..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Rabu, 31 Juli 2013

Jatuh Tempo Setor dan Lapor Pajak

Sebenarnya penulis telah beberapa kali menurunkan artikel yang membahas ketentuan mengenai penyetoran dan pelaporan pajak yang apabila tanggal jatuh temponya tersebut bertepatan dengan hari libur. Namun karena masih banyaknya pertanyaan yang diterima oleh penulis mengenai hal ini, apalagi minggu depan kita akan kembali mengalami jatuh tempo penyetoran pajak yang bertepatan dengan hari libur, maka penulis kembali menyajikan artikel yang membahas masalah ini.

Sehubungan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1434 H yang menurut penanggalan akan jatuh pada hari Kamis dan Jumat tanggal 8 dan 9 Agustus 2013, maka Pemerintah melalui 3 Menteri menetapkan Surat Keputusan Bersama tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013 bahwa pada hari Senin, Selasa, dan Rabu tanggal 5, 6 dan 7 Agustus 2013 ditetapkan sebagai Cuti Bersama. Akibatnya sejak hari Sabtu tanggal 3 Agustus 2013 hingga hari Minggu tanggal 11 Agustus 2013 adalah merupakan hari libur dan cuti bersama secara nasional. Tentunya salah satu pihak yang akan mengalami kesulitan akibat libur ini adalah para Wajib Pajak dan orang-orang yang terlibat dengan pekerjaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajak. Karena pada saat ini, salah satu kewajiban perpajakan yang akan mengalami jatuh tempo adalah penyetoran untuk pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Final, PPh Pasal 26 untuk masa Juli 2013. Jatuh tempo penyetoran kewajiban pemotongan PPh masa Juli 2013 ini adalah tanggal 10 Agustus 2013.

Akibatnya penulis banyak mendapatkan pertanyaan tentang apakah ada toleransi yang diberikan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak terhadap hal ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya."

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, menegaskan bahwa Hari libur nasional yang dimaksud ini adalah termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian, apabila tanggal jatuh tempo penyetoran pajak jatuh pada hari libur, maka penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Oleh sebab itu, untuk kewajiban penyetoran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) masa Juli 2013 yang jatuh temponya pada tanggal 10 Agustus 2013 ini ternyata jatuh pada hari Libur Nasional, sehingga setoran ini dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah libur Nasional tersebut, yaitu pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2013.

Jadi, para Pembaca sekalian, tidak perlu khawatir lagi, apabila sampai dengan hari Jumat sore tanggal 2 Agustus 2013 masih belum dapat memenuhi tenggat waktu penyetoran pajak jenis ini, maka setoran dapat dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013.

Akhirnya Penulis mengucapkan selamat berlibur panjang, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H bagi para Pembaca yang merayakannya. Mohon maaf Lahir dan Batin. Serta, selamat menjalankan kewajiban perpajakan Anda.

Artikel Sejenis:
9 April 2009 adalah Hari Libur Nasional
Batas Waktu Setor dan Lapor Pajak Bulan September 2010, Apa Ada Toleransi?

Selasa, 09 Juli 2013

Analisis Terhadap Kewajaran Pelaporan Pajak Orang Pribadi

Saat ini pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat diandalkan dan lebih dari 75% sumber penerimaan negara adalah berasal dari pajak. Untuk tahun 2013 ini, Pemerintah menargetkan penerimaan yang akan diperoleh dari pajak dalam APBN-P 2013 adalah sebesar Rp 995 triliun. Namun hingga semester pertama (30 Juni 2013), realisasi penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang bertugas untuk mengumpulkan pajak, baru mencapai Rp 411,39 triliun atau baru sebesar 41,3% dari target APBN-P 2013.

Akibat dari kondisi realisasi penerimaan pajak yang masih jauh dari target, menyebabkan pihak Direktorat Jenderal Pajak semakin gencar melakukan penggalian potensi-potensi yang dapat meningkatkan penerimaan pajak. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh aparat pajak untuk ini adalah seperti melakukan penelitian terhadap kebenaran SPT yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak, melakukan himbauan kepada Wajib Pajak yang diduga memiliki potensi pajak namun belum dilaporkan secara benar, melakukan upaya law enforcement berupa pemeriksaaan pajak, penagihan pajak hingga penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan.

Salah satu fokus yang sedang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan penggalian potensi pajak di tahun 2013 ini sebagaimana yang dituangkan dalam rencana dan strategi pemeriksaan tahun 2013 berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ/2013 adalah fokus pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan transaksi pembelian kendaraan mewah dan/atau rumah/apartemen mewah dan Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kenaikan harta signifikan.

Akibat dari adanya fokus penggalian potensi ini, sehingga menyebabkan akhir-akhir ini banyak ditemukan adanya Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh surat himbauan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh aparat pajak dalam hal ini Account Representative. Beberapa kasus contoh Wajib Pajak yang dihimbau adalah berdasarkan laporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ditemukan:

  1. adanya penambahan aktiva/harta yang cukup besar dan tidak sebanding dengan pengurangan aktiva atau harta lain yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun sebelum atau jumlah penghasilan yang diterima pada tahun yang bersangkutan;
  2. adanya pertambahan nilai bangunan akibat adanya pembangunan yang cukup signifikan sehingga berpotensi terutang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri;
  3. adanya jumlah harta yang cukup besar yang memerlukan biaya perawatan yang besar juga, namun hal ini tidak diimbangi dengan jumlah penghasilan yang memadai sebagai sumber untuk melakukan perawatan terhadap harta yang dimilikinya tersebut;
  4. ditemukannya atau adanya data mengenai harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang bersangkutan yang selama ini tidak pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi miliknya;
  5. dan sebagainya.
Sebenarnya pelaporan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui sarana Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi saat ini sudah mengakomodasi pelaporan mengenai penghasilan, jumlah harta dan jumlah kewajiban. Secara mudah, berdasarkan SPT Tahunan PPh yang telah dilaporkan tersebut, dapat dilakukan analisis secara sederhana mengenai kewajaran dan kebenaran dari hal-hal yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT tersebut.

Secara sederhana, konsep penghasilan yang didefinisikan sebagai setiap pertambahan kemampuan ekonomis yang siap untuk digunakan sebagai konsumsi dapat direfleksikan dalam rumus:

Y = C + S + I

Dimana:
  1. Y: adalah penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak (Yield) sebagai sumber untuk melakukan C + S + I.
  2. C: adalah konsumsi yang telah dikeluarkan oleh Wajib Pajak (Consumption)
  3. S: adalah tabungan yang telah dilakukan selama ini oleh Wajib Pajak (Saving)
  4. I: adalah investasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam bentuk harta (Investment)

Dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, pelaporan mengenai penghasilan (Y) ini tercermin dari pelaporan penghasilan yang diterima baik dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas, penghasilan dalam negeri lainnya (yang berasal dari passive income seperti bunga, royalti, sewa), penghasilan luar negeri lainnya, penghasilan yang telah dikenakan pajak yang bersifat final dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (seperti warisan, hibah, sumbangan). Penghasilan yang telah diterima setiap tahunnya ini adalah merupakan sumber pembiayaan dan akan digunakan sebagai konsumsi (C), ditabung (S) dalam bentuk deposito, tabungan di bank dan setaranya, serta diinvestasikan (I) sebagai harta baik bergerak maupun tidak bergerak seperti rumah, tanah, kendaraan bermotor, perhiasan, saham, efek dan sebagainya.

Apabila sumber penghasilan (Y) ini tidak cukup untuk melakukan pembiayaan terhadap C, S, dan I, maka sumber pembiayaan dapat diambil dari hutang.

Nah, semua komponen yang telah diuraikan di atas, yaitu komponen S (saving), komponen I (Investment) dan hutang ini tercermin dalam laporan SPT Tahunan yaitu pada bagian harta dan bagian kewajiban.

Satu-satunya komponen yang tidak ada dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah konsumsi (C). Walaupun konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan tidak perlu dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun kita tetap dapat membuat analisis tentang kewajaran konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak berdasarkan harta yang mereka miliki dibandingkan dengan penghasilan yang telah mereka laporkan. Karena dari harta yang dimiliki tersebut dapat diperkirakan berapa kira-kira konsumsi yang harus dikeluarkan untuk melakukan perawatan harta tersebut. Biaya yang dapat diperkirakan misalnya biaya pajak kendaraan, PBB, biaya listrik, biaya air, biaya perawatan kendaraan dan sejenisnya.

Salah satu analisis yang dilakukan oleh aparat pajak dalam menilai kewajaran SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ini biasanya dikenal dengan sebutan “analisis biaya hidup”. Dengan menggunakan formula sederhana yang telah diuraikan di atas dan berdasarkan data di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi serta data dari pihak ketiga, maka aparat pajak dapat melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi dalam melaporkan kewajiban pajaknya.

Oleh sebab itu, marilah kita laporkan kewajiban perpajakan kita secara jujur dan benar supaya tidak akan ditemukan kesalahan pada saat dilakukannya analisis tersebut. Sehingga kita dapat meminjam semboyan “jika sudah bersih buat apa risih”.

Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang memiliki permasalahan seputar pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan pernah dihimbau untuk melakukan pembetulan, silakan untuk sharing di comment berikut ini.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Kamis, 27 Juni 2013

PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak Dengan Omzet Di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Pemerintah kembali mengeluarkan sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi para pelaku bisnis dengan skala kecil dan menengah. Kebijakan ini adalah perlakuan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha (omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar setahun. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Siapakah Wajib Pajak yang dimaksud dalam ketentuan ini yang berhak mendapatkan fasilitas ketentuan ini dan bagaimanakah pelaksanaannya? Dalam tulisan berikut, penulis akan mengupas isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Namun karena hingga tulisan ini dibuat, masih belum ada peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini (Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak), maka masih ada beberapa pelaksanaan teknis yang masih harus menunggu diterbitkannya peraturan pelaksananya. Ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini antara lain adalah:

Wajib Pajak Yang Dapat Menerapkan Ketentuan Ini

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang atas penghasilan dari usahanya dikenai PPh yang bersifat final adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:

  • Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap (BUT); dan
  • menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak.
  • Wajib Pajak yang dimaksud di atas yang tidak dapat menerapkan ketentuan ini adalah:
    Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
    1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
    2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

    Wajib Pajak Badan, adalah:
    1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
    2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000

    Tarif PPh dan Ketentuan Pengenaannya

    Besarnya tarif PPh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sebesar 1% dan bersifat final. Pengenaan PPh ini didasarkan pada peredara bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

    Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 dalam suatu Tahun Pajak, maka Wajib Pajak tetap dikenai tarif PPh final 1% ini sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Sedangkan untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya barulah dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang telah dikenai PPh yang bersifat final lainnya. (Misalnya untuk penghasilan dari jasa konstruksi tetap dikenakan tarif PPh final untuk jasa konstruksi sebesar 2% untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini hanya berlaku untuk penghasilan dari usaha sedangkan untuk penghasilan selain dari usaha tetap dikenakan tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Dasar Pengenan dan Perhitungan PPh

    Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah atas jumlah peredaran bruto setiap bulan.

    Pengenaan PPh dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.

    Kredit Pajak Luar Negeri

    Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan UU PPh dan aturan pelaksananya.

    Kompensasi Kerugian Fiskal

    Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan ketentuan ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan:

    1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun pajak; 
    2. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 tahun tersebut;
    3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

    Ketentuan Khusus Terkait Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan Pajak

    Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan PPh yang bersifat final ini adalah:

    1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 bulan;
    2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan ini di bulan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku
    3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan ini.
    Saat Berlakunya Ketentuan Ini

    Ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.

    Komentar Penulis

    Semoga Peraturan Menteri Keuangan terkait ketentuan ini segera terbit karena ketentuan ini akan berlaku dalam 3 hari lagi. Yang menjadi permasalahan adalah ketentuan ini berlaku di tengah tahun pajak sehingga untuk tahun pajak 2013 ini, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang memenuhi ketentuan ini harus menggunakan 2 metode dalam menghitung PPh yang terutang di tahun 2013, yaitu untuk masa Januari s.d. Juni 2013 yang masih menggunakan tarif PPh umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh, sedangkan sejak Juli s.d. Desember 2013 harus menggunakan tarif PPh yang bersifat final sebesar 1%. Tentunya hal ini cukup menyulitkan bagi Wajib Pajak.

    Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

    Senin, 03 Juni 2013

    Ingat Mulai 1 Juni 2013 Harus Menerbitkan Faktur Pajak dengan Nomor Seri Baru

    Tahun 2013 telah mulai memasuki bulan Juni. Bagi sebagian pelaku di bidang perpajakan, tanggal 1 Juni 2013 adalah merupakan hari yang sangat penting, karena mulai 1 Juni 2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak/PKP (yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai PPN) wajib untuk membuat Faktur Pajak dengan menggunakan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dimana salah satu aturannya adalah tentang penomoran Faktur Pajak dengan cara baru.

    Walaupun sebenarnya ketentuan penomoran faktur pajak telah diberlakukan sejak 1 April 2013, namun karena untuk mengakomodasi persiapan dalam pemberian nomor faktur pajak baru, maka diberikan toleransi dalam pelaksanaannya yaitu bagi PKP yang masih belum mendapatkan nomor faktur pajak yang baru, paling lambat hingga 31 Mei 2013 masih dapat menggunakan nomor faktur pajak lama dan sejak 1 Juni 2013 harus menggunakan nomor faktur pajak yang baru. Jadi bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang telah dikukuhkan sebagai PKP maka mulai saat ini harus lebih cermat dalam hal membuat Faktur Pajak ataupun menerima Faktur Pajak yang akan dijadikan sebagai pajak masukan, karena sudah harus memperhatikan ketentuan baru sebagaimana yang diatur dalam PER-24/PJ/2013 tersebut.

    Untuk sekedar mengingatkan, berikut penulis akan ringkaskan beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan tata cara penerbitan faktur pajak yang baru berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012.

    1. Nomor Seri Faktur Pajak diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak/KPP) berdasarkan permohonan yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
    2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP dengan blok nomor urut, sehingga antara satu PKP dengan PKP lainnya tidak akan menerima nomor urut yang sama. Dalam ketentuan PER-24/PJ/2012 ini sudah tidak lagi mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi penggunaan nomor faktur pajak yang tidak urut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk penomoran faktur pajak yang baru ini tidak perlu dibuat secara berurutan.
    3. Ada kewajiban bagi PKP untuk melaporkan sisa nomor faktur pajak yang telah diterimanya yang tidak terpakai.
    4. PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Tidak Lengkap.
    5. Saat ini PKP yang akan mendapatkan Nomor Seri Faktur Pajak harus memenuhi syarat yaitu telah diregistrasi ulang oleh KPP tempat PKP tersebut dikukuhkan atau bagi PKP baru yaitu telah diverifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
    6. Adanya penegasan bahwa keterangan Faktur Pajak mengenai alamat dan jenis barang/jasa harus diisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
    7. PKP wajib memberitahukan secara tertulis ke KPP atas penunjukkan pejabat/pegawai yang berhak untuk menandatangani Faktur Pajak dengan melampirkan fotokopi kartu identitas yang sah (KTP, SIM, atau Paspor) yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang.
    8. Mengganti istilah “Faktur Pajak Cacat” menjadi “Faktur Pajak Tidak Lengkap” agar sesuai dengan ketentuan UU KUP.
    9. Mempertegas peruntukan Kode Transaksi untuk kode 02 (bendahara pemerintah) dank ode 03 (BUMN dan KPS) digunakan untuk penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN.
    10. Tata cara penerbitan Faktur Pajak Pengganti disederhanakan menjadi: untuk Faktur Pajak Pengganti tetap menggunakan Nomor Seri yang sama dengan Faktur Pajak sebelumnya yang akan digantikan. Pelaporan Faktur Pajak pengganti ini hanya dilaporkan di SPT Masa PPN pada masa pajak dimana Faktur Pajak yang diganti tersebut dilaporkan.

    Kamis, 16 Mei 2013

    Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

    Sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan kewajiban pemungutan PPh atas pembayaran penghasilan kepada Pegawai dan Bukan Pegawai orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan adalah dengan menggunakan Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26. Selama ini formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini diberi kode Formulir 1721.

    Kelak mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013.

    Bentuk Formulir

    Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dengan peraturan ini sebagaimana ditentukan dalam Lampiran 1 (Formulir 1721 tahun 2014 dalam bentuk Ms. Excel ini dapat di-download di sini) terdiri dari:


    1. Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721);
    2. Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-I);
    3. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-II);
    4. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-III);
    5. Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-IV);
    6. Daftar Biaya - (Formulir 1721-V);
    Sedangkan bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang merupakan dokumen pendukung dari SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dalam Lampiran 2 peraturan ini terdiri dari:

    1. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) atau Pasal 26 - (Formulir 1721-VI);
    2. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-VII);
    3. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala - (Formulir 1721-A1);
    4. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya - (Formulir 1721-A2);

    Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini adalah berupa:
    -formulir kertas (hard copy); atau
    -e-SPT

    Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26

    a.Pelaporan dengan formulir kertas (hard copy)

    Wajib Pajak/Pemotong Pajak dapat menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dalam bentuk kertas (hard copy) adalah apabila:
    1. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau;
    2. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada angka 1 dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
    3. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
    4. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

    b.Pelaporan dengan e-SPT

    Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang diperbolehkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir dalam bentuk kertas, namun ingin melaporkannya menggunakan e-SPT, maka dalam ketentuan ini Wajib Pajak ini diperolehkan untuk melaporkan dengan menggunakan e-SPT.

    Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang tidak memenuhi salah satu dari keempat ketentuan yang memperbolehkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir kertas, maka wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT.

    Apabila Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang telah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT, maka tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) untuk masa-masa pajak berikutnya.

    Bagi Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan e-SPT namun tetap menyampaikannya dengan formulir kertas, maka atas SPT yang telah dilaporkannya dengan menggunakan formulir kertas ini dianggap tidak pernah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26

    Bentuk Formulir Yang Harus Digunakan

    Bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir kertas, maka bentuk, isi dan ukuran formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 tersebut harus sama seperti bentuk formulir yang ditetapkan dalam Lampiran 1 PER-14/PJ/2013 ini dan tidak boleh diubah

    Bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan e-SPT, maka harus menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

    Cara Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26

    SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dapat disampaikan oleh Pemotong dengan cara:

    a. langsung ke KPP atau KP2KP;
    b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP;
    c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
    d. e-filing yang tata cara penyampaiannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    Formulir Yang Harus Dilaporkan

    Dalam Hal Pelaporan Menggunakan Formulir Kertas (hard copy)
    SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) tidak perlu dilampiri dengan:
    • Formulir 1721-I dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap, Penerima Pensiun, Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya;
    • Formulir 1721-II dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan Pasal 26 dengan menggunakan Formulir 1721-VI;
    • Formulir 1721-III dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan menggunakan Formulir 1721-VII;
    • Formulir 1721-IV dalam hal tidak ada penyetoran dan pemindahbukuan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 dengan menggunakan SSP dan Bukti Pbk;
    • Formulir 1721-V dalam hal Pemotong wajib menyampaikan SPT Tahunan;
    • Formulir 1721-VI;
    • Formulir 1721-VII;
    • Formulir 1721-A1;
    • Formulir 1721-A2;

    Dalam Hal Pelaporan Menggunakan e-SPT
    SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT harus disampaikan dengan disertai Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy).

    Kapan dan Formulir Apa yang Harus Digunakan?

    Ketentuan perubahan saat penggunaan formulir baru (Formulir 1721 tahun 2014) sesuai PER-14/PJ/2014 dan kapan masih harus menggunakan formulir sesuai PER-32/PJ/2009 (Formulir 1721 tahun 2009) adalah:
    1. Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 sampai dengan Masa November 2013 (baik SPT Normal maupun SPT Pembetulan)
    Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak sampai dengan Masa Pajak November 2013 yang dilakukan sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

    2. Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember 2013 (SPT Normal dan SPT Pembetulan)
    Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak Desember 2013 yang dilakukan:
    • sampai dengan tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26;
    • setelah tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
    Pengisian Pada Masa Desember

    Berbeda dengan formulir SPT Masa yang sebelumnya, pada formulir SPT Masa PPh Pasal 21 1721 sesuai dengan ketentuan PER-14/PJ/2013 ini untuk pengisian masa Desember, pada Induk SPT (Form 1721, jumlah penghasilan bruto dan PPh terutang yang diisikan hanyalah jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan kepada karyawan serta PPh terutang yang terjadi pada bulan Desember saja (bukan jumlah akumulasi dari Januari sampai dengan Desember). Sedangkan pada Form 1721-I, pada masa Desember harus mengisi 2 Form, yaitu:
    • satu Form yang diisi hanya untuk penghasilan bruto yang diterima setiap karyawan dan PPh terutangnya pada bulan Desember saja (pada bagian atas formulir dipilih "SATU MASA PAJAK"), dan;
    • satu Form yang untuk penghasilan bruto yang diterima setiap karyawan dan PPh terutangnya selama bulan Januari sampai dengan Desember (pada bagian atas formulir dipilih "SATU TAHUN PAJAK")

    Download:
    Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 (Form 1721) format Excel

    Artikel Terkait:
    Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Baru tahun 2015