Jawab:
Ibu yang telah memiliki NPWP, tentunya telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki Usaha dan Pekerjaan Bebas, dengan jenis usaha Jasa Notaris. Informasi status terdaftarnya jenis usaha Ibu, serta kewajiban perpajakan apa yang harus Ibu penuhi dapat dilihat pada Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diberikan oleh pihak KPP bersamaan dengan Kartu NPWP, pada saat Ibu mendaftarkan langsung ke KPP yang bersangkutan.
Umumnya kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh seorang notaris adalah:
1. PPh Pasal 25 (yaitu angsuran PPh kita selama tahun berjalan; untuk saat ini adalah tahun 2008; yang nantinya pada saat pelaporan SPT Tahunan Tahun 2008, akan dikreditkan sebagai kredit pajak (mengurangi PPh Terutang atas penghasilan setahun kita). PPh Pasal 25 ini harus kita setor dan laporkan setiap bulan dengan ketentuan paling lambat disetorkan adalah pada tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Misalkan untuk PPh Pasal 25 bulan Agustus 2008, maka paling lambat disetor tanggal 15 September 2008 dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 September 2008.
Besarnya PPh Pasal 25 ini biasanya dihitung sebesar 1/12 dari PPh terutang yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Tahun sebelumnya (dalam kondisi normal, namun masih banyak metode penentu besarnya PPh Pasal 25 dan tidak saya bahas di sini).
2. Kewajiban lainnya yang harus dipenuhi adalah SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dengan formulir (Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Form 1770) yang dapat Ibu peroleh di: http://syafrianto.blogspot.com/2008/07/download.html
SPT Tahunan ini dilaporkan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Jadi misalkan untuk melaporkan pajak tahun 2008 ini, maka SPT Tahunan Paling lambat harus dilaporkan tanggal 31 Maret 2009.
Dalam menentukan penghasilan neto yang menjadi objek pajak dalam pelaporan SPT Tahunan ini, Ibu dapat menggunakan Metode Pencatatan (syaratnya adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mendapatkan omzet/peredaran usaha bruto setahunnya di bawah Rp 1,8 milyar). Dalam metode ini, Ibu cukup melakukan pencatatan atas seluruh pendapatan (mis: Jasa Notaris) yang Ibu peroleh setiap harinya.
Dari total Omzet setahun ini, untuk mendapatkan penghasilan neto, Ibu cukup mengalikan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan kode 82910 (Nomor urut 141) dan sesuaikan dengan lokasi usaha Ibu. Norma untuk jasa notaris ini adalah sebesar 55% utk wilayah 10 Ibu Kota Propinsi Utama, 50% untuk Kota kota lainnya (tabel ini dapat ibu download di http://syafrianto.blogspot.com pada bagian sebelah kanan tengah; DOWNLOAD -->Tabel Norma Penghitungan Penghasilan Neto). Hasil perkalian ini akan diperoleh Penghasilan Neto yang setelah dikurangi dengan PTKP, akan diperoleh Penghasilan kena Pajak dan tinggal dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17.
3. Masih ada kewajiban lainnya yang harus dipenuhi yaitu PPh Pasal 21 masa (yaitu pemotongan pajak atas karyawannya) serta kemungkinan harus memungut PPN jika telah mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
5 Comments
mas saya mau tanya apa baby sister saya bisa memiliki npwp karena saya sering ajak ke luar negeri untuk menemani anak saya yang saya tanyakan bagaimana mengenai melaporkan laporan Spt tahunannya apa beda dengan wajib pajak pribadi karyawan dan orang yang punya usaha ?
notaris adalah merupakan tenaga ahli. dan dari pihak penerima jasa akan memotong pph ps 21 atas tenaga ahli sebesar 5 %, bagaimana hubungannya dengan pelaporan SPT tahunan Wp OP untuk notaris ini? mohon bantuannya..
Menjawab pertanyaan February 19, 2009 11:36 PM:
Baby sitter Anda dapat saja memiliki NPWP, karena ia telah bekerja dengan Anda (mungkin saja penghasilannya telah memenuhi syarat objektif). Pekerjaan baby sitter ini adalah bekerja pada 1 pemberi kerja sehingga dipersamakan dengan karyawan.
Menjawab pertanyaan March 27, 2009 12:14 PM:
Sebenarnya ketentuan PPh Pasal 21 pada tahun 2008 untuk notaris, sebagai tenaga ahli, tarif PPh Pasal 21-nya adalah 7,5%.
Jika notaris ini tidak membuka praktek sendiri (hanya bekerja pada pihak-pihak pemberi kerja dan dipotong PPh Pasal 21), maka SPT yang dilaporkan adalah menggunakan form 1770 S (atau 1770 SS). Seluruh penghasilan (bruto) yang diterima dari pemberi kerja ini dilaporkan pada halaman Induk (1770 S) bagian Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan (Nomor urut 1).
Penghasilan Bruto ini dikurangkan dengan PTKP kemudian dikalikan dengan tarif progresif PPh Pasal 17, sehingga diperolehlah PPh Terutang. Selisih kekurangan antara PPh terutang hasil perhitungan ini dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong, harus Anda setorkan sendiri sebelum melaporkan SPT Tahunan PPh Anda.
selamat siang Pak Anto, semoga hari ini Bapak sudah mencontreng pilpres di TPS :)
Banyak "biaya" yg dikeluarkan ketika mengurus surat2 di departemen2 terkait yg masuk kategori "biaya undertable" ; pada saat diklaim/ direimburse ke klien kami, mereka memotong jumlah bruto tagihan kami sebesar 50%xPhgBrutox tarif pasal17 ; dimana didalamnya selain ada biaya u/ pembuatan akta juga ada biaya2 undertable pengurusan dokumen tsb.
Menurut pengalaman Bapak, kira2 apa "win win solution" u/ kasus yg sering terjadi antara tenaga ahli dan kliennya?
jika reimburse tentu harus ada kwitansi pihak ketiga (u/ undertable kan tidak mungkin ada kwitansi pihak ketiga) ; jika dianggap penghasilan bruto tenaga ahli, kami keberatan karena itu hanya numpang lewat saja (reimbursement)
dipihak klien, biaya tsb.akan dikoreksi jika tidak dipotong pph21 tenaga ahli (50% phbruto kali tarif pasal 17)
Mohon pencerahannya Pak,
lebih cepat lebih baik dan lanjutkan melayani situs ini. Semoga berkah dan kesehatan menyertai bapak dan keluarga
salam,
Salam Sejahtera,
Wah... saya tidak mau ikut-ikutan nih... ada yang masih kampanye pada hari "pencontrengan" (seharusnya Bahasa Indonesia yang tepat adalah "pencontengan")... saya sih netral aja ah... hehehe...
(serius: mode on)
Memang dilema dalam dunia bisnis di Indonesia, karena saat ini masih banyak ditemukan dalam dunia birokrasi di mana ketika kita akan berhubungan dengan para pejabat publik, maka masih diperlukan biaya-biaya yang bersifat "undertable" yang harus dikeluarkan. Padahal dalam ketentuan perpajakan (dalam ketentuan akuntansi pun serupa), biaya yang bersifat "undertable" yang tidak dapat dibuktikan secara sah pengeluarannya, tidak dapat dijadikan sebagai biaya pengurang. Oleh sebab itu, jika klien Anda (saya berkesimpulan bahwa klien Anda adalah seorang pribadi yang memberikan jasa untuk pengurusan, baik ijin dokumen atau sejenisnya, dengan pihak birokrasi pihak lainnya).
Biaya seperti ini dalam istilah perpajakan dikenal sebagai biaya entertainment. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
Namun dalam SE-27/PJ.22/1986 memperbolehkan Wajib Pajak untuk membiayakan biaya yang bersifat entertainment ini dengan syarat bahwa biaya tersebut memang benar-benar berhubungan dengan usaha, memiliki bukti pendukung pengeluarannya serta membuatkan suatu daftar nominatif yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh.
Yang harus dicantumkan dalam daftar nominatif ini terdiri dari:
a. Nomor urut.
b. Tanggal "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
c. - Nama tempat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
- Alamat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
- Jenis "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
- Jumlah (Rp) "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
d. Relasi usaha yang diberikan "entertainment" dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut
tersebut di atas berisi :
- Nama
- Posisi
- Nama perusahaan
- Jenis usaha.
Mengenai mekanisme pembuatan bukti dari pihak ketiga seperti kwitansi atau sejenisnya, tentu akan sulit untuk diterapkan, namun dapat Anda coba cari cara lain agar bukti pendukung dapat diberikan, misalkan sistem transfer bank, sistem travel check, atau jika sangat terpaksa dengan voucher internal perusahaan walaupun ketika kelak berhadapan dengan fiskus, bukti ini akan menjadi perdebatan.
Posting Komentar