dengan jumlah yang sangat besar akibat dari penyalahgunaan dan pemalsuan Faktur Pajak ini.

Untuk mengatasi kerugian negara akibat dari pemalsuan dan penyalahgunaan Faktur Pajak ini, maka saat ini Pemerintah berusaha membuat kebijakan dan regulasi baru untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap penerbitan dan penggunaan Faktur Pajak. Kebijakan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.011/2013, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014 mengenai penerbitan Faktur Pajak secara Elektronik yang dikenal sebagai e-Faktur.

e-Faktur telah diberlakukan sejak 1 Juli 2014 dan diujicobakan kepada 45 Pengusaha Kena Pajak yang telah ditunjuk. Kelak, mulai 1 Juli 2015, e-Faktur akan diterapkan untuk Pengusaha Kena Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di KPP yang berada di Pulau Jawa dan Bali (17 Kantor Wilayah). Selanjutnya penerbitan e-Faktur ini akan diterapkan untuk Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia mulai 1 Juli 2016.

Beberapa hal baru yang perlu diperhatikan sehubungan dengan e-Faktur adalah:
  1. e-Faktur harus dibuat oleh PKP yang telah ditunjuk atas setiap penyerahan kena pajak, kecuali atas penyerahan: Penyerahan yang dilakukan oleh pedagang eceran (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP Nomor 1 Tahun 2012); Penyerahan yang dilakukan oleh PKP Toko Retail kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sesuai Pasal 16E UU PPN; dan Penyerahan yang bukti pungutan PPN-nya berupa dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak;
  2. Syarat minimal informasi yang harus tercantum dalam Faktur Pajak masih sama dan mengacu pada ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN (terdapat 7 syarat minimal informasi yang harus tercantum dalam Faktur Pajak).
  3. Tanda tangan secara elektronik pada Faktur Pajak (berupa OCR code)
  4. e-Faktur dibuat dengan menggunakan mata uang Rupiah. Untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang menggunakan mata uang selain Rupiah, maka terlebih dahulu harus dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan e-Faktur.
  5. Atas e-Faktur yang salah dalam pengisian atau transaksi yang dibatalkan, maka PKP harus membuat e-Faktur pengganti atau e-Faktur pembatalan melalui aplikasi atau sistem elektronik yang telah disediakan Direktorat Jenderal Pajak.
  6. PKP dapat mengajukan pencetakan ulang atau permintaan data e-Faktur atas hasil cetak e-Faktur atau atas data e-Faktur yang rusak/hilang melalui aplikasi atau sistem elektronik yang telah disediakan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).
  7. Bila terjadi keadaan tertentu yang menyebabkan PKP tidak dapat membuat e-Faktur, PKP diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy). Setelah keadaan tertentu ini berakhir, maka PKP harus mengunggah (upload) semua data Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) ke sistem aplikasi yang ditentukan/disediakan oleh Ditjen Pajak.
  8. e-Faktur tidak diwajibkan untuk dicetak dalam bentuk kertas (hardcopy)
  9. e-Faktur yang dibuat oleh PKP dan telah dilaporkan dengan cara mengunggah (upload) ke Ditjen Pajak akan memperoleh persetujuan dari Ditjen Pajak sepanjang Nomor Seri Faktur Pajak yang digunakan untuk penomoran e-Faktur tersebut sesuai dengan jatah nomor Seri Faktur Pajak yang telah diberikan oleh Ditjen Pajak. e-Faktur yang tidak mendapatkan persetujuan dari Ditjen Pajak bukan merupakan Faktur Pajak.
  10. Sama halnya dengan PKP yang membuat Faktur Pajak yang berbentuk kertas (hardcopy), untuk pembuatan e-Faktur, terlebih dahulu PKP harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan jatah Nomor Seri Faktur Pajak yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014.

Apabila mulai 1 Juli 2014 ini ada di antara Pembaca Setia Tax Learning yang menerima Faktur Pajak dari 45 PKP yang telah ditunjuk untuk membuat e-Faktur (sesuai KEP-136/PJ/2014), ternyata tidak ada tanda tangan pada Faktur Pajak tersebut, tidak usah khawatir bahwa Faktur Pajak tersebut cacat, karena memang e-Faktur tersebut tidak perlu ditandatangani, hanya ada barcode yang tercetak di sisi kiri bagian bawah (sebelah kolom penandatangan faktur pajak).

Berikut adalah contoh hasil cetakan e-Faktur.

(c) http://syafrianto.blogspot.com

Jumat, 02 Mei 2014

Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Jabatan Atas Pengusaha Beromzet Kurang dari Rp 4,8 Miliar Setahun

Sejak 1 Januari 2014 batasan pengusaha wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berubah. Perubahan ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013. Batasan ini naik menjadi pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran/penerimaan bruto (omzet) lebih dari Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dari sebelumnya dengan jumlah peredaran/penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

Dengan adanya perubahan ini, maka saat ini terdapat PKP yang omzetnya kurang dari Rp 4,8 miliar namun telah dikukuhkan sebagai PKP. PKP dengan omzet kurang dari Rp 4,8 miliar ini yang menurut ketentuan Pasal 3A UU PPN disebut sebagai Pengusaha Kecil sebenarnya diberikan hak untuk memilih apakah mau mendaftarkan diri untuk menjadi PKP atau tidak. Akibat dari adanya perubahan besarnya batasan sebagai Pengusaha Kecil, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak perlu untuk melakukan pendataan dalam rangka penyederhanaan administrasi PPN dan untuk meningkatkan pengawasan kepada PKP. Proses pendataan ini akan dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak melalui proses verifikasi yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2014 tanggal 2 April 2014.

Dalam proses verifikasi ini, kelak apabila memang PKP yang memenuhi kategori sebagai Pengusaha Kecil dan sudah tidak memenuhi ketentuan sebagai PKP atau memilih untuk tidak menjadi PKP, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan verifikasi, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak, dapat melakukan pencabutan PKP secara jabatan.

Waktu Pelaksanaan Proses Verifikasi untuk Pencabutan Pengukuhan PKP

Proses verifikasi untuk pencabutan Pengukuhan PKP atas Pengusaha Kecil yang telah dikukuhkan sebagai PKP akan dilaksanakan mulai tanggal 2 April 2014 sampai dengan 31 Agustus 2014 dan diselesaikan oleh petugas verifikasi pada Kantor Pelayanan Pajak dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan yang dihitung sejak tanggal surat tugas diterbitkan sampai dengan tanggal laporan hasil verifikasi ditandatangani.

Petugas Verifikasi

Petugas yang ditunjuk untuk melakukan verifikasi dalam rangka pencabutan pengukuhan PKP atas Pengusaha Kecil PPN ini adalah:
  1. Account Representative; dan/atau
  2. Pelaksana,;
yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Hal Yang Perlu Diperhatikan Pengusaha Kena Pajak

Dalam proses verifikasi ini, petugas verifikasi akan mengirimkan Surat Pemberitahuan yang dilampiri dengan Formulir Surat Pernyataan kepada Pengusaha Kecil PPN yang isinya antara lain adalah pernyataan bagi Pengusaha Kecil yang peredaran/penerimaan bruto untuk Masa Pajak Januari 2013 s.d. Desember 2013 tidak lebih dari Rp 4,8 miliar untuk memilih tetap sebagai PKP atau dicabut status pengukuhan PKP-nya.

PKP yang termasuk kategori sebagai Pengusaha Kecil yang masih ingin dikukuhkan sebagai PKP harus memperhatikan hal ini dan harus segera mengembalikan Surat Pernyataan ini ke KPP supaya status pengukuhan PKP-nya tidak dicabut.

Jumat, 03 Januari 2014

Batasan Pengusaha Kena Pajak Naik Jadi Rp 4,8 Miliar

Dalam Pasal 3A ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) diatur bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Batasan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang mengharuskan Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah jumlah penyerahan (peredaran usaha/omzet) yang diperoleh dalam 1 tahun pajak.

Selama ini batasan yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 adalah omzet sebesar Rp 600 juta setahun, artinya bagi Wajib Pajak/Pengusaha dengan omzet Rp 600 juta atau kurang dalam setahun dikategorikan sebagai Pengusaha Kecil dan tidak diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.

Mulai 1 Januari 2014, Pemerintah menaikkan batasan batasan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) ini menjadi sebesar Rp 4.800.000.000 (4,8 miliar Rupiah) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tanggal 20 Desember 2013 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Jumlah Omzet sebesar Rp 4.800.000.000 ini adalah merupakan jumlah keseluruhan peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya selama 1 (satu) tahun buku. Sedangkan bagi orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku sebagaimana dimaksud di atas adalah tahun kalender.

Kewajiban Mendaftarkan Untuk Dikukuhkan PKP
Pengusaha wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya telah melebihi Rp 4,8 miliar dan dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.

Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi oleh Pengusaha yang bersangkutan, maka Direktur Jenderal Pajak (dalam hal ini pihak Kantor Pelayanan Pajak) dapat melakukan pengukuhan PKP terhadap pengusaha tersebut secara jabatan. Apabila pengusaha dikukuhkan PKP secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk masa Pajak sebelum pengusaha tersebut dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak terhitung sejak saat peredaran brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.

Pencabutan PKP
Apabila dalam suatu tahun pajak ternyata peredaran bruto yang diperoleh oleh Pengusaha Kena Pajak kurang dari Rp 4,8 miliar, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Artikel Terkait:
Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Jabatan Atas Pengusaha Beromzet Kurang dari Rp 4,8 Miliar Setahun

Senin, 03 Juni 2013

Ingat Mulai 1 Juni 2013 Harus Menerbitkan Faktur Pajak dengan Nomor Seri Baru

Tahun 2013 telah mulai memasuki bulan Juni. Bagi sebagian pelaku di bidang perpajakan, tanggal 1 Juni 2013 adalah merupakan hari yang sangat penting, karena mulai 1 Juni 2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak/PKP (yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai PPN) wajib untuk membuat Faktur Pajak dengan menggunakan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dimana salah satu aturannya adalah tentang penomoran Faktur Pajak dengan cara baru.

Walaupun sebenarnya ketentuan penomoran faktur pajak telah diberlakukan sejak 1 April 2013, namun karena untuk mengakomodasi persiapan dalam pemberian nomor faktur pajak baru, maka diberikan toleransi dalam pelaksanaannya yaitu bagi PKP yang masih belum mendapatkan nomor faktur pajak yang baru, paling lambat hingga 31 Mei 2013 masih dapat menggunakan nomor faktur pajak lama dan sejak 1 Juni 2013 harus menggunakan nomor faktur pajak yang baru. Jadi bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang telah dikukuhkan sebagai PKP maka mulai saat ini harus lebih cermat dalam hal membuat Faktur Pajak ataupun menerima Faktur Pajak yang akan dijadikan sebagai pajak masukan, karena sudah harus memperhatikan ketentuan baru sebagaimana yang diatur dalam PER-24/PJ/2013 tersebut.

Untuk sekedar mengingatkan, berikut penulis akan ringkaskan beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan tata cara penerbitan faktur pajak yang baru berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012.

  1. Nomor Seri Faktur Pajak diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak/KPP) berdasarkan permohonan yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
  2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP dengan blok nomor urut, sehingga antara satu PKP dengan PKP lainnya tidak akan menerima nomor urut yang sama. Dalam ketentuan PER-24/PJ/2012 ini sudah tidak lagi mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi penggunaan nomor faktur pajak yang tidak urut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk penomoran faktur pajak yang baru ini tidak perlu dibuat secara berurutan.
  3. Ada kewajiban bagi PKP untuk melaporkan sisa nomor faktur pajak yang telah diterimanya yang tidak terpakai.
  4. PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Tidak Lengkap.
  5. Saat ini PKP yang akan mendapatkan Nomor Seri Faktur Pajak harus memenuhi syarat yaitu telah diregistrasi ulang oleh KPP tempat PKP tersebut dikukuhkan atau bagi PKP baru yaitu telah diverifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
  6. Adanya penegasan bahwa keterangan Faktur Pajak mengenai alamat dan jenis barang/jasa harus diisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
  7. PKP wajib memberitahukan secara tertulis ke KPP atas penunjukkan pejabat/pegawai yang berhak untuk menandatangani Faktur Pajak dengan melampirkan fotokopi kartu identitas yang sah (KTP, SIM, atau Paspor) yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang.
  8. Mengganti istilah “Faktur Pajak Cacat” menjadi “Faktur Pajak Tidak Lengkap” agar sesuai dengan ketentuan UU KUP.
  9. Mempertegas peruntukan Kode Transaksi untuk kode 02 (bendahara pemerintah) dank ode 03 (BUMN dan KPS) digunakan untuk penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN.
  10. Tata cara penerbitan Faktur Pajak Pengganti disederhanakan menjadi: untuk Faktur Pajak Pengganti tetap menggunakan Nomor Seri yang sama dengan Faktur Pajak sebelumnya yang akan digantikan. Pelaporan Faktur Pajak pengganti ini hanya dilaporkan di SPT Masa PPN pada masa pajak dimana Faktur Pajak yang diganti tersebut dilaporkan.

Kamis, 28 Maret 2013

Pemberlakuan Faktur Pajak 2013 Ditunda

Mulai 1 April 2013, semua Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan Faktur Pajak harus menggunakan ketentuan tentang pembuatan dan penomoran Faktur Pajak berdasarkan ketentuan baru Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012. Salah satu ketentuan baru tentang Faktur Pajak ini adalah mengenai penomoran Faktur Pajak. Untuk penomoran Faktur Pajak, PKP harus terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat terdaftar.

Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP diberi kesempatan mengajukan permohonan mulai 1 Maret 2013. Namun hingga saat ini ternyata masih ada PKP yang belum mengajukan permohonan untuk memperoleh Nomor seri Faktur Pajak ataupun sudah mengajukan tetapi masih belum memperoleh nomor seri Faktur Pajak. Mengantisipasi adanya kesulitan bagi PKP yang akan menerbitkan Faktur Pajak namun masih belum memperoleh nomor seri Faktur Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2013 tanggal 27 Maret 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak.

Dalam PER-08/PJ/2013 yang mulai berlaku sejak 1 April 2013 ini mengatur bahwa terhitung mulai tanggal 1 April 2013:

  1. Pengusaha Kena Pajak yang telah memperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak wajib menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam PER-24/PJ/2012 (Nomor Seri Baru); dan
  2. Pengusaha Kena Pajak yang belum memperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-65/PJ/2010 (Nomor Seri Lama), sampai dengan tanggal 31 Mei 2013.

Dalam hal PKP yang masih belum memperoleh Nomor Seri Faktur Pajak Baru dan diperbolehkan Nomor Seri Faktur Pajak Lama, kemudian memperoleh Nomor Seri Faktur Pajak baru dari Direktorat Jenderal Pajak, maka PKP tersebut wajib menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak Baru sejak tanggal surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak.

Terhitung mulai tanggal 1 Juni 2013, seluruh Pengusaha Kena Pajak sudah diwajibkan untuk menggunakan kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Baru.

Surat Pengantar dari PER-08/PJ/2013 ini disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-15/PJ/2013 tanggal 27 Maret 2013.

Rabu, 28 November 2012

Ketentuan Baru Tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak

Berikut ini penulis memperoleh satu informasi yang cukup penting bagi para Pengusaha Kena Pajak. Mulai 1 April 2013 ketentuan mengenai Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pembuatan, Pembetulan, Pembatalan Faktur Pajak akan mengalami perubahan. Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 serta tata cara dan prosedur permohonan kode aktivasi dan password permintaan nomor seri faktur pajak disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2012 tanggal 22 November 2012.

Salah satu perubahan yang cukup penting adalah,kelak untuk membuat penomoran Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak harus mendapatkan Nomor Seri Faktur Pajak dari Kantor Pelayanan Pajak. Jadi nantinya untuk penomoran Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak tidak dapat membuat penomoran sendiri seperti format penomoran Faktur Pajak yang saat ini telah diterapkan, namun harus mendapatkan dahulu nomor seri faktur pajak dari Kantor Pelayanan Pajak. Ketentuan ini akan kembali lagi seperti dahulu sebelum tahun 2007 di mana masing-masing Pengusaha Kena Pajak memiliki Kode Seri Faktur Pajak unik yang terdiri dari 5 huruf abjad.


Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah mengenai Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak. Dalam ketentuan PER-24/PJ/2012 ini ditentukan bahwa Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 16 digit, yaitu:
-2 digit Kode Transaksi;
-1 digit Kode Status; dan
-13 digit Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Rabu, 07 November 2012

PPN Kegiatan Membangun Sendiri

Ketentuan mengenai batasan dan tata cara pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS) berubah mulai 22 November 2012 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 yang dikenakan untuk KMS dengan luas keseluruhan bangunan paling sedikit 200 m2. Dasar Pengenaan PPN-nya juga diturunkan menjadi sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Mungkin sebagian dari Pembaca Setia Tax Learning sudah mengetahui mengenai ketentuan pengenaan PPN bagi setiap orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan mendirikan bangunan (membangun) yang dilakukan sendiri tanpa melalui pihak kontraktor bangunan. Pengenaan PPN yang disebut sebagai PPN Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS) yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri diatur dalam Pasal 16C UU PPN dan telah diatur sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994. Pengenaan PPN KMS ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995.

Batasan dan tata cara pengenaan PPN KMS ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan atau Peraturan Menteri Keuangan dan pertama kali diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 595/KMK.04/1994 dengan ketentuan bahwa Kegiatan Membangun Sendiri yang menjadi objek Pengenaan PPN adalah untuk bangunan bersifat permanen dengan batasan luas 400 m2 atau lebih. Besarnya PPN terutang adalah 10% dari Dasar Pengenaan PPN. Dasar Pengenaan PPN ini ditentukan sebesar 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun bangunan tersebut tidak termasuk harga perolehan tanah.

Seiring dengan perkembangan waktu, kebijakan mengenai batasan pengenaan PPN KMS ini berubah. Mulai 1 Juli 2002 batasan KMS yang menjadi objek PPN adalah untuk kegiatan membangun sendiri bangunan yang bersifat permanen dengan luas 200 m2 atau lebih (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002). Kemudian mulai 1 April 2010, batasan pengenaan PPN KMS ini kembali berubah yaitu dengan ketentuan bahwa KMS yang menjadi objek PPN adalah untuk bangunan yang berupa konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenisnya dan/atau baja dengan luas keseluruhan bangunan paling sedikit 300 m2 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010).

Mulai tanggal 22 November 2012 nanti, ketentuan mengenai batasan dan tata cara pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri kembali mengalami perubahan. Perubahan ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tanggal 22 Oktober 2012. Ketentuan yang diubah adalah:
-KMS yang menjadi objek PPN dengan luas keseluruhan bangunan paling sedikit 200 m2
-Tarif PPN KMS adalah 10% dari Dasar Pengenaan PPN. Dasar Pengenaan PPN ditetapkan sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Dengan demikian, maka kelak mulai tanggal 22 November 2012 jika ada di antara Pembaca Setia Tax Learning yang melakukan kegiatan membangun sendiri baik untuk tempat tinggal maupun untuk usaha dengan jumlah keseluruhan bangunan minimal adalah 200 m2 akan dikenakan PPN KMS dengan tarif 10% x 20% x jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Ketentuan selengkapnya mengenai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 akan dibahas dalam artikel berikutnya.

Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012
- Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012

Selasa, 04 September 2012

Perubahan Ketentuan Penunjukan BUMN sebagai Pemungut PPN

Karena ada beberapa prosedur administrasi yang dianggap kurang efisien sehubungan dengan penunjukan BUMN sebagai Pemungut PPN melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 (baca artikelnya di sini), maka Menteri Keuangan melakukan penyempurnaan dengan menambahkan atau mengurangi beberapa ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 tanggal 16 Agustus 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 Tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.

Perubahan yang dilakukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 ini adalah untuk mengakomodasi tata cara pelaporan SPT Masa PPN bagi BUMN sebagai pemungut PPN dan tata cara pembuatan faktur pajak dan SSP bagi rekanan yang dipungut PPN-nya oleh BUMN. Perubahan yang dilakukan adalah dengan menambah ketentuan pada Pasal 7 ayat (4a) dan Pasal 8A, serta mengurangi ketentuan pada Lampiran Bagian angka Romawi II Nomor 5 dan Nomor 6, Bagian angka Romawi III, serta menambahkan format daftar nominatif Faktur Pajak dan SSP yang harus dilampirkan dalam SPT Masa PPN yang dilaporkan oleh BUMN sebagai Pemungut PPN.

Ketentuan yang mengalami perubahan adalah:

Lampiran Daftar Nominatif Faktur Pajak dan SSP Bagi BUMN Sebagai Pemungut

BUMN sebagai Pemungut PPN diwajibkan untuk melaporkan semua transaksi pembelian yang telah dipungut PPN-nya dalam SPT Masa PPN dengan mencantumkannya dalam Daftar Nominatif Faktur Pajak dan SSP yang formatnya telah dicontohkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini. Ketentuan ini telah menyederhanakan prosedur pelaporan SPT Masa PPN dari ketentuan sebelumnya yang mewajibkan BUMN sebagai pemungut PPN untuk melampirkan Faktur Pajak dan SSP Lembar ke-5 atas setiap transaksi yang dipungut PPN-nya (diatur dalam Lampiran bagian angka Romawi III Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012).

Penyederhanan Pembuatan Faktur Pajak dan SSP bagi Rekanan

Saat ini rekanan yang dipungut PPN-nya oleh BUMN cukup membuat Faktur Pajak sebanyak 2 (dua) rangkap (sebelumnya harus 3 (tiga) rangkap) dan SSP sebanyak 4 (empat) lembar (sebelumnya 5 (lima) lembar). Ketentuan ini diatur dalam Lampiran Huruf A bagian angka Romawi II nomor 5 dan nomor 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012).

Saat Berlakunya Ketentuan Ini

Pelaporan atas pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh BUMN sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 (yaitu tanggal 1 Juli 2012) dilakukan sesuai tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

Kamis, 16 Agustus 2012

Batasan Rumah, Rusun, Pondok Boro dan Asrama Yang PPN-nya Dibebaskan

Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah untuk dapat memiliki tempat tinggal, maka selama ini Pemerintah telah memberikan insentif di bidang perpajakan berupa pemberian pembebasan atas PPN yang terutang. Selama ini pemberian fasilitas pembebasan PPN ini diberikan khusus untuk penyerahan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro dan Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan lainnya diberikan oleh Pemerintah dengan spesifikasi dan kriteria tertentu yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Ketentuan dan batasan mengenai pembebasan PPN ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 yang telah diubah beberapa kali. Perubahan yang terakhir adalah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011. Perubahan yang dilakukan ini adalah untuk menyesuaikan perkembangan harga jual tanah dan bangunan sehingga masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah masih dapat menikmati fasilitas pembebasan PPN ini.

Sejak tanggal 3 Agustus 2012, Menteri Keuangan kembali mengeluarkan Peraturan yang mengubah ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 ini melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.011/2012 tanggal 3 Agustus 2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 Tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa Dan Pelajar, Serta Perumahan Lainnya, Yang Atas Penyerahannya Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Seperti halnya pada 2 (dua) perubahan terdahulu, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.011/2012 ini juga hanya mengubah kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN (Pasal 2). Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.011/2012 adalah:

a. luas bangunan
Luas bangunan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi). Batasan ini masih sama dengan yang diatur dalam Peraturan sebelumnya (PMK 31/PMK.03/2011).

b. batasan harga jual
Harga jual yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah atas transaksi penyerahan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang harga jualnya tidak melebihi:
  1. Rp88.000.000,00 (delapan puluh delapan juta rupiah) yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Sulawesi, tidak termasuk Batam, Bintan, Karimun, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
  2. Rp95.000.000,00 (sembilan puluh lima juta rupiah) yang meliputi wilayah Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat
  3. Rp145.000.000,00 (seratus empat puluh lima juta rupiah) yang meliputi wilayah Papua dan Papua Barat
  4. Rp95.000.000,00 (sembilan puluh lima juta rupiah) yang meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bali, Batam, Bintan dan Karimun.
Ketentuan sebelumnya dalam PMK 31/PMK.03/2011 adalah sebesar Rp 70.000.000 untuk seluruh daerah.

c. Kepemilikan
Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. Ketentuan ini masih sama dengan ketentuan lama (31/PMK.03/2011).

Ketiga persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan ini adalah bersifat kumulatif, artinya penyerahan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana baru akan mendapatkan fasilitas pembebasan PPN apabila ketiga syarat tersebut di atas terpenuhi.

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 3 Agustus 2012.

Jumat, 10 Agustus 2012

Jasa Pengelolaan Tempat Parkir Terutang PPN

Saat ini hampir di setiap pusat perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen dan sejenisnya memiliki lahan parkir. Lahan parkir ini ada yang dikelola sendiri, ada pula yang diserahkan kepada pihak lain untuk melakukan pengelolaannya. Atas pengelolaan lahan parkir ini, maka pengguna parkir akan membayar sejumlah uang sebagai ganti atas jasa perparkiran tersebut.

Dalam ketentuan PPN, jasa pengelolaan parkir tidak masuk dalam jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Untuk lebih mempertegas perlakuan PPN atas jasa perparkiran ini, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.03/2012 tanggal 17 Juli 2012 tentang Kriteria Jasa Penyediaan Tempat Parkir Yang Termasuk Dalam Jenis Jasa Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.03/2012 yang mencabut dan menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 419/PMK.03/2003 diatur bahwa:

Definisi

Tempat Parkir adalah tempat parkir kendaraan bermotor di luar badan jalan yang disediakan oleh orang atau badan, termasuk tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor.

Pemilik Tempat Parkir adalah orang atau badan yang memiliki tempat parkir.

Pengusaha Pengelola Tempat Parkir adalah orang atau badan yang mengelola Tempat Parkir yang disediakan oleh Pemilik Tempat Parkir, termasuk pengusaha pengelola valet parking atau sebutan lainnya.

Pengguna Tempat Parkir adalah orang atau badan yang memanfaatkan Tempat Parkir dengan dipungut bayaran.

Jasa Penyediaan Tempat Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan Tempat Parkir yang dilakukan oleh Pemilik Tempat Parkir atau Pengusaha Pengelola Tempat Parkir kepada Pengguna Tempat Parkir dengan dipungut bayaran.

Jasa Pengelolaan Tempat Parkir adalah jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Pengelola Tempat Parkir untuk mengelola Tempat Parkir yang dimiliki atau disediakan oleh Pemilik Tempat Parkir, dengan menerima imbalan dari Pemilik Tempat Parkir, termasuk imbalan dalam bentuk bagi hasil.

Ketentuan Pengenaan PPN

Untuk penyerahan Jasa Penyediaan tempat parkir tidak dikenai PPN.

Sedangkan untuk penyerahan jasa pengelolaan tempat parkir dikenai PPN sebesar 10% dari dasar pengenaan pajak. Dasar Pengenaan Pajak ini adalah nilai penggantian berupa uang termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha Pengelola Tempat Parkir kepada Pemilik Tempat Parkir.

Nilai penggantian yang dimaksud di sini adalah imbalan berupa bagi hasil yang diperoleh oleh Pengusaha Pengelola Tempat Parkir dari Pemiliki Tempat Parkir.

Masa Berlaku Ketentuan Ini

Ketentuan ini berlaku mulai tanggal diundangkan yaitu tanggal 17 Juli 2012.

Pada dasarnya ketentuan ini tidak terlalu berbeda dengan peraturan sebelumnya yang telah dicabut.

Kamis, 02 Agustus 2012

BUMN Ditunjuk Sebagai Pemungut PPN

Sejak 1 Juli 2012, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali ditunjuk sebagai pemungut PPN. Penunjukan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012. Dahulu memang pernah ada ketentuan yang menunjuk BUMN sebagai pemungut PPN (yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.04/2000), namun sejak 1 Januari 2004 penunjukan BUMN (dan juga BUMD) sebagai pemungut PPN dicabut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003. Maka sejak saat itu, BUMN bukan lagi sebagai pemungut PPN.

Dengan ditunjuknya BUMN sebagai pemungut PPN maka setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh perusahaan sebagai Pengusaha Kena Pajak akan dipungut PPN-nya sebesar 10% dari jumlah penyerahan yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Padahal dalam kondisi normal, apabila Pengusaha Kena Pajak tidak bertransaksi dengan Pemungut PPN, maka PPN yang terutang atas penyerahan yang mereka lakukan ini terlebih dahulu dapat diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang diperoleh/dipungut oleh supplier selama suatu masa pajak. Atas selisih kekurangan bayar PPN baru akan disetorkan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. Namun dengan adanya mekanisme pemungutan PPN oleh pihak BUMN, akan mengakibatkan Pengusaha Kena Pajak yang bertransaksi dengan BUMN sebagai pemungut PPN ini harus membayarkan jumlah PPN yang terutang atas penyerahan yang mereka lakukan ini secara penuh tanpa dikurangkan dahulu dengan Pajak Masukannya. Akibatnya dalam SPT Masa PPN, apabila sebagian besar atau seluruh penyerahan dilakukan ke BUMN akan menyebabkan adanya kelebihan bayar PPN.

Apakah Badan Usaha Milik Daerah Juga Sebagai Pemungut PPN?

Jika kita cermati ketentuan Pasal 2 dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 maka dapat disimpulkan bahwa penunjukkan sebagai Pemungut PPN hanya diberikan kepada BUMN. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak termasuk pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Oleh sebab itu atas penyerahan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak kepada BUMD, pihak Pengusaha Kena Pajak tetap harus melakukan pemungutan PPN.

Restitusi PPN Lebih Bayar Untuk Setiap Masa Pajak

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 diatur bahwa Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian (restitusi) atas kelebihan PPN pada akhir tahun buku. Pengecualian dari ketentuan ini, dimana Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan restitusi pada setiap Masa Pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 salah satunya adalah untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN. Dengan adanya ketentuan ini akan memudahkan Pengusaha Kena Pajak untuk meminta restitusi setiap saat sehingga dapat membantu kondisi cash flow perusahaan.

Pengecualian Bagi BUMN Sebagai Pemungut PPN

Tidak semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pihak BUMN akan dipungut PPN oleh BUMN. Terdapat beberapa transaksi dengan BUMN yang tidak dipungut PPN oleh BUMN namun disetorkan sendiri oleh rekanan (PKP) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012, yaitu:
  1. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 10.000.000,00 termasuk PPN atau PPN dan PPnBM yang tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
  2. pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perpajakan mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan;
  3. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
  4. pembayaran atas rekening telepon;
  5. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
  6. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perpajakan tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.

Pembuatan dan Penomoran Faktur Pajak

Rekanan (Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kepada BUMN) tetap wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada BUMN.

Dengan adanya penunjukan BUMN sebagai pemungut PPN akan berpengaruh terhadap tata cara pemberian nomor Faktur Pajak atas transaksi penyerahan kepada BUMN sebagai pemungut PPN ini. Berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak kepada BUMN dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis penyerahan, yaitu:
  1. Penyerahan kepada BUMN yang PPN-nya harus dipungut oleh BUMN.
  2. Penyerahan kepada BUMN yang PPN-nya tidak dipungut oleh BUMN namun disetorkan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Atas penyerahan kepada BUMN yang PPN-nya dipungut oleh BUMN, maka Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan tersebut harus membuat Faktur Pajak dengan format nomor Faktur Pajak untuk 2 (dua) digit pertama Kode Transaksi adalah 03. Dalam penjelasannya Kode Transaksi 03 ini digunakan untuk penyerahan kepada Pemungut PPN Lainnya (selain Bendahara Pemerintah). Penjelasan lebih lanjut atas penggunaan kode 03 ini disebutkan bahwa Kode ini digunakan atas penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah, dalam hal ini KPS Migas selaku Pemungut PPN. Dengan demikian maka penyerahan kepada Pemungut PPN BUMN ini dapat kita kategorikan sebagai penyerahan yang memenuhi kriteria dengan kode transaksi 03.

Atas penyerahan kepada BUMN yang PPN-nya tidak dipungut (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012), maka Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kepada BUMN tersebut harus membuat Faktur Pajak dengan kode 01, memungut dan menyetorkan PPN tersebut.

(c) syafrianto.blogspot.com

Kamis, 19 Juli 2012

Tata Cara Pembuatan, Pembetulan dan Penggantian Faktur Pajak

Menteri Keuangan kembali mengeluarkan ketentuan terbaru mengenai ketentuan tata cara pembuatan dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010. Ketentuan baru mengenai tata cara ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2012 tanggal 6 Juni 2012.

Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2012 ini antara lain:
Kewajiban Membuat Faktur Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Ketentuan Bagi Pedagang Eceran Yang Membuat Faktur Pajak Tanpa Identitas Pembeli

Faktur Pajak Gabungan

Faktur Pajak Yang Terlambat Diterbitkan

Pemakaian Sendiri BKP dan/atau JKP untuk Tujuan Produktif Dikecualikan dari Penerbitan Faktur Pajak

Keterangan Yang Harus Tercantum Dalam Faktur Pajak

Selasa, 12 Juni 2012

Jasa Angkutan Umum Tidak Dikenakan PPN

Sejak tanggal 29 Mei 2012, pengenaan PPN atas usaha jenis Jasa Angkutan Umum menjadi lebih jelas. Hal ini karena Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2012 tanggal 29 Mei 2012 tentang Jasa Angkutan Umum di Darat dan Jasa Angkutan Umum di Air Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2012 ini mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 tentang Jasa di Bidang Angkutan Umum di Darat dan di Air yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006.

Dalam ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2012 mengatur hal-hal sebagai berikut:

Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas:
  1. jasa angkutan umum di darat; dan
  2. jasa angkutan umum di air.

Jasa Angkutan Umum di Darat

Jasa angkutan umum di darat ini meliputi:
  1. jasa angkutan umum di jalan yang merupakan kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan Angkutan Umum di ruang lalu lintas jalan, dengan dipungut bayaran; dan
  2. jasa angkutan umum Kereta Api merupakan kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kereta Api, dengan dipungut bayaran, tidak termasuk dalam hal jasa angkutan menggunakan Kereta Api yang disewa atau yang dicarter.

Kendaraan Angkutan Umum yang dimaksud dalam Peraturan ini adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran baik dalam trayek atau tidak dalam trayek, dengan menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam.

Jasa Angkutan Umum di Air

Sedangkan untuk jenis jasa angkutan umum di air meliputi:
  1. jasa angkutan umum di laut yang merupakan kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kapal, dalam 1 (satu) perjalanan atau lebih dari 1 (satu) perjalanan, dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain, dengan dipungut bayaran;
  2. jasa angkutan umum di sungai dan danau yang merupakan kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kapal, yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, atau terusan, dengan dipungut bayaran; dan
  3. jasa angkutan umum penyeberangan yang merupakan kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kapal, yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur Kereta Api yang dipisahkan oleh perairan, dengan dipungut bayaran.

Yang tidak termasuk sebagai jenis angkutan umum di air yang atas penyerahannya tidak terutang PPN, sebagaimana ketiga jenis angkutan umum di air yang telah disebutkan di atas, adalah dalam hal jasa angkutan menggunakan Kapal yang disewa atau yang dicarter.

Jumat, 20 Januari 2012

Perubahan PMK Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat

Ketentuan mengenai Kawasan Berikat sebagai daerah yang mendapatkan perlakuan khusus berupa fasilitas penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, dan tidak dipungutnya PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor (Pajak Dalam Rangka Impor/PDRI) yang baru saja diatur dengan ketentuan baru yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat dan mulai berlaku 1 Januari 2012, saat ini telah diubah. Ketentuan yang mengubahnya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011 tanggal 28 Desember 2011 tentang perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011 ini mulai berlaku tanggal 1 Februari 2012.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011 ini mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 dengan menambahkan beberapa ketentuan, yaitu:
1. Menambahkan ketentuan Pasal 14 ayat (2a), ayat (2b), ayat (2c)
2. Menambahkan ketentuan Pasal 18A
3. Mengubah ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2)
4. Menambahkan ketentuan Pasal 30 ayat (5a)
5. Menambahkan ketentuan Pasal 56A
6. Mengubah ketentuan Pasal 58

Ketentuan yang diubah/ditambahkan tersebut secara garis besar adalah:


1. Atas PPN dan/atau PPnBM yang tidak dipungut atas pemasukan barang ke dalam Kawasan Berikat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) harus dilakukan oleh Pengusaha Kawasan Berikat (PKB) dan/atau PDKB dengan menggunakan faktur pajak. Apabila ketentuan mengenai pembuatan faktur pajak ini tidak dipenuhi PKB dan/atau PDKB maka atas pembayaran PPN dan/atau PPnBM yang seharusnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan.

2. Pengusaha Kawasan Berikat dan/atau PDKB tidak dapat memanfaatkan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sesuai ketentuan Pasal 17C, 17D UU KUP dan/atau Pasal 9 ayat (4c).

3. Ketentuan mengenai Pengeluaran Hasil Produksi dari Kawasan Berikat ke tempat lain, yang sebelumnya tidak membedakan antara yang bahan bakunya seluruhnya berasal dari luar daerah pabean atau yang bahan bakunya sebagian berasal dari dari luar daerah pabean, dalam ketentuan 255/PMK.04/2011 ini dibedakan sehingga ketentuannya menjadi:
  1. Untuk hasil produksi yang bahan baku seluruhnya berasal dari luar daerah pabean atau yang bahan bakunya berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, jika dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean: dikenakan Bea Masuk dan/atau Cukai; dan dipungut PDRI.
  2. Untuk hasil produksi yang bahan baku sebagian berasal dari luar daerah pabean, jika dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean: dikenakan Bea Masuk dan/atau Cukai; dipungut PDRI; dan dilunasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau PPnBM yang pada saat pemasukan ke Kawasan Berikat tidak dipungut.
  3. Untuk hasil produksi yang bahan bakunya berasal dari tempat lain dalam daerah pabean yang dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean, dilunasi PPN dan/atau PPnBM yang pada saat pemasukan ke Kawasan Berikat tidak dipungut.

4. Atas pengeluaran Bahan Baku dan/atau Sisa Bahan Baku asal tempat lain dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipindahtangankan ke perusahaan industri di tempat lain dalam daerah pabean wajib dilunasi PPN dan/atau PPnBM yang pada saat pemasukan bahan baku ke kawasan berikat PPN dan/atau PPnBM tidak dipungut.

5. Ketentuan peralihan atas Kawasan Berikat yang izinnya diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011, berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan mempertimbangkan aspek padat karya, kepatuhan perusahaan yang bersangkutan, dan manajemen risiko, dapat diberikan perlakuan lokasi dan subkontrak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.04/2005 dengan ketentuan:
- untuk subkontrak, dapat diberikan sampai dengan masa kontrak selesai, paling lama tanggal 31 Desember 2012;
- untuk lokasi, dapat diberikan izin sebagai Kawasan Berikat berakhir, paling lama tanggal 31 Desember 2016.

6. Menambah ketentuan yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk tata cara perpanjangan izin dan penetapan lokasi untuk Kawasan Berikat dan tata cara pemberian persetujuan subkontrak.
Selain itu juga menambahkan ketentuan yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak untuk tata cara penerbitan faktur pajak atas pemasukan barang ke Kawasan Berikat dan pengeluaran barang dari Kawasan Berikat dan tata cara pelaporan dan pembayaran PPN, PPnBM, PPh Pasal 22 Impor atas pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.

Catatan: Ketentuan ini telah mengalami perubahan, baca tentang perubahannya di sini.

Artikel Terkait:
Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat

Jumat, 06 Januari 2012

Ketentuan Mengenai Kawasan Berikat

Dalam rangka menghadapi persaingan usaha di dunia internasional dengan telah diterapkannya perdagangan bebas, maka Pemerintah Indonesia juga telah membuat regulasi-regulasi untuk mendukung industri lokal agar dapat bersaing dalam perdagangan di dunia internasional ini serta untuk menciptakan iklam investasi yang semakin kondusif agar investor lebih berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satu fasilitas yang diberikan oleh pemerintah adalah pemberian fasilitas berupa kemudahan di bidang kepabeanan, cukai dan perpajakan. Fasilitas yang diberikan adalah penetapan kawasan berikat dan Tempat Penimbunan Berikat.

Fasilitas kemudahan dalam bentuk kawasan berikat dan tempat penimbunan berikat ini telah diberikan pemerintah sejak tahun 1996 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996. Sejak 1 Januari 2012, ketentuan mengenai kawasan berikat ini telah disempurnakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2011 tanggal 6 September 2011 tentang Kawasan Berikat. Ketentuan Pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2011 diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-57/BC/2011 tanggal 28 Desember 2011.

Beberapa Ketentuan Baru Tentang Kawasan Berikat:

Kegiatan pengolahan yang mendapatkan fasilitas kawasan berikat didefinisikan sebagai kegiatan mengolah barang dan bahan dengan atau tanpa Bahan Penolong menjadi barang hasil produksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, termasuk perubahan sifat dan fungsinya; dan/atau budidaya flora dan fauna.

Bahan Penolong didefinisikan sebagai barang dan bahan selain bahan baku yang digunakan dalam kegiatan pengolahan atau kegiatan penggabungan yang berfungsi membantu dalam proses produksi.

Dalam ketentuan ini, kawasan berikat tidak hanya untuk yang berlokasi di kawasan industri seperti aturan sebelumnya, namun kawasan berikat dapat juga berlokasi di kawasan budidaya yang diperuntukkan bagi kegiatan industry berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sepanjang kawasan berikat tersebut diperuntukkan bagi:
  1. perusahaan yang menggunakan Bahan Baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus;
  2. perusahaan industri mikro dan kecil; dan/atau
  3. perusahaan industri yang akan menjalankan industri di daerah kabupaten atau kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kavling industrinya telah habis.
Lokasi kawasan berikat di kawasan budidaya harus memiliki luas paling sedikit 10.000 m2 dalam satu hamparan. Di dalam lokasi kawasan budidaya ini dapat terdiri dari 1 atau lebih PDKB.

Ketentuan mengenai stock opname (pencacahan) terhadap barang-barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan, cukai dan perpajakan dengan mendapatkan pengawasan dari Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pabean

memiliki sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) untuk pengelolaan barang yang dapat diakses untuk kepentingan pemeriksaan oleh Direktorat Bea dan Cukai. Sistem informasi ini minimal harus memiliki pencatatan mengenai pemasukan barang, pengeluaran barang, barang dalam proses produksi (work in process), penyesuaian (adjustment), dan hasil pencacahan (stock opname yang secara kontinu dan realtime di Kawasan Berikat yang bersangkutan.

Pengusaha Kawasan Berikat dan PDKB harus menyampaikan laporan setiap 4 (empat) bulan sekali paling lama tanggal 10 bulan berikutnya ke Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pabean. Terhadap laporan ini akan dilakukan penelitian oleh Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pabean. Dari hasil penelitian ini, apabila ditermukan adanya selisih kurang, maka Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus melunasi Bea Masuk, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.

Pengeluaran Hasil Produksi Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean, dapat dilakukan dalam jumlah paling banyak 25% dari nilai realisasi ekspor tahun sebelumnya dan nilai realisasi penyerahan ke Kawasan Berikat lainnya tahun sebelumnya. Penentuan nilai realisasi untuk penyerahan ke Kawasan Berikatnya hanya terbatas untuk hasil produksi Kawasan Berikat yang akan diolah lebih lanjut.

Catatan: Ketentuan ini telah mengalami perubahan, baca tentang perubahannya di sini.

Rabu, 14 September 2011

Bandar Udara Yang Ditunjuk Untuk Melayani Proses Refund PPN


Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak 1 April 2010, bagi Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri (selanjutnya diistilahkan sebagai "Turis Asing") yang berbelanja barang yang dikenakan PPN (Barang Kena Pajak) di Dalam Daerah Pabean, apabila barang tersebut dibawa pulang ke negara asalnya (keluar Daerah Pabean), maka PPN yang telah dibayarkannya pada saat pembelian barang tersebut dapat dimintakan kembali (diistilahkan sebagai Value Added Tax Refund). Ketentuan mengenai Value Added Tax Refund ini diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN).

Turis Asing yang dapat memperoleh Tax Refund ini serta bagaimana mekanisme proses Tax Refund diatur dalam Pasal 16E ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU PPN dan aturan pelaksananya berupa:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2010 tanggal 31 Maret 2010
Secara garis besar ketentuan mengenai pemberian Tax Refund kepada Turis Asing adalah:
  1. Pengembalian PPN bagi wisatawan asing hanya berlaku untuk pembelanjaan pada toko yang sudah ditunjuk.
  2. Hanya boleh dilakukan oleh wisatawan asing yang datang ke Indonesia dalam jangka waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan serta memiliki paspor luar negeri.
  3. Hanya boleh dilakukan untuk pembelian dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum yang bersangkutan meninggalkan Indonesia.
  4. Diberikan jika wisatawan asing menunjukkan barang yang dibelinya tersebut.
  5. Wisatawan asing hanya dapat meminta tax refund untuk pembelian barang yang jumlah PPN minimal Rp 500.000,00 dengan meminta Faktur Pajak Khusus (bentuk Faktur Pajak Khusus dapat dilihat di Lampiran 76/PMK.03/2010) dari toko yang ditunjuk.

Sampai dengan saat ini, Direktur Jenderal Pajak telah menetapkan sejumlah toko yang ditunjuk untuk dapat mengeluarkan Faktur Pajak dalam penyerahan Barang Kena Pajak kepada Turis Asing, sehingga mereka dapat melakukan proses Tax Refund. Toko yang telah ditunjuk total telah berjumlah 18 toko yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Bali, Yogyakarta dan Sleman.

Proses pemberian Tax Refund saat ini juga hanya dilakukan di Bandar Udara (bandara) khusus yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sampai dengan saat ini Bandara yang telah ditetapkan sebagai tempat untuk memproses Tax Refund adalah:
  1. Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang (Keputusan Menteri Keuangan No. 141/KMK.03/2010)
  2. Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar (Keputusan Menteri Keuangan No. 141/KMK.03/2010)
  3. Bandara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta (Keputusan Menteri Keuangan No. 427/KMK.03/2010)
  4. Bandara Internasional Juanda, Surabaya (Keputusan Menteri Keuangan No. 287/KMK.03/2011)
  5. Bandara Internasional Polonia, Medan (Keputusan Menteri Keuangan No. 287/KMK.03/2011)

Artikel:
- Penunjukan Toko Retail untuk Tax Refund
- Tax Refund Bagi Turis Asing Yang Berbelanja Di Indonesia

Jumat, 19 Agustus 2011

Saat Penyerahan BKP/JKP sebagai Dasar Saat Terutang PPN dan Saat Pembuatan Faktur Pajak

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Dalam memori penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) ditegaskan bahwa Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Hal ini juga berlaku untuk kegiatan transaksi melalui "electronic commerce".

Prinsip akrual sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPN tersebut mencerminkan bahwa penentuan saat terutangnya PPN atas penyerahan barang dan penyerahan jasa sejalan dengan norma dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum, penyerahan barang dianggap telah terjadi apabila risiko dan manfaat kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli dan jumlah pendapatan dari transaksi tersebut dapat diukur dengan handal. Demikian juga dengan penyerahan jasa diakui pada saat pendapatan atas penyerahan jasa tersebut telah dapat diestimasi atau diukur dengan handal. Dalam sistem akrual, pendapatan atau piutang diakui pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa melihat apakah atas transaksi tersebut telah dibayar ataupun belum dibayar. Pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang dicerminkan dengan penerbitan invoice/faktur penjualan yang sekaligus menjadi dokumen sumber dan sebagai dasar pencatatan pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang.

SAAT TERUTANG PPN

Selaras dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan kelaziman dalam praktek bisnis, ketentuan dalam Undang-Undang PPN mengatur saat penyerahan BKP dan saat penyerahan JKP adalah sebagai berikut:

Saat penyerahan BKP

a.untuk penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat:
  1. BKP berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli;
  2. BKP berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang, untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang;
  3. BKP berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau
  4. harga atas penyerahan BKP diakui sebagai piutang atau penghasilan atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
b.untuk penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.

c.untuk penyerahan BKP tidak berwujud, terjadi pada saat:
  1. harga atas penyerahan BKP tidak berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau
  2. kontrak atau perjanjian ditandatangani atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud di atas ini tidak diketahui.

Saat Penyerahan JKP
  1. harga atas penyerahan JKP diakui sebagai piutang atau penghasilan atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
  2. kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas tidak diketahui; atau
  3. saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri JKP.

SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK

PKP wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP pada saat:
  1. penyerahan BKP dan/atau JKP sesuai dengan ketentuan Saat Terutang PPN sebagaimana yang telah dijelaskan di atas; atau
  2. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP.

Dalam hal tertentu, saat pembuatan Faktur Pajak adalah:
  1. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, sehubungan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP yang diselesaikan dalam suatu masa tertentu, misalnya penyerahan jasa pemborong bangunan; atau
  2. pada saat Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah menyampaikan tagihan, sehubungan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN Bendahara Pemerintah.

Dalam hal satu faktur penjualan diterbitkan untuk mencatat atau mengakui beberapa kali pengiriman barang yang sesuai dengan dokumen pengiriman barang (delivery order), atas penyerahan barang tersebut dapat diterbitkan satu Faktur Pajak, baik dalam bentuk Faktur Pajak atau faktur penjualan (dalam hal faktur penjualan berfungsi sebagai Faktur Pajak). Penerbitan faktur penjualan tersebut adalah sebagai dasar pengakuan piutang atau pencatatan penghasilan bagi PKP Penjual dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan dilakukan secara konsisten.

Penjelasan ini ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2011 tanggal 3 Agustus 2011.

Jumat, 22 Juli 2011

Penomoran Faktur Pajak Harus Berurutan

Faktur Pajak adalah merupakan bukti pungutan pajak yang harus dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan (penjualan) Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Faktur Pajak yang dibuat oleh seorang Pengusaha Kena Pajak harus memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN). Dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) ini, diatur bahwa salah satu informasi yang harus ada dalam faktur pajak adalah harus mencantumkan kode, nomor seri dan tanggal faktur pajak. Apabila suatu faktur pajak tidak mencantumkan informasi mengenai kode, nomor seri dan tanggal faktur pajak maka faktur ini tidak memenuhi persyaratan formal dan material sebagai faktur pajak dan akan dianggap cacat serta tidak dapat dikreditkan oleh pihak pembeli BKP atau pengguna JKP.

Lebih lanjut, tata cara pemberian kode dan nomor seri faktur pajak serta tanggal faktur pajak diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-65/PJ/2010. Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-65/PJ/2010 diatur secara terperinci tentang bagaimana cara pemberian nomor seri faktur. Secara ringkas, hal-hal yang harus dilakukan dalam pemberian nomor dan tanggal faktur pajak adalah:
  1. Nomor urut pada Nomor Seri Faktur Pajak dan tanggal Faktur Pajak harus dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status Faktur Pajak dan mata uang yang digunakan.
  2. Penerbitan Faktur Pajak dimulai dari nomor urut 00000001 pada setiap awal tahun kalender mulai 1 Januari, kecuali bagi PKP yang baru dikukuhkan atau yang pindah KPP.
  3. Bila sebelum awal tahun kalender berikutnya, nomor urut pada Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP telah mencapai Nomor Urut 99999999 (telah habis), maka PKP dapat memulai Nomor Urut pada Faktur Pajak berikutnya dari awal, yaitu 00000001. Untuk melakukan hal ini, PKP harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kepala KPP tempat PKP dikukuhkan.
  4. PKP yang tidak memenuhi ketentuan pemberian nomor dan tanggal pada Faktur Pajak sebagaimana disebutkan di atas, maka Faktur Pajak yang diterbitkan dianggap cacat.

Dalam prakteknya, sering terjadi kesalahan penerbitan Faktur Pajak akibat pemberian nomor seri faktur pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kemungkinan kesalahan ini terjadi akibat kesalahan manusiawi dari pembuat Faktur Pajak. Penulis sering menerima pertanyaan mengenai kesalahan pemberian nomor seri faktur pajak ini. Misalkan terjadi penomoran yang tidak berurut atau ada nomor yang terlewatkan (nomor loncat), nomor urut yang semakin besar namun tanggal pada faktur malah tanggal terdahulu (kembali ke tanggal sebelum faktur pajak yang terakhir telah diterbitkan), pada tanggal 1 Januari lupa membuat nomor seri faktur pajak kembali ke nomor pertama (Nomor 00000001). Apabila terjadi hal-hal seperti ini, tentunya menyebabkan faktur pajak yang diterbitkan setelah kesalahan tersebut akan menjadi cacat. Lalu, bagaimanakah solusi yang dapat dilakukan atas Faktur Pajak yang cacat karena hal ini? Pertanyaan ini sangat sering diajukan oleh para Pengusaha Kena Pajak maupun para Pembaca Setia Tax Learning kepada penulis. Oleh sebab itu, maka pada artikel berikut ini penulis akan uraikan solusinya.

Untuk mengantisipasi dan memberikan panduan kepada PKP yang telah menerbitkan Faktur Pajak dengan kode dan nomor seri faktur pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-65/PJ/2010, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-151/PJ/2010. Dalam penegasannya disebutkan bahwa apabila PKP yang menerbitkan Faktur Pajak dengan nomor urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) PER-65/PJ/2010 dapat menerbitkan Faktur Pajak Pengganti, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Faktur Pajak yang salah pengisian nomor urutnya diganti dengan Faktur Pajak pengganti dengan mengisi nomor urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak dengan nomor urut yang sebenarnya.
  2. Kode Status pada Kode Faktur Pajak Pengganti adalah Kode Status 1 (satu).
  3. Tahun Penerbitan pada Nomor Seri Faktur Pajak Pengganti adalah tahun penerbitan Faktur Pajak yang diganti.
  4. Tanggal penerbitan Faktur Pajak Pengganti sama dengan tanggal penerbitan Faktur Pajak yang diganti.
  5. Pada Faktur Pajak Pengganti dibubuhkan cap yang mencantumkan Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti.
  6. Faktur Pajak Pengganti dan Faktur Pajak yang diganti agar diadministrasikan dan digabungkan menjadi 1 (satu) berkas.
  7. PKP harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti.

a. Kesalahan penomoran faktur pajak pada awal tahun tidak dimulai dari nomor “00000001”

Bagi PKP melakukan kesalahan penomoran faktur pajak dimana pada awal tahun (1 Januari) penomoran faktur pajak tidak kembali ke nomor awal, maka pembetulan yang harus dilakukan adalah seperti contoh berikut:
Pada tahun 2010 PT A telah menerbitkan Faktur Pajak sebanyak 48 Faktur dengan nomor Faktur Pajak terakhir adalah 010.000-10.00000048 tanggal 31 Desember 2010. Faktur Pajak yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2011 (atas transaksi pertama di tahun 2011) masih diberi nomor urut menyambung dari nomor urut faktur pajak yang telah diterbitkan di tahun 2010, yaitu dengan nomor Faktur Pajak 010.000-11.00000049 tanggal 1 Januari 2011. Faktur Pajak kedua juga salah diberi nomor urut, yaitu dengan Nomor Faktur Pajak 010.000-11.00000050 tanggal 28 Februari 2011. Kesalahan penomoran ini baru disadari oleh PKP pada saat akan menerbitkan Faktur Pajak yang ketiga pada tanggal 2 Maret 2011.

Maka atas kesalahan pemberian nomor urut Faktur Pajak yang pertama dan kedua di tahun 2011 tersebut, PKP harus melakukan penggantian Faktur Pajak dengan mekanisme sesuai yang telah diuraikan di atas, menjadi:
  1. Faktur Pajak Nomor 010.000-11.00000049 tanggal 1 Januari 2011 diganti menjadi Nomor 011.000-11.00000001 tanggal 1 Januari 2011
  2. Faktur Pajak Nomor 010.000-11.00000050 tanggal 28 Februari 2011 diganti menjadi Nomor 011.000-11.00000002 tanggal 28 Februari 2011.
Atas penggantian Faktur Pajak ini, PKP harus membetulkan SPT Masa PPN yang telah melaporkan kedua faktur pajak yang nomornya salah ini.

Sedangkan pada tanggal 2 Maret 2011, ketika PKP akan menerbitkan faktur pajak yang ketiga, maka Faktur Pajak yang ketiga ini harus diberi nomor urut yang benar, yaitu 010.000-11.00000003 tanggal 2 Maret 2011.

b. Kesalahan penomoran faktur pajak selama tahun pajak berjalan yang tidak urut (nomor loncat)

Bagi PKP melakukan kesalahan penomoran faktur pajak selama tahun pajak berjalan yang tidak urut (nomor terlewat atau loncat), maka pembetulan yang harus dilakukan adalah seperti contoh berikut:
Sejak 1 Januari 2011 sampai dengan 28 Februari 2011 PT B telah menerbitkan Faktur Pajak sebanyak 4 Faktur dengan nomor Faktur Pajak terakhir adalah 010.000-11.00000004 tanggal 28 Februari 2011. Ternyata pada saat menerbitkan Faktur Pajak yang kelima dan keenam PT B telah salah memberikan nomor Faktur Pajak yaitu dengan nomor Faktur Pajak 010.000-11.00000008 tanggal 3 Maret 2011 dan nomor Faktur Pajak 010.000-11.00000009 tanggal 20 April 2011 (nomor urut terloncat 3 nomor).
PT B baru menyadari kesalahan ini pada tanggal 8 Mei 2011 ketika akan membuat Faktur Pajak yang ketujuh.
Maka atas kesalahan pemberian nomor urut Faktur Pajak yang pertama dan kedua di tahun 2011 tersebut, PKP harus melakukan penggantian Faktur Pajak dengan mekanisme sesuai yang telah diuraikan di atas, menjadi:
  1. Faktur Pajak Nomor 010.000-11.00000008 tanggal 3 Maret 2011 diganti menjadi Nomor 011.000-11.00000005 tanggal 3 Maret 2011
  2. Faktur Pajak Nomor 010.000-11.00000009 tanggal 20 April 2011 diganti menjadi Nomor 011.000-11.00000006 tanggal 20 April 2011.
Atas penggantian Faktur Pajak ini, PKP harus membetulkan SPT Masa PPN yang telah melaporkan kedua faktur pajak yang nomornya salah ini.

Sedangkan pada tanggal 8 Mei 2011, ketika PKP akan menerbitkan faktur pajak yang ketujuh, maka Faktur Pajak yang ketujuh ini harus diberi nomor urut yang benar, yaitu 010.000-11.00000007 tanggal 8 Mei 2011.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Update: Penomoran Faktur Pajak Tidak Perlu Urut Lagi
Sejak 1 April 2012, ketentuan mengenai penomoran Faktur Pajak yang harus urut ini sudah dicabut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 (peraturan ini juga sudah diperbaharui dengan PER-08/PJ/2013 kemudian diubah lagi dengan PER-17/PJ/2014). Dengan demikian, sejak tanggal 1 April 2012, para Pengusaha Kena Pajak sebagai penerbit Faktur Pajak tidak perlu khawatir lagi mengenai penerbitan Faktur Pajak yang harus berurutan ini.

Artikel Terkait:
Prosedur Pelaporan Faktur Pajak Pengganti dan Faktur Pajak Batal