..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Sabtu, 22 Agustus 2020

Insentif Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 menjadi sebesar 50% Berlaku masa Juli 2020

Salah satu insentif perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah kepada para Wajib Pajak yang terdampak akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), sebagaimana yang diatur terakhir dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.010/2020 (PMK 86; artikelnya dapat dibaca di sini), adalah memberikan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang dan disetorkan setiap bulannya sejak masa April 2020 sampai dengan Desember 2020 bagi Wajib Pajak sektor usaha tertentu.

Seiring dengan perkembangan dampak pandemi Covid-19 hingga saat ini dan sebagai upaya untuk meningkatkan produksi dan/atau peredaran usaha Wajib Pajak, maka Pemerintah kembali mengatur ketentuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak sektor tertentu yang terdampak pandemi Covid-19. Pengaturan kembali ini dituangkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tanggal 14 Agustus 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 (PMK 110) ini diatur bahwa Wajib Pajak yang memiliki kode Klasifikasi Lapangan usaha (KLU) sesuai yang tercantum dalam Lampiran huruf M dari PMK 110 ini, atau telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE, atau telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, diberikan pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 50% dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang.

Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50% ini berlaku sejak:
  1. Masa Pajak Juli 2020 bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25; atau
  2. Masa Pajak pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan setelah PMK 110 ini berlaku.
sampai dengan Masa Pajak Desember 2020.

Ketentuan mengenai tata cara memanfaatkan fasilitas pengurangan PPh Pasal 25 ini masih tetap mengacu kepada ketentuan sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.010/2020). PMK 110 ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 14 Agustus 2020.

Catatan Bagi Direktorat Jenderal Pajak Dalam Aplikasi di Lapangan

Mengingat bahwa PMK 110 ini baru disebarluaskan ke Masyarakat pada tanggal 22 Agustus 2020 melalui Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Nomor SP-37/2020 dan batas waktu penyetoran angsuran PPh Pasal 25 untuk masa Juli 2020 adalah berakhir pada tanggal 18 Agustus 2020 (karena tanggal 15, 16 dan 17 Agustus jatuh pada hari libur nasional) serta batas waktu penyampaian laporan realisasi pengurangan PPh Pasal 25 adalah tanggal 20 Agustus 2020, maka Direktur Jenderal Pajak perlu membuat aturan khusus di lapangan agar Wajib Pajak yang telah melaksanakan kewajiban perpajakannya yang masih mengacu pada ketentuan PMK 86 tetap dapat memanfaatkan fasilitas PMK 110 ini di masa Juli 2020, seperti:
  1. melakukan pemindahbukuan atas kelebihan PPh Pasal 25 yang telah disetorkan (seharusnya cukup menyetorkan 50% dari PPh Pasal 25 yang terutang, namun telah disetorkan sebesar 70% dari PPh Pasal 25 yang terutang sesuai PMK 86),
  2. segera memperbaiki menu e-Reporting pada djponline.pajak.go.id sehingga besarnya PPh Pasal 25 yang dikurangi pada kolom "Pengurangan Angsuran (Rp)" untuk segera di-update dengan rumus perhitungan otomatisnya menjadi 50% (saat ini masih 30%)

Jumat, 14 Agustus 2020

Akhirnya Ikan Menjadi Barang Bukan Objek PPN - Tindak Lanjut Putusan MK

Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) mengatur salah satu jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Pada bagian penjelasan dari ayat ini dijelaskan bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi: beras; gabah; jagung; sagu; kedelai; garam; daging; telur; susu; buah-buahan; dan sayur-sayuran (rincian detail dapat dibaca di Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN atau di artikel berikut).

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 menyebabkan adanya pengecualian kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebagaimana yang diatur Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini. PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015 (yang merupakan aturan pelaksana dari UU PPN) seolah mengatur sesuatu yang tidak diatur dalam UU PPN tersebut. Salah satunya adalah untuk kelompok "daging segar" (topik terkait pernah dibahas di artikel berikut). Jika ditafsirkan dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN, maka seharusnya "daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;" adalah termasuk kelompok barang yang tidak dikenai PPN (Bukan Barang Kena Pajak). Definisi daging di penjelasan UU PPN ini seharusnya ditafsirkan luas dan termasuk juga untuk daging ikan. Namun pada praktiknya, dalam kehidupan sehari-hari banyak pihak yang juga berpendapat bahwa ikan adalah tidak termasuk kelompok daging segar sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini. Hal ini ditandai dengan adanya pengaturan untuk barang-barang tertentu yang dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis dalam  PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015, dimana ikan ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis.

Akibat dari aturan pelaksana UU PPN yang menetapkan beberapa jenis barang (selain ikan) sebagai kelompok Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis dan dirasakan telah menyimpang dari ketentuan UU PPN, sehingga Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini diajukan untuk diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK memutuskan menerima uji materi atas pasal ini melalui Putusan Nomor 39/PUU-XIV/2016. Sehingga barang yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan penjelasannya, tidak boleh diartikan secara limitatif (terbatas) sebagaimana yang telah diatur dalam aturan pelaksana dari UU PPN tersebut.

Namun setelah dibatalkannya ketentuan mengenai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis yang diatur dalam dalam  PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diubah dengan PP Nomor 81 Tahun 2015, kemudian Menteri Keuangan kembali menerbitkan peraturan pelaksana dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN ini melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017 tanggal 15 Agustus 2017 tentang Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Pada Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor 116/PMK.010/2017 ini membatasi pengaturan barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN adalah berjumlah 13 jenis, yang terdiri dari:

  1. Beras dan Gabah;
  2. Jagung;
  3. Sagu;
  4. Kedelai;
  5. Garam konsumsi;
  6. Daging;
  7. Telur;
  8. Susu;
  9. Buah-buahan;
  10. Sayur-sayuran;
  11. Ubi-ubian;
  12. Bumbu-bumbuan; dan
  13. Gula Konsumsi;

Ikan yang seharusnya dapat dikategorikan sebagai barang kebutuhan pokok juga, tidak dimasukan ke dalam daftar barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN. Oleh sebab itu, PMK Nomor 116/PMK.010/2017 ini kembali diajukan uji materi lagi oleh masyarakat. Hasil dari uji materi tersebut, melalui Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 32 P/HUM/2018 tanggal 8 Agustus 2018 kembali memutuskan menerima keberatan dan pengajuan uji materi dari masyarakat tersebut dan memerintahkan Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan untuk mencabut ketentuan pembatasan barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor 116/PMK.010/2017 sepanjang tidak memasukan komoditas ikan sebagai jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Menindaklanjuti Putusan MA Nomor 32 P/HUM/2018, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020 tanggal 4 Agustus 2020 yang mencabut PMK Nomor 116/PMK.010/2017 dan menambah jenis ikan (ikan segar/dingin, dengan atau tanpa kepala) sebagai jenis barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020 diatur Kriteria dan/atau Rincian Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai yang terdiri dari kelompok utama:

  1. Beras dan Gabah;
  2. Jagung;
  3. Sagu;
  4. Kedelai;
  5. Garam konsumsi;
  6. Daging;
  7. Telur;
  8. Susu;
  9. Buah-buahan;
  10. Sayur-sayuran;
  11. Ubi-ubian;
  12. Bumbu-bumbuan;
  13. Gula Konsumsi;
  14. Ikan

Rincian detail dari kelompok barang ini dapat dilihat di Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2020.

Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan yaitu 5 Agustus 2020.

Kamis, 23 Juli 2020

Mulai 17 Agustus 2020 Bank Dapat Melakukan Validasi dan Pendaftaran NPWP Nasabah

Sebagaimana Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Nomor SP-31/2020, disampaikan bahwa pada hari ini, 23 Juli 2020, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan empat bank badan usaha milik negara yang tergabung dalam Himbara hari ini melaksanakan peluncuran integrasi layanan dalam bentuk aplikasi validasi dan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Melalui kerjasama antara DJP dan Himbara ini, maka mulai tanggal 17 Agustus 2020, bank akan dapat melakukan validasi dan pendaftaran NPWP nasabah atau calon nasabah secara online melalui sistem penyedia jasa aplikasi perpajakan. Integrasi layanan ini diharapkan dapat mempermudah proses administrasi bagi masyarakat, khususnya mereka yang belum memiliki NPWP, untuk membuka rekening bank maupun mengajukan kredit di mana data NPWP menjadi salah satu persyaratan yang dibutuhkan dalam pembukaan rekening bank.

Selain meningkatkan kemudahan administrasi bagi nasabah, adanya fitur validasi NPWP ini dapat meningkatkan kualitas prosedur Know Your Customer bagi pihak bank karena validasi data NPWP nasabah atau calon nasabah tidak lagi bergantung pada kartu fisik NPWP tetapi dilakukan secara langsung ke sistem DJP. Selain data NPWP, sistem validasi ini juga dapat menunjukkan riwayat kepatuhan pelaporan surat pemberitahuan pajak penghasilan yang dapat digunakan bank dalam proses evaluasi risiko kredit.

Dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, aplikasi pendaftaran dan validasi NPWP melalui bank ini secara khusus diharapkan dapat mempermudah pelaku UMKM untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas bantuan subsidi bunga/margin yang diberikan pemerintah untuk membantu pelaku UMKM mempertahankan kelangsungan usahanya.

Minggu, 19 Juli 2020

Insentif Perpajakan Covid-19 Diperpanjang Hingga Masa Desember 2020

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda dunia dan Indonesia tampaknya masih belum ada tanda-tanda akan berakhir. Saat ini dampaknya terhadap dunia usaha sudah semakin meluas ke berbagai sektor. Untuk itu, dalam rangka memulihkan ekonomi nasional, Pemerintah memberikan salah satu kebijakan dengan mengubah ketentuan mengenai pemberian insentif perpajakan yang saat ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020. Perubahan ini bertujuan untuk memperbanyak sektor usaha yang dapat memperoleh insentif perpajakan ini serta memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk memanfaatkan insentif ini. Perubahan ketentuan pemberian insentif perpajakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tanggal 16 Juli 2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.

Secara ringkas, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 ini mengubah beberapa ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 yang terdiri dari:

1. Fasilitas PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP)

Dalam ketentuan baru untuk PPh Pasal 21 DTP telah menambah sektor usaha yang dapat memanfaatkan fasilitas ini menjadi sebanyak 1.189 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dari sebelumnya yang sebanyak 1.062 KLU, selain juga dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas KITE dan Kawasan Berikat. Berikut ini adalah daftar KLU yang dapat memperoleh fasilitas PPh Pasal 21 DTP:

Selain itu, dalam ketentuan baru ini juga telah memperpanjang masa berlakunya insentif ini menjadi hingga masa Desember 2020 (dari sebelumnya yang hanya berlaku sampai dengan masa September 2020).

Perubahan lainnya adalah untuk mekanisme penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP. Apabila pada ketentuan sebelumnya, pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP harus disampaikan oleh masing-masing pusat dan cabang (apabila Wajib Pajak yang memiliki cabang dan mengikuti fasilitas ini baik untuk kantor pusat dan kantor cabangnya), maka pada ketentuan baru ini, pemberitahuan pemanfaatan insentif ini dilakukan hanya dari NPWP pusat yang meliputi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP yang oleh kantor pusat dan seluruh cabang (hanya cukup 1 pemberitahuan untuk memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP saja).

Sedangkan untuk waktu penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP ini masih sama dengan ketentuan lama yaitu disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

2. Fasilitas PPh Final UMKM Ditanggung Pemerintah (DTP)

Fasilitas PPh Final UMKM DTP ini diberikan kepada Wajib Pajak (WP) yang memenuhi kriteria sebagai UMKM sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Perubahan yang terjadi untuk fasilitas ini adalah saat ini WP yang akan memanfaatkan fasilitas insentif ini tidak perlu mengajukan Surat Keterangan sebagai WP PP Nomor 23 Tahun 2018 (seperti persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020. WP yang memanfaatkan fasilitas PPh Final UMKM DTP ini cukup menyampaikan Laporan Realisasi saja. Dengan adanya perubahan ketentuan ini, maka saat ini Wajib Pajak UMKM menjadi lebih mudah untuk mendapatkan fasilitas insentif ini, karena tidak perlu lagi mengajukan dan mendapatkan Surat Keterangan, namun Laporan Realisasi yang disampaikan juga sudah dipersamakan dengan Surat Keterangan tersebut.

Selain itu, dalam ketentuan baru ini juga telah memperpanjang masa berlakunya insentif ini menjadi hingga masa Desember 2020 (dari sebelumnya yang hanya berlaku sampai dengan masa September 2020).

Sedangkan untuk waktu penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Final UMKM DTP ini masih sama dengan ketentuan lama yaitu disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

3. Fasilitas Pembebasan PPh Pasal 22 Impor

Dalam ketentuan baru untuk pembebasan PPh Pasal 22 Impor ini telah menambah sektor usaha yang dapat memanfaatkan fasilitas ini menjadi sebanyak 721 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dari sebelumnya yang sebanyak 431 KLU, selain juga dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas KITE dan Kawasan Berikat. Berikut ini adalah daftar KLU yang dapat memperoleh fasilitas Pembebasan PPh Pasal 22 Impor:

Selain itu, dalam ketentuan baru ini juga telah memperpanjang masa berlakunya insentif ini menjadi hingga masa Desember 2020 (dari sebelumnya yang hanya berlaku sampai dengan masa September 2020).

Sedangkan untuk waktu penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif Pembebasan PPh 22 Impor ini juga diubah sehingga menjadi:
  1. untuk pelaporan realisasi masa April sampai dengan Juni 2020 dilakukan paling lambat tanggal 20 Juli 2020
  2. untuk pelaporan realisasi masa Juli sampai dengan Desember 2020 dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

4. Fasilitas Pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30%

Dalam ketentuan baru untuk fasilitas Pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30% dari angsuran menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 ini telah menambah sektor usaha yang dapat memanfaatkan fasilitas ini menjadi sebanyak 1.013 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dari sebelumnya yang sebanyak 846 KLU, selain juga dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas KITE dan Kawasan Berikat. Berikut ini adalah daftar KLU yang dapat memperoleh fasilitas Pengurangan PPh Pasal 25:

Selain itu, dalam ketentuan baru ini juga telah memperpanjang masa berlakunya insentif ini menjadi hingga masa Desember 2020 (dari sebelumnya yang hanya berlaku sampai dengan masa September 2020).

Sedangkan untuk waktu penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif Pengurangan Angsuran PPh 25 ini juga diubah sehingga menjadi:
  1. untuk pelaporan realisasi masa April sampai dengan Juni 2020 dilakukan paling lambat tanggal 20 Juli 2020
  2. untuk pelaporan realisasi masa Juli sampai dengan Desember 2020 dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

5. Pengembalian Pendahuluan PPN sebagai PKP Berisiko Rendah

Fasilitas insentif berupa pengembalian pendahuluan PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah yang menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar restitusi paling banyak sebesar Rp 5 miliar yang semula diberikan hanya untuk PKP yang masuk dalam 431 jenis KLU, dalam ketentuan baru ini telah diperluas menjadi diberikan untuk 716 KLU, selain juga untuk PKP yang mendapatkan fasilitas KITE dan Kawasan Berikat. Berikut ini adalah daftar KLU yang dapat memperoleh fasilitas pengembalian pendahuluan PPN:

Dalam ketentuan baru ini, masa berlakunya fasilitas ini juga telah diperpanjang menjadi hingga masa Desember 2020 (dari sebelumnya yang hanya berlaku sampai dengan masa September 2020).

Catatan:

Kamis, 09 Juli 2020

Menu Baru Laporan Insentif Pajak Pengurangan PPh Pasal 25, SKB PPh Pasal 22 dan PPN

Saat ini Direktorat Jenderal Pajak kembali telah menambahkan menu baru dalam pelaporan realisasi insentif perpajakan (Menu e-Reporting Covid-19) sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020. Penambahan fitur baru ini sesuai dengan ketentuan untuk beberapa jenis insentif perpajakan sesuai PMK 44/PMK.03/2020 yang harus dilaporkan untuk periode tiga bulanan (triwulan) yang dilakukan paling lambat pada tanggal 20 Juli 2020.

Menu baru yang telah ditambahkan ini (selain 2 menu yang sudah ada sebelumnya untuk PPh Final DTP dan PPh Pasal 21 DTP) yaitu menu pelaporan realisasi:
  1. Pembebasan PPh Pasal 21 (PMK-28)
  2. Pembebasan PPh Pasal 22 (PMK-28)
  3. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor (PMK-28)
  4. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor (PMK-44)
  5. Pembebasan PPh Pasal 23 (PMK-28)
  6. Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 (PMK-44)
  7. PPN DTP (PMK-28)
Dengan demikian, maka saat ini sudah lengkap ada 7 menu yang telah disediakan bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas insentif perpajakan ini untuk melaporkan realisasi pemanfaatan insentif perpajakan ini.

Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga telah membuat sebuah panduan bagi Wajib Pajak dalam rangka melaporkan realisasi insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020.