..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Rabu, 14 Agustus 2013

Aplikasi Ketentuan PPh Final 1 Persen untuk WP dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Besok, 15 Agustus 2013 adalah batas akhir pelunasan/penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013. Namun bagi sebagian Wajib Pajak, kewajiban penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013 ini telah mengalami perubahan perlakuan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sebagaimana kita ketahui ketentuan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tersebut mengatur Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak akan dikenakan PPh sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) yang bersifat final.

Dalam PP ini juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Namun yang menjadi permasalahannya, hingga hari ini, penulis masih belum memperoleh informasi apakah Peraturan Menteri Keuangan ini telah diterbitkan. Tentunya hal ini akan sangat menyulitkan bagi Wajib Pajak yang harus menerapkan ketentuan ini.

Beberapa hari terakhir, penulis banyak memperoleh pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini, namun apa daya, penulis masih belum memperoleh landasan hukum sebagai acuan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di lapangan tersebut.

Setoran PPh 1% Final

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang memenuhi kriteria sebagaimana yang pernah penulis bahas dalam artikel ini) dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet). Dalam Pasal 4 PP Nomor 46 Tahun 2013 ini ditegaskan bahwa dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Dalam penjelasan Pasal 4 ini ditegaskan bahwa penghitungan PPh final ini dilakukan setiap bulan. Artinya perlakuan penyetoran PPh final 1% ini dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai pengganti dari setoran PPh Pasal 25 yang selama ini telah mereka lakukan, sama halnya untuk ketentuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Jadi seandainya Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini dan selama ini menghitung PPh Orang Pribadi atau Badan dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh dan diangsur diawal setiap bulan melalui penyetoran PPh Pasal 25, maka sejak masa Juli 2013 harus menyetor PPh dengan tarif 1% dari omzet sebulan dan bersifat final.

Contoh: selama masa Juli 2013 Andi memperoleh penghasilan dari usaha dagang melalui tokonya di Mangga Dua dengan omzet sebesar Rp 120.000.000. Maka PPh yang bersifat final yang harus disetorkan untuk masa Juli 2013 adalah sebesar:
Rp 120.000.000 x 1% = Rp 1.200.000

Berdasarkan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa penyetoran PPh ini dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan mencantumkan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420.

Permasalahan:
Setelah penulis cek ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 untuk Kode Akun Pajak 411128 adalah merupakan setoran untuk jenis PPh Final namun untuk Kode Jenis Setoran 420, tidak tercantum dalam ketentuan tersebut.

Akibatnya ketika kita akan menyetorkan PPh final ini dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, pasti akan ditolak oleh pihak Bank Persepsi atau Kantor Pos penerima setoran pajak, karena kode tersebut tidak tercantum dalam sistem Modul Penerimaan Negara (MPN).

(*) Sebagai catatan, ternyata pihak Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 tanggal 2 Juli 2013 yang telah menambahkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, namun sepertinya pihak Bank Persepsi dan Kantor Pos sebagai penerima setoran atau pihak Ditjen Perbendaharaan belum mengupdate kode ini ke dalam sistem MPN sehingga ketika ada beberapa Wajib Pajak rekan penulis yang mencoba menyetorkan setoran pajak dengan kode akun pajak ini, ditolak oleh pihak Bank Persepsi. Jadi sebaiknya pihak Ditjen Pajak segera berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengecek apakah kode akun pajak yang baru ini sudah ter-update dalam sistem MPN.

Untuk Lampiran PER-24/PJ/2013 mengenai tabel baru Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dapat dibaca di sini.

Tanggal Jatuh Tempo Setor PPh Final

Sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaan yang menegaskan mengenai kapan batas waktu penyetoran PPh final 1% ini.

Namun apabila kita mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.02/2010 diatur bahwa untuk penyetoran jenis PPh yang harus dibayar sendiri (baik PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 25) harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi menurut penulis, maka penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu sebesar 1% yang bersifat final ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir karena PPh ini adalah termasuk jenis PPh yang harus dibayar sendiri.

Walaupun demikian, pihak Pemerintah tetap harus mengeluarkan dasar hukum mengenai batas akhir penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu ini.

Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu yang Sudah Terlanjur Setor PPh Pasal 25 Selama Setahun

Saat ini banyak kita temukan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan setoran PPh Pasal 25 yang dilakukan di awal untuk 12 bulan kemudian. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan dan sesuai ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.23/1989 tentang Penyetoran Dimuka PPh Pasal 25 Sekaligus Untuk Beberapa Bulan.

Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu dan mulai masa Juli 2013 harus menghitung PPh terutangnya menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini yang ternyata telah menyetorkan PPh Pasal 25 dari masa Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 tentu akan mengalami permasalahan. Karena ternyata PPh Pasal 25 yang sudah terlanjur disetorkan tersebut ternyata salah setor.

Sebenarnya solusi yang dapat dilakukan adalah Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan (Pbk) dari setoran PPh Pasal 25 yang telah disetorkan tersebut (salah setor) untuk dipindahkan sebagai setoran PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Tentunya hal ini akan menambah pekerjaan administratif baik bagi petugas pajak maupun Wajib Pajak.

Sebagai catatan, setelah penulis membuat tulisan ini, akhirnya pihak Direktorat Jenderal Pajak merilis peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini walaupun menurut penafsiran penulis, masih banyak hal dari praktek di lapangan yang belum diakomodasi dalam aturan pelaksana ini.

Artikel Terkait:
Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar
PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak dengan Omzet di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 31 Juli 2013

Jatuh Tempo Setor dan Lapor Pajak

Sebenarnya penulis telah beberapa kali menurunkan artikel yang membahas ketentuan mengenai penyetoran dan pelaporan pajak yang apabila tanggal jatuh temponya tersebut bertepatan dengan hari libur. Namun karena masih banyaknya pertanyaan yang diterima oleh penulis mengenai hal ini, apalagi minggu depan kita akan kembali mengalami jatuh tempo penyetoran pajak yang bertepatan dengan hari libur, maka penulis kembali menyajikan artikel yang membahas masalah ini.

Sehubungan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1434 H yang menurut penanggalan akan jatuh pada hari Kamis dan Jumat tanggal 8 dan 9 Agustus 2013, maka Pemerintah melalui 3 Menteri menetapkan Surat Keputusan Bersama tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013 bahwa pada hari Senin, Selasa, dan Rabu tanggal 5, 6 dan 7 Agustus 2013 ditetapkan sebagai Cuti Bersama. Akibatnya sejak hari Sabtu tanggal 3 Agustus 2013 hingga hari Minggu tanggal 11 Agustus 2013 adalah merupakan hari libur dan cuti bersama secara nasional. Tentunya salah satu pihak yang akan mengalami kesulitan akibat libur ini adalah para Wajib Pajak dan orang-orang yang terlibat dengan pekerjaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajak. Karena pada saat ini, salah satu kewajiban perpajakan yang akan mengalami jatuh tempo adalah penyetoran untuk pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Final, PPh Pasal 26 untuk masa Juli 2013. Jatuh tempo penyetoran kewajiban pemotongan PPh masa Juli 2013 ini adalah tanggal 10 Agustus 2013.

Akibatnya penulis banyak mendapatkan pertanyaan tentang apakah ada toleransi yang diberikan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak terhadap hal ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya."

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, menegaskan bahwa Hari libur nasional yang dimaksud ini adalah termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian, apabila tanggal jatuh tempo penyetoran pajak jatuh pada hari libur, maka penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Oleh sebab itu, untuk kewajiban penyetoran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) masa Juli 2013 yang jatuh temponya pada tanggal 10 Agustus 2013 ini ternyata jatuh pada hari Libur Nasional, sehingga setoran ini dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah libur Nasional tersebut, yaitu pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2013.

Jadi, para Pembaca sekalian, tidak perlu khawatir lagi, apabila sampai dengan hari Jumat sore tanggal 2 Agustus 2013 masih belum dapat memenuhi tenggat waktu penyetoran pajak jenis ini, maka setoran dapat dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013.

Akhirnya Penulis mengucapkan selamat berlibur panjang, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H bagi para Pembaca yang merayakannya. Mohon maaf Lahir dan Batin. Serta, selamat menjalankan kewajiban perpajakan Anda.

Artikel Sejenis:
9 April 2009 adalah Hari Libur Nasional
Batas Waktu Setor dan Lapor Pajak Bulan September 2010, Apa Ada Toleransi?

Selasa, 09 Juli 2013

Analisis Terhadap Kewajaran Pelaporan Pajak Orang Pribadi

Saat ini pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat diandalkan dan lebih dari 75% sumber penerimaan negara adalah berasal dari pajak. Untuk tahun 2013 ini, Pemerintah menargetkan penerimaan yang akan diperoleh dari pajak dalam APBN-P 2013 adalah sebesar Rp 995 triliun. Namun hingga semester pertama (30 Juni 2013), realisasi penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang bertugas untuk mengumpulkan pajak, baru mencapai Rp 411,39 triliun atau baru sebesar 41,3% dari target APBN-P 2013.

Akibat dari kondisi realisasi penerimaan pajak yang masih jauh dari target, menyebabkan pihak Direktorat Jenderal Pajak semakin gencar melakukan penggalian potensi-potensi yang dapat meningkatkan penerimaan pajak. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh aparat pajak untuk ini adalah seperti melakukan penelitian terhadap kebenaran SPT yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak, melakukan himbauan kepada Wajib Pajak yang diduga memiliki potensi pajak namun belum dilaporkan secara benar, melakukan upaya law enforcement berupa pemeriksaaan pajak, penagihan pajak hingga penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan.

Salah satu fokus yang sedang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan penggalian potensi pajak di tahun 2013 ini sebagaimana yang dituangkan dalam rencana dan strategi pemeriksaan tahun 2013 berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ/2013 adalah fokus pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan transaksi pembelian kendaraan mewah dan/atau rumah/apartemen mewah dan Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kenaikan harta signifikan.

Akibat dari adanya fokus penggalian potensi ini, sehingga menyebabkan akhir-akhir ini banyak ditemukan adanya Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh surat himbauan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh aparat pajak dalam hal ini Account Representative. Beberapa kasus contoh Wajib Pajak yang dihimbau adalah berdasarkan laporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ditemukan:

  1. adanya penambahan aktiva/harta yang cukup besar dan tidak sebanding dengan pengurangan aktiva atau harta lain yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun sebelum atau jumlah penghasilan yang diterima pada tahun yang bersangkutan;
  2. adanya pertambahan nilai bangunan akibat adanya pembangunan yang cukup signifikan sehingga berpotensi terutang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri;
  3. adanya jumlah harta yang cukup besar yang memerlukan biaya perawatan yang besar juga, namun hal ini tidak diimbangi dengan jumlah penghasilan yang memadai sebagai sumber untuk melakukan perawatan terhadap harta yang dimilikinya tersebut;
  4. ditemukannya atau adanya data mengenai harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang bersangkutan yang selama ini tidak pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi miliknya;
  5. dan sebagainya.
Sebenarnya pelaporan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui sarana Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi saat ini sudah mengakomodasi pelaporan mengenai penghasilan, jumlah harta dan jumlah kewajiban. Secara mudah, berdasarkan SPT Tahunan PPh yang telah dilaporkan tersebut, dapat dilakukan analisis secara sederhana mengenai kewajaran dan kebenaran dari hal-hal yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT tersebut.

Secara sederhana, konsep penghasilan yang didefinisikan sebagai setiap pertambahan kemampuan ekonomis yang siap untuk digunakan sebagai konsumsi dapat direfleksikan dalam rumus:

Y = C + S + I

Dimana:
  1. Y: adalah penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak (Yield) sebagai sumber untuk melakukan C + S + I.
  2. C: adalah konsumsi yang telah dikeluarkan oleh Wajib Pajak (Consumption)
  3. S: adalah tabungan yang telah dilakukan selama ini oleh Wajib Pajak (Saving)
  4. I: adalah investasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam bentuk harta (Investment)

Dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, pelaporan mengenai penghasilan (Y) ini tercermin dari pelaporan penghasilan yang diterima baik dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas, penghasilan dalam negeri lainnya (yang berasal dari passive income seperti bunga, royalti, sewa), penghasilan luar negeri lainnya, penghasilan yang telah dikenakan pajak yang bersifat final dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (seperti warisan, hibah, sumbangan). Penghasilan yang telah diterima setiap tahunnya ini adalah merupakan sumber pembiayaan dan akan digunakan sebagai konsumsi (C), ditabung (S) dalam bentuk deposito, tabungan di bank dan setaranya, serta diinvestasikan (I) sebagai harta baik bergerak maupun tidak bergerak seperti rumah, tanah, kendaraan bermotor, perhiasan, saham, efek dan sebagainya.

Apabila sumber penghasilan (Y) ini tidak cukup untuk melakukan pembiayaan terhadap C, S, dan I, maka sumber pembiayaan dapat diambil dari hutang.

Nah, semua komponen yang telah diuraikan di atas, yaitu komponen S (saving), komponen I (Investment) dan hutang ini tercermin dalam laporan SPT Tahunan yaitu pada bagian harta dan bagian kewajiban.

Satu-satunya komponen yang tidak ada dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah konsumsi (C). Walaupun konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan tidak perlu dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun kita tetap dapat membuat analisis tentang kewajaran konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak berdasarkan harta yang mereka miliki dibandingkan dengan penghasilan yang telah mereka laporkan. Karena dari harta yang dimiliki tersebut dapat diperkirakan berapa kira-kira konsumsi yang harus dikeluarkan untuk melakukan perawatan harta tersebut. Biaya yang dapat diperkirakan misalnya biaya pajak kendaraan, PBB, biaya listrik, biaya air, biaya perawatan kendaraan dan sejenisnya.

Salah satu analisis yang dilakukan oleh aparat pajak dalam menilai kewajaran SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ini biasanya dikenal dengan sebutan “analisis biaya hidup”. Dengan menggunakan formula sederhana yang telah diuraikan di atas dan berdasarkan data di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi serta data dari pihak ketiga, maka aparat pajak dapat melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi dalam melaporkan kewajiban pajaknya.

Oleh sebab itu, marilah kita laporkan kewajiban perpajakan kita secara jujur dan benar supaya tidak akan ditemukan kesalahan pada saat dilakukannya analisis tersebut. Sehingga kita dapat meminjam semboyan “jika sudah bersih buat apa risih”.

Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang memiliki permasalahan seputar pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan pernah dihimbau untuk melakukan pembetulan, silakan untuk sharing di comment berikut ini.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Kamis, 27 Juni 2013

PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak Dengan Omzet Di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Pemerintah kembali mengeluarkan sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi para pelaku bisnis dengan skala kecil dan menengah. Kebijakan ini adalah perlakuan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha (omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar setahun. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Siapakah Wajib Pajak yang dimaksud dalam ketentuan ini yang berhak mendapatkan fasilitas ketentuan ini dan bagaimanakah pelaksanaannya? Dalam tulisan berikut, penulis akan mengupas isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Namun karena hingga tulisan ini dibuat, masih belum ada peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini (Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak), maka masih ada beberapa pelaksanaan teknis yang masih harus menunggu diterbitkannya peraturan pelaksananya. Ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini antara lain adalah:

Wajib Pajak Yang Dapat Menerapkan Ketentuan Ini

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang atas penghasilan dari usahanya dikenai PPh yang bersifat final adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:

  • Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap (BUT); dan
  • menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak.
  • Wajib Pajak yang dimaksud di atas yang tidak dapat menerapkan ketentuan ini adalah:
    Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
    1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
    2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

    Wajib Pajak Badan, adalah:
    1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
    2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000

    Tarif PPh dan Ketentuan Pengenaannya

    Besarnya tarif PPh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sebesar 1% dan bersifat final. Pengenaan PPh ini didasarkan pada peredara bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

    Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 dalam suatu Tahun Pajak, maka Wajib Pajak tetap dikenai tarif PPh final 1% ini sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Sedangkan untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya barulah dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang telah dikenai PPh yang bersifat final lainnya. (Misalnya untuk penghasilan dari jasa konstruksi tetap dikenakan tarif PPh final untuk jasa konstruksi sebesar 2% untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini hanya berlaku untuk penghasilan dari usaha sedangkan untuk penghasilan selain dari usaha tetap dikenakan tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Dasar Pengenan dan Perhitungan PPh

    Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah atas jumlah peredaran bruto setiap bulan.

    Pengenaan PPh dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.

    Kredit Pajak Luar Negeri

    Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan UU PPh dan aturan pelaksananya.

    Kompensasi Kerugian Fiskal

    Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan ketentuan ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan:

    1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun pajak; 
    2. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 tahun tersebut;
    3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

    Ketentuan Khusus Terkait Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan Pajak

    Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan PPh yang bersifat final ini adalah:

    1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 bulan;
    2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan ini di bulan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku
    3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan ini.
    Saat Berlakunya Ketentuan Ini

    Ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.

    Komentar Penulis

    Semoga Peraturan Menteri Keuangan terkait ketentuan ini segera terbit karena ketentuan ini akan berlaku dalam 3 hari lagi. Yang menjadi permasalahan adalah ketentuan ini berlaku di tengah tahun pajak sehingga untuk tahun pajak 2013 ini, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang memenuhi ketentuan ini harus menggunakan 2 metode dalam menghitung PPh yang terutang di tahun 2013, yaitu untuk masa Januari s.d. Juni 2013 yang masih menggunakan tarif PPh umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh, sedangkan sejak Juli s.d. Desember 2013 harus menggunakan tarif PPh yang bersifat final sebesar 1%. Tentunya hal ini cukup menyulitkan bagi Wajib Pajak.

    Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

    Senin, 03 Juni 2013

    Ingat Mulai 1 Juni 2013 Harus Menerbitkan Faktur Pajak dengan Nomor Seri Baru

    Tahun 2013 telah mulai memasuki bulan Juni. Bagi sebagian pelaku di bidang perpajakan, tanggal 1 Juni 2013 adalah merupakan hari yang sangat penting, karena mulai 1 Juni 2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak/PKP (yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai PPN) wajib untuk membuat Faktur Pajak dengan menggunakan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dimana salah satu aturannya adalah tentang penomoran Faktur Pajak dengan cara baru.

    Walaupun sebenarnya ketentuan penomoran faktur pajak telah diberlakukan sejak 1 April 2013, namun karena untuk mengakomodasi persiapan dalam pemberian nomor faktur pajak baru, maka diberikan toleransi dalam pelaksanaannya yaitu bagi PKP yang masih belum mendapatkan nomor faktur pajak yang baru, paling lambat hingga 31 Mei 2013 masih dapat menggunakan nomor faktur pajak lama dan sejak 1 Juni 2013 harus menggunakan nomor faktur pajak yang baru. Jadi bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang telah dikukuhkan sebagai PKP maka mulai saat ini harus lebih cermat dalam hal membuat Faktur Pajak ataupun menerima Faktur Pajak yang akan dijadikan sebagai pajak masukan, karena sudah harus memperhatikan ketentuan baru sebagaimana yang diatur dalam PER-24/PJ/2013 tersebut.

    Untuk sekedar mengingatkan, berikut penulis akan ringkaskan beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan tata cara penerbitan faktur pajak yang baru berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012.

    1. Nomor Seri Faktur Pajak diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak/KPP) berdasarkan permohonan yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
    2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP dengan blok nomor urut, sehingga antara satu PKP dengan PKP lainnya tidak akan menerima nomor urut yang sama. Dalam ketentuan PER-24/PJ/2012 ini sudah tidak lagi mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi penggunaan nomor faktur pajak yang tidak urut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk penomoran faktur pajak yang baru ini tidak perlu dibuat secara berurutan.
    3. Ada kewajiban bagi PKP untuk melaporkan sisa nomor faktur pajak yang telah diterimanya yang tidak terpakai.
    4. PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Tidak Lengkap.
    5. Saat ini PKP yang akan mendapatkan Nomor Seri Faktur Pajak harus memenuhi syarat yaitu telah diregistrasi ulang oleh KPP tempat PKP tersebut dikukuhkan atau bagi PKP baru yaitu telah diverifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
    6. Adanya penegasan bahwa keterangan Faktur Pajak mengenai alamat dan jenis barang/jasa harus diisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
    7. PKP wajib memberitahukan secara tertulis ke KPP atas penunjukkan pejabat/pegawai yang berhak untuk menandatangani Faktur Pajak dengan melampirkan fotokopi kartu identitas yang sah (KTP, SIM, atau Paspor) yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang.
    8. Mengganti istilah “Faktur Pajak Cacat” menjadi “Faktur Pajak Tidak Lengkap” agar sesuai dengan ketentuan UU KUP.
    9. Mempertegas peruntukan Kode Transaksi untuk kode 02 (bendahara pemerintah) dank ode 03 (BUMN dan KPS) digunakan untuk penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN.
    10. Tata cara penerbitan Faktur Pajak Pengganti disederhanakan menjadi: untuk Faktur Pajak Pengganti tetap menggunakan Nomor Seri yang sama dengan Faktur Pajak sebelumnya yang akan digantikan. Pelaporan Faktur Pajak pengganti ini hanya dilaporkan di SPT Masa PPN pada masa pajak dimana Faktur Pajak yang diganti tersebut dilaporkan.