..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPN. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Juli 2011

Aturan Terbaru tentang Pajak atas Impor Film Cerita

Beberapa bulan terakhir ini, dunia industri film impor sempat heboh dengan adanya ketentuan mengenai pengenaan pajak atas impor film cerita. Para importir film asing selama ini dianggap telah melalaikan kewajibannya untuk memungut PPh atas pembayaran royalti dan pembayaran penghasilan kepada para produsen film di Luar Negeri. Para pelaku usaha di dunia perfilman menganggap bahwa selama ini tidak ada ketentuan yang mengharuskan mereka untuk memungut PPh atas impor yang mereka lakukan. Sedangkan menurut Pemerintah, sebenarnya ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan PPh atas impor film dari luar negeri telah berlaku sejak lama. Akibatnya timbul perselisihan antara kalangan pengusaha perfilman (terutama produsen film di Hollywood) dengan Pemerintah Indonesia.

Sehingga untuk memberikan kepastian hukum mengenai pengenaan pajak atas impor film cerita, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.03/2011 tanggal 13 Juli 2011 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Berupa Film Cerita Impor Dan Penyerahan Film Cerita Impor, Serta Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor.

Film cerita impor yang diatur dalam ketentuan ini didefinisikan sebagai karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara yang mengisahkan cerita fiktif atau narasi dan dapat dipertunjukkan yang direkam pada pita seluloid, pita video, cakram optik, atau bahan lainnya yang berasal dari luar Daerah Pabean untuk dieksploitasi di dalam negeri.

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

a. Saat Impor Film Cerita oleh Importir

Impor film cerita dari luar negeri yang dilakukan oleh importir ini adalah merupakan Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sehingga terutang PPN. PPN yang terutang ini dipungut pada saat impor media Film Cerita Impor.

Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung PPN terutang atas impor Film Cerita ini adalah Nilai Lain yang telah memperhitungkan nilai dari media Film Cerita Impor. Nilai Lain ini ditetapkan berupa uang sebesar Rp12.000.000 per copy Film Cerita Impor. Besarnya Nilai Lain ini dapat ditinjau kembali secara berkala yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

b. Saat Penyerahan dari Importir kepada Pengusaha Bioskop

Atas penyerahan Film Cerita Impor oleh Importir kepada Pengusaha Bioskop, terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung PPN terutang atas impor Film Cerita ini adalah Nilai Lain. Nilai Lain ini ditetapkan berupa uang sebesar Rp12.000.000 per copy Film Cerita Impor. Besarnya Nilai Lain ini dapat ditinjau kembali secara berkala yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pemungutan PPN dilakukan hanya sekali untuk setiap copy Film Cerita Impor. Mekanisme pemungutannya dilakukan pada saat pertama kali copy Film Cerita Impor tersebut diserahkan kepada Pengusaha Bioskop.


PAJAK PENGHASILAN (PPh)

Atas kegiatan impor Film Cerita Impor juga terutang PPh Pasal 22. Dasar pemungutan PPh Pasal 22 untuk kegiatan impor Film Cerita Impor adalah Nilai Impor atas media Film Cerita Impor yaitu nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk (Cost Insurance and Freight/CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.


PEMBERLAKUAN KETENTUAN INI

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku tanggal 13 Juli 2011. Dengan berlakunya ketentuan ini, maka aturan mengenai penyerahan Film Cerita Impor tidak lagi menggunakan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
http://syafrianto.blogspot.com


Jumat, 04 Maret 2011

Batasan Rumah Sederhana Yang Dibebaskan PPN

Seiring dengan perkembangan ekonomi akhir-akhir ini dengan mempertimbangkan kondisi inflasi, maka pemerintah kembali melakukan penyesuaian terhadap batasan rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta perumahan lainnya, yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007. Perubahan yang kedua ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011 tanggal 28 Februari 2011.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011 mengubah ketentuan mengenai batasan yang diatur Pasal 2, menjadi:

ayat (1)
Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:
  1. luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);
  2. harga jual tidak melebihi Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah); dan
  3. merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.


Sedangkan ketentuan pada ayat (2) dihapus.

Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas Ekspornya Dikenai PPN

Sebagai pelaksana dari ketentuan UU PPN mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak (JKP) yang ekspornya dikenai PPN, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 (artikel terkait di sini dan di sini). Namun karena masih adanya kekurangan dalam peraturan tersebut, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Perubahan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2011 tanggal 28 Februari 2011.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2011 ini mengubah Pasal 1 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010.

Dalam ketentuan sebelumnya menyatakan bahwa atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam SPT Masa PPN. Sedangkan Pajak Masukan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor Jasa Maklon, merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Namun dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2011 diatur bahwa atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam SPT Masa PPN serta Pajak Masukan atas kegiatan jasa maklon termasuk perolehan BKP-nya dapat dikreditkan sesuai ketentuan.

Ketentuan selengkapnya dalam Pasal 8 yang diubah menjadi:

ayat (1):
Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

ayat (2):
Pajak Pertambahan Nilai atas:
  1. perolehan Barang Kena Pajak;
  2. perolehan Jasa Kena Pajak;
  3. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
  4. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; dan/atau
  5. impor Barang Kena Pajak,
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Senin, 21 Februari 2011

Inilah Aturan Pajak Yang Menghebohkan Dunia Perfilman Asing

Beberapa hari terakhir ini kita dikejutkan dengan ancaman dari Hollywood, Amerika Serikat yang akan menghentikan peredaran film produksi mereka di Indonesia. Pada Jumat tanggal 18 Februari 2011 Motion Pictures Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) mengambil langkah untuk menghentikan distribusi film produksi Hollywood ini di Indonesia sebagai bentuk aksi protes terhadap pengenaan pajak atas hak distribusi film impor. Tentunya hal ini akan sangat mengecewakan masyarakat pecinta film impor yang ada di Indonesia, karena mulai saat ini akan sulit kita temukan lagi film-film Hollywood yang beredar di bioskop-bioskop Indonesia.

Namun sebenarnya ketentuan apa yang menyebabkan reaksi keras dari pihak Motion Picture, Hollywood ini? Untuk menjawab rasa penasaran para Pembaca Setia Tax Learning, berikut ini penulis sajikan aturan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang menimbulkan protes keras dari pihak dunia perfilman di Hollywood. Aturan tersebut adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tanggal 10 Januari 2011 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor.

SE-3/PJ/2011 ini mengacu kepada aturan-aturan perpajakan yang telah ada yaitu:
  1. Pasal 4 ayat (1) huruf h dan Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).
  2. Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN).
Selain itu, SE-3/PJ/2011 ini juga mengacu pada definisi film yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, yaitu bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan atas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.

Penegasan aspek perpajakan yang timbul sehubungan dengan pemasukan film impor dalam SE-3/PJ/2011 ini adalah sebagai berikut:

Pajak Penghasilan

a) atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26 oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra;

b) namun apabila atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pembelian film impor tersebut:
  1. seluruh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari; atau
  2. diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya, maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26;

Pajak Pertambahan Nilai

  1. Pemasukan film impor merupakan kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, berupa hasil karya sinematografi yang merupakan hak kekayaan intelektual yang disimpan dalam media baik berupa roll film ataupun media penyimpanan yang lain, dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
  2. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar;
  3. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak;
  4. Perlu diperhatikan bahwa pada saat pemasukan film impor telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai impor. Oleh karena itu Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan film impor yang terutang pada saat pemasukan film tersebut adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar, dikurangi dengan nilai impor;
  5. Adapun atas pembayaran royalti film impor sebagai hasil peredaran film di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar.

Jumat, 11 Februari 2011

Perubahan Ketentuan Pengenaan PPN atas Oleh-Oleh dari Luar Negeri

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Permintaan Kembali Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri.

Kamis, 13 Januari 2011

Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Masa PPN

Saat ini mungkin sebagian Pembaca Setia Tax Learning masih bingung bagaimana ketentuan pelaporan SPT Masa PPN yang baru (Formulir 1111 atau Formulir 1111 DM). Terutama mengenai ketentuan batasan pelaporan SPT Masa PPN secara manual (menggunakan hardcopy) atau harus menggunakan e-SPT.

Untuk memberikan kepastian mengenai prosedur pelaporan SPT serta tata cara pengolahan SPT, seiring dengan mulai berlakunya SPT Masa PPN Formulir 1111 dan Formulir 1111 DM untuk pelaporan masa Januari 2011 maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan mengenai tata cara penerimaan dan pengolahan SPT Masa PPN dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2011 tanggal 11 Januari 2011 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).

Dalam PER-2/PJ/2011 ini diatur antara lain bahwa:

SPT Masa PPN dapat berbentuk:
  1. Formulir kertas (hard copy)
  2. Data elektronik, yang disampaikan dalam media elektronik atau melalui e-Filling.

Aturan Mengenai Bentuk Formulir yang harus disampaikan oleh PKP
  1. Bagi PKP yang melaporkan dokumen (berupa Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) tidak lebih dari 25 dokumen pada setiap Lampiran SPT dalam 1 Masa Pajak dapat menggunakan SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik.
  2. Bagi PKP yang melaporkan dokumen (berupa Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) lebih dari 25 dokumen pada salah satu Lampiran SPT dalam 1 Masa Pajak harus menggunakan SPT Masa PPN dalam bentuk data elektronik.
  3. Bagi Pemungut PPN adalah SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik.
Ketentuan ini diatur pada Pasal 1 angka 5.
Jadi PKP yang dapat melaporkan SPT Masa PPN 1111 atau 1111 DM secara manual menggunakan formulir kertas (hard copy) adalah PKP yang untuk 1 masa pajak memiliki transaksi pada setiap lampiran SPT (baik 1111 AB, 1111 A1, 1111 A2, 1111 B1, 1111 B2, atau 1111 B3) yang masing-masing lampiran dokumennya tidak lebih 25 dokumen. Namun apabila pada salah satu lampiran tersebut, jumlah dokumennya telah melebihi 25 dokumen, maka PKP tersebut harus menggunakan e-SPT.

Metode Penyampaian SPT:
  1. Secara manual, disampaikan langsung ke KPP atau KP2KP
  2. Secara manual, disampaikan melaluui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP atau KP2KP
  3. SPT dalam bentuk data elektronik dapat disampaikan melalui e-Filling, yaitu cara penyampaian SPT yang dilakukan secara on-line yang real time melalui situs www.pajak.goid atau Penyedia Jasa Aplikasi/Application Service Provider (ASP).
Ketentuan ini mulai berlaku untuk penerimaan dan pengolahan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011. Sedangkan untuk penyampaian SPT Masa PPN masa Desember 2010 masih tetap menggunakan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2006.

Senin, 03 Januari 2011

PPN Terutang atas Transaksi Syariah Sebelum 1 April 2010 Ditanggung Pemerintah

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, transaksi penyerahan barang kena pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah berupa transaksi murabahah (pembiayaan syariah dengan skema jual beli) adalah merupakan jasa pembiayaan yang terutang PPN.

Sebagai informasi bahwa transaksi murabahah adalah merupakan transaksi pembiayaan kepada nasabah untuk perolehan suatu aktiva. Transaksi pembiayaan dalam sistem perbankan syariah ini berbeda dengan transaksi bank konvensional.

Transaksi pembiayaan yang terjadi di perbankan konvensional alur prosesnya adalah nasabah yang membeli suatu aktiva dari supplier aktiva, maka transaksi jual beli (penyerahan aktiva) terjadi dari supplier kepada nasabah sebagai pembelinya. Kemudian nasabah akan mengajukan kredit pembiayaan kepada bank konvensional untuk memperoleh pembiayaan.

Sedangkan transaksi murabahah alur prosesnya adalah untuk memperoleh suatu aktiva, nasabah akan mengajukan permohonan kredit untuk mendapatkan aktiva yang diinginkannya kepada perbankan syariah. Kemudian perbankan syariah akan membeli aktiva sesuai keinginan dari nasabahnya yang kemudian menjual aktiva ini kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan marjin/keuntungan yang disepakati antara perbankan syariah dengan nasabah.

Jika melihat dari alur proses dari pembiayaan yang dilakukan oleh kedua jenis perbankan ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
  1. untuk transaksi pada perbankan konvensional, transaksi penyerahan barang hanya terjadi sekali yaitu pada saat nasabah membeli aktiva kepada supplier. Sehingga PPN hanya terutang sekali pada saat penyerahan aktiva dari supplier kepada nasabah, sedangkan pada saat pembiayaan dari bank konvensional kepada nasabah tidak ada lagi penyerahan barang melainkan hanya terjadi penyerahan jasa perbankan/pembiayaan yang tidak terutang PPN.
  2. untuk transaksi pada perbankan syariah, transaksi penyerahan terjadi 2 (dua) kali, yaitu pada saat bank syariah membeli aktiva kepada pihak supplier dan pada saat penyerahan aktiva dari bank syariah kepada nasabah.
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa ternyata atas transaksi yang serupa pada perbankan syariah telah dikenakan PPN berganda.

Namun sejak berlakunya UU Nomor 42 Tahun 2009 mulai 1 April 2010, atas transaksi pembiayaan syariah murabahah ditetapkan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak (Pasal 1A ayat (1) huruf h). Dengan demikian maka setelah 1 April 2010, sudah tidak terjadi lagi pajak berganda atas transaksi murabahah. Yang menjadi permasalahan adalah atas transaksi-transaksi murabahah yang terjadi sebelum tanggal 1 April 2010, masih tetap terutang PPN.

Sehingga untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat, maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa menanggung pajak yang terutang melalui kebijakan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas transaksi murabahah perbankan syariah yang terjadi sebelum tanggal 1 April 2010. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/OMK.011/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang PPN DTP atas Transaksi Murabahah Perbankan Syariah Tahun Anggaran 2010.

Melalui Siaran Pers Kementerian Keuangan Nomor 220/HMS/2010 tanggal 29 Desember 2010 disebutkan bahwa PPN DTP yang diberikan ini dengan pagu anggaran sebesar Rp 328.454.138.718,00. Bagi Wajib Pajak bank syariah yang telah membayar Surat Ketetapan Pajak atas transaksi murabahah, dapat diberikan pengembalian pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Minggu, 02 Januari 2011

Perlakuan PPN atas Jasa Perdagangan

Selama ini apabila ingin mengetahui apakah atas suatu transaksi barang atau jasa terutang PPN, maka pedoman yang digunakan adalah dengan melihat daftar negative list dalam Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2010 (UU PPN). Atas barang dan jasa yang tercantum dalam negative list tersebut berarti tidak terutang PPN. Sedangkan barang dan jasa yang tidak termasuk ke dalam daftar negative list, otomatis merupakan barang dan jasa yang terutang PPN.

Jadi sebenarnya secara teori adalah cukup mudah untuk menentukan apakah atas suatu transaksi terutang PPN atau tidak. Namun pada kenyataan praktek di lapangan, ternyata hal itu tidaklah semudah teorinya. Hal ini juga dialami oleh Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam kegiatan usaha sejenis jasa perdagangan. Sering pada prakteknya, masih timbul banyak pertanyaan dari masyarakat tentang perlakuan PPN atas jenis jasa perdagangan. Oleh sebab itu, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan.

Definisi

Jasa Perdagangan adalah merupakan jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli barang pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa mencarikan penjual atau pembeli.

Ketentuan PPN atas Jasa Perdagangan

Penyerahan jasa perdagangan dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dengan kondisi-kondisi sebagai berikut:
  1. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan pembeli dapat berada di dalam atau di luar Daerah Pabean;
  2. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual dapat berada di dalam atau di luar Daerah Pabean;
  3. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean;
  4. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean; atau
  5. pengusaha jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual barang dan pembeli barang yang salah satunya adalah penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean.

Pemanfaatan jasa perdagangan dari luar Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah dalam hal kegiatan pemanfaatan jasa perdagangan tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean, dengan kondisi-kondisi sebagai berikut:
  1. pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean;
  2. pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean;
  3. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean; atau
  4. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean.

Jasa Perdagangan Yang Tidak Dikenakan PPN

Jasa Perdagangan tidak dikenakan PPN dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di luar Daerah Pabean, dengan kondisi-kondisi sebagai berikut:
  1. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean; atau
  2. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean.

Senin, 20 Desember 2010

Penunjukan Toko Retail untuk Tax Refund

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang UU PPN memberikan satu fasilitas kepada para wisatawan asing pemegang paspor Luar Negeri yang berbelanja di Indonesia, untuk mendapatkan pengembalian PPN (tax refund) atas barang yang dibelinya di Indonesia dan akan dibawa ke negara asalnya. Saat ini pihak Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan 8 (delapan) toko di Jakarta dan Denpasar yang memberikan fasilitas untuk melakukan pengembalian PPN pada saat turis asing tersebut akan kembali ke negara asalnya.

Untuk memperbanyak lokasi dan toko yang memberikan fasilitas pengembalian PPN ini, maka Direktur Jenderal Pajak kembali menetapkan toko-toko yang akan melayani pengembalian PPN ini melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-386/PJ/2010 tanggal 9 Desember 2010 tentang Penunjukan Toko Retail.

Dalam KEP-386/PJ/2010 ini Direktur Jenderal Pajak menunjuk 10 (sepuluh) toko retail lagi yang akan ikut berpartisipasi dalam skema pengembalian PPN kepada orang pribadi turis asing mulai 1 Januari 2011.

Kesepuluh toko yang berada di Yogyakarta dan Sleman yang ditunjuk tersebut adalah:
  1. Mirota Batik; alamat: Jl. Ahmad Yani No. 9 Yogyakarta
  2. PT Aseli Dagadu Djokdja; alamat: Jl. Pakuningratan 17 Yogyakarta
  3. HS Silver; alamat: Jl. Mondorakan No. 1 Prenggan Kotagede, Yogyakarta
  4. Ansor Silver; alamat: Jl. Tegalgendu No. 28 Kotagede, Yogyakarta
  5. Batik Keris; alamat: Jl. Malioboro No. 21, Yogyakarta
  6. Batik Keris; alamat: Plaza Ambarukmo, Yogyakarta
  7. Batik Danarhadi; alamat: Jl. Laksda Adisutjipto No. 3 Yogyakarta
  8. Margaria Batik; alamat: Jl. Ahmad Yani No. 65 Yogyakarta
  9. Centro Departemen Store; alamat: Plaza Ambarukmo, Yogyakarta
  10. Dowa; alamat: Jl. Godean KM 7 Sidomulyo, Sleman

Artikel Terkait:

Tax Refund Bagi Turis Asing Yang Berbelanja Di Indonesia

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Faktur Pajak bagi PKP Pedagang Eceran

Dengan berlakunya Undang-Undang PPN yang baru (UU Nomor 42 Tahun 2009), maka tidak lagi dikenal adanya Faktur Pajak Sederhana. Saat ini, seluruh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) wajib menerbitkan Faktur Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN. Dengan berlakunya ketentuan ini, tentunya akan sangat merepotkan bagi para PKP yang memiliki usaha sebagai Pedagang Eceran. Para PKP Pedagang Eceran ini setiap saat melakukan transaksi penyerahan kepada konsumen akhir yang mungkin tidak diketahui identitasnya, dengan nilai transaksi yang jumlahnya tidak terlalu besar namun intensitas transaksinya sangat sering/banyak.

Dapat kita bayangkan betapa repotnya apabila PKP Pedagang Eceran seperti pasar-pasar swalayan dengan antrian konsumen yang akan membayar di kasir yang demikian panjang, namun masih harus dimintakan identitas perpajakan secara lengkap hanya untuk mengisikan Faktur Pajak agar sesuai dengan ketentuan UU PPN. Selain tidak praktis, mungkin sebagian besar konsumen akan merasa enggan untuk bertransaksi dengan para PKP Pedagang Eceran tersebut.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, serta memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dan masyarakat, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-58/PJ/2010 tanggal 13 Desember 2010 tentang Bentuk dan Ukuran Formulir serta Tata Cara Pengisian Keterangan pada Faktur Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran. Dalam PER-58/PJ/2010 yang disampaikan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-137/PJ/2010 tanggal 13 Desember 2010 ini diatur hal-hal sebagai berikut:

Definisi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran

Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pedagang Eceran adalah PKP yang dalam kegiatan suaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dengan cara:
  1. melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
  2. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
  3. pada umumnya penyerahan BKP atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual langsung membawa BKP yang dibelinya.

Kewajiban membuat Faktur Pajak bagi PKP Pedagang Eceran

PKP Pedagang Eceran wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP dan JKP. Faktur Pajak yang dibuat ini paling sedikit (minimal) harus memuat keterangan:
  1. nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP (dalam hal ini adalah PKP Pedagang Eceran sendiri);
  2. jenis BKP yang diserahkan
  3. jumlah Harga Jual yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah;
  4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; dan
  5. kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
Jadi Faktur Pajak yang dibuat ini harus diisi secara lengkap, jelas dan benar sesuai dengan syarat minimal di atas.

Faktur Pajak yang dibuat oleh PKP Pedagang Eceran sebagaimana disyaratkan di atas, dapat berupa:
-bon kontan,
-faktur penjualan,
-segi cash register,
-karcis,
-kuitansi, atau
-tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.

Bentuk, Ukuran, Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak sebagaimana diuraikan di atas adalah disesuaikan dengan kepentingan PKP Pedagang Eceran.

Pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan sendiri oleh PKP Pedagang Eceran.

Kode dan nomor seri Faktur Pajak ini dapat berupa nomor nota, kode nota, atau ditentukan sendiri oleh PKP Pedagang Eceran.

Faktur Pajak yang dibuat oleh PKP Pedagang Eceran paling sedikit dalam 2 (dua) rangkap yang peruntukannya:
-Lembar ke-1: disampaikan kepada pembeli BKP
-Lembar ke-2: untuk arsip PKP yang membuat Faktur Pajak.
Faktur Pajak ini dianggap telahd dibuat dalam 2 (dua) rangkap atau lebih dalam hal Faktur Pajak tersebut dibuat dalam 1 (satu) lembar yang terdiri dari 2 (dua) atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong.
Lembar ke-2 Faktur Pajak ini dapat juga berupa rekaman Faktur Pajak dalam bentuk media elektronik yaitu sarana penyimpanan data, antara lain: diskette, Digital Data Storage (DDS) atau Digital Audio Tape (DAT) dan Compaq Disc (CD).

Sehubungan dengan berlakunya PER-58/PJ/2010 maka ketentuan yang berkaitan dengan penerbitan Faktur oleh PKP Pedagang Eceran sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 dinyatakan tetap berlaku kecuali yang diatur khusus dalam PER-58/PJ/2010.

PER-58/PJ/2010 ini mulai berlaku 1 Januari 2011.

Khusus dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-137/PJ/2010 ditegaskan bahwa dalam hal PKP pabrikan atau distributor yang dalam kegiatan usahanya melakukan penjualan secara eceran (memiliki outlet) sebagaimana yang dimaksud dalam definisi PKP Pedagang Eceran dalam PER-58/PJ/2010, atas penyerahan BKP secara eceran tersebut PKP dapat membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan PER-58/PJ/2010 ini.

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Senin, 29 November 2010

Penegasan Perlakuan PPN atas Kegiatan Usaha Perbankan

Seiring dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) sejak 1 April 2010, dimana dalam UU PPN ini perlakuan PPN atas Kegiatan Usaha Perbankan mengalami beberapa perubahan terutama untuk usaha perbankan syariah, maka untuk memberikan persamaan persepsi atas penerapan UU PPN ini Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-121/PJ/2010 tanggal 23 November 2010 tentang Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Usaha Perbankan.

Objek dan Non Objek PPN

Dalam penegasan yang mengacu kepada Pasal 4A ayat (3) UU PPN dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diatur mengenai jenis-jenis transaksi dan kegiatan perbankan yang merupakan objek PPN dan yang bukan objek PPN.

Dalam penegasan ini disebutkan bahwa kegiatan usaha bank umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak terutang PPN memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Jasa keuangan yang diserahkan berupa jasa pembiayaan yang mendapatkan imbalan berupa bunga, atau
  2. Jasa keuangan yang diserahkan secara langsung oleh bank kepada nasabah, dalam hal jasa keuangan tersebut bukan jasa pembiayaan.

Dalam penegasan ini, disebutkan jenis-jenis kegiatan yang terutang PPN maupun yang tidak terutang PPN secara rinci.

Kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak terutang PPN ditegaskan dalam angka 4 dan Lampiran I, meliputi:
1) menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
2) memberi kredit;
3) menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
4) melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit;
5) menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
6) menerbitkan surat pengakuan utang;
7) menjamin atas risiko sendiri:
  1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
  2. surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
  3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
  4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
  5. obligasi;
  6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
  7. instrumen surat berharga lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perudang-undangan yang berlaku.


Sedangkan kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN meliputi:
1) memindahkan uang untuk kepentingan bukan nasabah;
2) melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
3) menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
4) menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
5) melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
6) membeli, menjual atau menjamin untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
  1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
  2. surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
  3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
  4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
  5. obligasi;
  6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
  7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
7) melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di samping kegiatan-kegiatan tersebut di atas, bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajiban kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sesuai ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. Atas transaksi ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN.

Kewajiban Bank sebagai PKP

Bank yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana objek-objek PPN yang telah disebutkan di atas, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.

PKP wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah melakukan kegiatan usaha yang sama, perlakuan PPN atas kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah tersebut adalah sama dengan perlakuan PPN atas kegiatan usaha Bank Umum sebagaimana yang ditegaskan dalam SE-121/PJ/2010 ini (mutatis mutandis).

Senin, 22 November 2010

Penyerahan Jasa Angkutan Umum Plat Kuning Tidak Terutang PPN

Saat ini masih banyak masyarakat yang bingung dengan perlakuan pengenaan PPN bagi penyerahan jasa angkutan. Apabila kita mengacu kepada Pasal 4A ayat (3) huruf j Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) yang mengatur mengenai jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN, maka ditegaskan bahwa jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri adalah merupakan salah satu jenis jasa yang tidak dikenai PPN.

Namun pada prakteknya, jenis angkutan umum, terutama angkutan umum di darat, bentuk dan sistemnya ada berbagai macam sehingga sebagian masyakakat bingung dengan ketentuan pengenaan PPN atas jasa angkutan darat ini.

Untuk memberi penegasan mengenai perlakuan PPN atas penyerahan jasa angkutan darat ini, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-119/PJ/2010 tanggal 16 November 2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Angkutan Umum di Jalan.

Sebenarnya penegasan serupa sudah pernah diterbitkan yaitu melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-05/PJ.53/2006 tanggal 6 Januari 2006.

Dalam SE-119/PJ/2010 ini, dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan Pasal 4A ayat (3) huruf j UU PPN dan Pasal 1 angka 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 tentang Jasa di Bidang Angkutan Umum di Darat dan di Air yang tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006, Direktur Jenderal Pajak menegaskan bahwa:
  • Yang dimaksud dengan Kendaraan Angkutan Umum adalah kendaraan motor yang dipergunakan untuk kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, dengan menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam.
  • Penyerahan jasa Angkutan Umum di jalan dengan menggunakan Kendaraan Angkutan Umum tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sepanjang menggunakan kendaraan bermotor dengan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam, termasuk penyerahan jasa Angkutan Umum di jalan dengan menggunakan Kendaraan Angkutan Umum yang bersifat charter atau sewa.

Oleh sebab itu, menurut penulis, saat ini kunci untuk menyatakan bahwa penyerahan jasa angkutan darat tidak dikenakan PPN apabila jenis jasa angkutan darat tersebut (baik angkutan orang maupun barang) dilakukan menggunakan kendaraan bermotor dengan tanda nomor kendaraan (plat nomor) dengan dasar kuning dan tulisan hitam dengan sistem pengangkutan baik secara trayek, charter maupun sewa.

Jumat, 12 November 2010

Pelaksanaan Pemberian Persetujuan Atas Pemberitahuan Pemasukan/Pengeluaran Barang Transaksi Tertentu

Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan prosedur pelaksanaannya melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-111/PJ/2010 tanggal 3 November 2010.

Pencabutan PER-48/PJ/2008 tentang Tata Cara Restitusi PPN dan PPnBM

Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang mengatur mengenai PPN dan PPnBM, dimana salah satu perubahan terjadi dalam hal mekanisme pengembalian kelebihan PPN atau PPnBM yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010, maka ketentuan mengenai Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selama ini diatur dalam PER-48/PJ/2008 menjadi tidak berlaku lagi. Oleh sebab itu, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-49/PJ/2010 tanggal 3 Nopember 2010 tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Ketentuan pencabutan PER-48/PJ/2008 ini berlaku surut mulai 1 April 2010.

Kamis, 28 Oktober 2010

Tata Cara Pembebasan PPN atas Impor Kapal

Impor kapal yang dilakukan oleh Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri untuk kegiatan usahanya dapat dibebaskan dari pengenaan PPN. Fasilitas PPN ini diberikan dengan tujuan memberikan kemudahan bagi perusahaan pelayaran Dalam Negeri (Niaga Nasional) serta dapat bersaing dalam pasar pelayaran dunia. Untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahaan bagi Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, maka prosedur dan tata cara pembebasan PPN atas impor kapal ini ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-46/PJ/2010 tanggal 20 Oktober 2010. PER-46/PJ/2010 ini berlaku sejak tanggal 20 Oktober 2010 sampai dengan 31 Desember 2010.

Sebagai pengantar dari PER-46/PJ/2010 ini, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-107/PJ/2010 tanggal 20 Oktober 2010.

Selasa, 12 Oktober 2010

Formulir SPT Masa PPN Untuk PKP Pakai Pedoman Pengkreditan

Mulai 1 Januari 2011 nanti, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, harus menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan formulir yang berbeda dengan PKP lainnya. Berbeda dengan yang selama ini berlaku.

Ketentuan mengenai bentuk formulir SPT Masa PPN khusus bagi PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tanggal 6 Oktober 2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.

Bentuk formulir SPT Masa PPN khusus bagi PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ini diberi kode sebagai Formulir SPT Masa PPN 1111 DM.

Ketentuan mengenai PER-45/PJ/2010 ini disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-99/PJ/2010 tanggal 6 Oktober 2010.


Tidak menemukan artikel yang Anda cari, lakukan pencarian lebih lanjut.

Download:
- Formulir SPT Masa PPN 1111 DM
- Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN 1111 DM
- Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Mengisi SPT Masa PPN 1111 DM


Artikel Terkait:
Formulir SPT Masa PPN 1111

Formulir SPT Masa PPN Berubah!

Selama ini kita mengenal bentuk formulir SPT Masa PPN yang digunakan untuk melaporkan kewajiban PPN setiap masanya adalah bentuk Formulir SPT Masa PPN 1107. Sedangkan untuk Wajib Pajak yang khusus terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak di wilayah Jakarta, dapat menggunakan Formulir SPT Masa PPN 1108 apabila penyerahan setiap bulannya tidak melebihi 30 transaksi yang diterbitkan Faktur Pajak.

Kelak, mulai tanggal 1 Januari 2011, formulir SPT Masa PPN yang telah kita gunakan selama ini akan berubah. Perubahan SPT Masa PPN ini sekaligus untuk mengikuti ketentuan UU PPN yang baru berlaku sejak 1 April 2010. Perubahan bentuk formulir SPT Masa PPN ini ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 tanggal 6 Oktober 2010. SPT Masa PPN yang baru ini akan mulai diberlakukan untuk pelaporan PPN masa Januari 2011 dan diberi nama sebagai Formulir SPT Masa PPN 1111.

Ketentuan mengenai PER-44/PJ/2010 ini disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-98/PJ/2010 tanggal 6 Oktober 2010.


Tidak menemukan artikel yang Anda cari, lakukan pencarian lebih lanjut.

Download:
- Formulir SPT Masa PPN 1111
- Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN 1111
- Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Mengisi SPT Masa PPN 1111


Artikel Terkait:
Formulir SPT Masa PPN untuk PKP yang Menggunakan Metode Pengkreditan

Jumat, 01 Oktober 2010

Perlakuan PPN atas BKP/JKP Yang Dibebaskan PPN

Saat ini masih banyak pihak yang mempertanyakan mengenai perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Barang Kena Pajak (BKP) Tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) Tertentu dan/atau BKP Tertentu yang bersifat strategis yang diekspor, dan barang hasil pertanian yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Untuk memberikan kepastian tentang perlakuan PPN atas BKP dan JKP ini, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-95/PJ/2010 tanggal 20 September 2010.

Dalam SE-95/PJ/2010 ini ditegaskan bahwa:

Sebagai Pelaksanaan Pasal 16B Undang-Undang PPN, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 antara lain diatur bahwa atas impor Barang Kena Pajak Tertentu, penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak Tertentu, impor dan atau penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf f dan angka 2, terbatas untuk penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu atau Jasa Kena Pajak Tertentu, impor Barang Kena Pajak Tertentu, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Tertentu dan Jasa Kena Pajak Tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dan tidak mencakup ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau ekspor Jasa Kena Pajak

Dengan demikian, Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang diekspor tetap dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (Nol persen).

Jenis Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah beserta Lampirannya, yang mengatur tentang Penetapan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis.

Ekspor Jasa Kena Pajak Tertentu yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud pada butir 4 mengikuti ketentuan ekspor Jasa Kena Pajak yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menghasilkan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang diekspor tetap dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Disamping hal tersebut, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 mulai 1 April 2010 maka :
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; dan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003;
masih tetap berlaku sampai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah yang menggantikan Peraturan Pemerintah tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

Khusus untuk barang hasil pertanian sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tetap berlaku sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis kecuali untuk daging, telur, susu, sayuran dan buah-buahan yang telah ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Selasa, 13 Juli 2010

Tata Cara Penetapan Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah

Dalam ketentuan UU PPN yang baru, menetapkan adanya kriteria Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Kriterian PKP risiko rendah ini diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) dan Pasal 9 ayat (4d). Aturan pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010.

Tata cara mengenai penetapan PKP kriteria risiko rendah ini lebih lanjut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2010 tanggal 5 Juli 2010 tentang Tata Cara Penetapan Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah, yang disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-76/PJ/2010 tanggal 5 Juli 2010.

Ketentuan ini mengatur antara lain:

Untuk mendapatkan fasilitas pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, terlebih dahulu PKP harus mengajukan permohonan kepada Kepala KPP tempat dia terdaftar dan dikukuhkan sebagai PKP untuk ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah dengan melampirkan:
  1. keterangan dari instansi yang berwenang, yang dapat berupa Laporan Bulanan Kepemilikan Saham Emiten atau Perusahaan Publik dan Rekapitulasi, bagi perusahaan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
  2. keterangan dari instansi yang berwenang, yang dapat berupa Akta Pendirian dan perubahannya, bagi perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
  3. Surat Pernyataan bahwa nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) adalah produksi sendiri dan Laporan Keuangan untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian, bagi produsen selain Perusahaan Terbuka dan BUMN/BUMD.

Kepala KPP menerbitkan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak.

Keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah ini berlaku untuk 24 (dua puluh empat) Masa Pajak sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah.

Surat Keputusan Penetapan Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah ini dinyatakan tidak berlaku lagi apabila dalam masa berlakunya jangka waktu sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah ini, terhadap Pengusaha Kena Pajak dilakukan:
  1. pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan; atau
  2. pemeriksaan dan ternyata dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah.

Ketentuan ini berlaku pada tanggal ditetapkannya yaitu tanggal 5 Juli 2010.

Kamis, 06 Mei 2010

Penggunaan e-SPT PPN 1107 sesuai UU Nomor 42 Tahun 2009

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2010, maka bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyampaian e-SPT selama belum ada aplikasi baru melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-59/PJ/2010 tanggal 3 Mei 2010.

Dalam SE-59/PJ/2010 ini ditegaskan ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT tetap menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 yang digunakan saat ini sampai Formulir SPT Masa PPN yang baru selesai dibuat yang rencananya akan digunakan paling lambat 1 Januari 2011.

Untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli tanpa identitas dan Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dalam rangka penyerahan BKP kepada turis asing, pelaporan dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 dilakukan dengan cara menggunggung nilai Dasar Pengenaan Pajak dan PPN-nya dalam Lampiran 1107 A Bagian III "Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana".

Bagi PKP Toko Ritel yang ditunjuk melakukan penyerahan kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107, wajib melampirkan Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran PER-14/PJ/2010 secara manual. Daftar Rincian tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN Toko Ritel yang bersangkutan.
Sedangkan bagi PKP lainnya yang melakukan penyerahan kepada pembeli tanpa identitas (Nama dan NPWP pembeli tidak diisi) tidak wajib melampirkan daftar rinciannya pada saat menyampaikan e-SPT PPN 1107 tetapi cukup mengadministrasikan rincian tersebut.

Untuk mengakomodir apabila terjadi Nomor Faktur Pajak yang diinput dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 A Bagian II "Penyerahan dalam Negeri Dengan Faktur Pajak" tidak berurutan, maka Wajib Pajak terlebih dahulu mengubah setting aplikasi e-SPT PPN 1107 pada Informasi Profile bagian Penomoran Faktur diubah menjadi input manual.

Bagi PKP yang melakukan Kegiatan Usaha Tertentu (sesuai Peraturan Menkeu 79/PMK.03/2010) dan menyampaikan SPT Masa PPN menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 cara Penghitungan Norma agar terlebih dahulu mengunduh (download) aplikasi e-SPT PPN 1107 versi 3.1 dengan melakukan penyesuaian formulasi penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.