..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Aturan Pelaksana UU PPN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aturan Pelaksana UU PPN. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Juli 2010

Tata Cara Penetapan Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah

Dalam ketentuan UU PPN yang baru, menetapkan adanya kriteria Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Kriterian PKP risiko rendah ini diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) dan Pasal 9 ayat (4d). Aturan pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010.

Tata cara mengenai penetapan PKP kriteria risiko rendah ini lebih lanjut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2010 tanggal 5 Juli 2010 tentang Tata Cara Penetapan Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah, yang disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-76/PJ/2010 tanggal 5 Juli 2010.

Ketentuan ini mengatur antara lain:

Untuk mendapatkan fasilitas pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, terlebih dahulu PKP harus mengajukan permohonan kepada Kepala KPP tempat dia terdaftar dan dikukuhkan sebagai PKP untuk ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah dengan melampirkan:
  1. keterangan dari instansi yang berwenang, yang dapat berupa Laporan Bulanan Kepemilikan Saham Emiten atau Perusahaan Publik dan Rekapitulasi, bagi perusahaan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
  2. keterangan dari instansi yang berwenang, yang dapat berupa Akta Pendirian dan perubahannya, bagi perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
  3. Surat Pernyataan bahwa nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) adalah produksi sendiri dan Laporan Keuangan untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian, bagi produsen selain Perusahaan Terbuka dan BUMN/BUMD.

Kepala KPP menerbitkan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak.

Keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah ini berlaku untuk 24 (dua puluh empat) Masa Pajak sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah.

Surat Keputusan Penetapan Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah ini dinyatakan tidak berlaku lagi apabila dalam masa berlakunya jangka waktu sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah ini, terhadap Pengusaha Kena Pajak dilakukan:
  1. pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan; atau
  2. pemeriksaan dan ternyata dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah.

Ketentuan ini berlaku pada tanggal ditetapkannya yaitu tanggal 5 Juli 2010.

Selasa, 08 Juni 2010

Aturan Pelaksanaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Kegiatan membangun sendiri adalah merupakan suatu kegiatan/transaksi yang menjadi objek pengenaan PPN. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16C Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN). Batasan dan tata cara pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010. Dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 ini disebutkan bahwa tata cara pengisian Surat Setoran Pajak (SSP), pelaporan dan pengawasan pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Untuk menjalankan ketentuan Pasal 8 ini, Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-27/PJ/2010 tanggal 2 Juni 2010 yang disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-70/PJ/2010 tanggal 2 Juni 2010 (catatan: SE ini penulis gabung jadi satu dengan file PER-27/PJ/2010 di atas).


Selasa, 04 Mei 2010

Perlakuan Terhadap Faktur Pajak Lama

Dengan telah berlakunya UU Nomor 42 Tahun 2009 sejak 1 April 2010, banyak ketentuan mengenai PPN telah mengalami perubahan. Salah satunya adalah mengenai Faktur Pajak. Sebelumnya kita mengenal Faktur Pajak Standar. Namun sejak 1 April 2010, semua Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak yang telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010.
Bagaimanakah perlakuannya terhadap Faktur Pajak Standar, yang hingga 1 April 2010 masih dimiliki oleh para Pengusaha Kena Pajak dan belum digunakan? Bagaimanakah dengan cara penomoran faktur pajaknya, apakah menyambung nomor yang telah dikeluarkan hingga tanggal 31 Maret 2010?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Direktur Jenderal Pajak telah menyampaikan penjelasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-56/PJ/2010 tanggal 27 April 2010 tentang Penjelasan Mengenai Penggunaan Faktur Pajak Lama.
Dalam SE-56/PJ/2010 ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:

Faktur Pajak Lama Masih Dapat Digunakan

Faktur Pajak Standar (Faktur Pajak Lama) masih dapat dipergunakan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan baik secara formal maupun material dan tetap dapat dikreditkan oleh Pembeli sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Nomor Urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Nomor Urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak tetap melanjutkan Nomor Urut yang telah digunakan sebelum ketentuan baru ini berlaku, artinya bahwa nomor urut kode dan nomor seri faktur pajak masih menyambung nomor yang terakhir dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2010.

Bentuk dan Ukuran Faktur Pajak

Bentuk dan ukuran Faktur Pajak dibuat sesuai kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan tidak harus sama dengan contoh yang ada pada Lampiran IA dan Lampiran IB PER-13/PJ/2010 sepanjang memenuhi unsur-unsur minimal syarat sebagai Faktur Pajak.

Invoice atau Faktur Penjualan sebagai Faktur Pajak

Invoice atau Faktur Penjualan yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN (syarat minimal Faktur Pajak) dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak.

Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April 2010.
(c) syafrianto.blogspot.com


Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Tata Cara Restitusi PPN dan PPnBM

Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang kelebihan dalam membayar PPN dan PPnBm berhak untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajaknya tersebut (restitusi). Tata Cara pengembalian kelebihan pembayaran PPN dan PPnBM ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Dalam ketentuan ini diatur antara lain adalah:

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud di atas pada akhir tahun buku.

Dikecualikan dari ketentuan mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pajak hanya pada akhir tahun buku (PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak) yaitu oleh:
  1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
  3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
  4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
  5. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
  6. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang PPN.
Bagi Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tahun kalender.
Jadi mulai 1 April 2010 ini, kelebihan pembayaran PPN tidak dapat dimintakan untuk direstitusikan setiap masa pajak dan hanya dapat diminta untuk direstitusikan pada akhir tahun buku, kecuali untuk keenam jenis PKP yang disebutkan di atas.

Permohonan pengembalian kelebihan Pajak dapat diproses melalui penelitian atau pemeriksaan.


Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang Atas Ekspornya Dikenakan PPN

Salah satu kegiatan transaksi yang dikenakan PPN adalah atas ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h UU Nomor 42 Tahun 2009. Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Untuk menindaklanjuti ketentuan ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam ketentuan ini diatur bahwa:
PPN dikenakan atas ekspor JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Batasan kegiatan JKP yang atas ekspornya dikenai PPN adalah:

Untuk Jasa Maklon:
  1. pemesan atau penerima JKP berada di Luar Daerah Pabean dan merupakan WP LN serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT);
  2. spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima JKP;
  3. bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi BKP yang dihasilkan;
  4. kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima JKP; dan
  5. pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima JKP ke Luar Daerah Pabean.

Untuk selain Jasa Maklon:
  1. jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
  2. jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

Jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut:
  1. Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Batasan Untuk Jasa Maklon di atas;
  2. jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Batasan Untuk selain Jasa Maklon angka 1 di atas;
  3. jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Batasan Untuk selain Jasa Maklon angka 2 di atas.


Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak adalah pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak, yaitu pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan.

Pajak Pertambahan Nilai ini terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan, atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
  1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor Jasa Kena Pajak wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.
  2. Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
  3. Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Ketentuan tentang Ekspor Jasa Maklon
Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak Pertambahan Nilai atas:
1. perolehan Barang Kena Pajak;
2. perolehan Jasa Kena Pajak;
3. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
4. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan/atau
5. impor Barang Kena Pajak,
yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor Jasa Maklon, merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Ketentuan Peralihan

Terhadap ekspor Jasa Kena Pajak baik sebagian atau seluruhnya yang dilakukan sebelum tanggal 1 April 2010,dan Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan pada atau setelah tanggal 1 April 2010, dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Jumat, 16 April 2010

Penunjukan Kontraktor Migas dan Panas Bumi Sebagai Pemungut PPN

Seperti yang telah berlaku saat ini dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16A ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, maka ditetapkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusaha Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.



Kamis, 15 April 2010

Tax Refund Bagi Turis Asing Yang Berbelanja Di Indonesia

Mulai 1 April 2010 berlaku ketentuan yang menguntungkan bagi para Wisatawan Asing yang berbelanja ke Indonesia. Keuntungan tersebut adalah bagi Wisatawan Asing yang berbelanja Barang Kena Pajak (BKP) di Indonesia, kemudian BKP tersebut akan dibawa pulang ke negara asalnya, maka si Wisatawan Asing tersebut akan mendapatkan pengembalian PPN yang telah dipotong oleh Toko tempat si Wisatawan Asing tersebut berbelanja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, dan lebih lanjut diatur dalam:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2010 tanggal 31 Maret 2010
Serta disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ/2010 tanggal 31 Maret 2010.

Ketentuan meminta pengembalian pajak (tax refund), dalam hal ini PPN, bagi wisatawan asing yang diatur adalah sebagai berikut:
  1. Pengembalian PPN bagi wisatawan asing hanya berlaku untuk pembelanjaan pada toko yang sudah ditunjuk.
  2. Hanya boleh dilakukan oleh wisatawan asing yang datang ke Indonesia dalam jangka waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan serta memiliki paspor luar negeri.
  3. Hanya boleh dilakukan untuk pembelian dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum yang bersangkutan meninggalkan Indonesia.
  4. Diberikan jika wisatawan asing menunjukkan barang yang dibelinya tersebut.
  5. Wisatawan asing hanya dapat meminta tax refund untuk pembelian barang yang jumlah PPN minimal Rp 500.000,00 dengan meminta Faktur Pajak Khusus (bentuk Faktur Pajak Khusus dapat dilihat di Lampiran 76/PMK.03/2010) dari toko yang ditunjuk.


Saat ini proses restitusi ini baru dapat dilakukan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta dan di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Ini berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 141/KMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010.

Sedangkan untuk Toko yang sudah ditunjuk untuk dapat mengeluarkan Faktur Pajak khusus baru 8 (delapan) toko yang berada di Jakarta, Tangerang dan Bali. Toko-toko ini ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-184/PJ/2010 tanggal 29 Maret 2010, yang terdiri dari:
- Pasaraya, di Blok M, Jakarta
- Sarinah, di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta
- Metro, di Pondok Indah Mal, Jakarta
- Metro, di Plaza Senayan, Jakarta
- Keris Gallery, di Terminal 2D Bandara Soekarno Hatta, Tangerang
- Batik Keris, di Discovery Shopping Mall, Bali
- UC Silver, di Batubulan, Gianyar, Bali
- Mayang Bali, di Kuta Square Blok A No. 12, Bali

Mekanisme dan ketentuan mengenai pengembalian PPN bagi turis asing ini dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2010 tanggal 30 April 2010.

Download:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010
- Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010

Baca Prosedur Restitusi dalam Bahasa Inggris

Artikel Terkait:
- Daftar 10 Toko Di Yogyakarta dan Sleman Yang Ditunjuk sebagai Toko Retail


Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Rabu, 14 April 2010

Penyetoran Kembali PM yang Telah Dikreditkan Untuk PKP Gagal Produksi

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang Saat Penghitungan Dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan Yang Telah Dikreditkan Dan Telah Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi.



Saat Jatuh Tempo Setor dan Lapor Pajak

Mulai 1 April 2010, ketentuan saat setor PPN Kurang Bayar dan lapor SPT Masa PPN telah berubah sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 42 Tahun 2009. Sebelumnya ketentuan tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan tanggal jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPN adalah tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Namun dengan mulai berlakunya UU Nomor 42 Tahun 2009 maka tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan sebelum SPT Masa PPN dilaporkan. Sedangkan untuk tanggal jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPN adalah pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Untuk mengatur kembali ketentuan ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 yang mengubah ketentuan yang berlaku sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007.

Dalam ketentuan ini diatur tanggal jatuh tempo untuk penyetoran PPN adalah:
  1. PPN Kegiatan Membangun Sendiri disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak Berakhir.
  2. PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
  3. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  4. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
  5. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.


Dalam ketentuan ini selain mengatur tentang jatuh tempo penyetoran dan pelaporan PPN juga diatur untuk PPh dan mulai berlaku 1 April 2010.

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP Usaha Tertentu

Sebagai petunjuk pelaksana dari ketentuan Pasal 9 ayat (7a) UU PPN mengenai besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010.

PKP dengan usaha tertentu yang diatur dalam ketentuan ini adalah:
  1. PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukannya adalah sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Jadi PPN Kurang Bayar yang harus disetorkan oleh PKP jenis ini adalah sebesar: 10% x 90% x Total Penyerahan.
  2. PKP yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran, pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukannya adalah sebesar 80% dari Pajak Keluaran. Jadi PPN Kurang Bayar yang harus disetorkan oleh PKP jenis ini adalah sebesar: 10% x 80% x Total Penyerahan.

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP yang Melakukan Penyerahan Terutang dan Tidak Terutang PPN

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usahanya sekaligus melakukan kegiatan Penyerahan Barang/Jasa yang terutang PPN dan yang tidak terutang PPN, maka Pajak Masukan yang diperoleh dari pembelian/perolehan BKP/JKP yang digunakan untuk menghasilkan BKP/JKP yang akan diserahkan tersebut tidak seluruhnya dapat dikreditkan.
Karena pada prinsipnya atas perolehan BKP/JKP yang nantinya digunakan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa yang tidak terutang PPN, maka Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan. Maka untuk PKP yang melakukan penyerahan yang terdiri dari barang/jasa yang terutang PPN dan yang tidak terutang PPN, Pajak Masukannya tersebut harus dihitung kembali untuk dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. Pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan ini diatur dalam Pasal 9 ayat (6) UU PPN dan aturan pelaksanaan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.



Selasa, 13 April 2010

Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan PPN

Dalam melaksanakan ketentuan Pasal 8A ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 mengenai penetapan nilai lain sebagai dasar pengenaan PPN, maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Nilai lain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 ini adalah:

  1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
  2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
  3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
  4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
  5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
  6. untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
  7. untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan;
  8. untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli;
  9. untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang;
  10. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
  11. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

Jadi untuk perhitungan pengenaan PPN atas DPP Nilai Lain rumusnya adalah: = Tarif PPN x DPP Nilai Lain
= 10% x (10% x Nilai Transaksi)
= 1% x Nilai Transaksi

(c)http://syafrianto.blogspot.com

Artikel Terkait:
Aturan Terbaru tentang Pajak atas Impor Film Cerita

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP Dengan Omzet Tertentu

Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan akan kesulitan jika harus melaporkan dan mengkreditkan Pajak Masukan atas Pajak Keluaran yang harus dipungut dan disetornya tersebut. Untuk mengakomodasi bagi Wajib Pajak yang demikian, maka ketentuan pajak (terutama dalam ketentuan PPN) memberikan suatu kemudahan. Kemudahan ini diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (7) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Dalam ketentuan Pasal ini diatur bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu.


PKP Berisiko Rendah Yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak

Pengusaha Kena Pajak yang mengalami kelebihan pembayaran PPN dapat diberikan pengembalian pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN-nya tersebut. Ketentuan mengenai pengembalian pendahuluan ini, sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.

Dalam ketentuan ini diatur mengenai:

Pengusaha Kena Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak adalah Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi ketentuan:

a. melakukan kegiatan:
  1. ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
  2. penyerahan BKP dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Pemungut PPN;
  3. penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya tidak dipungut;
  4. ekspor BKP Tidak Berwujud; dan/atau
  5. ekspor JKP; dan
b. telah ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah.

Untuk dapat ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah ini, harus memenuhi kriteria:
  1. PKP merupakan Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
  2. PKP merupakan perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
  3. produsen selain PKP sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 di atas, yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 bulan terakhir.

Persyaratan sebagai produsen selain PKP perusahaan Terbuka dan perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah adalah:
  1. tepat waktu dalam penyampaian SPT Masa PPN selama 12 bulan terakhir;
  2. nilai BKP yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% adalah produksi sendiri; dan
  3. Laporan Keuangan untuk 2 tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian.


Untuk dapat ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah ini, PKP yang bersangkutan harus menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan kelengkapan dokumen:
  1. Keterangan dari instansi yang berwenang untuk pemenuhan persyaratan sebagai PKP Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia (selanjutnya diistilahkan sebagai: perusahaan "go public") atau persyaratan sebagai PKP yang saham mayoritasnya dimiliki Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah (selanjutnya diistilahkan sebagai: Perusahaan Pemerintah).
  2. Laporan Keuangan yang telah diaudit dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar dengan Pengecualian bagi produsen selain Perusahaan "go public" atau Perusahaan Pemerintah.
  3. Dokumen-dokumen lain yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan atas permohonan yang diajukan oleh PKP ini dalam jangka waktu 15 hari sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap. Surat Keputusan dari Direktur Jenderal Pajak ini dapat berupa keputusan penetapan sebagai PKP berisiko rendah atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Kamis, 08 April 2010

BATASAN PENGUSAHA KECIL PPN

Tidak setiap Pengusaha (baca sebagai: Wajib Pajak baik perorangan maupun suatu badan) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) harus memenuhi kewajiban PPN. Dalam ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN ditegaskan bahwa bagi pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dikecualikan dari kewajiban PPN ini. Sebagai tindaklanjut dari ketentuan ini, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tanggal 23 Maret 2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan yang mulai berlaku sejak 1 April 2010 ini menetapkan batasan bagi pengusaha kecil ini adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600 juta (masih sama dengan aturan yang berlaku selama ini). Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto yang dimaksudkan di sini adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.

Sedangkan bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah sama dengan tahun kalender.

Dalam ketentuan ini diatur bahwa pengusaha kecil yang termasuk dalam kategori sesuai Peraturan Menteri Keuangan ini tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannya. Namun apabila pengusaha kecil ini memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka terhadap pegnusaha kecil ini dikenakan kewajiban PPN.

Apabila seorang pengusaha yang sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600 juta, maka pengusaha ini diwajibkan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600 juta. Dan apabila pengusaha ini tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak (berdasarkan data dan/atau Informasi yang diperoleh) dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan serta dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600 juta.
Jika pada suatu saat, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 600 juta, maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 dan 571/KMK.03/2003.

:: Print Halaman Ini

Senin, 05 April 2010

Prosedur Pemusatan Tempat PPN Terutang

Perubahan lainnya yang ada dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) adalah mengenai prosedur dan mekanisme penetapan satu tempat atau lebih sebagai tempat PPN Terutang (atau biasa dikenal dengan istilah pemusatan tempat PPN Terutang). Ketentuan mengenai pemusatan tempat PPN Terutang ini diatur dalam Pasal 12 ayat (2) UU PPN. Dalam UU PPN yang baru ini sekarang bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang akan melakukan pemusatan tempat PPN Terutang hanya perlu memberitahukan pemusatan tempat PPN Terutang dengan surat pemberitahuan.
Aturan pelaksaan mengenai mekanisme pemberitahuan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2010 tanggal 29 Maret 2010 tentang Penetapan Satu Tempat atau Lebih Sebagai Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang dan disampaikan melalui Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2010 tanggal 29 Maret 2010.
Secara teori sebenarnya PPN terutang pada setiap tempat kegiatan PKP yang melakukan penyerahan BKP dan JKP. Jika PKP memiliki lokasi kegiatan penyerahan di beberapa tempat (misalnya memiliki beberapa lokasi cabang), maka atas setiap kegiatan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan di setiap cabang maupun lokasi terutang PPN dan setiap lokasi ini harus memenuhi kewajiban PPN secara tersendiri. Namun untuk memudahkan bagi PKP, maka dimungkinkan bagi untuk memusatkan seluruh tempat kegiatan usaha ini sehingga PPN hanya terutang di satu (atau beberapa) tempat sehingga PKP tidak perlu repot lagi harus memenuhi kewajiban PPN untuk setiap cabang dari usahanya. Prosedur melakukan pemusatan PPN terutang inilah yang diatur dalam PER-19/PJ/2010 ini.

Mulai 1 April 2010 prosedur untuk melakukan pemusatan tempat PPN terutang dapat dilakukan hanya dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah tempat lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat pusat pelaporan kewajiban PPN dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi-lokasi kegiatan penyerahan BKP dan/atau JKP yang akan dipusatkan.

Namun tidak semua tempat dapat dijadikan sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang, tempat-tempat yang tidak dapat dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang atau tempat PPN Terutang yang akan dipusatkan adalah tempat tinggal, tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha PKP yang:
-berada di Kawasan Berikat;
-berada di Kawasan Ekonomi Khusus;
-mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor.

Pemberitahuan secara tertulis yang harus disampaikan oleh PKP yang akan melakukan pemusatan harus memenuhi persyaratan:
  1. memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang;
  2. memuat nama, alamat dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan; dan
  3. dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat pada tempat PPN terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang.

Atas pemberitahuan yang diajukan oleh PKP ini, Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat Keputusan tentang Persetujuan Pemusatan Tempat PPN Terutang dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dari PKP tersebut.

Rabu, 31 Maret 2010

Saat Terutangnya PPnBM dari Pusat ke Cabang atau Sebaliknya

Sebagai tindak lanjut dan untuk menjalankan ketentuan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 mengenai penentuan saat terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010. Ketentuan ini berlaku pada tanggal 1 April 2010 dan mencabut dan menggantikan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-428/PJ./2002.
PER-8/PJ/2010 ini disampaikan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-37/PJ/2010 tanggal 10 Maret 2010.



Tata Cara Penyampaian SPT Masa PPN cara Hard Copy (Manual)

Direktur Jenderal Pajak juga telah mengatur tata cara penyampaian SPT Masa PPN yang menggunakan formulir kertas (hard copy) guna mengantisipasi perubahan Undang-Undang PPN yang akan mulai berlaku 1 April 2010. Tata Cara ini ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010. PER-15/PJ/2010 ini merupakan perubahan pertama dan penyempurnaan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2008.

Direktur Jenderal Pajak menyampaikan PER-15/PJ/2010 ini melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010.

Senin, 29 Maret 2010

SPT Masa PPN Baru, Berlaku Masa April 2010

Seiring akan berlakunya ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM mulai 1 April 2010 serta telah terbitnya aturan-aturan pelaksana dari UU Nomor 42 Tahun 2009 ini, maka mekanisme pelaporan SPT Masa PPN juga mengalami beberapa penyempurnaan. Penyempurnaan aturan tentang SPT Masa PPN serta mekanisme dan tata cara pelaporannya ini ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 dan disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-43/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010.
Penggunaan SPT Masa PPN yang disesuaikan dengan PER-14/PJ/2010 ini mulai digunakan untuk pelaporan SPT Masa PPN Masa Pajak April 2010.
Apakah otomatis SPT Masa PPN mulai April 2010 berubah dan SPT Masa PPN formulir 1107 yang digunakan saat ini sudah tidak dapat dipakai lagi?

SPT Masa PPN yang ditetapkan dalam PER-14/PJ/2010 ini, sebenarnya masih menggunakan formulir 1107 yang selama ini kita kenal. Tidak ada perubahan atas formulir SPT Masa PPN 1107. Yang mengalami perubahan hanyalah petunjuk pengisian SPT yang pada beberapa bagian, data yang diisikan disesuaikan dengan ketentuan baru UU PPN. Antara lain yaitu:
  1. Adanya penambahan Pengusaha Kena Pajak yang dapt mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Masukan.
  2. Ketentuan yang mengatur mengenai PKP yang hanya dapat mengajukan restitusi pada akhir tahun buku.
  3. Ketentuan yang mengatur mengenai penambahan objek baru yang dikenakan PPN, yaitu ekspor BKP Tidak Berwujud dan ekspor JKP.
  4. Ketentuan tentang pembatalan penyerahan JKP (sehubungan dengan Nota Pembatalan).
  5. Tata Cara pelaporan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
  6. Ketentuan mengenai Faktur Pajak, seperti tidak adanya Faktur Pajak Sederhana, penomoran Faktur Pajak, pelaporan dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan pelaporan Faktur Pajak atas penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri.
  7. Ketentuan mengenai penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN.
  8. Perubahan contoh-contoh untuk menyesuaikan dengan ketentuan baru UU PPN.
  9. Penambahan 1 (satu) lampiran baru berupa Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri.

Jumat, 26 Maret 2010

Aturan Pelaksana Tentang Nota Retur dan Nota Pembatalan

Saat ini melalui UU PPN yang baru, mekanisme pengembalian Barang Kena Pajak (BKP) atau pembatalan transaksi Jasa Kena Pajak (JKP) yang sebelumnya telah dibuatkan Faktur Pajak diatur secara lebih jelas. Apalagi dalam ketentuan UU PPN yang baru ini, dikenal lagi adanya pembatalan penyerahan JKP yang sebelumnya telah diterbitkan Faktur Pajak dan telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Mekanisme pengembalian BKP atau Pembatalan penyerahan JKP umumnya kita kenal melalui pembuatan Nota Retur.

Aturan pelaksana dan petunjuk teknis mengenai tata cara pembuatan Nota Retur dan Nota Pembatalan (istilah untuk retur JKP) saat ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2010 tanggal 18 Maret 2010.