..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Rabu, 04 Januari 2023

e-Form PDF SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 Belum Dukung Ketentuan Omzet PP 23 Yang Tidak Kena PPh 0,5%

Ada ketentuan baru bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang biasanya dikenal sebagai Wajib Pajak UMKM) yang penghasilannya dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 0,5% dari Peredaran Bruto (omzet) setiap bulannya. Ketentuan baru yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2022 ini adalah ketentuan yang diatur pada Pasal 7 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).dan telah dipertegas pada Pasal 60 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022.

Ketentuan baru ini adalah mulai Tahun Pajak 2022, Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu diberikan batasan peredaran bruto tertentu (omzet) sampai dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 Tahun Pajak yang tidak dikenai PPh final 0,5%.

Sebagai contoh, perhitungan PPh bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki Peredaran Bruto tertentu mulai Tahun Pajak 2022 adalah sebagai berikut.
Gambar 1

Ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU HPP Belum Diakomodir Oleh e-Form SPT 1770 Tahun 2022

Saat ini seluruh Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi secara online melalui e-Filing, diwajibkan untuk melaporkannya dengan menggunakan aplikasi e-Form. Aplikasi e-Form ini adalah suatu bentuk form elektronik berbentuk PDF (Portabel Document Format) yang dapat dijalankan dengan aplikasi Acrobat Reader.

Untuk melaporkan SPT secara e-Filing, terlebih dahulu Wajib Pajak menginput laporan pajaknya secara offline ke dalam e-Form ini. Setelah selesai diinput semua, barulah dilaporkan (submit) secara online dengan mengklik tombol "submit" pada bagian form yang telah disediakan.

Penulis mencoba untuk mengisi e-Form SPT 1770 Tahun 2022 terutama untuk menguji apakah e-Form ini telah menyediakan sarana untuk melaporkan penghasilan dari peredaran bruto tertentu diberikan batasan peredaran bruto tertentu (omzet) sampai dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 Tahun Pajak yang tidak dikenai PPh final 0,5% sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU HPP.
 
Penulis mencoba e-Form 1770 Tahun Pajak 2022 yang diunduh (download) pada tanggal 4 Januari 2023. Rupanya pada halaman "Daftar Jumlah Penghasilan Bruto dan Pembayaran PPh Final Berdasarkan PP 46 Tahun 2013 dan atau PP 23 Tahun 2018 per Masa Pajak serta dari Masing-Masing Tempat Usaha" masih ada kolom (field) yang BELUM di-update sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU HPP. Yaitu pada kolom "Jumlah PPh Final Yang Dibayar".
Gambar 2

Kolom "Jumlah PPh Final Yang Dibayar" pada e-Form tersebut tampak berwarna kuning yang artinya kolom ini tidak dapat diinput manual, melainkan merupakan hasil dari formula matematis. Formula pada kolom ini adalah nilai pada kolom "Peredaran Usaha" dikalikan dengan 0,5%.

Apabila kita lihat pada Gambar 1 di atas, maka tampak bahwa untuk Masa Januari, Februari dan Maret, Wajib Pajak ini masih belum dikenai PPh karena Peredaran Brutonya masih di bawah Rp 500 juta. Sedangkan pada Masa April, peredaran bruto yang dikenai PPh baru atas Rp 40 juta. Namun untuk pengisian pada e-Form 1770, tampak bahwa dari Masa Januari sampai dengan April, jumlah PPh yang disetor masih berupa nilai dari formula kolom Peredaran Bruto dikalikan dengan 0,5%, seperti tampak pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3

Penulis juga mencoba cara untuk mengatasi rumus yang belum update dengan menggunakan fasilitas impor dari file CSV. Namun tabel impor yang disiapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak hanya terdiri dari 4 kolom data (lihat Gambar 4), sedangkan untuk kolom "Jumlah PPh Final Yang Dibayar" tidak ada fasilitas untuk diimpor.
Gambar 4


Dengan demikian, e-Form SPT 1770 untuk Tahun Pajak 2022 ini masih belum di-update mengikuti ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU HPP untuk batasan omzet sampai dengan Rp 500 juta yang tidak dikenai PPh.

Saran

Mengingat bahwa mulai 1 Januari 2023, adalah masa di mana Wajib Pajak sudah harus mulai menjalankan rutinitas kweajibannya yaitu melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2022 hingga batas waktu 31 Maret 2023, maka Penulis mengharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat segera meng-update (memutakhirkan) e-Form 1770 ini, supaya Wajib Pajak dapat melaporkan SPT Tahunan PPh-nya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Jumat, 30 Desember 2022

Pemerintah Terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja

Pada hari ini, 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 25 November 2021 yang menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, dimana pada salah satu putusannya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja harus segera diamandemen supaya dapat diberlakukan. Hasil putusan MK ini sangat memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Di sisi lain, pemerintah terus berupaya untuk menjaring investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, keberadaan Perppu ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha.

Sehingga menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers pada hari Jumat, 30 Desember 2022 (sebagaimana yang dikutip dari situs setkab.go.id) bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden, Jakarta, menyatakan bahwa penerbitan Perppu dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlangga.

Di sisi geopolitik, imbuhnya, dunia dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia dan konflik lainnya yang juga belum selesai. “Dan pemerintah menghadapi, tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim,” imbuhnya.

Menko Airlangga juga menyebut bahwa pengeluaran Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini sudah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII /2009.

Pada kesempatan itu Airlangga juga menyebutkan beberapa isi perubahan di UU Cipta Kerja menjadi Perpu Cipta Kerja. Perubahan dengan Perpu Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah menurut Airlangga sesuai dengan perintah dan Putusan MK. Misalnya poin penting di Perpu Cipta Kerja adalah pengaturan mengenai masalah ketenagakerjaan, pengaturan upah minimum, dan pengaturan pekerja alih daya.

Khusus pekerja alih daya ini sebelumnya di UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, membuka kepada seluruh sektor usaha, dengan Perpu 2 Tahun 2022 berubah menjadi diatur jenis pekerjaannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah. "ini masukan sesuai dengan permintaan dari serikat pekerja," klaim Arilangga.

Perubahan lain Perppu Cipta Kerja adalah mengenai sinkronisasi harmonisasi dengan tata cara penyusunan perundang-undangan termasuk pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Perubahan lain menyangkut penyempurnaan pengaturan sumber daya air. "Juga perubahan atas kesalahan pasal dan legal drafting yang substansial telah disempurnakan oleh kementerian lembaga terkait," kata Airlangga.

Dengan keluarnya Perppu Nomor 2 tahun 2022 ini Airlangga menegaskan UU Omnibus Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK maka telah menjadi konstitusional dengan adanya Perpu yang menggantikannya.
 
Download:

Kamis, 29 Desember 2022

Ketentuan Baru PPh: Penyusutan Secara Perpajakan untuk Bangunan Permanen Dapat Melebihi 20 Tahun

Ada hal baru untuk perlakuan penyusutan secara perpajakan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagaimana yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55 Tahun 2022). Perlakuan baru ini adalah ketentuan mengenai penyusutan bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun.

Perlakuan baru ini dapat kita temukan pada Pasal 11 ayat (6a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 sebagaimana diatur lebih lanjut pada Pasal 21 ayat (5) PP 55 Tahun 2022 yang mengatur bahwa apabila bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun, maka penyusutan dilakukan dalam bagian yang sama besar dengan masa manfaat (istilah akuntansinya adalah metode garis lurus/straight line method):
  1. 20 (dua puluh) tahun; atau
  2. sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak,
dengan syarat dilakukan secara taat asas.

Ini artinya bahwa sejak diundangkannya PP 55 Tahun 2022, yaitu tanggal 20 Desember 2022, maka Wajib Pajak diberikan pilihan untuk menyusutkan bangunan permanen untuk Tahun Pajak 2022 apakah dengan masa manfaat 20 tahun sesuai perlakuan yang telah berjalan selama ini, ataukah akan memilih masa manfaat yang melebihi 20 tahun sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya dari perlakuan akuntansi yang dilakukan Wajib Pajak atas bangunan permanen tersebut, dengan syarat penyusutan harus dilakukan secara taat asas.

Di ayat berikutnya yaitu Pasal ayat (6) PP 55 Tahun 2022, terdapat pengaturan atas perlakuan penyusutan bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun, dimana aktiva bangunan permanen ini telah dimiliki dan digunakan sebelum Tahun Pajak 2022. Di ayat (6) ini ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki aktiva bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun dapat memilih untuk melakukan penyusutan sesuai masa manfaat yang sebenarnya dari perlakuan akuntansi yang dilakukan Wajib Pajak atas bangunan permanen tersebut (penyusutan dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun), dengan syarat harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022 (untuk Wajib Pajak yang Tahun Pajak sama dengan Tahun Kalender, maka batas waktu penyampaian pemberitahuan adalah tanggal 31 Desember 2022).

Kritik atas Ketentuan Pasal 21 ayat (6) PP 55 Tahun 2022

Jika dicermati dari persyaratan bagi Wajib Pajak yang akan menggunakan masa manfaat untuk aktiva bangunan permanen yang mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun yang dimiliki dan telah digunakan sebelum tahun pajak 2022 adalah harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir Tahun Pajak 2022, sedangkan PP 55 Tahun 2022 baru diterbitkan dan diundangkan tanggal 20 Desember 2022, maka tentulah hal ini akan menjadi kendala bagi Wajib Pajak untuk dapat mengajukan pemberitahuan ini secara tepat waktu (terutama bagi Wajib Pajak yang Tahun Pajaknya sama dengan Tahun Kalender dimana batas waktu pengajuan pemberitahuan adalah tanggal 31 Desember 2022).

Mengingat bahwa PP 55 Tahun 2022 ini diterbitkan di kala sebagian Wajib Pajak telah memasuki masa liburan akhir tahun 2022, serta hingga saat ini belum ada peraturan teknis yang mengatur format dari surat pemberitahuan yag harus disampaikan ini.

Oleh sebab itu, mungkin Pemerintah perlu membuat ketentuan khusus mengenai cara penyampaian pemberitahuan ini, supaya jangka waktu pengajuan tidak dibatasi sesingkat yang diatur di PP 55 Tahun 2022 (yang hanya 11 hari sejak PP 55 Tahun 2022 ini diterbitkan dan diundangkan).

Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang ingin mengikuti ketentuan untuk masa manfaat bangunan permanen yang lebih dari 20 tahun, agar segera menyampaikan surat pemberitahuan (walaupun belum ada panduan mengenai format maupun isi suratnya) yang intinya berisi tentang aktiva bangunan apa, masa manfaat komersial berapa lama (lebih dari 20 tahun) dan akan untuk tujuan perpajakan, penyusutannya akan mengikuti masa manfaat dari akuntansi komersial tersebut.

Selasa, 27 Desember 2022

Sertifikat Elektronik Bagi Wakil atau Kuasa Wajib Pajak Untuk Pembuatan Bukti Potong Unifikasi

Ingat bahwa sejak 1 Januari 2023, Wajib Pajak Badan yang akan membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sudah tidak dapat lagi menggunakan sertifikat elektronik yang selama ini digunakan (yang diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017).

Untuk dapat membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi ini, maka Wakil dari Wajib Pajak Badan (yaitu Pengurus) ataupun Kuasa dari Wajib Pajak Badan tersebut sebagai penandatangan Bukti Pemotongan/Pemungutan yang akan diterbitkan, harus mengajukan permohonan untuk diterbitkan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP bagi diri Wakil atau Kuasa Wajib Pajak Badan itu sendiri, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 tanggal 28 Desember 2021.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa saat ini Pemotong/Pemungut Pajak wajib membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi dan ditandatangani secara elektronik dengan tanda tangan elektronik. Demikian halnya pula dengan SPT Masa PPh *), Wajib Pajak Pemotong/Pemungut Pajak wajib membuat SPT Masa PPh Unifikasi melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi dan ditandatangani secara elektronik dengan tanda tangan elektronik dan juga disampaikan melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi.

Untuk dapat menandatangani SPT Masa PPh Unifikasi dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi, terlebih dahulu Wakil atau Kuasa dari Pemotong/Pemungut Pajak Badan harus memiliki Sertifikat Elektronik (Sertel) dari Direktorat Jenderal Pajak.

Sejak tanggal 1 Januari 2023, Sertel yang akan digunakan untuk dapat membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi besarta Bukti Pemotongannya, haruslah Sertel milik orang pribadi sebagai wakil dari Pemotong/Pemungut PPh yang merupakan Wajib Pajak Badan dan sudah tidak dapat lagi menggunakan Sertel yang diberikan untuk Wajib Pajak Badan tersebut (yang biasanya digunakan untuk membuat e-Faktur).

Menurut ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP, disebutkan bahwa wakil dari Wajib Pajak Badan adalah:
  1. badan oleh pengurus; yang dimaksud pengurus adalah orang yang namanya tercantum di akta pendirian badan tersebut seperti direksi, ketua/sekretaris/bendahara yayasan/organisasi/koperasi dan sebagainya;
  2. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
  3. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
  4. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
Dengan demikian, bagi Wajib Pajak Badan agar segera mengurus sertifikat elektronik untuk masing-masing pengurus dari Wajib Pajak Badan ini supaya mulai 1 Januari 2023, dapat membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Unifikasi (e-Bupot) serta melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi.

Cara Untuk Mendapatkan Sertifikat Elektronik 


 
Untuk memperoleh sertifikat elektronik maka Wakil Wajib Pajak badan harus mengajukan surat permohonan untuk mendapatkan sertifikat elektronik. Adapun persyaratan permohonan adalah sebagai berikut:
  1. Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik yang telah diisi dan ditandatangani 
  2. Fotokopi KTP dan NPWP Pemilik (Paspor untuk WNA)
  3. Fotokopi Kartu Keluarga Pemilik (KITAS atau KITAP untuk WNA) 
  4. Softcopy pas photo Pemilik terbaru 1 tahun terakhir
  5. Pengaju Permohonan Telah melaporkan SPT Tahunan terakhir yang sudah jatuh tempo (untuk saat iniTahun 2021)
Untuk syarat lainnya bergantung pada KPP masing-masing. Ada beberapa KPP yang memperbolehkan Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat elektronik secara online melalui email. Untuk lebih jelasnya Pembaca Setia Tax Learning dapat menanyakan ke KPP terdaftar. 
 
*) Catatan:
SPT Masa PPh Unifikasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah:
  1. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
  2. SPT Masa PPh Pasal 15;
  3. SPT Masa PPh Pasal 22;
  4. SPT Masa PPh Pasal 23; dan
  5. SPT Masa PPh Pasal 26
Update 3 Januari 2023:
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat pada tanggal 3 Januari 2023 mengeluarkan Pengumuman Nomor PENG-1/PJ.09/2023 menginformasikan bahwa dalam rangka rancang ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2021, bahwa penggunaan Sertifikat Elektronik sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017, EFIN sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2015 dan Kode Verifikasi berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 masih tetap berlaku sampai dengan tersedianya Sertifikat Elektronik dan Kode Otorisasi Direktorat Jenderal Pajak di dalam sistem informasi DJP.
 
(c) syafrianto.blogspot.com

Download:

Rabu, 14 Desember 2022

Cara Minta Nomor Seri Faktur Pajak


Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak atas setiap transaksi penyerahan (baca: penjualan) Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada konsumen/customer-nya. Saat ini Wajib Pajak menerbitkan Faktur Pajak secara online dengan menggunakan aplikasi yang disebut e-Faktur. Untuk dapat menerbitkan e-Faktur ini, maka terlebih dahulu PKP wajib mendapatkan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) dengan cara mengajukan permintaan NSFP kepada Direktorat Jenderal Pajak baik secara online melalui situs e-Nofa ataupun secara offline dengan mengajukan permintaan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP tersebut terdaftar.

Cara Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak Secara Online

Untuk meminta NSFP secara online, PKP dapat menggunakan aplikasi e-Nofa dengan cara mengakses situs: https://efaktur.pajak.go.id/login . Berikut ini adalah langkah-langkah untuk melakukan permintaan NSFP secara Online melalui aplikasi e-Nofa ini.
  1. Login ke aplikasi faktur pajak e-NOFA melalui laman efaktur.pajak.go.id/login.
  2. Pilih menu “Permintaan NSFP” dan tunggu sampai ada pemberitahuan bahwa Anda dapat memilih e-sertifikat yang telah terinstal.
  3. Pilihlah e-sertifikat yang ada dan klik “Ok”.
  4. Pilih opsi “Process to efaktur.pajak.go.id”.
  5. Isi nama pemohon, tahun pajak, jumlah NSFP yang diminta, jabatan PKP atau pemohon, dan terakhir klik “Proses”.
  6. Masukkan password e-NOFA dan pilih “Ya”.
  7. Anda akan mendapatkan notifikasi bahwa permohonan NSFP Anda telah disetujui.
  8. Untuk mengunduh NSFP, maka silahkan klik “Ok” dan nomor seri faktur pajak akan terunduh secara otomatis.
  9. Jika nomor seri faktur pajak tidak terunduh secara otomatis, maka Anda bisa membuka menu “Riwayat Permintaan” untuk mengunduh secara manual.


Sebelum dapat meminta NSFP secara online ini, PKP harus sudah memenuhi persyaratan sebagai berikut.

  1. Telah terdaftar dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
  2. Telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo
  3. Telah memiliki Sertifikat Elektronik (e-certificate) Pajak yang masih berlaku (valid)
  4. Mempunyai kode aktivasi dan Password

Cara Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak Secara Offline

Berikut ini adalah prosedur cara minta nomor seri faktur pajak secara offline:

  1. Datang ke kantor pelayanan pajak (KKP) tempat PKP dikukuhkan
  2. Ajukan surat permohonan kode aktivasi dan password yang telah diisi lengkap.
  3. Cek e-mail yang telah dicantumkan di surat permohonan, apakah sudah menerima kode aktivitasi dan password.
  4. Setelah menerima kode aktivasi dan password, maka Anda dapat meminta NSFP dengan formulir yang sudah disediakan oleh KPP.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh PKP untuk dapat mengajukan permintaan NSFP ini adalah:
  1. Telah terdaftar dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
  2. Telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo
  3. Mempunyai kode aktivasi dan Password