..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Kamis, 08 Desember 2011

Perlakuan Pajak Atas Penyerahan Kacang Kedelai

Kacang kedelai adalah merupakan salah satu bahan yang menjadi kebutuhan pokok rakyat Indonesia. Banyak sekali makanan yang dibuat dari kacang kedelai ini, sebut saja tahu, tempe, oncom, kecap, tauco sampai dengan susu kacang kedelai. Saat ini makanan yang telah disebutkan ini sudah tidak dapat lepas dari kebutuhan makan sehari-hari rakyat Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa seandainya tidak ada tahu, tempe atau kecap, tentunya makanan yang kita santap serasa ada yang kurang.

Dalam ketentuan pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), atas setiap transaksi penyerahan barang yang menyebabkan adanya pertambahan nilai dari barang yang diserahkan tersebut akan terutang PPN. Pada prinsipnya PPN ini dikenakan untuk mengendalikan perekonomian di negara kita sehingga rakyat tidak akan terlalu konsumtif dalam mengkonsumsi suatu barang (fungsi regulerend).

Lalu bagaimanakah perlakuan PPN atas penyerahan kacang kedelai yang saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok dari sebagian besar rakyat Indonesia? Berikut ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai perlakuan PPN serta Bea Masuk (BM) atas penyerahan kacang kedelai.

KETENTUAN PPN

Pasal 4A ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2000 menegaskan bahwa: Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut: barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Dalam Penjelasan ayat ini ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam ayat ini adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 huruf b PP Nomor 144 Tahun 2000 disebutkan bahwa: Kelompok barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah: Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Pada Pasal 3 huruf e PP Nomor 144 Tahun 2000 ini menyebutkan bahwa Jenis barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah kedelai.

Kemudian dalam Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-68/PJ./2002 tanggal 4 Februari 2002 menyebutkan bahwa atas impor dan atau penyerahan barang-barang kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 653/KMK.03/2001, berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Kedelai yang dimaksud dalam Pasal 1 KEP-68/PJ./2002 ini adalah Kedelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam, sepanjang berbentuk sebagaimana dimaksud dalam huruf d Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 653/KMK.03/2001. Pada huruf d Lampiran 653/KMK.03/2001 menyebutkan bahwa kedelai yang dimaksud adalah kacang kedelai (pecah atau utuh) kuning (dengan kode HS 1201.00.100) dan lain-lain (dengan kode HS 1201.00.900).

Akibat adanya pertanyaan dari masyarakat, maka Direktur PPN dan PTLL Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan surat penjelasan mengenai perlakuan PPN atas impor kedelai melalui surat S-749/PJ.52/2002 tanggal 26 Juli 2002. Dalam surat penjelasan ini, landasan hukum yang dipergunakan adalah:
  1. Pasal 3 jo. Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000
  2. huruf d Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 653/KMK.03/2001
  3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-68/PJ/2002.
Hal yang ditegaskan dalam Surat Nomor S-749/PJ.52/2002 ini adalah bahwa:
  1. atas impor dan atau penyerahan kedelai oleh PT A.S.I. seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam, sepanjang berbentuk kacang kedelai, pecah atau utuh, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
  2. Pajak Masukan atas impor dan atau perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

Ketentuan PPN Yang Terbaru

Seiring dengan semakin berkembangnya bentuk transaksi perekonomian, maka pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) mengubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang telah berlaku selama 10 tahun. Dalam UU PPN yang baru ini, jenis barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN lebih ditegaskan.

Perlakuan PPN atas penyerahan kacang kedelai masih tetap sama seperti yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2000. Dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 menegaskan jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok: barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 ditegaskan bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
  1. beras;
  2. gabah;
  3. jagung;
  4. sagu;
  5. kedelai;
  6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  8. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

KETENTUAN BEA MASUK

Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.011/2008 ditegaskan bahwa atas impor kacang kedelai (Pos Tarif 1201.00.90.00), dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol perseratus). Ketentuan ini berlaku mulai 18 Januari 2008 s.d. 22 Desember 2010 (PMK 241/PMK.011/2010).

Menurut Lampiran I PMK 13/PMK.011.2011 disebutkan bahwa kacang kedelai (pecah maupun tidak), bungkil dan residu padat lainnya, dihancurkan maupun tidak atau berbentuk pellet, hasil dari ekstraksi minyak kacang kedelai, terutang BM 0% (80/PMK.011/2011).

KETENTUAN PELAPORAN SPT MASA PPN

Atas penyerahan Barang yang tidak terutang PPN, PKP tidak memiliki kewajiban untuk memungut PPN dan tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak. Kewajiban dari PKP atas penyerahan yang tidak terutang PPN ini hanyalah melaporkan jumlah penyerahannya (Dasar Pengenaan Pajak/DPP) pada induk SPT Masa PPN (Form 1111) Bagian I huruf B yaitu “Penyerahan Barang dan Jasa Tidak Terutang PPN”.

Baca Artikel Terkait:
Putusan Mahkamah Agung Menyebabkan Produk Pertanian “Menjadi” Kena PPN


c)syafrianto.blogspot.com 08122011

Jumat, 25 November 2011

Siapa Saja Yang Wajib Membuat Transfer Pricing Documentation?

Setelah artikel Kewajiban Membuat Dokumentasi Penetapan Transfer Pricing Yang Wajar atas Transaksi Hubungan Istimewa diposting di blog ini, penulis langsung mendapatkan pertanyaan dari para Pembaca Setia Tax Learning. Mereka menanyakan Wajib Pajak yang bagaimana yang memiliki kewajiban untuk membuat Transfer Pricing Documentation. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang akan timbul sehubungan dengan adanya perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 yang kini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, karena ketentuan yang diubah melalui PER-32/PJ/2011 ini terdiri dari 16 Pasal yang diubah serta menambahkan 2 Pasal baru. Namun karena keterbatasan waktu, penulis belum sempat mengulas seluruh perubahan yang terjadi.

Pada tulisan berikut ini, penulis akan membahas mengenai Wajib Pajak yang bagaimana yang diwajibkan untuk melakukan Penentuan Harta Transfer (Transfer Pricing) atas transaksi dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sesuai PER-32/PJ/2011 ini.

a. Siapa yang Wajib memenuhi ketentuan PER-32/PJ/2011?

Apabila kita membaca bunyi dari Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, maka dapat kita simpulkan bahwa Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) ini harus diterapkan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri di luar Indonesia.

Lebih lanjut pada Pasal 2 ayat (2) ditegaskan bahwa dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, maka ketentuan PER-32/PJ/2011 ini hanya berlaku atas transaksi yang memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan karena:
  1. perlakuan pengenaan PPh Final atau tidak Final pada sektor usaha tertentu;
  2. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
  3. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.

Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa Wajib Pajak yang termasuk dalam kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan memiliki hubungan istimewa, wajib untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (4) ditegaskan bahwa Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha apabila nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10 milyar dalam 1 tahun pajak untuk setiap lawan transaksi.

b. Apa yang harus dilakukan apabila termasuk sebagai kriteria Wajib Pajak yang disebutkan dalam PER-32/PJ/2011?

Wajib Pajak yang telah memenuhi ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (4) diwajibkan untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, yaitu dengan cara (Pasal 3 ayat (2)):
  1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
  2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
  4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.


c. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bagian a dan bagian b di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa:
Wajib Pajak yang harus Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana diatur dalam PER-32/PJ/2011 adalah Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia yang bertransaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa:
  1. di luar Indonesia (Wajib Pajak Luar Negeri); atau
  2. Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia yang memanfaatkan perbedaan tarif pajak seperti perlakuan PPh Final dan tidak Final, perlakuan pengenaan PPnBM, atau transaksi dengan WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas;
dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10 milyar dalam 1 tahun pajak untuk setiap lawan transaksi.

Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan di atas ini wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan membuat dokumentasinya (membuat transfer pricing documentation/TP Doc).


Dengan demikian maka PER-32/PJ/2011 ini mencabut ketentuan bagi Wajib Pajak yang selama ini diwajibkan untuk membuat transfer pricing documentation dengan langkah yang lebih sederhana, yaitu untuk:
Wajib Pajak yang memiliki transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang meliputi:
  1. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak berwujud;
  2. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud;
  3. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
  4. alokasi biaya; dan
  5. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud,
dengan nilai transaksi (nilai penghasilan atau pengeluaran) tidak melampaui Rp 10 miliar.

Artikel Terkait:
Kewajiban Membuat Dokumentasi Penetapan Transfer Pricing Yang Wajar atas Transaksi Hubungan Istimewa

Kamis, 24 November 2011

Kewajiban Membuat Dokumentasi Penetapan Transfer Pricing Yang Wajar atas Transaksi Hubungan Istimewa

Saat ini Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa wajib membuat dokumentasi mengenai penentuan harga wajar transaksi

Dalam Standar Akuntansi Keuangan dan ketentuan perpajakan, transaksi yang terjadi antara pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa diharuskan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Dalam prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/ALP) diatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.

Selama ini selalu timbul sengketa antara Wajib Pajak dan Petugas Pajak (Fiskus) dalam hal menentukan nilai wajar atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Apalagi pada tahun 1993 Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan panduan bagi pemeriksaan atas transaksi yang dilakukan oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa yang diindikasikan adanya transfer pricing melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.7/1993 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993. Walaupun sudah ada panduan bagi fiskus dalam melakukan pemeriksaan atas transaksi yang dilakukan oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa, namun pihak Direktorat Jenderal Pajak tidak mengeluarkan ketentuan berupa petunjuk atau panduan kepada Wajib Pajak dalam menentukan kewajaran harga ini. Bahkan dalam SPT Tahunan PPh Badan juga telah mewajibkan Wajib Pajak untuk mengungkapkan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa serta metode penentuan harga dalam Lampiran Khusus 3A.

Barulah pada tanggal 6 September 2010 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan ketentuan mengenai penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Peraturan ini telah memberikan kepastian kepada Wajib Pajak mengenai penetapan harga wajar atas transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Namun sejak 11 November 2011 PER-43/PJ/2010 ini diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011. Salah satu ketentuan yang cukup penting (yaitu pada Pasal 2 dan Pasal 3 PER-32/PJ/2011 ini) untuk diketahui adalah bahwa bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak Luar Negeri di luar Indonesia dengan nilai seluruh transaksi melebihi Rp 10 milyar dalam 1 tahun pajak untuk setiap lawan transaksi diwajibkan untuk:

  1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
  2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
  4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sebagaimana disebukan di atas.

Dengan demikian maka saat ini sudah jelas ketentuan bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak Luar Negeri di luar Indonesia dengan nilai lebih dari Rp 10 milyar dalam setahun untuk membuat transfer pricing documentation.

Apabila Anda mempunyai pertanyaan lebih lanjut mengenai pembuatan transfer pricing documentation untuk memenuhi ketentuan ini, maka Anda dapat menghubungi penulis melalui email atau secara langsung ke alamat berikut.

Artikel Terkait:
- Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Transaksi Hubungan Istimewa
- Siapa Saja Yang Wajib Membuat Transfer Pricing Documentation?

Rabu, 26 Oktober 2011

Ditjen Pajak Telah Menjalin Kerjasama Dengan PPATK untuk Cegah Tindak Pidana Perpajakan





Selama ini Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) masih menghadapi kendala dalam membongkar tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui kegiatan pencucian uang (money laundering). Hal ini disebabkan karena akses untuk mendapatkan data mengenai transaksi keuangan di perbankan sulit untuk diperoleh akibat adanya Undang-Undang tentang Kerahasiaan Bank. Akibat sulitnya otoritas pajak dalam memperoleh data transaksi keuangan melalui perbankan, menyebabkan banyak tindak pidana perpajakan yang dilakukan melalui transaksi perbankan. Sebenarnya tindak pidana perpajakan adalah merupakan salah satu tindakan awal dari tindak pidana pencucian uang (tindak pidana asal/predicate crime). Oleh karena itu, antara kegiatan pencucian uang dengan tindak pidana perpajakan memiliki korelasi yang sangat erat.

Saat ini masalah tindakan pidana pencucian uang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Dalam ketentuan ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah ditunjuk sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan analisis atas kegiatan transaksi keuangan yang diperoleh dari berbagai instansi termasuk perbankan terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan. Namun selama ini, dalam melakukan analisis atas transaksi keuangan yang mencurigakan ini, PPATK tidak memiliki akses untuk mendapatkan data dari Ditjen Pajak atas informasi yang dilaporkan dalam SPT Tahunan/Masa yang disampaikan akibat adanya ketentuan kerahasiaan Wajib Pajak sesuai ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

Walaupun demikian, selama ini antara Ditjen Pajak dengan PPATK telah terjalin kerjasama secara tidak formal, dimana apabila ada data transaksi keuangan yang mencurigakan hasil analisis PPATK yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana perpajakan, maka pihak PPATK akan mengirimkan data tersebut ke Ditjen Pajak untuk ditindaklanjuti.

Untuk lebih meningkatkan pengawasan terhadap adanya tindakan pidana pencucian uang dan tindak pidana di bidang perpajakan, maka Ditjen Pajak dan PPATK telah menjalin kerjasama melalui penandatangan kesepakatan kerjasama/Memorandum of Understanding (MoU) antara Ditjen Pajak dan PPATK dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana di bidang perpajakan. MoU yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany dan Kepala PPATK Yunus Husein pada tanggal 19 Oktober 2011 di Gedung PPATK, Jakarta ini diharapkan dapat mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sehingga dapat menjaga stabilitas perekonomian dan menurunkan tingkat kriminalitas.

Dengan ditandatanganinya MoU ini maka diharapkan antara Ditjen Pajak dan PPATK dapat meningkatkan sinergi dan keterpaduan, baik dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Ruang lingkup yang diatur dalam MoU ini meliputi:
  1. pertukaran data dan/atau informasi,
  2. perumusan peraturan perundang-undangan,
  3. penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan,
  4. pengembangan sistem teknologi informasi,
  5. penugasan pegawai Ditjen Pajak pada PPATK, dan
  6. kajian, sosialisasi, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan.
Apabila kita cermati atas ruang lingkup dari kerjasama ini, maka hal yang baru yang cukup berperan dalam melakukan pengungkapan tindak pidana perpajakan oleh Ditjen Pajak adalah adanya kerjasama dengan PPATK dalam hal penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan serta penugasan pegawai Ditjen Pajak pada PPATK. Dengan adanya kedua ruang lingkup kerjasama ini akan semakin memudahkan bagi Ditjen Pajak dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana perpajakan karena akses untuk menganalisis transaksi keuangan di perbankan yang selama ini dilakukan oleh PPATK sudah dapat diakses oleh Ditjen Pajak karena adanya kerjasama ini.

Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan adanya MoU ini mengakibatkan Undang-Undang tentang jaminan kerahasiaan bank menjadi hilang? Jika menurut penulis, sebenarnya jaminan kerahasiaan bank tetap berlaku sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. UU Nomor 25 Tahun 2003 memberi wewenang kepada PPATK hanya untuk melakukan analisis atas kegiatan transaksi keuangan yang mencurigakan. Dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2003 menegaskan bahwa ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya tidak berlaku bagi penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Pada Pasal 10A UU Nomor 25 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa semua dokumen dan/atau keterangan yang diperoleh pejabat atau pegawai PPATK dalam rangka analisis ini wajib dijaga kerahasiaannya.

Sebenarnya selama ini ketentuan mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan tidak berlaku apabila akan digunakan untuk kepentingan perpajakan. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 2 ayat (4) huruf a Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tanggal 7 September 2000.

Jadi kekhawatiran yang muncul di masyarakat saat ini bahwa dengan adanya MoU antara Ditjen Pajak dan PPATK saat ini otomatis akan membuka semua rahasia bank sebagaimana yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Kerahasiaan bank hanya akan dibuka apabila ternyata dari transaksi keuangan yang terjadi melalui perbankan dicurigai memiliki potensi tindak pidana (baik tindak pidana di bidang perpajakan maupun tindak pidana pencucian uang). Memang benar bahwa dengan adanya kerjasama ini akan membuat pengawasan yang selama ini dilakukan oleh masing-masing pihak, baik DJP maupun PPATK, atas tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat dapat dikoordinasikan lebih baik dengan data yang lebih terintegrasi. Hal ini akan meningkatkan kinerja Ditjen Pajak dalam mengungkap tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Jadi janganlah khawatir dengan adanya MoU ini, karena sesuai dengan semboyan di dunia perbankan: “Kalau bersih, kenapa harus risih?


Sumber: Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Tanggal 19 Oktober 2011 atau dokumennya asli di sini.

Rabu, 05 Oktober 2011

Apa Saja Yang Dilakukan Petugas Dalam Rangka Sensus Pajak?

Sejak di-launching-nya program Sensus Pajak Nasional oleh Direktorat Jenderal Pajak, membuat sebagian besar masyarakat di Indonesia mengalami kepanikan. Sepertinya masyarakat masih belum memahami seperti apa program Sensus Pajak Nasional ini. Bahkan dengan adanya rumor-rumor yang entah dari mana yang menganggap bahwa Sensus Pajak Nasional ini sebenarnya adalah suatu bentuk program untuk memeriksa dan menghitung pajak sebenarnya dari setiap orang.

Akibatnya banyak pertanyaan yang disampaikan kepada penulis baik secara langsung maupun melalui email (bahkan juga ketika penulis bertemu seseorang secara langsung) maka pertanyaannya tidak jauh tentang Sensus Pajak Nasional.

Sehubungan dengan ketidakmengertian dari sebagian masyarakat serta masih adanya kesimpangsiuran mengenai Sensus Pajak Nasional, maka penulis berusaha untuk menuangkan informasi-informasi yang patut untuk diketahui mengenai Sensus Pajak Nasional ini dalam blog Tax Learning ini (silakan baca artikel lainnya yang berkaitan dengan Sensus Pajak Nasional di sini).

Dalam artikel kali ini penulis akan menguraikan tentang hal-hal apa saja yang dilakukan oleh petugas sensus selama Sensus Pajak berlangsung.

Proses Pelaksanaan Sensus Pajak

Tahapan yang dilakukan oleh Petugas Sensus Pajak dapat diringkas menjadi sebagai berikut:


-Petugas Sensus Pajak akan berkoordinasi dengan pihak ketiga (Pemda, Ketua RT/RW, pengelola/manajemen gedung perkantoran, perumahan/apartemen, perhimpunan, masyarakat sebelum pelaksanaan Sensus Pajak.
-Petugas Sensus Pajak dengan didampingi oleh pihak ketiga menemui responden dan menunjukkan Surat Tugas, Surat Pemberitahuan Sensus Pajak dan identitas diri petugas yang bersangkutan (kartu pengenal petugas sensus/pegawai DJP).
-Petugas Sensus Pajak memberikan penjelasan kepada responden terkait pelaksanaan Sensus Pajak Nasional.
-Petugas Sensus Pajak meminta kesediaan responden untuk membantu memberikan data.
-Petugas Sensus Pajak mengisi Formulir Isian Sensus (FIS) berdasarkan data yang disampaikan responden.
-Setelah mengecek kelengkapan pengisian FIS dan ditandatangani oleh responden, petugas Sensus Pajak menempelkan stiker sensus di lokasi milik responden.

Data Apa Yang Harus Diserahkan Oleh Responden?

Selama pelaksanaan Sensus Pajak, apakah ada data yang harus diserahkan oleh responden kepada petugas sensus? Pertanyaan inilah yang paling sering diperoleh penulis. Berdasarkan hasil kajian terhadap peraturan mengenai Sensus Pajak (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.03/2011 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2011), penulis tidak menemukan ketentuan yang mengharuskan responden untuk memberikan data berbentuk hardcopy kepada petugas data. Yang wajib diberikan oleh responden hanyalah informasi dalam bentuk jawaban kepada petugas sensus pajak atas setiap pertanyaan yang mereka ajukan berdasarkan FIS. Pada lampiran II PER-30/PJ/2011 justru disebutkan bahwa responden harus menjawab berdasarkan wawancara yang diajukan oleh petugas Sensus Pajak serta menunjukan bukti pendukung terkait isian FIS (yang berupa KTP, Kartu NPWP, Kartu Keluarga dan lain-lain). Jadi data pendukung untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari petugas Sensus Pajak ini hanya perlu ditunjukan oleh responden, namun tidak perlu (dan memang tidak usah) diberikan dalam bentuk hardcopy atau fotokopi kepada petugas sensus pajak.

Jadi apabila petugas sensus meminta fotokopi dokumen pendukung, maka sesuai ketentuan responden tidak memiliki kewajiban untuk memberikan dan sebaiknya juga tidak usah diberikan.

Berhubung keterbatasan waktu, maka penulis akan mengulas lebih lanjut mengenai sensus pajak ini dalam artikel berikutnya. Nantikanlah tulisan selanjutnya.