Sejak 1 Juli 2012, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali ditunjuk sebagai pemungut PPN. Penunjukan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012. Dahulu memang pernah ada ketentuan yang menunjuk BUMN sebagai pemungut PPN (yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.04/2000), namun sejak 1 Januari 2004 penunjukan BUMN (dan juga BUMD) sebagai pemungut PPN dicabut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003. Maka sejak saat itu, BUMN bukan lagi sebagai pemungut PPN.
Dengan ditunjuknya BUMN sebagai pemungut PPN maka setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh perusahaan sebagai Pengusaha Kena Pajak akan dipungut PPN-nya sebesar 10% dari jumlah penyerahan yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Padahal dalam kondisi normal, apabila Pengusaha Kena Pajak tidak bertransaksi dengan Pemungut PPN, maka PPN yang terutang atas penyerahan yang mereka lakukan ini terlebih dahulu dapat diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang diperoleh/dipungut oleh supplier selama suatu masa pajak. Atas selisih kekurangan bayar PPN baru akan disetorkan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. Namun dengan adanya mekanisme pemungutan PPN oleh pihak BUMN, akan mengakibatkan Pengusaha Kena Pajak yang bertransaksi dengan BUMN sebagai pemungut PPN ini harus membayarkan jumlah PPN yang terutang atas penyerahan yang mereka lakukan ini secara penuh tanpa dikurangkan dahulu dengan Pajak Masukannya. Akibatnya dalam SPT Masa PPN, apabila sebagian besar atau seluruh penyerahan dilakukan ke BUMN akan menyebabkan adanya kelebihan bayar PPN.
Apakah Badan Usaha Milik Daerah Juga Sebagai Pemungut PPN?
Jika kita cermati ketentuan Pasal 2 dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 maka dapat disimpulkan bahwa penunjukkan sebagai Pemungut PPN hanya diberikan kepada BUMN. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak termasuk pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Oleh sebab itu atas penyerahan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak kepada BUMD, pihak Pengusaha Kena Pajak tetap harus melakukan pemungutan PPN.
Restitusi PPN Lebih Bayar Untuk Setiap Masa Pajak
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 diatur bahwa Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian (restitusi) atas kelebihan PPN pada akhir tahun buku. Pengecualian dari ketentuan ini, dimana Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan restitusi pada setiap Masa Pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 salah satunya adalah untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN. Dengan adanya ketentuan ini akan memudahkan Pengusaha Kena Pajak untuk meminta restitusi setiap saat sehingga dapat membantu kondisi cash flow perusahaan.
Pengecualian Bagi BUMN Sebagai Pemungut PPN
Tidak semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pihak BUMN akan dipungut PPN oleh BUMN. Terdapat beberapa transaksi dengan BUMN yang tidak dipungut PPN oleh BUMN namun disetorkan sendiri oleh rekanan (PKP) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012, yaitu:
Pembuatan dan Penomoran Faktur Pajak
Rekanan (Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kepada BUMN) tetap wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada BUMN.
Dengan adanya penunjukan BUMN sebagai pemungut PPN akan berpengaruh terhadap tata cara pemberian nomor Faktur Pajak atas transaksi penyerahan kepada BUMN sebagai pemungut PPN ini. Berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak kepada BUMN dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis penyerahan, yaitu:
Atas penyerahan kepada BUMN yang PPN-nya tidak dipungut (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012), maka Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kepada BUMN tersebut harus membuat Faktur Pajak dengan kode 01, memungut dan menyetorkan PPN tersebut.
(c) syafrianto.blogspot.com
Dengan ditunjuknya BUMN sebagai pemungut PPN maka setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh perusahaan sebagai Pengusaha Kena Pajak akan dipungut PPN-nya sebesar 10% dari jumlah penyerahan yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Padahal dalam kondisi normal, apabila Pengusaha Kena Pajak tidak bertransaksi dengan Pemungut PPN, maka PPN yang terutang atas penyerahan yang mereka lakukan ini terlebih dahulu dapat diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang diperoleh/dipungut oleh supplier selama suatu masa pajak. Atas selisih kekurangan bayar PPN baru akan disetorkan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. Namun dengan adanya mekanisme pemungutan PPN oleh pihak BUMN, akan mengakibatkan Pengusaha Kena Pajak yang bertransaksi dengan BUMN sebagai pemungut PPN ini harus membayarkan jumlah PPN yang terutang atas penyerahan yang mereka lakukan ini secara penuh tanpa dikurangkan dahulu dengan Pajak Masukannya. Akibatnya dalam SPT Masa PPN, apabila sebagian besar atau seluruh penyerahan dilakukan ke BUMN akan menyebabkan adanya kelebihan bayar PPN.
Apakah Badan Usaha Milik Daerah Juga Sebagai Pemungut PPN?
Jika kita cermati ketentuan Pasal 2 dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 maka dapat disimpulkan bahwa penunjukkan sebagai Pemungut PPN hanya diberikan kepada BUMN. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak termasuk pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Oleh sebab itu atas penyerahan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak kepada BUMD, pihak Pengusaha Kena Pajak tetap harus melakukan pemungutan PPN.
Restitusi PPN Lebih Bayar Untuk Setiap Masa Pajak
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 diatur bahwa Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian (restitusi) atas kelebihan PPN pada akhir tahun buku. Pengecualian dari ketentuan ini, dimana Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan restitusi pada setiap Masa Pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 salah satunya adalah untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN. Dengan adanya ketentuan ini akan memudahkan Pengusaha Kena Pajak untuk meminta restitusi setiap saat sehingga dapat membantu kondisi cash flow perusahaan.
Pengecualian Bagi BUMN Sebagai Pemungut PPN
Tidak semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pihak BUMN akan dipungut PPN oleh BUMN. Terdapat beberapa transaksi dengan BUMN yang tidak dipungut PPN oleh BUMN namun disetorkan sendiri oleh rekanan (PKP) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012, yaitu:
- pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 10.000.000,00 termasuk PPN atau PPN dan PPnBM yang tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
- pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perpajakan mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan;
- pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
- pembayaran atas rekening telepon;
- pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
- pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perpajakan tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.
Pembuatan dan Penomoran Faktur Pajak
Rekanan (Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kepada BUMN) tetap wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada BUMN.
Dengan adanya penunjukan BUMN sebagai pemungut PPN akan berpengaruh terhadap tata cara pemberian nomor Faktur Pajak atas transaksi penyerahan kepada BUMN sebagai pemungut PPN ini. Berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak kepada BUMN dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis penyerahan, yaitu:
- Penyerahan kepada BUMN yang PPN-nya harus dipungut oleh BUMN.
- Penyerahan kepada BUMN yang PPN-nya tidak dipungut oleh BUMN namun disetorkan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Atas penyerahan kepada BUMN yang PPN-nya tidak dipungut (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012), maka Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kepada BUMN tersebut harus membuat Faktur Pajak dengan kode 01, memungut dan menyetorkan PPN tersebut.
(c) syafrianto.blogspot.com
0 Comments
Posting Komentar