Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.
KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.
Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.
Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.
Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.
Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.
sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.
mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013
Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.
Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.
Selama ini kode billing untuk pembayaran kurang bayar pajak yang tercantum pada Surat Pemberitahuan (SPT) baik SPT Masa maupun SPT Tahunan yang dibuat melalui sistem Coretax, terbuat (create) secara otomatis setelah draft SPT yang bersangkutan dibuat. Kode billing untuk pembayaran kurang bayar yang tercantum pada draft SPT ini akan dibuat secara otomatis oleh sistem Coretax DJP saat SPT sudah selesai dibuat dan disimpan, kemudian klik tombol Bayar dan Lapor serta penandatanganan secara elektronik (memasukkan kode passphrase). Kode billing yang sudah terbuat secara otomatis ini akan berlaku selama 7 hari untuk dilakukan penyetoran pajaknya. Apabila lewat 7 hari, maka kode billing tersebut akan hangus dan tidak dapat disetorkan. Untuk dapat melakukan penyetoran lagi, maka Wajib Pajak harus membuat kode billing baru melalui langkah seperti di awal yaitu klik Tombol Bayar dan Lapor pada SPT kemudian menandatangani secara elektronik lagi.
Kendala yang dihadapi Wajib Pajak selama ini adalah apabila terjadi kesalahan dalam mengisi SPT, namun kode billing sudah terbuat, Wajib Pajak tidak dapat memperbaiki SPT hingga menunggu kode billing tersebut hangus setelah 7 hari. Hal ini akan menyulitkan apabila konsep (draft) SPT Masa yang dibuat tersebut ternyata salah dan akan dibetulkan padahal jatuh tempo pembayaran atau pelaporan pajak adalah kurang dari 7 hari, karena Wajib Pajak harus menunggu hingga kode billing tersebut hangus setelah 7 hari.
Kabar gembira buat Pembaca Setia Tax Learning, bahwa saat ini Pengembang Sistem Coretax DJP telah membuat fitur baru yaitu dapat membatalkan kode billing yang telah dibuat secara otomatis saat pembuatan SPT, tanpa harus menunggu masa aktif kode billing tersebut berakhir (hangus), 7 hari sejak tanggal terbuatnya kode billing tersebut.
Fitur baru, Pembatalan Kode Billing SPT ini berfunsi untuk:
Membatalkan Kode Billing yang terbit dari SPT (baik SPT Masa maupun SPT Tahunan).
Mengubah status SPT dari MENUNGGU PEMBAYARAN ➡ KONSEP.
Langsung memperbaiki isi SPT saat itu juga.
Cara Pembatalan Kode Billing SPT
Berikut disajikan langkah-langkah untuk melakukan pembatalan kode billing SPT yang telah terbuat secara otomatis saat menandatangani SPT secara elektronik.
Fitur ini disediakan dengan tujuan utama melakukan perbaikan atas SPT sebelum masa aktif Kode Billing berakhir, misalnya salah perhitungan sehingga nilai kurang bayar yang tertera pada Kode Billing salah.
Selain Kode Billing SPT, apabila ada kesalahan angka atau masa atau data lainnya, tidak perlu dibatalkan, cukup membuat kembali Kode Billing baru sebagaimana poin-poin di atas.
Pajak Minimum Global atau Minimum Global Tax (GMT) adalah kebijakan perpajakan internasional yang merupakan inisiatif internasional yang melibatkan lebih dari 140 negara di bawah Kerangka Kerja Inklusif OECD/G20 tentang Erosi Basis Pajak dan Pengalihan Keuntungan (OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)). GMT ini diimplementasikan melalui the Global Anti-Base Erosion (GloBE) Model Rules, yang juga dikenal sebagai Pillar Two (Pilar Dua). Pajak Minimum Global merupakan kebijakan perpajakan internasional yang mengatur bahwa setiap Grup Perusahaan Multi Nasional (PMN) dengan peredaran bruto konsolidasi minimum 750 juta Euro harus membayar pajak minimum sebesar 15% di setiap negara/yurisdiksi tempat mereka beroperasi.
Potensi Pajak Minimum Global berupa top-up tax yang dihitung dengan mekanisme Income Inclusion Rules (IIR), Undertaxed Payment Rules (UTPR), dan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT).
Indonesia menerapkan kebijakan Pajak Minimum Global melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tanggal 31 Desember 2024 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Namun hingga saat ini masih belum ada aturan turunan mengenai detail tata cara administrasi penerapan pajak minimum global ini.
Berdasarkan pemaparan Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR RI dengan Direktur Jenderal Pajak pada hari ini (24/11/2025) di DPR sejak pukul 11.15 WIB, sebagaimana yang disiarkan secara langsung dalam akun Youtube TVR Parlemen milik Sekretariat DPR, Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) menjelaskan bahwa saat ini sedang dirancang Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Administrasi Pajak Minimum Global. Untuk tahun pertama penerapan Pajak Minimum Global yaitu untuk Tahun Pajak 2025, pembayaran top-up tax dibayarkan paling lambat tanggal 31 Desember 2026.
Berdasarkan timeline implementasi di Indonesia, Dirjen Pajak memaparkan bahwa:
Tahun 2024: diterbitkan PMK Nomor 136 Tahun 2024 tentang Penerapan Pajak Minimum Global,
Tahun 2025: mulai berlakunya Income Inclusion Rules (IIR) dan Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT), diseminasi kepada Wajib Pajak dan Fiskus, persiapan infrastruktur IT, rencana penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Administrasi Pajak Minimum Global, persiapan EOI
Tahun 2026: mulai berlakunya Undertaxed Payment Rules (UTPR), Pembayaran Pajak Minimum Global 2025, diseminasi kepada Wajib Pajak dan Fiskus, persiapan IT, persiapan EOI.
Tahun 2027: Penyampaian GloBE Information Return (GIR) dan notication, penyampaian SPT dalam rangka melaksanakan GloBE, implementasi EOI
Tahun 2028: Risk assessment, exchange of GIR and Notification.
Dampak dari pengenaan Pajak Minimum Global adalah mengurangi efektivitas insentif pajak namun sebatas pada entitas yang merupakan bagian dari Grup PMN yang berada dalam cakupan GloBE. Insentif pajak bagi PMN di luar cakupan tidak akan terpengaruh.
Pajak minimum global cenderung akan menggeser bentuk kompetisi insentif pajak korporasi dari tax holiday atau tax allowance menjadi refundable tax credit.
Ini karena dengan adanya prinsip GloBE dalam Pajak Minimum Global, maka insentif pajak seperti tax holiday yang membuat tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) bagi perusahaan penerima di Indonesia semula 5%, akan dikenakan pajak tambahan oleh otoritas pajak di negara induk perusahaan itu dengan selisih 10% supaya sesuai dengan Pajak Minimum Global sebesar 15%.
Bagi PMN, perusahaan tidak merasakan manfaat tax holiday yang diberikan oleh Indonesia. Pajak yang mereka bayar, meskipun tarif pajak mereka terlihat 5%, sebenarnya 15%. Akhirnya, beban pajak total mereka tetap sama, yaitu 15% dari pendapatan yang diperoleh melalui operasi di Indonesia. Daya tarik insentif pajak seperti tax holiday yang seharusnya membantu mendatangkan lebih banyak investasi menjadi sepenuhnya tidak berarti.
(c)20251124 syafrianto.blogspot.com
Saat ini Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Wewenang ini ditegaskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2025 tanggal 22 Oktober 2025 tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak Terhadap Pengusaha Kena Pajak Yang Tidak Melaksanakan Kewajiban Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Perpajakan.
Jadi akses bagi Wajib Pajak (Pengusaha Kena Pajak) untuk membuat Faktur Pajak di sistem DJP (Coretax DJP) dapat dinonaktifkan sehingga Wajib Pajak tidak dapat lagi membuat Faktur Pajak apabila sejumlah kriteria yang ditentukan dalam PER-19/PJ/2025 ini dilakukan oleh Wajib Pajak. Sejumlah kriteria yang ditentukan ini adalah merupakan tindakan ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, seperti tidak melakukan pemotongan atau pemungutan pajak selama 3 bulan berturut-turut, tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh, tidak menyampaikan SPT Masa PPN selama 3 bulan berturut-turut, tidak menyampaikan SPT Masa PPN untuk 6 Masa Pajak dalam periode 1 tahun kalender, tidak melaporkan bukti potong atau bukti pungut yang telah dibuat selama 3 bulan berturut-turut, serta memiliki tunggakan pajak dengan jumlah tertentu.
Ringkasan Peraturan
Pasal 2 PER-19/PJ/2025 mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sesuai dengan kriteria tertentu, yang meliputi:
tidak melakukan pemotongan atau pemungutan pajak untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut sebagai pemotong atau pemungut pajak secara berturut-turut dalam 3 (tiga) bulan;
tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak yang telah menjadi kewajibannya;
tidak menyampaikan SPT Masa PPN yang telah menjadi kewajibannya berturut-turut selama 3 (tiga) bulan;
tidak menyampaikan SPT Masa PPN yang telah menjadi kewajibannya untuk 6 (enam) Masa Pajak dalam periode 1 (satu) tahun kalender;
tidak melaporkan bukti potong atau bukti pungut untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut yang telah dibuat berturut-turut selama 3 (tiga) bulan; dan/atau
memiliki tunggakan pajak paling sedikit Rp250.000.000,00 untuk Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama; atau Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk Wajib Pajak yang terdaftar selain di Kantor Pelayanan Pajak Pratama, yang telah diterbitkan surat teguran dan selain yang telah memiliki surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran utang pajak yang masih berlaku.
Wewenang untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak ini dilimpahkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk mandat kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Wajib Pajak terdaftar.
Wajib Pajak yang akses pembuatan Faktur Pajaknya dinonaktifkan, akan disampaikan pemberitahuan mengenai penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak dan hak klarifikasi kepada Wajib Pajak.
Atas pemberitahuan mengenai penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, Wajib Pajak dapat memberikan klarifikasi dengan ketentuan:
disampaikan secara tertulis melalui surat kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana contoh format pada Lampiran PER-19/PJ/2025 ini;
surat klarifikasi ini minimal memuat: nomor dan tanggal surat, tujuan surat (yaitu kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, identitas Wajib Pajak atau pengurus, dan/atau penanggung jawab; penjelasan atas klarifikasi; dan daftar dokumen pendukung klarifikasi; dan
dilampiri dokumen pendukung, minimal berupa: bukti potong atau pungut pajak untuk kewajiban pemotongan atau pemungutan pajak untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut secara berturut-turut dalam 3 bulan, tanda terima penyampaian SPT Tahunan PPh, tanda terima penyampaian SPT Masa PPN yang menjadi kewajibannya berturut-turut 3 bulan, tanda terima penyampaian SPT Masa PPN untuk 6 Masa Pajak dalam periode 1 tahun kalender yang telah menjadi kewajibannya, bukti pelaporan bukti potong atau bukti pungut untuk setiap jenis pajak yang seharusnya dipotong yang telah dibuat berturut-turut selama 3 bulan, dan/atau bukti pelunasan atas tunggakan pajak dan/atau surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran utang pajak yang masih berlaku.
Atas klarifikasi yang disampaikan Wajib Pajak ini, dalam waktu 5 hari kerja setelah surat klarifikasi tersebut diterima, berdasarkan penelitian Kepala KPP harus memberikan keputusan mengabulkan atau menolak klarifikasi yang diberikan Wajib Pajak tersebut.
Keputusan Kepala KPP mengabulkan atau menolak ini didasarkan atas:
mengabulkan klarifikasi Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi kewajiban perpajakannya yang menjadi dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak; atau
menolak klarifikasi Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak belum memenuhi kewajiban perpajakannya yang menjadi dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak
Jika keputusan Kepala KPP adalah mengabulkan klarifikasi dari Wajib Pajak, maka Kepala KPP mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak Wajib Pajak.
Apabila dalam jangka waktu 5 hari kerja telah terlewati, Kepala KPP masih belum memberikan jawaban (mengabulkan atau menolak) atas klarifikasi yang disampaikan Wajib Pajak, maka klarifikasi Wajib Pajak tersebut ditindaklanjuti dengan mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak Wajib Pajak. Setelah pengaktifan kembali namun dalam 5 hari kerja setelah pengaktifan kembali ternyata Wajib Pajak masih memenuhi kriteria penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, maka Kepala KPP akan menonaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak.
Apabila berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak diketahi bahwa dasar penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, maka Kepala KPP mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak.
Pengaktifan kembali akses pembuatan Faktur Pajak yang diatur dalam PER-19/PJ/2025 ini dilakukan sepanjang Wajib Pajak tersebut tidak dilakukan penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak dalam rangka penanganan terhadap kegiatan penerbitan dan/atau penggunaan Faktur Pajak tidak sah (atau biasanya juga disebut sebagai “Faktur Pajak Fiktif”).
Akibat adanya kasus tindakan fraud yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak (pegawai pajak) yang telah resign dengan konsultan maupun Wajib Pajak membuat Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, akan membuat aturan khusus untuk membatasi para eks pegawai pajak tersebut tidak dapat melakukan pelayanan perpajakan hingga tidak dapat mengakses sistem perpajakan. Hal ini disampaikan oleh oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto sebagaimana yang penulis kutip dari artikel di media online dan saluran televisi swasta cnbcindonesia.com pada tanggal 18 November 2025.
Dalam acara talkshow yang disiarkan di saluran televisi swasta nasional dalam acara Tax Time CNBC Indonesia pada tanggal 18 November 2025, Bimo menyampaikan, “Kami sudah siapkan sistem dan kerangka regulasi untuk itu. Kami akan kunci NIK dan NPWP yang bersangkutan di Coretax, sehingga tidak bisa lagi mereka melakukan pelayanan perpajakan di luar pajak ketika mereka resign.”
Persekongkolan ini, ia sebut biasanya dilakukan oleh para pegawai pajak yang ingin mengajukan resign atau pengunduran diri, untuk menjadi bagian dari konsultan atau tim pajak wajib pajak tertentu, namun masih memiliki data-data negara yang bisa digunakan sebagai celah fraud.
"Jadi ditengarai memang ada persekongkolan antara petugas pajak, kemudian konsultan yang kurang baik dengan wajib pajak," kata Bimo.
Untuk menangani kebiasaan praktik persekongkolan itu, Bimo mengaku telah menyiapkan kebijakan khusus karena sebelumnya belum ada kerangka aturan tersebut yaitu dalam bentuk pemberlakuan masa tunggu (grace period) selama 5 tahun bagi pegawai pajak yang ingin mengajukan resign hingga mengunci NIK dan NPWP nya di sistem Coretax.
"Karena mereka-mereka yang bekerja di Direktorat Jenderal Pajak ini harus menjaga independensinya. Tidak boleh ada konflik of interest, apalagi hubungan-hubungan istimewa dengan intermediaries," papar Bimo.
Masa tunggu atau grace period selama 5 tahun itu supaya pegawai pajak yang tak lagi ingin bekerja di DJP tidak bisa langsung bekerja sebagai kuasa pajak, konsultan, ataupun bekerja di bagian perpajakan di korporasi.
Masa tunggu ini diberikan karena sampai hari ini, DJP belum bisa memusatkan seluruh kepemilikan data negara yang dimiliki para pegawai termasuk kepentingan pengolahan analytics data yang terkait perpajakan lainnya.
"Ada data-data yang masih bisa disimpan di stand alone laptop, stand alone tablet, maupun HP dari para pegawai kami. Maka itu data negara yang ada di mereka, itu tidak akan bisa digunakan apabila mereka resign dalam jangka waktu 5 tahun. Karena dalam jangka waktu 5 tahun itu, itu sudah kadaluarsa," ungkap Bimo.
Sebagai catatan penulis, saat ini baru ada regulasi yang mengatur persyaratan masa tunggu bagi mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang akan menjadi seorang Konsultan Pajak. Pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.01/2022 mengatur ketentuan jangka waktu melewati 2 tahun bagi seorang mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang akan menjadi Konsultan Pajak, sebagai berikut:
Dalam hal orang perseorang yang akan menjadi Konsultan Pajak adalah orang yang pernah mengabdikan diri sebagai pegawai di Direktorat Jenderal Pajak dan mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil sebelum mencapai batas usia pensiun, maka salah satu persyaratan yang dipenuhi adalah diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atas permintaan sendiri, dan telah melewati jangka waktu 2 tahun terhitung sejak tanggal surat keputusan pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Dalam hal orang perseorang yang akan menjadi Konsultan Pajak adalah pensiunan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, maka salah satu persyaratan yang dipenuhi adalah mengabdikan diri sekurang-kurangnya untuk masa 20 tahun di Direktorat Jenderal Pajak, selama mengabdikan diri di Direktorat Jenderal Pajak tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, mengakhiri masa baktinya di lingkungan kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan memperoleh hak pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan telah melewati jangka waktu 2 tahun terhitung sejak tanggal surat keputusan pensiun.
Jadi aturan mengenai masa tunggu yang ada saat ini hanya mengikat kepada mantan Pegawai Pajak yang akan menjadi Konsultan Pajak. Namun belum ada ketentuan masa tunggu bagi mantan Pegawai Pajak yang akan menjadi Kuasa Wajib Pajak untuk pihak lain selain Konsultan Pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan penjelasannya.
(c)19112025 syafrianto.blogspot.com
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pengujian Materiil (judicial review) terhadap Ketentuan Perpajakan atas Pesangon dan Uang Pensiun yang diajukan oleh sejumlah karyawan perbankan swasta dan serikat karyawan/pekerja perbankan swasta. Uji materiil ini diajukan terhadap ketentuan perpajakan atas pesangon dan uang pensiun sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU Nomor 7/2021) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Putusan ini diambil oleh MK dalam sidang Pengucapan Putusan untuk perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025 pada hari Kamis, 13 November 2025.
Dalam amar putusannya MK menyatakan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima. MK menilai permohonan para pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur), sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Ketua MK, Suhartoyo dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 186/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta menjelaskan bahwa setelah Mahkamah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 1 UU Nomor 7/2021, telah ternyata tidak terdapat frasa tunjangan dan uang pensiun, sebagaimana dimaksud Para Pemohon, melainkan kata tunjangan dan frasa uang pensiun yang masing-masing terpisah dan tidak dalam satu-kesatuan frasa. Terlebih lagi, pada bagian Petitum angka 1, Para Pemohon menambahkan uraian kalimat Alasan Permohonan yang seharusnya diuraikan pada bagian Posita, sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakjelasan Petitum angka 1 Para Pemohon.
Selanjutnya, pada bagian Petitum angka 2. Para Pemohon memohon agar Pasal 17 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 7 Undang-Undang 7/2021 dinyatakan konstitusional bersyarat. Namun pada uraian Kewenangan Mahkamah dan Alasan Permohonan atau Posita, Para Pemohon hanya menyebut Pasal 17, tanpa menyebutkan ayat dan huruf secara spesifik, sehingga terdapat ketidakkonsistenan antara norma dalam Petitum, dengan uraian Kewenangan Makamah, dan Posita yang mengakibatkan ketidakjelasan Permohonan Para Pemohon, apakah menguji konstitusionalitas norma Pasal 17 secara keseluruhan ataukah hanya norma Pasal 17 ayat (1) huruf a saja.
Duduk Perkara
Perkara Uji Materiil ini dimohonkan oleh Jamson Frans Gultom sebagai Pemohon I; Agus Suwargi sebagai Pemohon II; Budiman Setyo Wibowo sebagai Pemohon III; Wahyuni Indrjanti sebagai Pemohon IV; Cahya Kurniawan yang mewakili Serikat Karyawan Permata Bank (SiKaP) sebagai Pemohon V; Jamil Sobir sebagai Pemohon VI; Lyan Widiya yang mewakili Serikat Pekerja Danamoners sebagai Pemohon VII; Ronald Ebenhard Pattiasina sebagai Pemohon VIII; Kamrul Kumar sebagai Pemohon IX; Ishak sebagai Pemohon X;dan Dorkas V H Sitompul sebagai Pemohon XI.
Para pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon menilai pengenaan pajak atas pesangon, pensiun, tabungan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) sebagai tambahan kemampuan ekonomis tidak adil, bertentangan dengan prinsip kesejahteraan rakyat, dan merugikan secara konstitusional.
Mereka meminta MK membatalkan ketentuan tersebut, melarang pemerintah memungut pajak atas penerimaan tersebut. Serta menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Para pemohon adalah karyawan dan mantan karyawan bank swasta yang tergabung dalam Forum Pekerja Bank Swasta, sehingga mengalami kerugian langsung akibat ketentuan tersebut.
Mereka menyoroti bahwa pajak progresif atas pesangon dan pensiun salah karena menganggapnya sebagai penghasilan baru, padahal merupakan hasil jerih payah pekerja.
Pengenaan pajak ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan prinsip keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, karena membebani kelompok rentan dan melemahkan jaminan sosial.
Selain itu, penerapan asas self assessment bagi pensiunan menimbulkan beban psikologis dan administratif, menyalahi prinsip welfare state, dan menciptakan ketidakadilan fiskal (double taxation), karena pajak sudah dibayarkan selama masa kerja. Dampaknya, pensiunan kehilangan rasa aman dan kesejahteraan di masa tua.
Oleh karena itu, serikat pekerja menilai terdapat dasar moral dan konstitusional yang kuat untuk mengajukan judicial review ke MK terkait pajak pesangon dan pensiun.
Jalannya Sidang Perkara Nomor 186, 189/PUU-XXIII/2025 - Jum'at, 17 Oktober 2025