..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Pajak Orang Pribadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak Orang Pribadi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Oktober 2010

Zakat atau Sumbangan Keagamaan Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto

Setelah melalui polemik yang panjang, akhirnya Pemerintah menetapkan bahwa zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Ketentuan mengenai hal ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tanggal 20 Agustus 2010. PP Nomor 60 Tahun 2010 ini dapat diterapkan untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009.

Dalam PP Nomor 60 Tahun 2010 ini diatur bahwa:

Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
  1. zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
  2. sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Zakat atau sumbangan keagamaan ini) dapat berupa uang atau yang disetarakan dengan uang.

Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Kamis, 30 September 2010

Pemberian Pelayanan, Edukasi dan Pembinaan Kepada WP Orang Pribadi Baru

Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang memfokuskan pelayanan kepada para Wajib Pajak Orang Pribadi. Saat ini pemahaman dan pengetahuan Wajib Pajak Orang Pribadi mengenai kewajiban perpajakan masih sangat rendah. Apalagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak. Oleh sebab itu, guna meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang baru terdaftar serta memberikan edukasi dan pembinaan terhadap Wajib Pajak ini, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-94/PJ/2010 tanggal 14 September 2010.


SE-94/PJ/2010 ini diterbitkan sekaligus untuk menindaklanjuti Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2010 yang telah diterbitkan pada tanggal 9 Maret 2010 (baca artikelnya di sini).

Rabu, 14 Juli 2010

Ketentuan PPh Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) adalah merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai pedagang eceran yang memiliki 1 (satu) atau lebih tempat usaha, yang melakukan kegiatan usaha berupa:
-penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
-penyerahan jasa,
melalui suatu tempat usaha.

Berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008, penghitungan dan penentuan angsuran PPh Pasal 25 untuk WP OPPT ini berbeda dengan Wajib Pajak Orang Pribadi lainnya. Aturan lebih rinci mengenai tata cara dan pelaksaaan pengenaan PPh Pasal 25 bagi WP OPPT ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tanggal 12 Juli 2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. PER-32/PJ/2010 ini disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-77/PJ/2010 tanggal 12 Juli 2010.

Ketentuan yang diatur bagi WP OPPT ini adalah:

WP OPPT wajib mendaftarkan diri untum memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi setiap tempat usaha di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjannya meliputi tempat usaha tersebut (diterbitkan NPWP cabang) dan di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak. Jadi apabila WP OPPT ini memiliki beberapa lokasi usaha di beberapa tempat, maka setiap tempat usaha milik WP OPPT ini wajib didaftarkan untuk memperoleh NPWP dengan salah satu tempat sebagai tempat domisili WP ini menjadi pusat dan untuk lokasi usaha lainnya menjadi cabang. Ketentuan pendaftaran NPWP ini juga berlaku dalam hal tempat usaha dan tempat tinggal WP OPPT berada dalam wilayah kerja KPP yang sama. Jadi dimungkinkan jika WP OPPT memiliki beberapa lokasi usaha dalam satu wilayah kerja KPP, maka di KPP ini dapat terdaftarkan beberapa NPWP dengan status cabang.

Apabila tempat tinggal WP OPPT sekaligus juga merupakan tempat usaha WP OPPT, maka terhadap WP OPPT tersebut hanya diterbitkan NPWP domisili (dan tidak perlu diterbitkan NPWP cabang).

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk WP OPPT ini ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut. Pembayaran PPh Pasal 25 ini dilakukan melalui bank persepsi atau kantor pos persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dengan mencantumkan NPWP sesuai dengan pembayaran untuk masing-masing cabang (harus diperhatikan NPWP Domisili atau NPWP cabang yang digunakan sesuai untuk pembayaran masing-masing lokasi usaha sesuai dengan NPWP-nya).

Pembayaran PPh Pasal 25 ini merupakan kredit pajak atas PPh yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Ketentuan Pelaporan:
WP OPPT yang membayar angsuran PPh Pasal 25, dimana SSP-nya telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 ke KPP sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP, sehingga WP ini tidak perlu melaporkan kembali SSP yang telah disetorkan tersebut ke KPP.
Namun apabila WP OPPT yang angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau yang melakukan pembayaran tetapi tidak mendapatkan validasi dengan NTPN, maka tetap harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bagi WP OP yang sebelumnya tidak termasuk WP OPPT namun berdasarkan ketentuan PER-32/PJ/2010 ini termasuk sebagai WP OPPT, maka angsuran PPh Pasal 25 sejak Masa Pajak Juli 2010 mengikuti ketentuan sebagai WP OPPT dengan mengacu pada PER-32/PJ/2010 ini.

Rabu, 17 Maret 2010

Panduan Pengisian SPT Tahunan Bagi Orang Pribadi Usahawan

Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk Tahun 2009 segera berakhir, yaitu hingga tanggal 31 Maret 2010. Tentulah saat-saat ini merupakan saat paling sibuk bagi para Wajib Pajak yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh. Mungkin banyak Wajib Pajak yang kebingungan untuk mengisi SPT Tahunan PPh-nya. Mungkin bagi sebagian Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak mau pusing dengan urusan isi mengisi SPT Tahunannya, akan menyerahkan pengisian SPT Tahunannya ini kepada seorang konsultan pajak (baik itu konsultan pajak resmi maupun yang tidak resmi). Akibatnya tentulah para Wajib Pajak ini perlu mengeluarkan uang ekstra untuk membayar jasa pengisian SPT Tahunan ini kepada sang konsultan pajak.
Berikut ini, untuk membantu para Wajib Pajak yang akan menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun 2009 khususnya Orang Pribadi yang memiliki usaha dan pekerjaan bebas, Penulis sajikan bagaimana cara mengisi SPT Tahunan PPh untuk tahun 2009 ini. Hitung-hitung ini sebagai konsultasi dan belajar gratis, sehingga para Pembaca Setia Tax Learning tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra guna mengisi SPT Tahunannya.

Dalam contoh pengisian SPT ini, penulis akan menyajikan cara mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770, yaitu formulir yang digunakan oleh Orang Pribadi yang memiliki usaha bebas, seperti membuka usaha toko, memiliki kantor praktek sendiri (seperti notaris, pengacara, konsultan yang bersifat usaha perseorangan, dokter dan sejenisnya), dengan menggunakan metode penghitungan penghasilan neto secara pencatatan (Norma Penghitungan Penghasilan Neto). Wajib Pajak yang dapat menggunakan metode pencatatan ini syaratnya adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang Peredaran Usaha setahunnya maksimal Rp 4,8 milyar.
Dalam contoh ini, penulis mengambil kasus seorang Wajib Pajak yang memiliki usaha Jasa Bengkel yang berlokasi di Jakarta.
Untuk keperluan tersebut, penulis sediakan Formulir SPT 1770 (yang telah diisi dengan lengkap) serta Daftar Rekapitulasi Peredaran Usaha dan Biaya yang dapat di-download pada link berikut ini:
FORMULIR SPT TAHUNAN PPh ORANG PRIBADI 1770 TAHUN 2009 DAN OMZET

- Langkah pertama yang harus diisi oleh Wajib Pajak adalah membuat Daftar Rekapitulasi Peredaran Usaha yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan selama 1 tahun pajak (dari tanggal 1 Januari s.d. 31 Desember). Peredaran Usaha adalah besarnya penerimaan bruto dari usaha yang dijalankannya tersebut. Bentuk Daftar Rekapitulasi Peredaran Usaha ini dapat dilihat pada file di atas pada sheet Peredaran Usaha.
- Langkah kedua, isikan data-data pada Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770, seperti pada contoh file di atas. Isian dimulai dari 1770-I (halaman 2), 1770-II, 1770-III dan 1770-IV. Dalam mengisi penghasilan neto pada formulir 1770-I (halaman 2), karena usaha Wajib Pajak adalah jasa perbaikan kendaraan bermotor dan berdasarkan Daftar Tabel Norma Penghitungan Penghasilan Neto, untuk jenis usaha ini yang berada di wilayah Jakarta (pada tabel dengan kode norma 97110 untuk kolom pertama/10 ibukota propinsi) normanya adalah sebesar 20%.
- Langkah ketiga setelah seluruh bagian dari Formulir SPT 1770 tersebut telah terisi, maka atas kekurangan bayar PPh (pada kolom 19 Formulir 1770) disetorkan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi. Setelah kekurangan bayar PPh tersebut disetorkan, barulah SPT dapat kita laporkan ke kantor pajak. Isikan SSP ini untuk 4 (empat) rangkap.
Contoh pengisian SSP dapat di download di sini.

- Setelah siap dilaporkan, lampirkan juga surat pemberitahuan untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan neto untuk tahun pajak 2010. Formulir ini dapat di-download di bawah ini:
FORMULIR PEMBERITAHUAN MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO

Catatan:
Besarnya persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dapat di-download di sini.

Itulah sekilas cara mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770. Semoga informasi sederhana ini dapat dimengerti dan bermanfaat untuk seluruh Pembaca Setia Tax Learning.
copyright@syafrianto.blogspot.com

Kamis, 04 Maret 2010

Lapor SPT Tahunan PPh untuk Wanita Kawin Pisah Harta

Untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan para Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan penegasan mengenai cara pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi bagi Wanita Kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau wanita kawin yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dengan suaminya. Penegasan ini tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010

Dalam SE-29/PJ/2010 ini ditegaskan ketentuan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi wanita kawin adalah sebagai berikut:


  1. Bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.
  2. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud di atas adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.
  3. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud di ats didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
  4. Penghitungan PPh terutang ini berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21.
  5. Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin adalah harta dan kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir tahun pajak.
  6. Tata cara pengisian SPT Tahunan bagi wanita kawin ini sesuai dengan petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-34/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-66/PJ/2009.

Jumat, 22 Mei 2009

Blog dan Situs Menjadi Objek Pajak

Pendahuluan

Judul artikel di atas akhir-akhir ini menjadi suatu isu yang cukup menghebohkan di kalangan blogger di Indonesia. Isu ini timbul setelah adanya pernyataan dari Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kardiman pada tanggal 15 April 2009, sebagaimana diberitakan dalam situs Bisnis Indonesia pada tanggal 16 April 2009. Situs ini mengutip pernyataan dari Menristek bahwa tingginya pertumbuhan blog pribadi yang dimanfaatkan sebagai sarana jual beli, mulai dari promosi hingga pemesanan merupakan sebuah potensi positif. Sehingga Pemerintah melihat itu sebagai suatu potensi pemasukan baru dari pajak.
Pernyataan inilah yang mendapatkan pertentangan keras dari kalangan blogger di Indonesia. Pertentangan ini dapat kita lihat dari tulisan beberapa blogger yang ditampilkan dalam blog mereka (dapat dicari melalui google). Sebenarnya bagaimanakah penerapan pajak bagi para pemilik blog ini? Apakah memang Pemerintah merencanakan untuk menerapkan pengenaan pajak bagi para pemilik situs dan blog?
Berikut ini penulis akan membahas masalah pengenaan pajak atas blog dan situs ini dari sudut pandang akademisi, untuk memberikan sedikit pencerahan kepada para blogger di Indonesia.

Konsep Pemajakan

Sebenarnya dari teori perpajakan Indonesia, pengenaan pajak pada transaksi yang umum terjadi, akan terkait dengan jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan jenis Pajak Penghasilan (PPh).

a. PPN
PPN merupakan pajak objektif yang akan dikenakan terhadap barang atau jasanya tanpa melihat siapa orang yang menjadi konsumen dari barang atau jasa tersebut. Pada prinsipnya PPN akan dikenakan terhadap konsumen akhir dari suatu barang atau jasa. Dalam artian, jika PPN yang dikenakan terhadap produsen suatu barang atau jasa, maka PPN bagi si produsen ini akan dibebankan lagi kepada konsumen yang membeli barang atau jasa dari produsen ini. Demikian juga seandainya jika konsumen tadi menjualnya kembali barang atau jasa tersebut kepada konsumen berikutnya maka beban PPN yang sebelumnya telah ditanggungnya akan dibebankan kepada konsumen berikutnya berikut tambahan PPN yang dikenakan atas selisih harga jualnya. Demikian seterusnya hingga konsumen terakhir yang akan menanggung seluruh biaya PPN tersebut. Walaupun adanya pembebanan PPN secara terus menerus kepada konsumen berikutnya ini tidak akan menyebabkan terjadinya pengenaan PPN yang berganda terhadap objek barang atau jasa yang sama. Hal ini disebabkan karena sistem PPN di Indonesia yang menganut sistem pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran. Dengan adanya sistem pengkreditan pajak ini, maka phak yang menjualkan suatu barang atau jasa kepada konsumen terakhir hanya akan memungut dan menyetorkan selisih kekurangan PPN yang berasal dari selisih harga beli dengan harga jual.
Tidak setiap pengusaha atau pihak yang melakukan transaksi diwajibkan untuk memungut PPN. Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2003 mengatur bahwa atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil (yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000) tidak dikenakan PPN. Namun jika Pengusaha Kecil ini memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak akan dikenakan PPN. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), karena terdapat keuntungan bagi seorang yang telah PKP.

b. PPh
PPh merupakan pajak subjektif yang akan dikenakan terhadap orang yang memperoleh penghasilan. Definisi penghasilan menurut Undang-Undang PPh adalah sebagai suatu pertambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Bagi orang pribadi, penghasilan yang akan menjadi objek PPh adalah atas penghasilan kena pajak. Apakah penghasilan kena pajak? Penghasilan Kena Pajak adalah merupakan penghasilan neto secara fiskal (penghasilan setelah dikurangkan dengan biaya-biaya yang diperkenankan menurut ketentuan pajak) yang kemudian dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Saat ini PTKP diberikan sebesar Rp 15.840.000 untuk diri Wajib Pajak sendiri per tahun, dan akan bertambah sebesar Rp 1.320.000 per tahun jika Wajib Pajak telah menikah, serta bertambah lagi untuk setiap tanggungan anggota keluarga sebesar Rp 1.320.000 per anggota keluarga yang ditanggung, per tahun, untuk maksimal 3 anggota keluarga yang ditanggung (Pasal 7 UU PPh).
Ketentuan kedua jenis pajak ini telah diberlakukan sejak tahun 1984 yaitu melalui Undang-Undang Perpajakan tahun 1983.

Transaksi dan Penghasilan yang Diperoleh dari Blog atau Situs dikenakan Pajak
Dewasa ini perkembangan dunia internet sangatlah marak. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Saat ini setiap orang sudah dapat membuat situs di internet secara gratis dan bebas. Hal ini ditunjang dengan banyaknya situs-situs yang menyediakan fasilitas bagi para pengunjung internet untuk dapat membuat situs secara gratis dan mudah yang dikenal sebagai blog.
Kemudahan dalam membuat blog ini, juga dimanfaatkan oleh berbagai kalangan masyarakat untuk menjadikan sarana blog ini sebagai penghasil uang. Mulai dari menyediakan ruangan dalam blognya untuk dipasang iklan, memperjualbelikan suatu domain (alamat internet) yang sudah terkenal, hingga menjadikan blog sebagai sarana untuk mempromosikan dan memperjualbelikan aneka barang dan jasa. Saat ini transaksi di dunia internet sudah layaknya seperti transaksi di pasar nyata yang kita kenal selama ini. Transaksi melalui dunia internet lebih disukai daripada transaksi di pasar nyata, karena biaya yang dikeluarkan dalam pemasaran melalui dunia internet relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan transaksi di pasar nyata. Di samping itu, pemasaran melalui dunia internet ini juga dipandang lebih efektif.
Jika kita mau jujur, sebenarnya transaksi di dunia internet prosedur dan cara kerjanya sama seperti transaksi di pasar nyata. Hanya saja yang membedakan transaksi di dunia internet umumnya para pelaku transaksi tidak/jarang untuk secara langsung bertemu dan melakukan penawaran secara fisik. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam transaksi di dunia internet juga pada umumnya adalah dengan menggunakan dokumen elektronis yang bersifat paperless (tanpa kertas). Namun pada dasarnya baik transaksi di dunia internet maupun di pasar nyata, sama-sama memperjualbelikan barang atau jasa dengan alat bertransaksi yang melibatkan uang.
Setelah kita membaca uraian tersebut di atas, serta mempelajari teori perpajakan yang telah dikemukana sebelumnya, maka dapat disimpulkan seharusnya perlakuan perpajakan atas transaksi yang terjadi melalui dunia internet (dalam hal ini yang dilakukan oleh para blogger melalui situs atau blog-nya) sebenarnya adalah sama dengan transaksi yang dilakukan oleh para pengusaha yang memiliki toko atau outlet yang nyata di pasar. Maka sebenarnya terhadap transaksi yang dilakukan oleh toko-toko online ini (baca: situs atau blog) juga akan dikenakan PPh dan PPN.
Kembali lagi kepada keresahan dari para blogger atas isu pengenaan pajak sebagaimana yang dilontarkan oleh Menristek tersebut, yang antara lain menyebutkan bahwa penghasilan yang diperoleh dari blog adalah tidak seberapa sehingga tidak tepat jika harus dikenakan pajak, dan seakan-akan ada pemikiran bahwa selama ini belum ada aturan mengenai pemajakan terhadap situs atau blog. Berikut penulis akan mengemukakan beberapa pendapat dari penulis yang diambil berdasarkan beberapa fakta.
Sebenarnya pengenaan pajak yang dimaksudkan oleh Menristek tersebut, bukanlah atas suatu blog yang dibuat yang berisi materi-materi yang dapat diperdagangkan (seperti blog yang ada iklannya, atau blog yang memajang barang atau jasa yang diperdagangkan). Namun pajak baru akan dikenakan terhadap transaksi yang telah terjadi melalui toko online tersebut.
Sebenarnya transaksi yang dilakukan melalui situs di internet ini pada dasarnya juga sama dengan transaksi yang dilakukan secara real di pasar nyata. Aspek perpajakannya juga berlaku ketentuan pajak umum sebagaimana telah diatur dalam UU PPh dan UU PPN sejak tahun 1984 yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh dan pajak pertambahan nilai atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan.
Selama ini Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan beberapa penegasan mengenai perlakuan pajak atas transaksi di dunia internet, antara lain yaitu:
  1. Surat Edaran Nomor SE-45/PJ.531/1996 mengenai PPN atas jasa layanan jaringan internet.
  2. Surat Nomor S-429/PJ.22/1998 mengenai imbauan kepada Wajib Pajak yang melakukan transaksi melalui electronic commerce.
  3. Surat Nomor S-762/PJ.53/2002 mengenai perlakuan PPN atas pembelian software dengan cara download lewat internet.
  4. Surat Nomor S-349/PJ.53/2003 mengenai pengenai PPh dan PPN atas biaya bandwidth.
  5. Surat Nomor S-739/PJ.53/2004 mengenai PPN atas jasa bandwidth.
  6. Surat Nomor S-702/PJ.332/2006 mengenai legalitas dokumen dari transaksi e-Commerce.
Nantikan artikel berikutnya mengenai aspek perpajakan bagi transaksi di dunia blog.
(c) syafrianto 22052009

Kamis, 30 April 2009

Aturan Mengenai Penghapusan Sanksi Denda Keterlambatan Lapor SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

Masih banyak Wajib Pajak Orang Pribadi yang baru terdaftar dalam periode Januari 2008 hingga Maret 2009, yang hingga batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2008 (yaitu tanggal 31 Maret 2009), namun belum juga menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya. Hal ini disebabkan antara lain akibat kurangnya pemahaman yang memadai dari para Wajib Pajak tersebut mengenai kewajiban perpajakan yang harus dipenuhinya. Penyebab lainnya adalah karena sebagian Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut juga belum menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21 dari pemberi kerjanya.

Untuk itu, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan kebijakan yang diberikan kepada para Wajib Pajak Orang Pribadi yang baru terdaftar dalam periode Januari 2008 hingga Maret 2009 dalam bentuk pemberian fasilitas penghapusan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2008 melalui Surat Nomor S-128/PJ/2009 tanggal 27 April 2009.

Metode penghapusan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 kepada Wajib Pajak yang baru terdaftar ini adalah dengan menggunakan mekanisme penghapusan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang dilakukan secara jabatan.

Download: S-128/PJ/2009

Rabu, 29 April 2009

KPP Khusus Wajib Pajak Orang Pribadi "Terkaya" di Indonesia

Mulai 1 Mei 2009 ini, Wajib Pajak Orang Pribadi yang oleh Direktorat Jenderal Pajak dikategorikan sebagai Wajib Pajak terbesar di Indonesia, akan dilayani secara khusus melalui Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Orang Pribadi. Kantor ini beralamat di Jalan Tebet Raya No. 9 Jakarta Selatan dan secara khusus dibentuk untuk melayani 1.200 Wajib Pajak Orang Pribadi yang dikategorikan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Terbesar. Bagi Anda yang termasuk orang pribadi yang dipindahkan ke KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi ini, maka Anda harus mengantisipasi perpindahan ini mulai 1 Mei 2009, terutama pada saat akan menyetorkan pajak ke bank persepsi atau kantor pos dan giro, agar telah menggunakan NPWP baru (yaitu adanya perubahan pada kode KPP pada 6 digit terakhir dari NPWP, yang saat ini kodenya menjadi: "093.000". Sehingga kode NPWP bagi Wajib Pajak yang masuk ke KPP WP Besar Orang Pribadi akan menjadi XX.XXX.XXX.X-093.000).
Ketentuan mengenai pembentukan KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi ini tertuang dalam:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.03/2009 tanggal 1 April 2009.
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2009 tanggal 7 April 2009 yang mengatur mengenai tata cara penatausahaan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak dalam rangka pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak ke Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar Orang Pribadi.
  3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-53/PJ/2009 tanggal 8 April 2009 yang menetapkan Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan dilayani di KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi ini.

Kelak KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi ini akan mengadministrasikan Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP-53/PJ/2009, yang berjumlah 1.200 Wajib Pajak) yang meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL).
Pihak Direktorat Jenderal Pajak juga telah mengumumkan mengenai pembentukan KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi ini melalui Pengumuman Nomor PENG-07/PJ.09/2009 tanggal 16 April 2009 yang telah dimuat di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak dan Media Massa.

Selasa, 07 April 2009

Angsuran PPh Pasal 25

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dikenal adanya satu sistem pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan di awal tahun pajak, sebelum suatu penghasilan yang menjadi objek pajak dapat ditentukan (baca: dihitung). Sistem ini diatur dalam Pasal 25 UU PPh. Pembayaran pajak yang diatur dalam pasal ini (biasanya diistilahkan sebagai PPh Pasal 25) akan diperlakukan sebagai pembayaran pajak di muka dan akan diperhitungkan sebagai kredit pajak pengurang atas PPh terutang yang dihitung pada akhir tahun pajak.
Rumus untuk menentukan besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (baik orang pribadi maupun badan) setiap bulannya dalam tahun berjalan adalah besarnya PPh terutang tahun pajak sebelumnya (PPh terutang tahun berjalan diasumsikan akan sama dengan PPh terutang tahun sebelumnya) dikurangi dengan kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga (yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 26) dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak (berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh).
Bagaimanakah cara penghitungan PPh Pasal 25 menurut ayat ini, apalagi jika kita melihat bahwa ada beberapa perubahan di tahun 2009 ini jika dibandingkan dengan ketentuan tahun 2008? Artikel terkait mengenai perhitungan PPh Pasal 25 di tahun 2009 ini pernah dibahas dalam artikel ini. Namun dalam artikel tersebut tidak dijelaskan bagaimana perlakuannya untuk kredit pajak yang dipotong oleh pihak ketiga. Khusus untuk kredit pajak yang dipotong oleh pihak ketiga yang juga telah mengalami perubahan tarif di tahun 2009 ini (misalkan PPh Pasal 21 yang ada perubahan PTKP dan tarif PPh; PPh Pasal 23 yang ada perubahan tarif), maka dalam perhitungan angsuran PPh Pasal 25, juga harus menyesuaikan perhitungan kredit pajak berdasarkan tarif yang berlaku di tahun 2009.
PPh Pasal 25 ini harus disetorkan oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya (misalkan untuk masa Januari, maka harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari) serta dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (misal untuk masa Januari, maka paling lambat lapor adalah tanggal 20 Februari).
Apakah perhitungan PPh Pasal 25 ini berlaku mulai bulan Januari 2009?
Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPh, ditegaskan bahwa besarnya angsuran pajak (PPh Pasal 25) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh disampaikan besarnya adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu (= bulan Desember tahun sebelumnya).
Kapankah yang dimaksud sebagai bulan-bulan sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh disampaikan?
Dengan adanya perbedaan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh antara orang pribadi dengan badan di tahun 2009 ini, menyebabkan perlakuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh ini akan berbeda untuk orang pribadi dan badan.
Untuk tahun pajak 2009 ini, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 2008 adalah tanggal 31 Maret 2009. Oleh sebab itu, untuk PPh Pasal 25 masa Januari 2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2009) dan masa Februari 2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Maret 2009) batas waktu pelaporannya adalah sebelum batas waktu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 disampaikan, sehingga tidak dapat dihitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan menggunakan Pasal 25 ayat (1) UU PPh. Maka untuk kedua masa ini, dasar untuk menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus disetorkan adalah berdasarkan setoran untuk masa Desember 2008).
Bagaimanakah dengan Wajib Pajak badan yang sebagaimana kita ketahui bahwa batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan mulai tahun pajak 2008 adalah tanggal 30 April 2009. Untuk Wajib Pajak badan, selain PPh Pasal 25 masa Januari 2009 dan masa Februari 2009 yang angsurannya tetap menggunakan angsuran berdasarkan masa Desember 2008, untuk masa Maret 2009 (yang harus disetorkan paling lambat tanggal 15 April 2009 dan batas penyetorannya ini masih sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh badan) PPh Pasal 25-nya juga mengikuti besarnya angsuran masa Desember 2008.
Barulah untuk setoran PPh Pasal 25 masa April 2009, Wajib Pajak badan harus menyesuaikannya berdasarkan perhitungan pada angsuran Pasal 25 ayat (1).

Artikel Terkait:
Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2009

Selasa, 24 Maret 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Pelaporan SPT untuk Pemandu Wisata (Tour Leader)

Tanya:

Terima kasih atas aktifnya saya dalam blog bapak. Saya suka membaca artikel bapak, sangat menarik dan banyak ilmu yang saya dapat.

Pada kesempatan ini saya juga ingin menanyakan mengenai pekerjaan sebagai freelance tourleader. Bila sebagai freelance yang tidak terikat dalam satu pesh, apakah dalam pembayaran pajaknya saya dapat menggunakan norma dalam kode 00000 pekerjaan bebas bidang profesi lainnya. Bila tidak dapat menggunakan norma, bagaimana perhitungan pajaknya. Dan bila selama ini tidak dapat bukti potong dari pesh tempat bekerja, apakah dapat membayar sendiri pajaknya.

Terima kasih atas jawabannya.
Tania

Jawab:

Dear Sdri Tania,
Terima kasih telah menjadi pengunjung setia di blog ini. Dan saya sangat senang jika ternyata informasi yang disajikan ini dapat bermanfaat bagi Anda.
Seharusnya pekerjaan sebagai tour leader tersebut merupakan pekerjaan yang terikat pada suatu perusahaan pemberi kerja (dalam hal ini agen perjalanan wisata). Penghasilan yang diterima adalah berasal dari pemberi kerja, bukan dari para wisatawan yang telah Anda pandu perjalanan wisatanya. Seharusnya Anda diberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan perusahaan kepada Anda. Jika tidak diberikan, Anda berhak untuk memintanya.
Karena pekerjaan Anda ini bukan merupakan pekerjaan bebas (memiliki usaha bebas), maka seharusnya Anda tidak boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (kasus serupa dengan agen asuransi yang selama ini menjadi perdebatan sengit dan akhirnya ada penegasan resmi dari pihak DJP).
Sebenarnya pengertian memiliki pekerjaan bebas atau usaha bebas adalah jika seorang Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menjalankan usaha bebasnya tidak terikat dengan pihak pemberi kerja, dan ia bebas mengendalikan usahanya termasuk dalam menentukan tarif penghasilan yang akan diterimanya.
Umumnya ciri dari seorang yang menjalankan usaha (pekerjaan) bebas adalah ia menerima langsung penghasilan dari klien/nasabah/pelanggannya secara langsung (bukannya klien membayar fee kepada perusahaan yang mempekerjakan orang pribadi ini, kemudian orang pribadi ini mendapatkan penghasilan dari pembayaran imbalan oleh perusahaan). Selain itu, ciri utama seseorang yang menjalankan usaha (pekerjaan) bebas adalah orang pribadi yang bersangkutan memiliki wewenang untuk menetapkan harga kepada para pelanggannya.
Jadi dalam menghitung penghasilan Anda dalam SPT Tahunan Anda, penghasilan bruto yang Anda terima dari perusahaan langsung dikurangkan dengan PTKP, kemudian dikalikan dengan tarif Pasal 17 UU PPh.

Konsultasi Pajak Gratis: Pelaporan SPT untuk Karyawan Pindah Kerja

Tanya:
Dearest Pak Anto,
ada kasus seorang karyawan dalam satu tahun pajak 2008 bekerja dalam 2 perusahaan ; jan-mei di PT.A kemudian pindah jun-des di PT B sehingga untuk tahun pajak 2008 dia mempunyai 1721-A1 dua lembar.
Karena total penghasilan jika digabung masih dibawah Rp 60juta dan ternyata pada saat masuk ke PT.B dia tidak menyerahkan form 1721-A1 dari PT A ; sehingga jika digabung di SPT Tahunan pribadinya akan timbul kurang bayar.

Pertanyaannya adalah form 1770 SS tidak mengakomodasi untuk kasus kurang bayar seperti di atas; apakah:
  1. tetap membayar kurang bayar tsb. dan melampirkan SSP nya di form 1770 SS
  2. tidak membayar kekurangan tsb. karena di form 1770 SS tidak ada pilihan lain kecuali mengisi total harta & total kewajiban

Terima kasih atas waktu Bapak untuk menyempatkan membaca dan menjawab pertanyaan ini.

Jawab:

Sering kali kasus serupa terjadi akibat menyalahi ketentuan yang berlaku. Jika sudah salah seperti ini, maka akan sulit bagi kita untuk melakukan sesuai dengan ketentuan teoritisnya. Seharusnya pemberi kerja yang kedua (PT B) menanyakan kepada pegawai yang bersangkutan mengenai Penghasilan sebelumnya serta menjumlahkan penghasilan sebelumnya tersebut dalam form 1721 A1 yang dibuat oleh PT B. Akibat kesalahan ini, maka PT B menjadi kurang memotong. Kelak jika diperiksa, PT B harus melunasi kekurangan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut.
Namun jika hingga saat Anda akan membuat SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun kekurangan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut masih belum dilunasi oleh PT B, maka karyawan yang bersangkutan perlu melunasi kekurangan bayar PPh tersebut melalui SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya.
Sebenarnya SPT 1770 SS hanya digunakan untuk pegawai yang bekerja hanya pada 1 (satu) pemberi kerja dengan penghasilan bruto sampai dengan Rp 60 juta setahun dan tidak memiliki penghasilan lainnya. Dalam kasus Anda ini, karyawan tersebut telah bekerja pada 2 (dua) pemberi kerja (walau gabungan penghasilannya masih di bawah Rp 60 juta). Maka karyawan tersebut harus melaporkan penghasilannya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Formulir 1770 S. Kekurangan bayar PPh dari hasil penghitungan dalam SPT tersebut agar dilunasi sendiri sebagai PPh Pasal 29.

Kamis, 19 Maret 2009

Penegasan Penghitungan PPh Agen Asuransi Menggunakan Norma

Saat ini di kalangan masyarakat yang bergerak di bidang agen asuransi, timbul kebimbangan mengenai cara penghitungan PPh terutang atas penghasilan yang mereka peroleh dari keagenan asuransinya. Banyak agen asuransi yang menginginkan jika penghitungan Penghasilan neto mereka dapat memperhitungkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam usaha keagenan asuransi. Salah satu metode penghitungan yang paling mudah adalah dengan menggunakan metode norma penghitungan penghasilan neto.
Sehingga banyak pertanyaan yang timbul di masyarakat (pertanyaan serupa juga banyak diterima oleh penulis) tentang apakah mereka boleh menghitung penghasilan netonya menggunakan metode pencatatan dan norma penghitungan penghasilan neto.
Untuk menjawab kebimbangan dari para Wajib Pajak ini, maka Direktur Peraturan Perpajakan II memberikan penegasan melalui Surat nomor S-31/PJ.032/2009 tanggal 19 Januari 2009.

Dalam surat ini ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai usaha sebagai agen asuransi yang terikat oleh suatu hubungan kerja sehingga agen asuransi tidak bebas dalam memberikan jasanya kepada perusahaan asuransi lainnya, tidak dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas sehingga dalam menghitung penghasilan netonya tidak boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Penegasan ini sama seperti pendapat yang pernah disampaikan penulis dalam artikel yang berjudul: Penghitungan Pajak Penghasilan atas Orang Pribadi Agen Asuransi

Catatan: ketentuan dan ulasan di atas saat ini telah digugurkan dengan dikeluarkannya ketentuan baru bagi Agen Asuransi untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, baca artikelnya di sini.

Jumat, 20 Februari 2009

Konsultasi Pajak Gratis: Pelaporan SPT untuk Hadiah Perkawinan

TANYA:
Siang pak anto...

Apakah ["Hadiah Perkawinan" berupa uang yg terkumpul] merupakan objek pajak seperti pengertian Pasal 4 huruf b ?
atau termasuk pengertian sumbangan (bukan objek pajak) ? ==== SPT 1770

Terimakasih sebelumnya atas kesediaan pak anto menjawab permasalahan kami ini...

JAWAB:

Definisi "Hadiah Perkawinan" atau "Sumbangan Perkawinan" ini yang sering menjadi bahan perdebatan.

Jika kita artikan dari arti harfiah dari pemberian yang diberikan pada saat perkawinan biasanya disebut sebagai kado atau hadiah (bahasa Inggris = "present" atau kadang juga disebut "gift"). Namun karena gengsi, maka biasanya orang lebih suka menyebutnya sebagai hadiah daripada sumbangan.
Namun jika kita cermati istilah "Hadiah" dalam UU PPh, hadiah adalah merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh (berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b UU PPh). Hadiah yang disebutkan dalam ayat ini termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Umumnya pemberian hadiah ini dikaitkan dengan adanya hubungan pekerjaan atau kegiatan.

Sedangkan jika disebut sebagai "sumbangan", maka objek ini adalah merupakan penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak (berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh). Syarat suatu sumbangan bukan merupakan objek PPh bagi penerima sumbangannya adalah sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Jadi menurut saya, seharusnya pemberian dari para tamu undangan pada suatu pernikahan lebih cocok jika disebut sebagai pemberian sumbangan yang tidak ada kaitannya dengan hubungan pekerjaan atau kegiatan dan lebih cenderung sebagai tanda ungkapan turut berbahagia dalam rangka mempererat hubungan silahturahmi sehingga pemberian (sumbangan) ini bukan merupakan objek PPh.

Namun berbeda jika pemberian dalam pernikahan ini dapat dikatakan sebagai suatu hadiah, jika antara pihak pemberi dengan penerima ada hubungan pekerjaan/kegiatan dan biasanya pemberian dalam jumlah besar sebagai tujuan untuk memperlancar usaha. Maka pemberian jenis ini akan dikategorikan sebagai pemberian hadiah yang merupakan objek PPh.

Ulasan lebih lanjut dapat dibaca di sini.

Jumat, 13 Februari 2009

Di Mana Tempat Melaporkan SPT Tahunan PPh?

"Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2009 tanggal 18 Pebruari 2009 saat ini Wajib Pajak dapat melaporkan SPT melalui Mobil Pajak, Pojok Pajak dan Drop Box"

Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) tahun 2008 semakin dekat. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang menegaskan bahwa batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh:
  1. bagi Wajib Pajak orang pribadi, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi paling lambat adalah 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak. Dalam hal ini berarti untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008, paling lambat harus disampaikan tanggal 31 Maret 2009.
  2. bagi Wajib Pajak badan, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan paling lambat adalah 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. Dalam hal ini berarti untuk SPT Tahunan PPh Badan tahun 2008, paling lambat harus disampaikan tanggal 30 April 2009.

Kapan Batas Waktu Setoran PPh Pasal 29?

Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ditegaskan bahwa apabila pajak terutang ternyata lebih besar dari kredit pajak yang mengakibatkan timbulnya pajak kurang bayar, maka kekurangan pembayaran pajak ini harus dilunasi sebelum SPT Tahunan PPh Badan disampaikan. Hal ini berarti sebelum SPT Tahunan PPh tersebut disampaikan (paling lambat penyampaian adalah tanggal 31 Maret untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan 30 April bagi Wajib Pajak Badan) Wajib Pajak sudah harus melunasi PPh Pasal 29.

Ke Mana Saya Harus Membayar PPh Pasal 29

Pembayaran PPh Pasal 29 dan umumnya untuk pembayaran PPh dan PPN dapat dilakukan di Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro di seluruh Indonesia.
Bank Persepsi adalah bank yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menerima pembayaran pajak. Pada umumnya bank yang dapat menerima pembayaran pajak adalah Bank Pemerintah dan Bank Umum Swasta Nasional. Biasanya kantor bank yang melayani pembayaran pajaka adalah Kantor Pusat dan Kantor Cabang Utama, serta ada beberapa bank yang juga melayani pembayaran pajak pada Kantor Cabang Pembantu.

Ke Mana Saya Harus Melaporkan/Menyampaikan SPT Tahunan PPh?

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 diatur bahwa SPT Tahunan PPh harus disampaikan secara langsung ke kantor Direktorat Jenderal Pajak, dikirim melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Untuk penyampaian secara langsung SPT Tahunan PPh tahun 2008 ini, Direktorat Jenderal Pajak memberikan pelayanan (sebagaimana diumumkan kepada masyarakat dengan Pengumuman Nomor PENG-04/PJ.09/2009 tanggal 13 Pebruari 2009) sebagai berikut:
  1. SPT Tahunan PPh disampaikan secara langsung atau melalui jasa kiriman tercatat ke KPP atau KP2KP terdekat.
  2. SPT Tahunan PPh disampaikan melalui drop box Ditjen Pajak yang ditempatkan di KPP, Pojok Pajak, Mobil Pajak, atau tempat-tempat tertentu lainnya.
  3. SPT Tahunan PPh Formulir 1770 SS dapat dikumpulkan melalui kantor karyawan masing-masing, yang selanjutnya disampaikan ke KPP atau KP2KP secara kolektif (oleh pemberi kerja).

Ketentuan mengenai penyampaian SPT yang dapat dilakukan melalui tempat lain yang meliputi Pojok Pajak, Mobil Pajak dan Tempat Khusus Penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan (Drop Box) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2009 tanggal 18 Pebruari 2009.

Bagaimana cara membuat laporan SPT dan formulir apa yang harus digunakan?
Jika Anda adalah Wajib Pajak yang berprofesi sebagai pegawai, pekerja, direktur, atau orang-orang yang bekerja dan mendapatkan imbalan sehubungan dengan pekerjaannya itu, dapat mempelajari cara pengisian SPT Tahunan PPh, Formulir apa yang harus digunakan dan bagaimana pelaporannya dengan membaca buku MY TAX SPT 1770 SS DAN 1770 S, Petunjuk Praktis Pengisian dan Penghitungan Pajak Pribadi Anda (Direktur dan Karyawan) karangan Syafrianto & Lani Dharmasetya yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Buku ini dapat diperoleh di toko buku Gramedia di seluruh Indonesia.

Selasa, 03 Februari 2009

Wajib Pajak Baru: Kapan Saya Harus Lapor Pajak?

Setelah seluruh masyarakat Indonesia dihebohkan dengan program sunset policy pada tahun 2008, maka saat ini mereka yang telah memanfaatkan program sunset policy dengan mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP menjadi bingung dengan kewajiban apa yang harus dilakukan selanjutnya dan kapan harus memenuhi kewajiban pajak tersebut.
Pada tulisan sebelumnya yang pernah diposting oleh penulis, penulis telah membahas mengenai langkah apa yang harus dilakukan oleh seorang Wajib Pajak karyawan setelah ia mendapatkan NPWP (artikel tersebut dapat dibaca di sini). Namun masih banyak Wajib Pajak baru yang bingung dan tidak mengetahui kapan mereka harus memenuhi kewajiban pajaknya.

Kewajiban dari seorang Wajib Pajak adalah menghitung besarnya pajak yang terutang atas seluruh penghasilan yang dia terima dalam suatu periode, memperhitungkan pajak-pajak yang telah disetor atau dipotong sebelumnya atas penghasilan yang diperolehnya tersebut dengan pajak terutang hasil perhitungan yang dilakukannya dan menyetorkan pajak yang masih kurang dibayar serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak dengan menggunakan sarana Surat Pemberitahuan (SPT).

Seorang Wajib Pajak telah memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT sejak ia terdaftar dan mendapatkan NPWP.

Jenis SPT (baca: kewajiban pajak) yang harus dilaporkan oleh seorang Wajib Pajak dapat dilihat dari Surat Keterangan Terdaftar (SKT), yang biasanya akan diperoleh bersamaan dengan Kartu NPWP, oleh Wajib Pajak yang mendaftarkan sendiri untuk mendapatkan NPWP ke Kantor Pelayanan Pajak tempatnya terdaftar. Bagi Wajib Pajak yang NPWP-nya didaftarkan secara kolektif oleh pemberi kerja (perusahaan) atau yang mendapatkan NPWP karena didaftarkan secara jabatan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, dapat memperoleh SKT ini ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar dengan menunjukkan kartu NPWP yang telah diperolehnya.

KAPAN HARUS MULAI MELAPORKAN SPT?

Seorang Wajib Pajak yang baru terdaftar, sudah wajib melaporkan SPT sejak ia terdaftar. Kewajiban yang harus dilakukan, yang terdiri dari:

- SPT Masa
Kewajibannya sudah dimulai pada bulan dimana ia terdaftar dan harus dilaporkan paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya setelah tanggal terdaftar.

Contoh:
Tuan X terdaftar pada tanggal 20 Agustus 2008 serta memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21. Maka Tuan X harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa pajak Agustus 2008 paling lambat tanggal 20 September 2008.

- SPT Tahunan
Kewajibannya sudah dimulai pada tahun dimana ia terdaftar dan harus dilaporkan paling lambat;
  1. Untuk Wajib Pajak orang pribadi adalah pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak orang pribadi tersebut terdaftar.
  2. Untuk Wajib Pajak badan adalah pada tanggal 30 April tahun berikutnya setelah tahun pajak badan tersebut terdaftar.
Contoh:
  1. Tuan X yang terdaftar pada tanggal 20 Agustus 2008 harus melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk tahun pajak 2008 paling lambat tanggal 31 Maret 2009.
  2. PT ABC yang terdaftar pada tanggal 20 Agustus 2008 harus melaporkan SPT Tahunan PPh Badan untuk tahun pajak 2008 paling lambat tanggal 30 April 2009.

Selasa, 27 Januari 2009

Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Dalam menghitung besarnya penghasilan neto sebagai dasar pengenaan pajak penghasilan, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat menggunakan 2 (dua) metode, yaitu dengan menggunakan metode pembukuan dan metode pencatatan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Metode penghitungan penghasilan neto dengan melakukan pembukuan menurut ketentuan perpajakan adalah didasarkan pada proses penyusunan pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia.
Sedangkan untuk metode penghitungan penghasilan neto dengan menggunakan pencatatan, lebih lanjut diatur melalui peraturan-peraturan pelaksanaan dari UU KUP tersebut. Salah satu peraturan pelaksanaan dari UU KUP mengenai tata cara penggunaan metode pencatatan ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007.
Dalam memberikan petunjuk yang lebih jelas kepada para Wajib Pajak atas ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Nomor PER-4/PJ/2009 tanggal 20 Januari 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Dalam Peraturan ini, ditegaskan mengenai petunjuk pelaksanaan pencatatan sebagai berikut:

Wajib Pajak Yang Melakukan Pencatatan

Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah:
WP OP yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan
WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.

Pencatatan yang harus diselenggarakan

Pencatatan yang harus diselenggarakan oleh WP OP meliputi:
  1. Peredaran dan/atau penerimaan bruto dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak final;
  2. Penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak final, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
  3. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan final yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.

Selain pencatatan atas peredaran dan/atau penerimaan bruto tersebut di atas, WP OP juga harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban (baik yang digunakan untuk melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas maupun yang tidak digunakan untuk melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas).

Untuk WP OP yang memiliki lebih dari satu jenis usaha/tempat usaha, maka pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha/tempat usaha yang bersangkutan.

Cara Pembuatan Pencatatan

  1. Pencatatan peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto meliputi seluruh peredaran dan/atau penerimaan dan/atau penghasilan bruto yang telah diterima secara tunai.
  2. Pencatatan dibuat dalam satu Tahun Pajak, yaitu jangka waktu 1 Januari s.d. 31 Desember.
  3. Pencatatan dibuat secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto.
  4. Pencatatan dilakukan menggunakan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia.
  5. Pencatatan diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan.
  6. Catatan dan dokumen dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal/tempat usaha/tempat pekerjaan bebas WP selama 10 tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak.

Format pencatatan dapat dilihat pada Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Ketentuan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, serta mencabut Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor 520/PJ/2000.

Rabu, 14 Januari 2009

Perlakuan Pengenaan Pajak Bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri

Orang Pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan (Pekerja Indonesia di Luar Negeri) adalah merupakan Subjek Pajak Luar Negeri. Sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut yang berasal dari pekerjaannya di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia.

Namun jika Pekerja Indonesia di Luar Negeri tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka atas penghasilannya tersebut akan dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku (yaitu tentang Pajak Penghasilan).

Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2009 tanggal 12 Januari 2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

Jumat, 12 September 2008

Konsultasi Pajak Gratis: Ganti NPWP Karena Jadi Pekerja Di Luar Negeri?

Tanya:
Saya bekerja di luar negri sebagai permanent employee, sebelum nya saya bekerja di BUMN dan sudah memiliki NPWP, apakah No NPWP saya harus di ganti atau tidak.
Trims

Edi Rosadi

Jawab:
Untuk orang pribadi, NPWP berlaku selama Wajib Pajak tersebut masih berstatus sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dan baru dapat dicabut jika Wajib Pajak yang bersangkutan telah meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya (pindah ke luar negeri atau pindah kewarganegaraan dan tidak akan datang ke Indonesia lagi). Satu orang Wajib Pajak akan mendapatkan 1 (satu) NPWP. Nomor yang tertera pada NPWP tersebut tidak pernah akan berganti kecuali untuk kode administrasi pada 6 digit terakhir pada seri NPWP tersebut.
Format nomor pada NPWP adalah: xx.xxx.xxx.x-xxx.xxx
Misalkan NPWP: 14.123.456.7-001.000 , maka 9 digit pertama (yaitu: 14.123.456.7) untuk seorang Wajib Pajak tidak pernah akan berganti, walaupun orang yang bersangkutan telah berpindah tempat tinggal. Sedangkan nomor yang akan berganti (jika orang tadi berpindah alamat) adalah 6 digit terakhir (khusus untuk 3 digit pertamanya, sedangkan 3 digit sisanya tetap, yaitu untuk: 001). Digit yang akan berubah ini (kode: 001), adalah kode yang menunjukkan kantor pelayanan pajak (KPP) termpat Wajib Pajak tersebut melakukan seluruh pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Jika seseorang yang pindah dari satu kota ke kota lainnya di Indonesia, maka dia wajib mengajukan pemberitahuan pindah ke KPP lama tempat ia sebelumnya terdaftar untuk mendapatkan surat pindah, kemudian mengajukan surat pindah tersebut ke KPP yang baru (terdekat dengan lokasi domisili barunya tersebut).
Untuk kasus Pak Edi di atas, Bapak saat ini bekerja di Luar Negeri sebagai pegawai tetap di sana. Namun Bapak tidak menyebutkan bahwa Bapak saat ini telah berpindah secara permanen ke luar negeri (menjadi permanent resident di sana). Jadi saya mengasumsikan bahwa Bapak hanya mendapatkan penghasilan di Luar Negeri, namun permanent resident Bapak masih tetap di Indonesia (status kewarganegaraan masih Indonesia, dan setiap saat masih pulang ke Indonesia dan saya asumsikan alamat di Indonesianya masih tetap), maka Bapak tetap menjadi Wajib Pajak di Indonesia dan tidak perlu mengajukan pindah ke KPP yang lain (karena alamat di Indonesia masih tetap) ataupun juga tidak perlu mengganti NPWP.
Demikian penjelasan dari saya.
Terima kasih telah mengunjungi situs ini.