..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Kamis, 29 Oktober 2009

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM

Undang-Undang PPN yang telah disahkan oleh DPR tanggal 16 September 2009 lalu, telah ditandatangani Presiden Republik Indonesia dan telah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tanggal 15 Oktober 2009 dan telah dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150 Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 5069.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM ini secara resmi akan diberlakukan sejak 1 April 2010.


Download:
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

- Undang-Undang Lama: UU Nomor 18 Tahun 2000

Artikel Terkait:
- Undang-Undang PPN telah Disahkan DPR
- Aturan Pelaksana dari UU Nomor 42 Tahun 2009

Selasa, 27 Oktober 2009

Kumpulan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tahun 2009

Berikut ini Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perpajakan yang diterbitkan selama tahun 2009:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-30/PJ/2009
Tanggal 27 April 2009
Tata Cara Pemberian Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan





Kembali ke Menu Kumpulan Peraturan Perpajakan

Senin, 26 Oktober 2009

Kabar Baik untuk Agen

Sebuah pesan pendek mampir di handphone saya siang itu. Nama pengirimnya saya kenal sebagai seorang agen asuransi di sebuah perusahaan joint venture. "Puji Tuhan sudah terima surat keputusan Dirjen Pajak No. PER-57/PJ/2009 diputuskan pajak untuk agen asuransi bukan karyawan memakai norma penghitungan pajak. Selamat, sekali lagi terimakasih atas dukungannya untuk AAJI, MDRT dan IAAI." Meskipun tidak terkait dengan nasib saya, hati ini ikut bersorak. Saya bersama seorang teman wartawan dari media lain yang sedang mampir ke ruang kerja Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata segera mengonfirmasi kebenaran berita tersebut.

Saat itu Biro Perasuransian juga belum mendapatkan kepastian berita tersebut. Meski demikian, Isa pun ikut menyatakan kegembiraan dan apresiasinya. "Itu menunjukkan dukungan yang diberikan Menteri Keuangan kepada industri-industri keuangan, seperti industri asuransi ini," ujarnya.

Keputusan itu tertampung dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-57/PJ/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Dirjen Pajak No. PER-31/ PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

Aturan itu ditandatangani Direktur Jenderal Pajak Mochammad Tjiptardjo pada 12 Oktober 2009. Dalam PER-31/PJ/2009 Pasal 3 c disebutkan bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk petugas dinas luar asuransi.

Pada pasal 9 ayat 1 c disebutkan 50% dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.

Wajar saja keputusan ini disambut gembira seluruh kalangan industri asuransi. Perjuangan untuk mewujudkan reformasi pajak agen ini menempuh waktu yang cukup panjang, bahkan sudah digaungkan sejak Firdaus Djaelani masih menjabat sebagai Direktur Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan Depkeu.

"Saya sangat gembira dengan keputusan ini. Selama ini agen mengadu pada kami, mereka menangis dengan perlakuan pajak yang ada. Mereka seperti kerja bakti saja. Dengan ini saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Pak Isa dan Pak Firdaus," ujar Ketua AAJI Evelina F. Pietruchka dengan senyum mengembang.

Ruwetnya masalah perpajakan agen bermuara dari kondisi beberapa tahun yang lalu, saat asuransi masih menggunakan branch system di mana agen seperti karyawan mendapatkan gaji. Saat sudah menjadi sistem agency, sistem perpajakan yang berlaku masih menempatkan agen menjadi karyawan dan dikenakan tarif progresif.

Kondisi ini memberatkan karena dengan sistem agency, agen merupakan entrepreneur yang bekerja dengan komisi, tanpa mendapatkan gaji tetap dan tunjangan.

Padahal di sisi lain agen mengeluarkan biaya untuk menjalankan bisnis, transportasi, buku, seminar, maupun untuk memelihara hubungan baik dengan klien.

Pertemuan demi pertemuan dengan Ditjen Pajak digelar secara intensif. AAJI memperjuangkan mereka diperlakukan sebagai freelance seperti halnya agen properti. Jika kebijakan pajak berubah, diyakini target asosiasi menjaring 500.000 agen pada 2012 dan aset Rp500 triliun pada 2014 bisa tercapai.

Dengan munculnya aturan itu agen akhirnya bisa kembali tersenyum, terlebih lagi aturan norma 50% itu juga memberikan backdate masa berlaku mulai 1 Januari 2009. "Artinya pajak yang berlaku bagi agen itu dari 50% pendapatan, yang 50% lagi dianggap biaya. Jadi semakin besar income-nya, makin besar saving-nya," ujar Direktur Eksekutif AAJI Stephen Juwono.

Meski demikian, AAJI memberlakukan persyaratan khusus. Asosiasi minta pemberlakuan sistem perpajakan agen yang baru ini harus diikuti penjualan yang profesional oleh agen, tidak miss selling, dan tunduk pada kode etik keagenanan asosiasi dengan tidak melakukan bajak-membajak agen.

Asosiasi juga minta agen mematuhi aturan mengenai sertifikasi dan pro-gram continuing professional development (CPD). "Juga tidak complain mengenai harga (sertifikasi agen) karena biaya sudah dipotong pajak untuk agen. Untuk agen yang tidak mematuhi, AAJI berhak untuk melaporkan ke kantor pajak untuk tidak memberlakukan norma 50% kepada agen tersebut," tegas Stephen.

Dia menambahkan sistem pajak baru ini hanya berlaku untuk agen yang memiliki NPWP, sehingga asosiasi menghimbau agar tenaga pemasaran mempunyai kartu tersebut.

Direktur Utama Allianz Life Indonesia Jens Reisch juga menyatakan kegembiraannya atas putusan itu. Dia mengatakan perlakuan pajak yang baru ini akan mempermudah perusahaan memenuhi target rekrutmen agen baru dan agen juga lebih semangat bekerja sehingga produksi premi industri akan terdongkrak. "Baik jumlah agen maupun produksi premi saya perkirakan bisa terdongkrak 20%-30%," ujarnya.

Masih panjang perjuangan selanjutnya, bagaimana memberlakukan pajak yang lebih ringan untuk pemegang polis asuransi jiwa. Selamat berjuang!

Sumber : Bisnis Indonesia

Aturan Terkait:
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penghitungan PPh Pasal 21 Agen Asuransi
- Penegasan Direktur Jenderal Pajak atas Perlakuan PPh bagi Agen Asuransi

Kamis, 22 Oktober 2009

Perubahan Tata Cara Pemotongan PPh atas Jasa Konstruksi

Ketentuan mengenai tata cara pemotongan PPh atas jasa konstruksi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 telah disempurnakan dan diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tanggal 20 September 2009



Bea Siswa yang Dikecualikan dari Pengenaan PPh

Jumat, 16 Oktober 2009

Tata Cara Penunjukan Tempat Pembayaran PBB

Untuk memberikan pelayanan kepada para Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2007 maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-58/PJ/2009 tanggal 13 Oktober 2009 mengenai Tata Cara Penunjukan Tempat Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.

Petunjuk pelaksanaan dari PER-58/PJ/2009 ini ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-101/PJ/2009 tanggal 13 Oktober 2009.
Dalam ketentuan ini diatur bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) setiap tahun menunjuk satu Tempat Pembayar (TP), yang merupakan Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran PBB dan memindahbukukan ke Bank Persepsi/Pos Persepsi, untuk satu wilayah tertentu. Wilayah tertentu ini adalah wilayah administrasi pemerintahan yaitu Desa/Kelurahan atau Kecamatan dimana objek pajak berada.
Dalam SE-101/PJ/2009 dijelaskan secara terperinci bagaimana proses kerja penunjukan TP serta kegiatan dari TP tersebut.

Di samping itu, Direktur Jenderal Pajak juga telah menetapkan 2 (dua) TP, yaitu melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor:
-SE-98/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009 menunjuk PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan sebagai TP Elektronik.
-SE-99/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009 menunjuk PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara sebagai TP Elektronik.

Kamis, 15 Oktober 2009

Direktorat Keberatan dan Banding Dikeluarkan dari Ditjen Pajak

JAKARTA, KOMPAS.com- Direktorat Keberatan dan Banding Pajak akan dipisahkan dari Direktorat Jenderal Pajak. Itu dikarenakan adanya penumpukan kasus pajak di Pengadilan Pajak yang diperkirakan terjadi karena fungsi Direktorat Keberatan dan Banding Pajak untuk memeriksa keberatan pajak di tingkat pertama tidak berjalan.

"Kami berupaya agar kasus yang dilimpahkan ke Pengadilan Pajak tidak bertambah, antara lain dengan mengalihkan Direktorat Keberatan dan Banding Pajak ke luar dari Ditjen Pajak," kata Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia Nasution di Jakarta, Rabu (14/10).

Menurut Mulia, pihaknya berupaya mencari cara untuk menurunkan jumlah kasus yang dilimpahkan dari Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai ke Pengadilan Pajak. Salah satu caranya adalah dengan menambah jumlah hakim dan mempercepat penyelesaian setiap perkara.

Selain itu, sedang dilakukan pembicaraan antara Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan untuk mengurangi jumlah perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Pajak.

Perkara yang dilimpahkan ke pengadilan pajak menumpuk karena banyaknya penolakan perkara di level Ditjen Pajak atau Ditjen Bea dan Cukai. "Salah satunya adalah dengan memisahkan lembaga keberatan dari Ditjen Pajak atau Ditjen Bea dan Cukai," ujar Mulia.

Sebelumnya diketahui sekitar 9.400 kasus perpajakan dilaporkan menumpuk di Pengadilan Pajak Departemen Keuangan karena keterbatasan jumlah majelis yang bisa menyelesaikan perkaranya. Jumlah perkara yang menumpuk itu bertambah dibandingkan posisi Desember 2008 yang masih mencapai 7.008 kasus.

Sumber: Kompas

Rabu, 14 Oktober 2009

Tata Cara Pemindahan WP/PKP Yang Terdaftar di KPP Madya

Seiring dengan proses modernisasi administrasi di Direktorat Jenderal Pajak, serta untuk memperlancar penatausahaan dan pemindahan tempat pendaftaran dan tempat pelaporan usaha bagi WP atau PKP, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-54/PJ/2009 tanggal 1 Oktober 2009 tentang Tata Cara Pemindahan Wajib Pajak Terdaftar dan/atau Pengusaha Kena Pajak Terdaftar dari Kantor Pelayanan Pajak Madya Sehubungan dengan Perubahan Tempat Tinggal atau Tempat Kedudukan dan/atau Tempat Kegiatan Usaha.
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu tanggal 1 Oktober 2009.



Selasa, 13 Oktober 2009

Perubahan PER-31/PJ/2009: Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21

Saat ini ketentuan mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009. Namun karena dirasakan masih adanya kekurangakuratan perhitungan atas penerima penghasilan orang pribadi bukan pegawai, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009 sebagai Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009.

PER-57/PJ/2009 mengubah beberapa perhitungan PPh Pasal 21 yang diterima oleh bukan pegawai sebagaimana yang dicontohkan pada perhitungan Bagian Kedua Angka Romawi V Lampiran II PER-31/PJ/2009.

Artikel Terkait:

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009

Senin, 12 Oktober 2009

Penggunaan Norma Bagi Petugas Agen Asuransi dan Distributor MLM

Ini merupakan kabar gembira bagi para Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki usaha sebagai petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan Multilevel Marketing (MLM).
Akibat masih banyak Wajib Pajak yang bingung dengan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, terutama bagi Petugas Dinas Luar Asuransi dan Distributor MLM, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan penegasan berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-100/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009. Dalam SE-100/PJ/2009 ini ditegaskan bahwa penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi petugas Dinas Luar Asuransi dan Distributor Perusahaan Multilevel Marketing (MLM) atau direct selling dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dapat dilakukan, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:

Wajib Pajak orang pribadi dengan profesi sebagai petugas dinas luar asuransi yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung, serta distributor perusahaan MLM atau direct selling yang kegiatannya melakukan penjualan barang dari perusahaan MLM, dan/atau pengembangan jaringan usaha MLM adalah termasuk dalam kategori Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan MLM atau direct selling tidak berstatus sebagai pegawai dari perusahaan terkait.
Oleh sebab itu, petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan MLM atau direct selling sebagaimana tersebut pada alinea di atas ini boleh menghitung penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat:
  1. peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 dan
  2. memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan MLM atau direct selling adalah sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000, dengan ketentuan:
- petugas dinas luar asuransi diklasifikasikan dalam jenis usaha "Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya".
- distributor perusahaan MLM atau direct selling diklasifikasi dalam jenis usaha sebagai berikut:
  1. atas penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha "Perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan".
  2. atas pengembangan jaringan usaha MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha "Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya".

Sabtu, 10 Oktober 2009

Tarif PBB Turun Jadi 0,3 Persen, Wajib Pajak PBB Bermasalah Bisa Diperiksa

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk Perdesaan dan Perkotaan diturunkan dari 0,5 persen terhadap nilai jual obyek pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari NJOP. Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB. Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.

"Saat ini, basis data PBB mencapai 92 juta obyek pajak. Itu akan kami distribusikan secara bertahap kepada daerah. Namun, daerah harus memiliki perangkat teknologi informasi yang kuat karena mengelola data yang sangat besar itu bukan perkara mudah. Jika teknologinya tidak kuat, bisa ada kesalahan penetapan NJOP," ungkap Direktur Ekstensifikasi Pajak Direktorat Jenderal Pajak Hartoyo di Jakarta, Jumat (9/10).

Perubahan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan itu ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang selesai diamande-mcn pada 15 Septemlier 2009.

Selain mengubah besaran tarifnya, UU ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).

Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100 persen dari NJOP yang sudah dikurangi NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak dipergunakan lagi.

Bayar PBB makin ringan

Selain itu, besaran NJOPTKP juga diubah dari sebelumnya ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12 juta, kini paling rendah Rp 10 juta per obyek pajak.

Artinya, pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif NJOPTKP tanpa batasan. Semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin ringan pembayaran PBB yang harus ditanggung masyarakat.

Dengan demikian, semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin tinggi insentif yang diberikan pemerintah kabupaten dan kota kepada dunia usaha.

Sebagai ilustrasi, jika seorang warga memiliki tanah seluas 800 meter persegi dengan harga jual Rp 300.000 per meter persegi, NJOP-nya mencapai Rp 240 juta

Kemudian dia juga memiliki rumah seluas 400 meter persegi,taman (200 meter persegi), dan pagar setinggi 1,5 meter dan panjang 120 meter dengan nilai jual masing-masing Rp 350.000, Rp 50.000, dan 175.000 per meter persegi, sehingga NJOP-nya adalah Rp 181,5 juta.

NJOP rumah, taman, dan pagar harus dikurangi NJOPTKP terlebih dahulu, katakan tarifnya Rp 10 juta, sehingga nilai jual bangunan kena pajak hanya Rp 171,5 juta.

Dengan demikian, total nilai jual obyek pajak kena pajak baik tanah, rumah, taman, dan pagar mencapai Rp 411.5 juta. Angka inilah yang dikalikan dengan tarif PBB-nya, misalnya ditetapkan 0,2 persen, sehingga PBB yang harus dibayar adalah Rp 823.000.

"Pemeriksaan atas wajib pajak PBB yang bermasalah bisa dilakukan pemda bersama Ditjen Pajak. Adapun pembukuan PBB Perdesaan dan Perkotaan bisa dilakukan di daerah dan Ditjen Pajak. Daerah harus memiliki tim penilai aset yang kuat untuk menetapkan besaran NJOP-nya," ujar Hartoyo.

Anggota DPR sekaligus anggota Panitia Khusus RUU PDRD. Nursanita Nasution, mengatakan. PBB dialihkan kepada pemerintah kabupaten dan kota dalam waktu lima tahun terhitung sejak UU PDRD disahkan karena daerah sendiri membutuhkan persiapan untuk menanggung kewenangan baru itu.

Sumber : Kompas

Jumat, 09 Oktober 2009

Menkeu Lantik Sejumlah Pejabat Eselon II di Lingkungan Depkeu

Jakarta, 09/10/09 (Fiscal News) – Menteri Keuangan Ri Sri Mulyani Indrawati melantik sejumlah Pejabat Eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan pada hari ini, Jumat (09/10) bertempat di Aula Djuanda Depkeu. Acara ini dihadiri pula oleh jajaran Pejabat Eselon I dan II di lingkungan Departemen Keuangan.

Dalam sambutannya, Menteri Keuangan menyampaikan dengan dilantiknya para Pejabat Eselon II ini diharapkan dapat menjaga tetap berlangsungnya reformasi birokrasi yang sedang berjalan dan jangan memberi toleransi maupun ruang sedikit pun kepada kita semua untuk membuat kesalahan yang tidak perlu. Banyaknya pejabat yang dilantik hari ini yang masih berstatus sebagai Pj, diharapkan tidak mengganggu atau menghalangi pejabat bersangkutan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara penuh.

Adapun pejabat yang dilantik adalah sebagai berikut.

1. Drs. Angin Prayitno Aji, M. A.

diangkat sebagai Tenaga Pengkaji Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia, Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;

2. Drs. Nirwan Tjipto, M.B.A

diangkat sebagai Kepala Kantor Direktorat Jenderal Pajak Riau dan Kepulauan Riau, Pekanbaru;

3. Drs. Dicky Hertanto, M.Sc.

diangkat sebagai Pj. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II, Surakarta;

4. Drs. Sakli Anggoro, M.P. Acc.

Diangkat Sebagai Pj. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara, Manado;

5. Drs. Pontas Pane, Ak.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Intelijen dan Penyelidikan, Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan


Sumber: www.depkeu.go.id

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Agustus 2009 saat ini telah dicatatkan dalam Lembaran Negara dan telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditandatangani tanggal 15 September 2009.



Rabu, 07 Oktober 2009

Penetapan Masa Manfaat Sesungguhnya atas Harta Berwujud

Saat ini Wajib Pajak dapat menentukan sendiri Masa Manfaat dari aktiva berwujud selain bangunan sesuai dengan keadaan sebenarnya dalam aplikasi di lapangan. Kebijakan ini ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-55/PJ/2009 tanggal 2 Oktober 2009. PER-55/PJ/2009 ini adalah merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009.

Dalam PER-55/PJ/2009 ini diatur hal-hal sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan Pasal 11 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009, harta berwujud bukan bangunan untuk kepentingan penyusutan secara fiskal dikelompokkan menjadi 4 kelompok dengan jenis-jenis harta sebagaimana yang dicantumkan dalam Lampiran I, II, III dan IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009.

Dalam PER-55/PJ/2009 ini diatur bahwa jika ada harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Lampiran I, II, III dan IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009, maka untuk kepentingan penyusutan secara fiskal digunakan masa manfaat dalam Kelompok 3 sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009.

Jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa masa manfaat yang sesungguhnya dari suatu harta berwujud bukan bangunan tersebut di atas tidak dapat dimasukkan ke dalam Kelompok 3, maka Wajib Pajak harus mengajukan permohonan untuk penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan tersebut sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar.

Permohonan yang diajukan ini harus menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I PER-55/PJ/2009 dan dilampiri dengan:
- penjelasan terperinci mengenai aktiva;
- spesifikasi aktiva dari produsen;
- perkiraan umur aktiva/masa manfaat ekonomis dari Penilai Publik; dan
- dokumen teknis pendukung dari produsen mengenai masa manfaat aktiva.

Permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak ini, setelah melalui penelitian, maka Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar harus arus memberikan keputusan atas permohonan Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan beserta dokumen pendukung diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 dan Lampiran 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kanwil masih belum menerbitkan keputusan, maka permohonan ini dianggap diterima.

Terdapat kesalahan pada Lampiran II dan Lampiran III PER-55/PJ/2009, sehingga Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Ralat atas PER-55/PJ/2009 pada tanggal 11 Oktober 2010.

Senin, 05 Oktober 2009

Pemerintah Bebaskan Pajak Sumbangan Gempa Padang

Berlomba-lombalah membantu para korban gempa bumi di Sumatra Barat (Sumbar). Soalnya, Pemerintah bakal memberikan insentif perpajakan kepada para penyumbang, baik perseorangan maupun perusahaan.

Nilai uang atau barang yang disumbangkan bisa menjadi pengurang pendapatan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak. "Sumbangan untuk korban gempa di Sumbar bisa dimasukkan dalam biaya pengurang," kata Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Djoko Slamet Suryoputro, Minggu (4/10).

Ambil contoh, perusahaan A dengan penghasilan sebanyak Rp 1 miliar menyumbang sebesar Rp 100 juta. Sumbangan itu bisa menjadi pengurang pendapatan bruto perusahaan tersebut. Sehingga penghasilan kena pajak perusahaan A cuma Rp 900 juta.

Djoko bilang, aturan main mengenai sumbangan untuk korban bencana menjadi biaya pengurang bakal diatur lebih detail lagi dalam Peraturan Menteri Keuangan. Tapi, "Kebijakan baru ini sudah bisa dimanfaatkan," ujar dia.

Sebab, Djoko menjelaskan, ketentuan umum soal sumbangan untuk korban bencana menjadi pengurang penghasilan bruto sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

Caranya, para penyumbang cukup menyertakan tanda bukti sumbangan saat menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak. Karena itu, "Sumbangan harus diberikan pada lembaga yang sah, bisa juga melalui lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya," kata Djoko.

Bukan hal baru

Sejatinya, ini bukan pertama kali Pemerintah memberikan insentif pada para penyumbang korban bencana alam. Sebelumnya, lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2006, Pemerintah menanggung PPh atas sumbangan untuk korban bencana gempa di Yogyakarta dan tsunami di pesisir selatan Jawa.

Cuma, baru mulai tahun ini, ketentuan soal insentif atas sumbangan untuk korban bencana alam diatur Undang-Undang. "Sifat aturan untuk sumbangan korban gempa Yogya dan tsunami di pesisir Selatan Jawa waktu itu masih insidental," kata Djoko.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia Djimanto menyambut baik insentif pajak untuk sumbangan korban gempa di Sumbar itu. "Di negara maju, kebijakan pajak seperti ini telah berjalan lama dan sekarang dengan payung hukum yang lebih kuat, sudah seharusnya ini dapat berjalan baik," katanya. Cuma, dia berpesan, Pemerintah harus lebih gencar lagi melakukan sosialisasi ke pengusaha. (Martina Prianti/Kontan)

Sumber: Kompas.com, Senin, 5 Oktober 2009 | 08:55 WIB


Donatur Gempa Padang dan Jambi Dapat Potongan PPh
Minggu, 4 Oktober 2009 18:39 wib
JAKARTA - Pemerintah memberikan potongan pajak penghasilan (PPh) bagi seluruh wajib pajak yang memberikan sumbangan bencana di Padang dan Jambi. Nominal sumbangan ini akan dihitung sebagai biaya sehingga mengurangi setoran PPh.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Departemen Keuangan (Depkeu) Mochamad Tjiptardjo mengatakan, penyumbang cukup menyerahkan tanda terima ke kantor pajak. "Ketentuannya diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK)," ujar dia saat dihubungi di Jakarta, Minggu (4/10/2009).

Draft PMK, tuturnya, saat ini sudah selesai tinggal diteken Menkeu Sri Mulyani Indrawati sepulang dari Istambul Turki. Tjiptardjo menjelaskan, uang yang sudah disumbangkan akan dibebankan sebagai biaya pengurang setoran PPh di 2009.

Ditjen Pajak tidak akan mengecek satu per satu tanda terima sumbangan. Pengecekan, kata dia, baru akan dilihat ketika pemeriksaan tahunan wajib pajak. "Biasanya saat pemeriksaan tahunan ini kita mengambil sampling lalu dilihat kalau ada sumbangan, baru kita cek benar atau tidak," paparnya.

Kebijakan semacam ini sudah lazim dilakukan. Ketika gempa bumi di Yogyakarta 2006 silam pun, Ditjen Pajak memberlakukan kebijakan serupa.

Ketentuan soal pengurangan PPh ini termuat dalam Undang-Undang (UU) No 36/ 2008 tentang perubahan keempat atas UU No 7/ 1983 soal PPh. Disitu disebutkan, beberapa jenis perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Disebutkan juga, pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasil bruto.

Biaya-biaya tersebut, yakni sumbangan dalam rangka penanggulan bencana nasional dan infrastruktur sosial. Lalu sumbangan pendidikan, penelitian, dan pengembangan di Indonesia. Serta sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

Sumber: http://economy.okezone.com/read/2009/10/04/20/262428/donatur-gempa-padang-dan-jambi-dapat-potongan-pph


Banjir Wasior Bencana Nasional
Sosbud / Sabtu, 9 Oktober 2010 03:53 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Koordinator Kaukus Papua di Parlemen RI, Paskalis Kossay, menyatakan, pihaknya telah mendapat keterangan resmi dari pemerintah tentang penetapan bencana banjir bandang di Wasior, Papua Barat sebagai musibah berstatus bencana nasional.

"Akhirnya upaya kami berhasil dalam memperjuangkan musibah di Wasior yang dilaporkan sudah menelan korban lebih 100 jiwa dan sekitar 500 orang masih hilang, sebagai bencana nasional," katanya di Jakarta, kemarin.

Kepastian itu diperoleh Paskalis Kossay dkk ketika bertemu Menko Kesra Agung Laksono Jumat sore. "Dalam kunjungan ke Kantor Menko Kesra, kami juga berkesempatan membahas penanganan bencana Wasior di Papua," katanya.

Paskalis Kossay menjelaskan, Sekretaris Deputi Penanggulangan Bencana Alam Kantor Menko Kesra, Meman Harahap memimpin timnya dalam pembahasan bersama itu. Sedangkan dari Kaukus Papua di Parlemen RI, selain Paskalis Kossay, juga Irene Manibuy, Agustina Basik Basik, Diaz Gwijangge, dan Murdiono

"Dalam kesempatan membahas penanganan bencana Wasior itulah, terungkap bahwa pemerintah segera akan menetapkan musibah banjir bandang Wasior sebagai bencana nasional," katanya.

Sumber: http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/10/09/30969/Banjir-Wasior-Bencana-Nasional


Redam 12 Modus Penghindaran Pajak

Mulai tahun 2010, pemerintah mengintensifkan penggalian potensi penerimaan pajak, yakni dengan meredam 12 modus penghindaran Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.

Hal itu, menurut Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, dibutuhkan untuk menutup kenaikan target penerimaan pajak APBN 2010, yaitu Rp 658,3 triliun.

Menkeu menyampaikan hal itu di Jakarta pekan lalu saat memaparkan isi UU tentang APBN 2010.

Ia menjelaskan, 12 modus penghindaraan pajak itu akan diredam dengan menggunakan mekanisme optimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP), terutama pada transaksi yang dinilai tidak wajar.

Enam jenis transaksi tidak wajar yang biasanya dilakukan untuk menghindari pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) adalah mengalihkan sebagian omzet ke persediaan akhir. Melakukan kompensasi kerugian yang tidak diperkenankan. Mengkreditkan PPh Pasal 25 dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak lebih besar daripada sebenarnya. Menyandingkan omzet PPh dengan omzet Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menyandingkan biaya gaji dengan PPh Pasal 21. Pembebanan biaya overhead, seperti sewa, jasa, transportasi, promosi, dan bunga, tanpa diimbangi PPh Pasal 23 atau Pasal 4 Ayat 2.

Adapun enam transaksi tidak wajar lainnya yang digunakan untuk menghindari pembayaran PPN adalah wajib pajak tidak melaporkan sebagian pajak keluarannya. Wajib pajak memungut PPN, tetapi tidak membayarkan ke kantor pajak atau tidak melaporkan dalam SPT. Wajib pajak nonperusahaan kena pajak menerbitkan faktur pajak yang sudah dikreditkan orang lain.

Selain itu, wajib pajak menggunakan surat setoran pajak (SSP) palsu. Wajib pajak melakukan restitusi, tetapi pajak lebih bayar itu dikompensasi pada bulan berikutnya. Wajib pajak terindikasi menggunakan faktur pajak fiktif.

Selain menggunakan OPDP, strategi lain yang dilakukan pemerintah adalah melanjutkan program pemetaan dan penetapan tolok ukur atas wajib pajak di sektor industri yang sama, yang dilakukan dengan lima langkah.

Pertama, memantapkan profil semua wajib pajak di kantor pelayanan pajak (KPP) madya, KPP large taxpayer office/kantor wajib pajak besar) dan khusus, serta 500 wajib pajak di masing-masing KPP Pratama.

Kedua, membuat profil wajib pajak berdasarkan gedung tempat bekerja. Ketiga, pengawasan secara intensif PPh Pasal 25 dari perusahaan ritel. Keempat, mengawasi wajib pajak pribadi potensial. Kelima, optimalisasi penggalian pajak dari wajib pajak bendahara.

”Tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto) tahun 2010 ditetapkan 12,4 persen, naik dibandingkan 2009, yakni 12 persen,” ujar Sri Mulyani. (OIN)

Sumber: Kompas.com, Senin, 5 Oktober 2009 | 07:37 WIB

Jumat, 02 Oktober 2009

SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), 15, 22 dan 23/26 versi Microsoft Excel

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 telah mencabut PER-43/PJ/2009 mengenai pemberlakuan Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), SPT Masa PPh Pasal 15, SPT Masa PPh Pasal 22 dan SPT Masa PPh Pasal 23/26 (yang sempat diberlakukan) dengan mengubah masa berlakunya SPT Masa tersebut di atas mulai 1 November 2009.
Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), SPT Masa PPh Pasal 15, SPT Masa PPh Pasal 22 dan SPT Masa PPh Pasal 23/26 sesuai PER-53/PJ/2009 ini mengalami beberapa perubahan jika dibandingkan dengan formulir yang ditetapkan menurut PER-43/PJ/2009.
Akibat adanya perubahan tersebut, maka Penulis kembali menyajikan formulir SPT Masa PPh ini dalam versi Microsoft Excel yang dapat didownload oleh para Pembaca.
Berikut Formulir SPT Masa PPh dalam versi Microsoft Excel (2003) yang dapat didownload adalah:

- SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) beserta lampirannya versi Excel
- SPT Masa PPh Pasal 15 beserta lampirannya versi Excel
- SPT Masa PPh Pasal 22 beserta lampirannya versi Excel
- SPT Masa PPh Pasal 23/26 beserta lampirannya versi Excel

Untuk file e-SPT, berhubung kapasitas filenya yang terlalu besar dan tidak dapat di upload di situs ini (ukuran filenya sekitar 35 MB untuk setiap filenya), maka untuk pembaca yang memerlukan file ini dapat menghubungi KPP setempat atau langsung menemui Penulis untuk meng-copy filenya.

Breaking News (bukan Pajak): Hari Batik

United Nations Education Social and Cultural Organization (UNESCO) salah satu badan PBB, telah menetapkan batik sebagai bentuk budaya bukan benda warisan manusia (UNESCO representative list of intangible cultural heritage of humanity) dan proses peresmian batik tersebut berlangsung pada tanggal 28 September hingga 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Sehubungan dengan kegiatan tersebut, Presiden RI menghimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk mengenakan batik pada tanggal 2 Oktober 2009.
Kepada para Pembaca setia Tax Learning, sebagai Warga Negara Indonesia, kita harus berbangga bahwa batik telah ditetapkan sebagai budaya Bangsa Indonesia dan kita juga harus ikut mendukung gerakan memakai batik pada hari ini.

Jadi kepada pembaca yang memiliki batik, alangkah baiknya pada hari ini kita juga ikut mengenakan batik, sebagai bentuk bahwa kita bangga dengan budaya kita sendiri sekaligus juga kita dapat mewujudkan gerakan cinta produk bangsa sendiri.

Kamis, 01 Oktober 2009

SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), 15, 22 dan 23/26 Berlaku 1 November 2009

Masa berlakunya SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23/26 diundur menjadi mulai 1 November 2009. Hal ini sesuai dengan terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tanggal 30 September 2009. Dengan terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2009 tanggal 24 Juli 2009 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sebenarnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 isinya sebagian besar masih sama dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2009. (baca artikel terkaitnya di sini) Perbedaan hanya terdapat pada:
  1. Pada bagian "Mengingat: untuk dasar PER-01/PJ/2006" pada angka 28 PER-43/PJ/2009 digantikan dengan "Mengingat: PER-38/PJ/2009" digeser ke angka 30 PER-53/PJ/2009.
  2. Pasal 6; di PER-53/PJ/2009 ditambah 1 ayat sehingga menjadi 2 ayat. Pada ayat (2) PER-53/PJ/2009 ini mencabut PER-43/PJ/2009.
  3. Pasal 7; masa berlaku berdasarkan PER-43/PJ/2009 adalah mulai tanggal 1 Oktober 2009, namun masa berlaku berdasarkan PER-53/PJ/2009 diubah menjadi mulai 1 November 2009.


Download Aturan:
- PER-53/PJ/2009
- Lampiran PER-53/PJ/2009
- Formulir SPT format Excel


Artikel Terkait:
- Baru: Formulir SPT Masa PPh Pemotongan/Pemungutan
- Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), 15, 22, dan 23 Format Excel