..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Tax Consultation. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tax Consultation. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Januari 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Bagaimana cara pelaporan SPT dari Luar Negeri?

Tanya:
Saya menikah dengan WNA, yang sebelumnya saya melakukan perjanjian pranikah pisah harta. Dan saya belum punya NPWP, karena saya sudah tidak bekerja lagi, dan berencana pindah keluar negeri untuk 10 tahun saja.disini saya mempunyai aset yang tidak bergerak,yang saya dapatkan sebelum menikah, apa perlu saya mempunyai NPWP pak, mengingat saya sudah tidak bekerja lagi,tidak punya penghasilan,selama ini saya dapat suport dari suami saja untuk biaya-biaya.
Misal saya punya NPWP, sedang saya tinggal di luar negeri, bagaimana pelaporanya? Sekian atas perhatiannya terima kasih.

Jawab:

Jika Ibu telah melakukan perjanjian pisah harta, maka Ibu memiliki kewajiban pajak sendiri. Tentunya kewajiban Ibu untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP jika Ibu telah memenuhi kewajiban perpajakan secara Subjektif dan kewajiban perpajakan secara objektif.
Jika saat ini Ibu belum memiliki penghasilan, berarti belum memenuhi kewajiban pajak secara objektif.

Seandainya Ibu telah memiliki kewajiban pajak di Indonesia dan telah memiliki NPWP, maka Ibu dapat melaporkan SPT melalui pos yang dikirimkan dari Luar Negeri. Namun sebagai catatan, tanggal yang dianggap sebagai tanggal terima adalah tanggal ketika surat (yang diposkan) tersebut diterima oleh kantor pajak tempat Ibu terdaftar (di Indonesia). Karena pengiriman melalui pos yang diakui oleh DJP adalah pengiriman yang dikirimkan ke Kantor Pos dan Giro Indonesia. Jadi pastikan bahwa kiriman ibu melalui pos di Luar negeri tersebut benar-benar diterima Kantor Pajak sebelum batas akhir pengiriman SPT, untuk menghindari sanksi perpajakan yang timbul.


Sabtu, 27 Desember 2008

Penghitungan Pajak Penghasilan atas Orang Pribadi Agen Asuransi

Tanya:
Bagaimanakah cara penghitungan pajak bagi seorang agen asuransi? Apakah agen asuransi (orang pribadi) dapat menghitung PPh Terutang untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya dengan menggunakan metode pencatatan dan menerapkan norma penghitungan penghasilan neto dalam menghitung besarnya penghasilan neto dari penghasilannya?

Jawab:
Penghasilan yang diterima oleh seorang Wajib Pajak dapat dibagi menjadi:
1. Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan
2. Penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas
3. Penghasilan dari modal
4. Penghasilan lainnya

Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

Dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan bahwa Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-15/PJ/2006 disebutkan bahwa Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e disebutkan bahwa Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 antara lain adalah honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri petugas dinas luar asuransi.

Pasal 2 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-536/PJ./2000 ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.

Saat ini ada ketentuan bahwa seorang agen asuransi orang pribadi hanya boleh menawarkan asuransi dari 1 (satu) perusahaan asuransi. Oleh sebab itu, maka agen asuransi ini bersifat lebih terikat dengan 1 (satu) perusahaan asuransi dan ia tidak dapat menjadi agen bebas yang dapat dengan leluasa menawarkan beberapa merk asuransi.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas, dengan ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Agen Asuransi orang pribadi berdasarkan definisi dari ketentuan pajak didefinisikan sebagai Petugas Dinas Luar Asuransi yang bekerja pada perusahaan asuransi (sebagai pemberi kerja) dan menerima penghasilan dari perusahaan asuransi tersebut dalam bentuk komisi, pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Atas penghasilan yang diterima oleh petugas dinas luar asuransi ini, harus dipotong PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja (perusahaan asuransi).
2. Agen asuransi orang pribadi yang mendapatkan penghasilan dari perusahaan asuransi ini adalah termasuk dalam kategori Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja dan memperoleh penghasilan dari pemberi kerja.
3. Wajib Pajak orang pribadi yang diperkenankan untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Wajib Pajak yang diwajibkan untuk melakukan pencatatan) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
4. Dengan demikian maka, Agen Asuransi orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari perusahaan asuransi (berupa honor, komisi, atau penghasilan sehubungan dengan imbalan atau pekerjaan) adalah merupakan orang pribadi yang bekerja dan memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan. Orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak diperkenankan untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
5. Untuk pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi si Agen Asuransi, dalam menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diperoleh oleh Agen Asuransi orang pribadi ini (sebagaimana yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang diberikan oleh pemberi kerja), setelah dikurangi dengan PTKP langsung dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17.

Catatan: ketentuan dan ulasan di atas saat ini telah digugurkan dengan dikeluarkannya ketentuan baru bagi Agen Asuransi untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, baca artikelnya di sini.

Artikel Terkait:
Penegasan Penghitungan PPh Agen Asuransi Menggunakan Norma

Senin, 22 Desember 2008

Konsultasi Pajak Gratis: NPWP Terdaftar Dua Kali

Mohon bantuan Bp Anto
Suami saya th 1995 pengusaha yg sudah punya NPWP sebagai wpop dengan format lama No x.xxx.xxx.x-xxx dan pada th 2001 kami pindah alamat rumah dan sejak th 2001 pph tidak pernah dilaporkan mengalami kemunduran ekonomi dan sekarang suami saya bekerja sebagai karyawan swasta dan berkenaan dengan sunset policy, th 2008 daftar lagi baru dan punya npwp baru dengan format baru xx.xxx.xxx.x-xxx.xxx yang mau saya tanyakan:
  1. apa tidak menjadi masalah dikemudian hari, mengigat wp hanya memiliki satu no NPWP?
  2. apakah no npwp lama tidak terdeteksi di komputer ketika mendaftar baru? Tidak terdeteksi apa karena formatnya berbeda dgn no NPWP lama?
  3. langkah apa selanjutnya yang harus kami lakukan ?
Terima kasih atas bantuannya.
December 13, 2008 2:38 PM
NN

Jawab:

Memang benar, setiap Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri, hanya memiliki 1 NPWP. Ketika pada tahun 2008, suami Anda mendaftarkan kembali NPWP maka suami Anda ini telah memiliki NPWP ganda. Seharusnya jika seorang WP yang telah mendapatkan NPWP, kemudian berpindah alamat, maka WP ini seharusnya memberitahukan kepada KPP lama tempat sebelumnya terdaftar, dengan cara mengisi formulir pemutakhiran data atau pindah alamat, dan jika KPP-nya harus berubah (karena wilayah kerjanya berbeda), maka pihak KPP lama akan menerbitkan surat pindah serta memindahkan NPWP suami Anda ke KPP yang membawahi wilayah tempat Anda tinggal sekarang. NPWP suami Anda nomornya akan tetap sama, hanya kode KPP (yaitu digit kesepuluh s.d. digit kedua belas) yang akan berubah sesuai dengan kode KPP yang baru.
Seharusnya di kemudian hari status NPWP suami Anda yang ganda ini akan terdeteksi oleh pihak KPP. Pada awalnya pihak KPP yang menerima pendaftaran NPWP yang kedua ini seharusnya dapat mendeteksi suami Anda yang telah memiliki NPWP, jika data identitas yang digunakan tidak berubah dengan data identitas yang digunakan untuk mendaftarkan NPWP tahun 1995. Namun saya menduga, tentunya data identitas yang digunakan itu berbeda (karena sudah pindah alamat sehingga akan diterbitkan KTP dengan nomor yang berbeda (karena sistem kependudukan di Indonesia yang masih belum terintegrasi).
Sesuai ketentuan seharusnya suami Anda tetap menggunakan NPWP lama. Suami Anda harus ke KPP lama untuk meminta agar NPWP lama ini dipindahkan ke KPP yang wilayah kerjanya membawahi tempat Anda tinggal sekarang. Setelah NPWP lama sudah dipindahkan ke KPP tempat Anda tinggal sekarang, maka NPWP yang baru terdaftar tahun 2008 diminta untuk dicabut.
Untuk lebih jelasnya Anda dapat menghubungi KPP tempat kedua NPWP tersebut terdaftar untuk menanyakan proses lebih lanjutnya (menghubungi kontak person yang dikenal sebagai Account Representative, dengan menyebutkan NPWP suami Anda).


Sabtu, 20 Desember 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Perolehan Aktiva dengan Sumber Dana dari Penghasilan di Luar Negeri

Kepada para pembaca yang budiman dan setia mengikuti perkembangan situs ini, penulis meminta maaf karena kesibukan kerja dan banyaknya hal yang menyebabkan penulis tidak dapat mengelola situs ini dalam beberapa waktu lalu. Hingga saat ini cukup banyak pertanyaan yang diterima oleh penulis namun tidak dapat dijawab. Tentu para pembaca menjadi sangat kecewa. Berikut ini penulis coba luangkan waktu sejenak untuk berada di depan komputer dan membiarkan kesepuluh jari untuk menari di atas keyboard untuk menghasilkan beberapa karakter huruf dalam menjawab pertanyaan dari para pembaca.
Salah satu pertanyaan yang masuk adalah sebagai berikut:

Tanya:
Hallo Pak Anto,

Mau tanya tentang kasus di bawah ini:
Seorang WNI yang bekerja dan membayar pajaknya di luar negeri selama bertahun-tahun (tidak mempunyai NPWP selama di luar negeri) pulang dan menetap di Indonesia. Lalu ia memperoleh pekerjaan di Indonesia dan memiliki NPWP. Dengan hasil tabungannya selama di luar negeri dia membeli aset baru (rumah, mobil) tepat sesudah dia pulang. Bagaimana laporan SPT-nya yang pertama? Tentunya dia cuma bisa melaporkan pajak yang diperoleh dari penghasilannya di Indonesia, namun penghasilan itu tidak memadai untuk membeli aset baru tersebut.
December 5, 2008 10:02 AM
NN

Jawab:

Seperti penjelasan sebelumnya mengenai kewajiban pajak seorang WNI yang berada dan memperoleh penghasilan dari Luar Negeri dalam kurun waktu tertentu dan tidak memiliki NPWP, maka untuk kasus di atas, WNI ini yang tidak memiliki NPWP serta menetap dan menerima penghasilan di Luar Negeri selama bertahun-tahun (diasumsikan telah melewati batas waktu time test di negara yang bersangkutan) sehingga si WNI ini tentunya akan menjadi Subjek Pajak Negara tempat ia tinggal sementara tersebut dan memperoleh penghasilan. Otomatis, ia akan dikenakan pajak di negara tempatnya tinggal dan sumber penghasilannya tersebut. WNI ini tidak perlu membayar/melaporkan pajaknya di Indonesia. Seharusnya WNI ini meminta bukti pemotongan pajak yang dilakukan oleh pemberi penghasilan kepadanya di Luar Negeri.
Ketika ia kembali ke Indonesia dan menerima penghasilan di Indonesia (melebihi PTKP) maka ia harus segera mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Serta memenuhi segala kewajiban perpajakan di Indonesia mulai ia terdaftar sebagai Wajib Pajak (memiliki NPWP).
Maka ketika orang ini akan melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya, maka seluruh harta yang dimilikinya, termasuk yang telah diperoleh dari Luar Negeri, haruslah ia cantumkan dalam SPT Tahunannya tersebut. Tentunya bukti penerimaan penghasilan dari Luar Negeri dan Bukti Pemotongan Pajak yang telah dilakukan terhadapnya di luar harus disimpan, karena sewaktu-waktu jika dilakukan pemeriksaan pajak terhadapnya, maka akan dapat ditunjukkan kepada pemeriksa.
Maka jika ia membeli harta yang berasal dari penghasilan di luar negeri maka ia cukup melaporkan harta yang dibelinya tersebut dalam daftar harta di SPT Tahunannya. Atas pembelian harta ini, ia tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan, karena tidak ada pertambahan kemampuan ekonomis yang terjadi (karena hanya muatsi/transfer dari kas ke aktiva saja).

Jumat, 28 November 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Batasan Pengusaha Kena Pajak

Pak Anto mohon penjelasan, berapa batasan peredaran bruto untuk harus menjadi PKP, soalnya saya tanya KPP di tempat domisili saya, ada yang menjawab Rp.1.800.juta ada yang menjawab Rp.600 juta. Tolong P Anto saya diberikan, penjelasan dan dasar hukumnya.Terima kasih Pak.

Wass
duduth harsono.

Yth Saudara Duduth Harsono,

Batasan Pengusaha Kecil PPN diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 571/KMK.03/2003 tanggal 29 Desember 2003, dimana ditegaskan bahwa pengusaha kecil adalah pengusaha dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto di bawah Rp 600 juta setahun. Pengusaha kecil ini tidak diharuskan untuk menjadi PKP namun boleh memilih untuk menjadi PKP.

Sedangkan yang mengatakan bahwa batasan peredaran usaha yang sebesar Rp 1.800.000.000 itu adalah batasan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh memilih untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung besarnya Pajak Terutangnya. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007.

Jadi yang benar, batasan bagi pengusaha yang sudah wajib untuk PKP adalah pengusaha dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto yang melebihi Rp 600 juta setahun.

Catatan Tambahan (30 Oktober 2015):
Sejak 1 Januari 2014, batasan peredaran usaha bagi seorang Wajib Pajak yang harus mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah sebesar Rp 4,8 miliar setahun. Aturan dan artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.

Senin, 10 November 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Pelaporan Harta dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

Tanya:
Bang Syafri :
Blog ini sangat baik sekali dan sangat terupdate. O ya, terkait Sunset Policy, saya sedang mengerjakan pembetulan SPT Tahunan pribadi saya:
1) Apakah benar pertambahan harta (misalnya di tahun 2003 sebesar Rp 1 milyar di banding tahun 2002) tidak perlu diikuti pembayaran PPh kurang bayar sebesar tarif pasal 17 atas jumlah kenaikan harta Rp 1 milyar ini?
2) Saya punya harta yang diperoleh tahun 1999 yang belum dilaporkan sebelumnya. Apakah SPT Tahunan perlu dibetulkan mulai tahun 1999, atau cukup dibetulkan/diisi di SPT Tahunan tahun 2007 terakhir saja?
Yu Xun

Jawab:
Mohon maaf, pertanyaan Anda baru sempat dijawab.
Pertanyaan ini memang menjadi topik yang paling sering ditanyakan. Apakah dengan adanya penambahan harta yang kita cantumkan dalam daftar harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi otomatis akan terutang pajak atau menyebabkan adanya PPh yang kurang bayar?
Perlu diketahui bahwa PPh adalah pajak yang dikenakan atas adanya pertambahan penghasilan (diistilahkan dalam UU PPh sebagai pertambahan kemampuan ekonomis) yang diperoleh oleh Wajib Pajak. PPh tidaklah dikenakan terhadap pembelian harta (pertambahan harta karena pembelian), melainkan dikenakan terhadap sumber dana untuk memperoleh (membeli) harta tersebut. Seandainya sumber dana tersebut telah dilaporkan dan disetorkan pajak terutangnya pada saat sumber dana tersebut diperoleh (perolehan penghasilan), maka pada saat pembelian harta, sudah tidak ada lagi pertambahan penghasilan yang akan dikenakan pajak.
Dalam ilmu ekonomi, kita mengenal rumus:
Y = C + S + I
Dimana, Y = Penghasilan; C = Consumption (konsumsi); S = Saving (tabungan) dan I = Investasi.
Dalam dunia pajak, yang dimaksud dengan pertambahan kemampuan ekonomis yang menjadi objek pajak adalah Penghasilan (Y). Jadi untuk melihat berapa besarnya penghasilan yang diperoleh seorang Wajib Pajak, biasanya pihak fiskus akan menggunakan rumus ekonomi: Y=C+S+I ini untuk menguji kebenaran tentang jumlah penghasilan yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak. Sehingga jika ternyata ada pertambahan Konsumsi (C) atau pertambahan Tabungan (S) maupun pertambahan Investasi (I) yang tidak sebanding dengan jumlah Penghasilan (Y) yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak, maka Wajib Pajak akan diminta pertanggungjawabannya.
Kembali ke permasalahan Anda, jika memang pembelian harta ini adalah berasal dari penghasilan yang telah dilaporkan pada tahun-tahun sebelumnya, maka Anda cukup membetulkan SPT Tahunan PPh Anda untuk tahun diperolehnya harta tersebut (dan efeknya ke tahun berikutnya) tanpa perlu membetulkan dan menyetor pajak terutangnya. Namun apabila Penghasilan yang digunakan untuk mendapatkan harta tersebut, berasal dari penghasilan yang belum dilaporkan/dikenakan pajak, maka Anda perlu membetulkan SPT Tahunan PPh Anda pada tahun diperolehnya penghasilan tersebut serta membayar pajak yang masih kurang bayar.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka untuk harta yang diperoleh pada tahun 1999 seharusnya telah dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Anda tahun 1999 (jika Anda telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan memiliki NPWP serta memiliki NPWP pada tahun 1999).


Artikel Terkait:
- Perubahan Cara Mengisi Daftar Harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2014
- Analisis Terhadap Kewajaran Pelaporan Pajak Orang Pribadi

Rabu, 05 November 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Kewajiban NPWP bagi WNI yang bekerja di Luar Negeri

Selamat Sore Mas Anto,
Banyak sudah saya menimba informasi yg sangat berharga dari blog Mas di internet.
Saat ini saya memerlukan bantuan Mas untuk memecahkan permasalahan berikut.


Ini kasus saya:

Selepas kuliah, 1999 awal saya bekerja di BUMN di Jakarta, bertahan hanya 2 tahun, kemudian tahun 2001 saya bergabung dengan Perusahaan Swasta Nasional di Jakarta, dan hanya bertahan sampai 2003 akhir. Nah, selama waktu ini (1999-2003) saya tidak tahu menahu ttg NPWP, karena setahu saya, perusahaanlah yg mengurus itu semua.

Awal 2004, saya bergabung dengan perusahaan asing, dan ditempatkan di Timur Tengah. Saya ajak istri dan anak untuk tinggal di Negri itu. Saya sekeluarga masih tetap memegang passport Indonesia, dan pulang sesekali ke INdonesia (waktu liburan anak) selama kurang lebih 1 sampai maksimum total 2 bulan dalam periode satu tahun.

Sampai saat ini masih bekerja dengan perusahaan tsb. Dan mulai awal 2004 sampai sekarang pula saya tidak tahu menahu ttg NPWP, sampai akhirnya saya mendengar ttg adanya Peraturan Pemerintah yg mengatur keharusan memiliki NPWP paling lambat Desember 2008 bagi Karwayan.
Setelah membaca blog Mas Anto, sedikit banyak saya mulai mengerti ttg perpajakan ini, tapi tetap tidak tahu bagaimana menjawab kasus saya sendiri.


Nah, mohon bantuannya Mas.

Untuk tambahan informasi:

- Setiap bulan di perushaan tmpat saya bekerja, sbagai aturan internalnya, karyawan dikenai potongan penghasilan kurang lebih 18-19%, dan ini tertera di slip gaji tiap bulannnya.

- Saya tidak tahu apakah di negri tempat saya bekerja tsb, pemerintahnya menerapkan system pajak thdp pekerja asing di ngerinya. Yg saya tahu bahwa di slip gaji saya selama ini tidak ada informasi bahwa negeri timur tengah itu mengenakan pajak thdp saya, yg ada hanyalah potongan 18-19% yg berasal dari perusahaan saya itu tiap bulannya.

- Nah, saat ini itulah sumber penghasilan kami (murni sbagai karywan perushaan tsb). Penghasilan lain, alhamdulillah sewaktu2x (tidak continue) kami menyewakan rumah tinggal kami di Indonesia (selama kita tinggal di luar negeri), tapi sewaktu2x juga kami pakai sendiri kalo kontrak sewanya selesai.

- Saat ini, kasus yg sama dimiliki oleh lebih dari kurang lebih 100 kepala keluarga Warga Negara Indonesia yg tinggal di kota yg sama dengan saya (walaupun tidak semua bekerja di perusahaan yg sama), mereka juga punya pertanyaan yg sama.


Nah, mohon sekali penjelasannya Mas ttg NPWP ini:

- apa NPWP perlu saya buat? (saya belum punya NPWP)

- Jika sudah buat NPWP, apakah penghasilan dari tahun 1999 - 2003 perlu dilaporkan, atau 2004 s/d sekrang saja yg perlu lapor?

- Apakah keuntungan "Sunset Policy" jika diterapkan ke kasus saya ini?

- Ada rekan yg bilang, bahwa saya harus baca P3B antara indonesia dengan negara timur tengah itu, untuk menentukan besarnya pajak harus dibayar, dimana saya bisa dapt P3B itu? dan apa gunanya?


Untung membagi informasi yg sangat berguna ini dan dapat menjadikannya bermanfaat membantu rekan2x lain dgn kasus yg sama, silahkan diposting penjelasan Mas di blog saja.


Terima kasih sebelumnya,

Wassalam,
Susandy
di Qatar

Jawab:

Melihat kasus yang dialami oleh Pak Susandy dan rekan-rekan yang bekerja di Qatar, perlu kita ketahui dahulu bagaimana perlakuan perpajakan yang diterapkan di negara yang bersangkutan. Dan bagaimana pula perlakuan pemotongan pajak yang dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja atas penghasilan yang diterima oleh Pak Susandy. Pak Susandy dapat menanyakan secara langsung kepada pihak perusahaan dan meminta rincian atas potongan yang telah dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja (karena ini merupakan bukti penerimaan penghasilan yang kelak akan menjadi dokumen pendukung dalam melaksanakan kewajiban perpajakan di Indonesia). Selain itu, jika ternyata perusahaan pemberi kerja telah memotong pajak sesuai dengan ketentuan di Qatar, maka bukti potongan pajak tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang atas pajak yang terutang di Indonesia atas seluruh penghasilan.

Saat ini status Pak Susandy di Qatar adalah sebagai expatriate (pekerja asing di negara tersebut). Dan dalam periode rutin masih pulang ke Indonesia. Oleh sebab itu, pada hakekatnya Pak Susandy masih memiliki permanent home di Indonesia. Di samping itu, status kewarganeraan dari Pak Susandy adalah juga masih sebagai WNI, sehingga tidak ada niat untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Sehingga terpenuhi unsur sebagai Subjek Pajak di Indonesia. Pada saat ini, juga memiliki rumah di Indonesia yang dalam jangka waktu tertentu disewakan, sehingga mendapatkan penghasilan dari sewa rumah tersebut. Pada kondisi ini, unsur kewajiban pajak objektif juga sudah terpenuhi. Oleh sebab itu, maka Pak Susandy telah wajib untuk memiliki NPWP.

Apa keuntungan dari Pak Susandy mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP?

Karena mulai 1 Januari 2009 nanti akan diterapkan pemotongan PPh atas Wajib Pajak yang belum memiliki NPWP untuk dikenakan tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang telah memiliki NPWP, maka sebaiknya Pak Susandy segera mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, supaya atas penghasilan yang diterima di Indonesia akan dikenakan tarif pajak normal.

Apakah Penghasilan dari sewa rumah juga akan dikenakan pemotongan pajak yang lebih tinggi jika tidak memiliki NPWP?

Penghasilan dari sewa tanah dan bangunan merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final. Jika kita lihat dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, memang tidak ada ayat yang menegaskan bahwa bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan pemotongan PPh dengan tarif yang lebih tinggi seperti yang diterapkan untuk PPh Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23. Namun jika kita cermati Pasal 4 ayat (2) tersebut. Pada Pasal 4 ayat (2) ini disebutkan bahwa ketentuan tentang pajak yang diatur dalam Pasal ini (termasuk tarifnya) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (sampai saat ini masih belum terbit), sehingga kemungkinan besar pengenaan tarif PPh-nya juga akan dibedakan antara yang memiliki NPWP dengan yang tidak memiliki NPWP.

Seandainya jika memang penghasilan yang Pak Susandy peroleh dari tahun 1999 s.d. sekarang terutang pajak dan belum dilaporkan, maka seharusnya dilaporkan (mengingat daluarsa penagihan pajak adalah 10 tahun).

Dari tanggal 1 Januari s.d. 31 Desember 2008, diberikan fasilitas kepada para Wajib Pajak yang dikenal dengan istilah Sunset Policy. Fasilitas ini diberikan dengan maksud agar para Wajib Pajak yang selama ini melalaikan kewajiban perpajakannya untuk dapat membenahi kelalaian mereka dengan melaporkan seluruh penghasilan yang seharusnya dilaporkan serta pajak yang seharusnya dibayarkan. Fasilitas yang diberikan adalah dengan menghapuskan seluruh sanksi administrasi berupa bunga yang seharusnya dikenakan terhadap Wajib Pajak yang lalai tersebut serta fasilitas tidak akan diperiksa pajaknya (sepanjang tidak ada data yang masih disembunyikan). Jadi keuntungan dari memanfaatkan fasilitas sunset policy ini adalah:

- Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan setor pajak yang kurang bayar; dan

- jaminan tidak diperiksa, sepanjang tidak ada data yang masih disembunyikan, yang ditemukan kemudian.

Pada saat ini antara Indonesia dengan Qatar, belum ada perjanjian penghindaran pajak berganda

Kamis, 23 Oktober 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Aspek Pajak dari Pembubaran Perusahaan

Tanya:
Bp. Syafrianto, saya mau tanya2 :
1. perusahaan berdiri desember 2007 dan akan di tutup bulan november 2008. selama kurun waktu tersebut blm ada pendapatan yg dihasilkan. selama ini perusahaan hanya melaporkan pph 21 saja. perusahaan belum pkp.
pertanyaannya:
- laporan pajak apa saja yg harus dilaporkan?
- untuk penutupan npwp, syarat yg diperlukan apa saja & prosedurnya bagaimana?
- apabila perusahaan dalam setiap transaksinya tidak menggunakan rek bank (selalu Cash), apakah bisa saldo kas yg tersisa dalam laporan keuangan yg akan diperiksa nantinya, uangnya dalam bentuk tunai.
- kemudian, bukti modal awal yg disetor apakah bisa berupa kwitansi bermaterai saja?


2. perusahaan baru berdiri agustus 2008, belum pkp.
pertanyaannya:
- laporan pajak apa saja yang hrs dilaporkan?
- apabila perusahaan akan membuat tagihan ke vendor, apakah bisa ditambah PPN?
- apabila perusahaan ditagih oleh suplier, apakah bisa ditambah ppn?

sekian pertanyaan saya, mohon bantuan penjelasannya. terima kasih banyak.
October 22, 2008 10:12 AM
Savira

Jawab:
1. Kewajiban perpajakan telah dimulai sejak perusahaan (badan usaha) terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mendapatkan NPWP. Pada saat pendaftaran NPWP tersebut, Wajib Pajak akan diberikan sebuah kartu NPWP (berukuran sebesar kartu kredit/kartu ATM) dan selembar Surat Keterangan Terdaftar (SKT; yang berukuran kertas A4). Dalam SKT tersebut dapat diketahui kewajiban perpajakan apa saja yang harus dipenuhi sebagai Wajib Pajak.
- Jadi dari sana dapat diketahui laporan pajak apa saja yang harus disampaikan ke kantor pajak.
- Untuk pencabutan NPWP, persyaratannya antara lain: mengisi formulir pencabutan NPWP (formnya sama dengan waktu pendaftaran), dengan melampirkan Asli Kartu NPWP, Asli SKT, Fotokopi Akta Pembubaran Perusahaan, Fotokopi KTP salah satu pengurus perusahaan, serta dokumen-dokumen lainnya yang terkait (ini tergantung dari kasus).
- (pertanyaan ini tidak ada kaitannya dengan pajak): Perusahaan yang tidak menggunakan transaksi melalui rekening bank, namun tetap saja nanti hasil penerimaan uangnya akan disetor ke bank kan? Apalagi jika jumlah uangnya cukup besar, sepertinya tidak mungkin untuk jaman sekarang ini uang masih disimpan dalam bentuk tunai (kecuali jika hanya petty cash saja).
- (pertanyaan ini tidak ada kaitannya dengan pajak): Bukti setoran modal awal perusahaan harus dapat dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah (sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Jadi pembuktian sah atau tidaknya harus dikembalikan kepada ketentuan legalitas yang berlaku di Indonesia. Dari sisi pajak, saya tidak menjelaskan permasalahan ini.
Modal dasar Perseroan berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2007 tersebut disebutkan bahwa paling sedikit adalah Rp 50 juta. Jadi tampaknya secara logika adalah tidak mungkin uang sebanyak itu tidak disetorkan melalui rekening bank.
2. Untuk kasus perusahaan yang baru berdiri Agustus 2008:
- Untuk mengetahui kewajiban pelaporan pajak, seperti pada jawaban nomor 1, kembali lihat ke SKT-nya.
- Karena perusahaan ini belum PKP (artinya belum memiliki kewajiban untuk memungut PPN), maka semua tagihan ke vendor tidak boleh dibuatkan Faktur Pajak dan tidak boleh memungut PPN-nya (lihat ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000).
Berbeda dengan pembelian yang dilakukan oleh perusahaan dari para supplier. Jika suppliernya tersebut sudah PKP, maka perusahaan Anda akan dipungut PPN oleh para supplier walaupun perusahaan Anda belum PKP.

Rabu, 22 Oktober 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Perlukah Karyawan Kedutaan Asing Memiliki NPWP ?

Tanya:

Dengan hormat,

Saya, WNI, karyawati (single parent) dari sebuah kedutaan besar di Jakarta.

Menurut Bapak, apakah saya perlu membuat NPWP, mengingat saya bekerja bukan untuk pemerintah Indonesia dan menerima gaji dari pemerintah tersebut. Dengan demikian saya memasukkan devisa bagi negara tercinta kita ini.

Seperti yang tercantum di salah satu pasal (?) bagi WNI yang bekerja di luar Indonesia selama lebih dari 182 hari tidak dikenakan pajak, dapat dikatakan bahwa kedutaan asing bukanlah teritori wilayah Indonesia dan saya berasumsi bahwa semua WNI yang bekerja di kedutaan-kedutaan sama saja bekerja di wilayah asing.

Bagaimana dengan kolega-kolega saya yang bekerja di kedutaan lainnya tetapi menerima gaji berbentuk rupiah ?

Terima kasih atas nasehat Bapak sebagai konsultan, mudah-mudahan jawaban Bapak dapat meringankan beban pikiran saya, sebelum sunset policy berakhir.

Hormat saya,

Arie S.


Jawab:

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Seseorang dikatakan telah memenuhi kewajiban pajak subjektif apabila ia telah memenuhi ketentuan perpajakan. Orang ini akan dikatakan sebagai Subjek Pajak. Dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) Subjek Pajak dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.

Yang termasuk Subjek Pajak Dalam Negeri, tentulah sudah kita ketahui yaitu seseorang yang dilahirkan di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan (bisa berturut-turut atau tidak berturut-turut).

Yang termasuk Subjek Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesai tidak lebih dari 183 hari dalam hangka waktu 12 (dua belas) bulan yang menjalankan usaha atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Dengan demikian, karena Ibu Arie adalah Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, maka sudah termasuk sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri.

Kewajiban Pajak Objektif akan terpenuhi jika seseorang Subjek Pajak telah menerima penghasilan yang jumlahnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan yang diterimanya ini dapat berupa penghasilan yang diterima di Indonesia maupun penghasilan yang diterima di Luar Negeri, karena Pajak Penghasilan menganut prinsip world wide income.

Karena Ibu telah memperoleh penghasilan dari Kedutaan Besar Asing di Jakarta (yang dapat kita katakan sebagai penghasilan dari Luar Negeri) maka Ibu telah memenuhi kewajiban pajak objektif.

Kedutaan Besar Asing (kedubes) di Indonesia adalah bukan merupakan Subjek Pajak, demikian pula para pejabat diplomatik asing pada kedutaan besar tersebut, sehingga mereka dibebaskan dari kewajiban perpajakan termasuk juga memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji kepada para karyawan kedubes-nya. Para Pejabat diplomatik asing ini juga dibebaskan dari kewajiban perpajakan mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) UU PPh. Namun demikian, dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU PPh ditegaskan bahwa "pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut (pejabat diplomatik asing-red) tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya (jabatan sebagai pejabat diplomatik asing-red) atau mereka adalah Warga Negera Indonesia.

Dengan demikian, Ibu Arie memiliki kewajiban sebagai Wajib Pajak dan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, karena penghasilan yang Ibu terima dari kedubes tidak dipotong pajak (baik pajak menurut ketentuan di Indonesia, maupun pajak menurut ketentuan negara asal kedubes tersebut). Setelah itu, Ibu harus menghitung sendiri pajak yang terutang atas penghasilan yang Ibu terima tersebut serta menyetorkan dan melaporkan SPT Ibu.


Informasi terkait:

- Wajibkah Saya Memiliki NPWP ?

- SYARAT-SYARAT PENDAFTARAN NPWP
- Apa Yang Harus Saya Lakukan Setelah Memiliki NPWP?

-Konsultasi Pajak Gratis: Maksud Pengenaan PPh Pasal 21 Lebih Tinggi 20% Dalam UU PPh Baru


Rabu, 08 Oktober 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Maksud Pengenaan PPh Pasal 21 Lebih Tinggi 20% Dalam UU PPh Baru

Tanya:
Pak, pada RUU PPh tersebut pada Pasal 21 ayat 5 a yang menyebutkan :
"Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap WajibPajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluhpersen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkanNomor Pokok Wajib Pajak."

Tarif yang akan diterapkan sebesar 25 % atau 6 % ( 5% + ( 5% x 20% ))?
Bingung saya Pak.
Terima kasih

Jawab:
Sebenarnya penjelasan lebih rinci cara perhitungan PPh Pasal 21 menurut ayat (5a) dapat dibaca pada bagian penjelasan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh yang baru tersebut (dapat Anda baca di sini: http://syafrianto.blogspot.com/2008/08/pokok-pokok-perubahan-undang-undang-pph.html).
Maksud dari bunyi ayat tersebut: "diterapkan terhadap yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20% daripada tarif normal" adalah bahwa jika karyawan yang tidak memiliki NPWP maka akan dikenakan pajak dengan tarif 20% (ini bukanlah nilai tarif PPh-nya) lebih tinggi dari tarif seharusnya (kita asumsikan tarif seharusnya nilai persentasenya adalah 100%). Maka pengenaan PPh Pasal 21 untuk yang tidak memiliki NPWP menjadi 120% dari PPh Pasal 21 yang dipotong terhadap karyawan yang memiliki NPWP.
Jadi rumus matematika untuk Besarnya PPh bagi yang tidak punya NPWP adalah:
= Besarnya PPh umum + Tambahan 20% dari PPh umum
= (n % x Penghasilan Kena Pajak) + (20% x (n % x Penghasilan Kena Pajak)
= 120% x n % x Penghasilan Kena Pajak
Sehingga jika karyawan yang seharusnya dikenakan tarif pajak untuk lapisan pertama yaitu 5 %, maka bagi karyawan yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan PPh Pasal 21 menjadi sebesar:
= 120 % x 5 % x Penghasilan Kena Pajak
= 6 % x Penghasilan Kena Pajak

Contoh perhitungannya:
Penghasilan Kena Pajak Rp 75.000.000,00

Pajak Pengahsilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:

5% x Rp 50.000.000,00

Rp 2.500.000,00

15% x Rp 25.000.000,00

Rp 3.750.000,00

Jumlah

Rp 6.250.000,00

PPh yang harus dipotong jika Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP adalah:

5% x 120% x Rp 50.000.000,00

Rp 3.000.000,00

15% x 120% x Rp 25.000.000,00

Rp 4.500.000,00

Jumlah

Rp 7.500.000,00



Konsultasi Pajak Gratis: Omzet menurut SPT PPN berbeda dengan menurut SPT PPh Badan

Tanya:
Mohon advicenya Pak,
Saya bekerja diperusahaan PMA yang bergerak dalam bidang galangan kapal. Perusahaan induknya di Singapore
Perusahaan ini menerima bahan material dari perusahaan induknya melalui impor dan setelah selesai dikerjakan maka perusahaan ini akan mengekspor kembali barang jadi. Maka perusahaan ini telah diterbitkan PIB dan PEB dari Dirjen Bea dan Cukai.
Biasanya pelaporan PPN, perlu dicantumkan semua PIB dan PEB pada lampiran 1107 A dan B
Akan tetapi, perusahaan ini hanya menerima fee pabrikasi sesuai dengan proyek yang dilakukannya. Jadi omset perusahaan ini hanya sekedar fee atas jasa pabrikasi bukan dari nilai ekspor.
Jika saya laporkan PIB dan PEBnya dalam SPT PPN, akan berbeda nilainya dengan omset yang ada pada laporan PPh perusahaan.
Bagaimana caranya?
Apakah ada peraturan yang mengatur tentang tatacara pelaporan PPN dan PPh ini?
Tolong minta penjelasannya donk.
Akhir kata, Terima kasih yach.....

Jawab:
Jika dilihat dari cerita Anda di atas, tampaknya bahwa usaha pekerjaan yang dilakukan ini sejenis dengan usaha yang disebut sebagai jasa maklon, dimana perusahaan Anda dipesan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan order dari pihak pemberi kerja dengan bahan-bahan telah disediakan. Seharusnya jika pekerjaan seperti ini dilakukan antar perusahaan di dalam negeri, tidak akan menjadi masalah karena dalam akuntansi (komersial), pengakuan pendapatan yang dibukukan adalah hanya atas fee pabrikasi yang dibayarkan oleh pemberi kerja sedangkan barang-barang yang disediakan oleh pihak pemberi kerja tidak diakui sebagai pembelian serta pada saat penyerahan barang juga tidak akan diakui sebagai penjualan.
Namun yang menjadi permasalahan adalah pada saat transaksi ini terjadi antara perusahaan dalam negeri dengan perusahaan di luar negeri sebagai pengguna jasa. Pengiriman bahan baku dan hasil pabrikasi ke dalam negeri dan luar negeri (impor dan ekspor). Masalahnya untuk kedua transaksi ini diperlukan dokumen pendukung berupa dokumen PIB dan PEB. Pada saat impor barang dilakukan, juga akan terutang PPN Impor. Atas transaksi ekspor barang keluar negeri akan dilaporkan sebagai penyerahan ekspor dalam SPT Masa PPN.
Sehingga pada akhir tahun akan timbul selisih pengakuan peredaran usaha antara yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN dengan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan (Laporan Keuangan). Timbulnya selisih ini (selisih hasil ekualisasi omzet) adalah wajar terjadi dan kelak harus dapat dijelaskan oleh Wajib Pajak pada saat diteliti atau diperiksa oleh fiskus (petugas pajak).

Konsultasi Pajak Gratis: Melaporkan SPT, manfaatkan Sunset Policy

Tanya:
Pak, saya seorang karyawan disebuah perusahaan. Saya masih awam mengenai pajak walau saya sudah memiliki NPWP sejak 3 th lalu. Saya sejak 4 tahun lalu memiliki sidejob yang hitungannya membuat saya seharusnya menjadi PKP namun pada pelaporan tahunan saya tidak menyertakan penghasilan side job saya ini. Nah dengan adanya Sunset Policy ini, apakah saya harus melaporkan untuk menjadi PKP dan membuat laporan ulang SPT tahunan saya dengan membayar kekurangan setoran selama 4 tahun atau hanya 1 tahun terakhir?
Terima kasih

Jawab:
Kebijakan sunset policy hanya untuk melaporkan kewajiban SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan SPT Tahunan PPh Badan, dan tidak berlaku untuk jenis kewajiban pajak lainnya termasuk juga untuk PPN.
Kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berarti nantinya harus memenuhi kewajiban jenis pajak PPN.
Secara ketentuan, seharusnya Anda telah mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1 bulan setelah diperkirakan peredaran usaha setahun telah mencapai ketentuan sebagai PKP (peredaran usaha minimal Rp 600 juta setahun). Namun karena sampai saat ini Anda belum mendaftarkan diri, maka disarankan agar Anda segera memenuhi ketentuan sebagai PKP mulai saat ini. Memang kelak konsekuensinya adalah jika diperiksa untuk tahun-tahun pajak sebelumnya Anda akan ditetapkan secara jabatan atas PPN yang seharusnya sudah dipungut namun belum atau tidak dilakukan pemungutan. Dan memang menjadi dilema juga, karena jika saat ini Anda ingin melakukan pemungutan PPN untuk 4 tahun lalu, sudah tidak boleh karena pada saat itu Anda belum PKP (karena syarat untuk dapat melakukan pemungutan PPN dan membuat Faktur Pajak adalah harus sudah PKP).
Namun dengan adanya fasilitas sunset policy ini, mungkin Anda dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada untuk meminimalisasikan kesalahan yang telah Anda perbuat tersebut, dengan jalan melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Anda untuk 4 tahun ke belakang dan melakukan pembayaran PPh yang kurang bayar tersebut. Dengan demikian maka atas kekurangan bayar tersebut akan dibebaskan dari pengenaan Sanksi Administrasi berupa bunga atas keterlambatan membayar pajak yang kurang bayar tersebut.
Dengan memanfaatkan fasilitas sunset policy ini, membuka peluang bagi Anda untuk tidak dilakukan pemeriksaan pajak untuk jenis kewajiban pajak lainnya dan SPT Tahunan PPh orang pribadi yang memanfaatkan fasilitas sunset policy ini, sepanjang tidak ditemukan data lain yang belum/tidak Anda laporkan pada SPT yang mendapatkan fasilitas sunset policy ini.
Namun semua keputusan dan pertimbangan untuk memanfaatkan fasilitas sunset policy tersebut dikembalikan lagi kepada Anda.

Senin, 06 Oktober 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Pelaporan Pajak untuk Agen Asuransi

Tanya:

Terima kasih atas kesempatan untuk konsultasi pajak gratis

Saya seorang agent asuransi, komisi yang saya peroleh dari pusat telah dipotong PPh Pasal 21. Pada saat ini saya telah memiliki NPWP dan akan saya laporkan penghasilan saya dari tahun 2006, bagaimana cara perhitungannya ? Apakah saya memakai norma perkiraan netto dan berapa tarifnya?

Atau saya dapat mengajukan untuk membuat pembukuan?
Terima Kasih

Jawab:
Seorang agen asuransi umumnya memiliki status kerja sebagai pegawai tidak tetap atau berstatus sebagai freelance. Sehingga seorang agen asuransi pekerjaannya tidak terikat dengan aturan-aturan ketenagakerjaan di tempatnya bekerja dan hanya akan mendapatkan penghasilan berasal dari komisi hasil penjualan unit asuransinya.
Dalam ketentuan pajak, pekerja yang demikian akan dikategorikan sebagai pegawai tidak tetap. Berdasarkan petunjuk penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2006, perusahaan pembayar komisi asuransi kepada agen asuransi yang berupa orang pribadi, maka perusahaan akan memotong PPh Pasal 21 dengan tarif umum (Tarif Pasal 17 UU PPh) untuk setiap bulannya ketika dibayarkan komisi kepada orang pribadi agen asuransi tersebut.
Bagi Orang Pribadi agen asuransi, penghasilan yang berasal dari komisi ini akan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pada bagian penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atas jumlah penghasilan yang diterima selama 1 (satu) tahun sesuai yang tertera dalam setiap Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang diberikan oleh pemberi kerja (perusahaan asuransi) yaitu sejumlah penghasilan bruto.
Jumlah penghasilan bruto ini langsung dikurangkan dengan PTKP (dan juga dengan zakat jika ada, sesuai dengan ketentuan) sehingga diperoleh Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak ini kemudian dikalikan dengan Tarif PPh Pasal 17 sehingga didapatlah besarnya PPh yang terutang.
PPh terutang ini akan dikurangkan dengan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh perusahaan asuransi. Selisih kekurangan bayar tersebut harus dibayar sebelum melaporkan SPT Tahunan. Sedangkan jika terdapat kelebihan pembayaran, maka akan dikembalikan, tentunya setelah melalui proses pemeriksaan.
Saat ini ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa agen asuransi harus menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, namun sebenarnya itu adalah pendapat yang keliru. Karena penghasilan yang diperoleh dari agen asuransi ini bukan merupakan usaha bebas, melainkan berupa komisi yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaannya dengan perusahaan asuransi karena menjualkan produknya. Selain itu, jika dilihat pada daftar norma Penghitungan Penghasilan Neto (dapat diakses di sebelah kanan situs ini), untuk jenis usaha asuransi (kode 81410 atau nomor urut 136) tidak ada persentase penghasilan netonya.
Jadi untuk orang pribadi yang bekerja sebagai agen asuransi, karena bukan merupakan usaha pekerjaan bebas maka dalam menghitung penghasilan neto tidak menggunakan pembukuan ataupun norma penghitungan penghasilan neto (pencatatan).

Jumat, 12 September 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Ganti NPWP Karena Jadi Pekerja Di Luar Negeri?

Tanya:
Saya bekerja di luar negri sebagai permanent employee, sebelum nya saya bekerja di BUMN dan sudah memiliki NPWP, apakah No NPWP saya harus di ganti atau tidak.
Trims

Edi Rosadi

Jawab:
Untuk orang pribadi, NPWP berlaku selama Wajib Pajak tersebut masih berstatus sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dan baru dapat dicabut jika Wajib Pajak yang bersangkutan telah meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya (pindah ke luar negeri atau pindah kewarganegaraan dan tidak akan datang ke Indonesia lagi). Satu orang Wajib Pajak akan mendapatkan 1 (satu) NPWP. Nomor yang tertera pada NPWP tersebut tidak pernah akan berganti kecuali untuk kode administrasi pada 6 digit terakhir pada seri NPWP tersebut.
Format nomor pada NPWP adalah: xx.xxx.xxx.x-xxx.xxx
Misalkan NPWP: 14.123.456.7-001.000 , maka 9 digit pertama (yaitu: 14.123.456.7) untuk seorang Wajib Pajak tidak pernah akan berganti, walaupun orang yang bersangkutan telah berpindah tempat tinggal. Sedangkan nomor yang akan berganti (jika orang tadi berpindah alamat) adalah 6 digit terakhir (khusus untuk 3 digit pertamanya, sedangkan 3 digit sisanya tetap, yaitu untuk: 001). Digit yang akan berubah ini (kode: 001), adalah kode yang menunjukkan kantor pelayanan pajak (KPP) termpat Wajib Pajak tersebut melakukan seluruh pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Jika seseorang yang pindah dari satu kota ke kota lainnya di Indonesia, maka dia wajib mengajukan pemberitahuan pindah ke KPP lama tempat ia sebelumnya terdaftar untuk mendapatkan surat pindah, kemudian mengajukan surat pindah tersebut ke KPP yang baru (terdekat dengan lokasi domisili barunya tersebut).
Untuk kasus Pak Edi di atas, Bapak saat ini bekerja di Luar Negeri sebagai pegawai tetap di sana. Namun Bapak tidak menyebutkan bahwa Bapak saat ini telah berpindah secara permanen ke luar negeri (menjadi permanent resident di sana). Jadi saya mengasumsikan bahwa Bapak hanya mendapatkan penghasilan di Luar Negeri, namun permanent resident Bapak masih tetap di Indonesia (status kewarganegaraan masih Indonesia, dan setiap saat masih pulang ke Indonesia dan saya asumsikan alamat di Indonesianya masih tetap), maka Bapak tetap menjadi Wajib Pajak di Indonesia dan tidak perlu mengajukan pindah ke KPP yang lain (karena alamat di Indonesia masih tetap) ataupun juga tidak perlu mengganti NPWP.
Demikian penjelasan dari saya.
Terima kasih telah mengunjungi situs ini.

Kamis, 15 Mei 2008

TANYA JAWAB SEPUTAR PAJAK

Pada bagian ini, Anda dapat menyampaikan pertanyaan seputar pajak serta kasus-kasus yang sedang Anda hadapi melalui posting pada bagian bawah ini (Komentar). Seluruh konsultasi tentang pajak ini tidak dipungut biaya, alias Anda akan mendapatkan konsultasi pajak gratis.

Tanya Jawab: PPh Jasa Konstruksi; Pekerjaan Pemeliharaan Kebun Sawit

Tanya:

# Kalau boleh saya ingin menanyakan mengenai perlakuan pph terhadap jasa pemeliharaan tanaman pada perusahaan perkebunan kelapa sawit, selama ini kami mengenakan tarif 4,5% karena perush pelaksana tidak memiliki setirtfikat jasa konstruksi. tapi hal menjadi kontroversi dengan beberapa rekan karena menurut mereka hal itu tidak mempunyai dasar aturan yang jelas. Apakah ada aturan yang secara eksplisit mengatur tentang pph untuk perkebunan kelapa sawit?

# Apakah kegiatan pembukaan lahan, pembuatan parit dan jembatan di lokasi perkebunan kelapa sawit termasuk dalam kategori kegiatan usaha jasa konstruksi? kalau ya, termasuk dalam kategori konstruksi sipil atau kategori apa? apakah ada aturan yang menjelaskan tentang hal tersebut? Mohon bantuannya. Trims

Simson


Jawab:

Yth Bapak Simson,
Sesuai dengan pertanyaan Bapak Simson tentang pemotongan PPh atas jasa pemeliharaan kebun sawit (seperti pembuatan parit), maka berikut saya sampaikan hal-hal sebagai berikut:

Ketentuan mengenai pemotongan PPh atas jasa konstruksi telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor PP 51 Tahun 2008 dan berlaku mulai 1 Januari 2008 (saat ini semuanya dikenakan PPh yang bersifat final, silakan download aturannya pada bagian New Regulations-PPh).

Dalam PP ini ”Pekerjaan Konstruksi” didefinisikan sebagai: keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. (Pasal 1 angka 3)

Jika dilihat dari kasus yang Anda sebutkan, maka pekerjaan tsb lebih cocok dikategorikan sebagai rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan tata lingkungan untuk mewujudkan suatu bentuk fisik lain seperti pengerjaan parit, lahan dsb.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf c diatur bahwa untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha dikenakan PPh dan bersifat final sebesar 4%.

Jadi berdasarkan ketentuan baru, atas biaya yang Anda keluarkan tersebut dapat dikenakan sesuai ketentuan yang disebutkan di atas.

Demikian semoga penjelasan ini sesuai dengan yang terjadi di perusahaan Anda.




Selasa, 06 Mei 2008

Tanya Jawab Kewajiban Pajak Seorang Notaris

Tanya:
kalau boleh saya mau tanya, sedikit, bagaimana dan solusi pekerjaan saya notaris,sudah punya NPWP tetapi penghasilan saya tidak tetap, masih skala kecil, kadang sepi, kadang rame, punya karyawan cuma 1, lalu bagaimana saya menyelesaikan pajak saya , setahun setelah saya praktek kemudian, lalu laporan nihil bagaimana. tq

Jawab:

Ibu yang telah memiliki NPWP, tentunya telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki Usaha dan Pekerjaan Bebas, dengan jenis usaha Jasa Notaris. Informasi status terdaftarnya jenis usaha Ibu, serta kewajiban perpajakan apa yang harus Ibu penuhi dapat dilihat pada Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diberikan oleh pihak KPP bersamaan dengan Kartu NPWP, pada saat Ibu mendaftarkan langsung ke KPP yang bersangkutan.

Umumnya kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh seorang notaris adalah:

1. PPh Pasal 25 (yaitu angsuran PPh kita selama tahun berjalan; untuk saat ini adalah tahun 2008; yang nantinya pada saat pelaporan SPT Tahunan Tahun 2008, akan dikreditkan sebagai kredit pajak (mengurangi PPh Terutang atas penghasilan setahun kita). PPh Pasal 25 ini harus kita setor dan laporkan setiap bulan dengan ketentuan paling lambat disetorkan adalah pada tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Misalkan untuk PPh Pasal 25 bulan Agustus 2008, maka paling lambat disetor tanggal 15 September 2008 dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 September 2008.

Besarnya PPh Pasal 25 ini biasanya dihitung sebesar 1/12 dari PPh terutang yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Tahun sebelumnya (dalam kondisi normal, namun masih banyak metode penentu besarnya PPh Pasal 25 dan tidak saya bahas di sini).

2. Kewajiban lainnya yang harus dipenuhi adalah SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dengan formulir (Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Form 1770) yang dapat Ibu peroleh di: http://syafrianto.blogspot.com/2008/07/download.html
SPT Tahunan ini dilaporkan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Jadi misalkan untuk melaporkan pajak tahun 2008 ini, maka SPT Tahunan Paling lambat harus dilaporkan tanggal 31 Maret 2009.
Dalam menentukan penghasilan neto yang menjadi objek pajak dalam pelaporan SPT Tahunan ini, Ibu dapat menggunakan Metode Pencatatan (syaratnya adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mendapatkan omzet/peredaran usaha bruto setahunnya di bawah Rp 1,8 milyar). Dalam metode ini, Ibu cukup melakukan pencatatan atas seluruh pendapatan (mis: Jasa Notaris) yang Ibu peroleh setiap harinya.
Dari total Omzet setahun ini, untuk mendapatkan penghasilan neto, Ibu cukup mengalikan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan kode 82910 (Nomor urut 141) dan sesuaikan dengan lokasi usaha Ibu. Norma untuk jasa notaris ini adalah sebesar 55% utk wilayah 10 Ibu Kota Propinsi Utama, 50% untuk Kota kota lainnya (tabel ini dapat ibu download di http://syafrianto.blogspot.com pada bagian sebelah kanan tengah; DOWNLOAD -->Tabel Norma Penghitungan Penghasilan Neto). Hasil perkalian ini akan diperoleh Penghasilan Neto yang setelah dikurangi dengan PTKP, akan diperoleh Penghasilan kena Pajak dan tinggal dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17.

3. Masih ada kewajiban lainnya yang harus dipenuhi yaitu PPh Pasal 21 masa (yaitu pemotongan pajak atas karyawannya) serta kemungkinan harus memungut PPN jika telah mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.