..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Juni 2011

Tips Sukses Menjadi Konsultan Pajak

Konsultan pajak dalam gambaran masyarakat di Indonesia adalah seseorang yang memiliki penghasilan yang besar dengan penampilan yang cukup mentereng. Masyarakat berpendapat bahwa seorang konsultan pajak tentunya akan sangat mudah untuk memperoleh penghasilan, apalagi bila konsultan pajak memiliki klien dengan usaha besar yang sedang kesulitan dalam menghadapi kewajiban pajaknya. Walaupun tidak seluruh anggapan masyarakat itu benar, namun memang saat ini profesi sebagai seorang konsultan pajak sedang naik daun. Apalagi saat reformasi birokrasi pemerintahan terutama di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang gencarnya dengan langkah yang diambil oleh Pemerintah untuk memberantas praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara Petugas Pajak dan Wajib Pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak.

Penegakan hukum perpajakan juga sangat gencar dilakukan oleh pihak DJP. Akibatnya tidak seperti beberapa tahun yang lalu, saat ini Wajib Pajak sangat dituntut untuk memenuhi kewajiban pajaknya secara tertib, jujur dan taat pada setiap ketentuan perpajakan. Apabila Wajib Pajak masih mencoba-coba untuk memanipulasi dan menggelapkan pajaknya, maka sanksi pidana sudah mengancam. DJP juga sudah sangat tegas dalam hal ini yang terbukti dengan banyaknya Wajib Pajak yang telah disidik dan dipenjarakan. Apalagi dalam beberapa tahun ke depan, DJP sudah memiliki wewenang untuk mendapatkan data dan informasi dari setiap kegiatan penduduk Indonesia melalui seluruh instansi (UU KUP). Dengan demikian, maka mulai saat ini Wajib Pajak harus mengetahui dan menguasai seluruh ketentuan perpajakan terbaru yang berlaku, agar mereka dapat melaksanakan kewajiban pajaknya secara benar. Wajib Pajak tidak boleh lagi melakukan tindakan tax evation (menggelapkan pajak).

Dalam kondisi ini, maka peran konsultan sebagai perencana pajak dan membantu Wajib Pajak untuk memenuhi segala kewajibannya menjadi sangat penting. Dan ini terbukti karena saat ini tidak hanya perusahaan asing saja yang sangat membutuhkan jasa dari seorang konsultan pajak, perusahaan lokal bahkan orang pribadi pun banyak sekali yang telah menggunakan jasa konsultan pajak. Bahkan saat ini boleh dibilang bahwa tingkat kesadaran dari masyarakat akan pajak sudah sangat besar jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Masyarakat sudah dengan kesadaran sendiri berusaha untuk mencari informasi terbaru mengenai perpajakan. Sebagai bukti, blog Tax Learning dan FB Tax Learning, saat ini setiap hari diakses oleh ratusan pengunjung hanya untuk mendapatkan informasi maupun berkonsultasi seputar permasalahan pajak (bukti pengunjung dapat dilihat di statistik berikut). Ini membuktikan bahwa sebenarnya profesi sebagai konsultan pajak saat prospeknya cukup cerah. Walau dibalik seorang konsultan pajak, masih terdapat image (akibat masa lalu) bahwa seorang konsultan pajak biasanya bermain kotor dengan kliennya dalam menggelapkan pajak.

Melihat peluang dan potensi profesi konsultan pajak yang cukup menjanjikan tersebut, mungkin saat ini sebagian Pembaca adalah orang yang punya rencana untuk menjadi seorang konsultan pajak. Maka apabila ingin menjadi seorang konsultan pajak, maka Anda haruslah menjadi seorang konsultan pajak yang sukses. Penulis termotivasi dan mengutip kata "sukses" setelah penulis menghadiri sebuah acara peluncuran produk Operator Seluler "Indosat Mobile" di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta tanggal 25 Mei 2011. Moto yang diusung oleh Operator Seluler yaitu "Hidupkan Suksesmu" sangat cocok kita terapkan untuk meraih sukses menjadi seorang konsultan pajak. Nah, untuk membagi kiat sukses tersebut, maka berikut ini penulis akan membagikan beberapa tips yang mungkin dapat diterapkan agar sukses menjadi seorang konsultan pajak. Mudah-mudahan kiat ini berguna bagi para Pembaca sekalian.

1. Telah Mengikuti Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak

Syarat utama untuk menjadi seorang konsultan pajak yang diakui oleh Pemerintah Indonesia adalah telah lulus Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) dan mendapatkan izin untuk berpraktek sebagai konsultan pajak di wilayah Indonesia (aturan selengkapnya baca di sini). Umumnya orang yang mengikuti USKP, menghadapi kendala dan sulit untuk lulus ujian ini. Walau sebenarnya soal yang diujikan tidak terlalu sulit dan merupakan hal yang umum terjadi dalam dunia perpajakan, namun ada saja peserta ujian yang terjebak dengan soal dan tidak dapat menyelesaikan soal dengan baik. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan agar dapat sukses di USKP:
  1. Segera mengikuti USKP selagi masih ada kesempatan. Lebih baik bagi Pembaca yang baru lulus perguruan tinggi dan telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti USKP, maka segeralah mengikuti USKP ini. Janganlah menunggu ketika sudah berpraktek di dunia perpajakan dan sudah berpengalaman baru mengikuti USKP. Karena soal yang diujikan dalam USKP adalah merupakan soal teoritis dan lebih mudah dipahami oleh orang yang fresh graduate, yang masih memiliki landasan teoritis yang kuat. Di samping itu, bagi orang yang fresh graduate, mereka masih memiliki kemampuan mengerjakan soal dalam waktu yang terbatas. Karena ini biasa dihadapi ketika masa kuliah dahulu. Bagi orang yang telah bekerja sekian tahun, maka irama mereka telah terpengaruhi oleh ritme pekerjaan sehari-hari, sehingga ketika dihadapkan dengan soal ujian maka mereka sudah tidak dapat mengerjakan soal dengan cepat (menulis, menghitung, membaca dengan cepat). Apalagi, orang yang telah berpengalaman di dunia praktek perpajakan, juga sudah "terkontaminasi" dengan praktek di lapangan. Kadang praktek di lapangan yang harus menyesuaikan kondisi suatu kasus, dapat membuat seorang peserta ujian menjadi kehilangan dasar dari ilmu pajak. Ini yang mengakibatkan peserta ujian dapat terjebak dalam soal yang memang sengaja dibuat oleh pembuat soal.
  2. Usahakan membuat jawaban dalam kertas jawaban dengan rapi. Walaupun tulisan Anda sebagai peserta ujian tidaklah bagus, namun usahakan untuk menulis dalam kertas jawaban secara rapi dan dapat terbaca (jangan mentang-mentang pernah bercita-cita menjadi dokter, akhirnya tulisannya adalah tulisan dokter...). Usahakan hindari coretan dan tip-ex. Pengalaman penulis ketika diminta bantuan untuk mengkoreksi lembar jawaban USKP, ketika membaca tulisan yang tak terbaca, maka malas untuk berusaha mengamati lebih lanjut tulisan tersebut.
  3. Buatlah jawaban yang sesuai dengan yang diminta dalam pertanyaan. Janganlah menjawab hal-hal yang tidak diperlukan, sehingga akan mengakibatkan peserta ujian kehabisan waktu.
  4. Mulailah menjawab pertanyaan yang dapat dijawab terlebih dahulu. Jangan terjebak dengan suatu pertanyaan yang sulit, sehingga peserta ujian akan kehabisan waktu.
  5. Banyaklah berlatih soal-soal USKP periode sebelumnya. Karena biasanya tipe soal dari beberapa periode sebelumnya akan muncul kembali.
  6. Mengikuti perkembangan, isu dan peraturan terbaru dalam periode setengah tahun terakhir. Biasanya kasus seperti ini akan diangkat oleh pembuat soal sebagai soal ujian. Ini pengalaman penulis yang beberapa kali diminta bantuan untuk menyumbangkan soal USKP.
  7. Mengikuti bimbingan belajar khusus untuk persiapan menghadapi USKP melalui lembaga kursus Brevet Pajak.
2. Berikan Jasa Konsultan Pajak secara Profesional

Di sini kunci utama untuk menjadi seorang konsultan pajak yang sukses. Menjadi seorang konsultan pajak haruslah profesional. Memiliki kemampuan teknis perpajakan yang memadai dan didukung dengan integritas yang tinggi dan menjunjung kode etik sebagai konsultan pajak.

Seorang konsultan pajak harus benar-benar menguasai materi, ketentuan dan prosedur perpajakan yang terbaru. Salah satu indikator untuk menjadi Konsultan Pajak adalah lulus USKP seperti yang telah diuraikan di atas. Namun walaupun sudah lulus USKP, seorang konsultan pajak harus senantiasa meng-upgrade pengetahuan perpajakannya sejalan dengan perkembangan ketentuan pajak terbaru. Konsultan pajak yang tidak memiliki pengetahuan ketentuan terbaru tentang pajak akan tertinggal dan akan ditinggal oleh kliennya. Sebenarnya saat ini untuk meng-update ketentuan terbaru dan isu seputar perpajakan sangatlah mudah. Di dunia internet, segala informasi dan ketentuan terbaru dapat dengan cepat kita peroleh. Oleh sebab itu, sebagai seorang konsultan pajak sebaiknya memiliki akses langsung dengan internet. Apalagi saat ini dengan biaya relatif murah, kita sudah dapat terhubung dengan internet sepanjang hari.

Penulis sangat menyarankan para konsultan pajak yang memiliki mobilitas tinggi yang harus bergerak dari satu tempat ke tempat lain, sehingga sangat terbatas waktunya di kantor, untuk memiliki suatu fasilitas alat komunikasi yang lengkap semacam BlackBerry, iPad dan SmartPhone lainnya. Karena dengan demikian mereka tetap dapat berkomunikasi dengan klien, memantau email dan pekerjaan, berkomunikasi dengan klien dan pihak fiskus, serta mencari informasi terbaru mengenai perpajakan. Apalagi saat ini, Indosat Mobile telah memberikan layanan Paket Internet dengan tarif yang sangat murah. Bahkan untuk paket BlackBerry, saat ini Indosat Mobile memberikan discount khusus sebesar 50% hingga Desember 2011, serta aneka tarif murah lainnya (silakan cek tarifnya di sini).

Satu lagi yang dapat membuat para konsultan pajak dapat lebih meningkatkan prestisenya di mata klien adalah, dengan Indosat Mobile, kita dapat memilih nomor sendiri. Oleh sebab itu, harus disadari oleh para konsultan pajak, bahwa persaingan di dunia konsultan saat ini sangatlah ketat, apalagi di saat komunikasi dan informasi sudah tidak ada pembatas lagi. Maka konsultan pajak harus bisa membekali diri dengan hal-hal yang dapat meningkatkan profesionalisme mereka dalam profesi.

Di samping memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi, seorang konsultan pajak juga harus memiliki integritas yang kuat akan kode etik profesi. Memberikan jasa konsultasi pajak kepada klien harus sesuai dengan ketentuan perpajakan. Apabila seorang konsultan pajak masih mau diajak bersekongkol oleh kliennya untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar ketentuan, bukan saja ia telah melanggar kode etik profesi, namun sanksi pidana pun dapat mengancam diri dan karier mereka. Saat ini sudah banyak konsultan pajak yang terkait tindakan pidana perpajakan dan telah dihukum. Jadi sekali lagi, penulis menyarankan apabila Pembaca berminat untuk menjadi konsultan pajak atau sudah menjadi konsultan pajak yang sukses, maka kunci profesionalisme, berintegritas tinggi dan memegang teguh kode etik profesi harus dijunjung tinggi.

Rabu, 01 Juni 2011

Aspek Perpajakan atas Pembayaran Kepada Agen Perjalanan Wisata

"Libur telah tiba
Libur telah tiba
Hore…
Hore…"


Liburan panjang bagi para pelajar dan mahasiswa sebentar lagi akan tiba. Biasanya bagi keluarga yang memiliki putra-putri yang bersekolah, maka dalam moment liburan sekolah ini selalu dijadikan sebagai saat yang tepat untuk melakukan liburan bersama dengan seluruh anggota keluarga. Bagi orang tua yang bekerja, tentunya mereka akan mengambil kesempatan cuti atau libur sehingga dapat melakukan kegiatan liburan bersama keluarga. Liburan yang dilakukan bisa di dalam negeri, atau bahkan hingga keluar negeri.

Untuk merencanakan perjalanan liburan ini, mungkin ada sebagian orang yang mencari dan mengurus seluruh keperluan berlibur mulai dari transportasi, akomodasi serta tempat tujuan wisata selama berlibur. Mulai dari mencari tiket transportasi, tiket penginapan atau hotel, serta merencanakan tempat-tempat wisata yang akan dikunjungi. Namun untuk urusan yang satu ini memang tidak sederhana, karena dibutuhkan waktu ekstra untuk mencari informasi sehingga dapat mencari dan membeli seluruh keperluan tersebut sesuai dengan rencana dan budget. Walaupun kini telah banyak kita jumpai situs di internet yang menjual tiket transportasi, akomodasi dan perjalanan wisata secara online, sehingga calon pembeli tinggal mencari melalui internet, namun hal ini juga dibutuhkan ketekunan dan waktu luang untuk mencarinya.
Situs yang menyediakan informasi dan sarana untuk melakukan booking secara online untuk seluruh hotel yang ada di dunia:


Apabila sibuk dan tidak memiliki waktu cukup untuk melakukan mencari dan mengurus seluruh sarana transportasi dan akomodasi untuk berlibur, maka langkah termudah yang dilakukan adalah dengan menghubungi dan mempercayakan urusan perjalanan wisata kita kepada agen/biro perjalanan wisata untuk diuruskan. Melalui agen/biro perjalanan wisata, memang seluruh kebutuhan dan rencana perjalanan wisata kita akan diatur sedemikian baiknya, sehingga kita dapat memanfaatkan liburan kita secara tenang tanpa perlu pusing untuk mencari sarana akomodasi, transportasi serta jadwal perjalanan wisata.

Biasanya agen/biro perjalanan wisata akan menjual kepada konsumennya dalam bentuk paket perjalanan wisata. Dalam paket perjalanan wisata ini sudah diatur mengenai lamanya wisata, jadwal terperinci rangkaian tours (perjalanan wisata) yang akan dijalani, seluruh fasilitas transportasi dan akomodasi, serta juga akan disediakan juga seorang pemandu wisata (tour guide). Dalam paket yang dijual biro perjalanan ini, harga yang ditetapkan adalah jumlah seluruh biaya perjalanan tersebut ditambahkan dengan jasa perjalanan wisata.

Bagaimanakah perlakuan perpajakan terhadap transaksi ini apabila konsumen yang membeli paket perjalanan wisata melalui agen/biro perjalanan wisata merupakan badan usaha yang memiliki kewajiban melakukan pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada agen/biro perjalanan wisata. Pertanyaan ini yang sering ditanyakan oleh sebagian besar Wajib Pajak yang melakukan transaksi ini. Memang sempat menjadi perdebatan, ketika masih berlaku ketentuan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 yang berlaku hingga 31 Desember 2006, secara jelas tidak diatur mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran penghasilan jasa agen/biro perjalanan wisata. Sehingga ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa jasa agen/biro perjalanan wisata bukan merupakan objek PPh Pasal 23, namun sebagian lagi berpendapat bahwa transaksi ini merupakan objek PPh Pasal 23. Dengan banyaknya perbedaan persepsi, kemudian ada salah satu Wajib Pajak yang meminta penegasan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui surat, dan dijawab oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Nomor S-135/PJ./2005 yang menjelaskan bahwa “Jasa yang diberikan oleh BPW/APW dalam mengageni perusahaan angkutan umum di udara/darat/air, hotel, pengurusan dokumen perjalanan dan menghubungkan antara wisatawan/orang yang melakukan perjalanan dengan pemilik jasa termasuk dalam pengertian jasa perantara yang merupakan objek PPh Pasal 23 yang wajib dipotong oleh pihak yang membayarkan.”

Namun dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-178/PJ/2006 yang mulai berlaku 1 Januari 2007, secara jelas menyatakan bahwa atas jasa agen/biro perjalanan wisata merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.

Hanya berlaku selama 3 bulan, dan pada tanggal 9 April 2007 PER-178/PJ/2006 diganti dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Dalam PER-70/PJ/2007 ini kembali lagi Jasa agen/biro perjalanan wisata dihilangkan dari daftar objek penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 tersebut. Saat ini ketentuan yang berlaku yang mengatur tentang jenis jasa lain yang dipotong PPh Pasal 23 adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 juga tidak akan kita temukan jenis Jasa agen/biro perjalanan wisata yang disebutkan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, akan menciptakan perdebatan kembali dalam praktek di lapangan.
Menurut penulis, dalam melaksanakan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, pemotong PPh Pasal 23 hanya diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 23 atas transaksi-transaksi yang jenis jasanya (atau bagian dari jasanya) sesuai dengan jenis jasa yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008. Karena dalam jasa agen/biro perjalanan wisata di dalamnya terkandung unsur sebagai perantara antara pihak pemilik sarana akomodasi, transportasi, tempat wisata sehingga menurut penulis, atas jasa agen/biro perjalanan wisata (hanya jasanya saja, jika dapat dipisahkan) merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Namun yang menjadi permasalahan, selama ini tidak mungkin pihak agen/biro perjalanan wisata merinci berapa komisi atas jasa yang mereka berikan, karena ini merupakan rahasia bisnis mereka.


Selasa, 31 Mei 2011

Pemotongan Pajak atas Penghasilan yang Diterima Blogger

"Saat ini blogger tengah dilirik oleh berbagai pihak sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat"

Pendahuluan

Kira-kira demikianlah yang terlihat ketika penulis berkesempatan diundang hadir dalam acara launching produk Operator Seluler "Indosat Mobile" di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta tanggal 25 Mei 2011. Dalam acara launching produk ini, peserta yang mendapatkan undangan khusus adalah para jurnalis/wartawan dari media cetak dan media elektronik, anggota komunitas, serta para blogger. Di sini penulis melihat bahwa peran para blogger sebagai media penyampai informasi telah dilirik oleh pihak advertiser (pemasang iklan).

Mengutip sebuah riset yang telah disampaikan oleh seorang pengamat media massa, Hendro D. Laksono (kompas.com 30-12-2010) menyebutkan bahwa selama tahun 2010, belanja iklan di media online meningkat sebesar 400% dan telah mencapai 4% dari total belanja iklan nasional. Padahal di tahun 2009, total belanja iklan di media online hanya mencapai 1,4%. Memang porsi belanja iklan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan porsi belanja iklan terbesar yang masih dipegang oleh media elektronik televisi dan radio, kemudian disusul oleh media cetak. Bahkan menurut perkiraan, bahwa kenaikan porsi belanja iklan media online akan naik cukup signifikan dalam waktu 3-5 tahun (diungkapkan oleh Charles Buchwalter, Chief Executive Officer Nielsen Online Japan pada Forum Media Asia Pasifik (APMF) ke-4 di Nusa Dua, Bali 3 Juni 2010.

Apalagi setelah penulis bertemu dengan rekan-rekan blogger yang diundang dari salah satu media penghubung antara advertiser (pemasang iklan) dengan para pemilik blog, idblognetwork.com, maka penulis merasa yakin bahwa prediksi peningkatan pemasang iklan pada media online, terutama blog akan meningkat cukup pesat di tahun-tahun mendatang. Bahkan sekarang ini tidak jarang ada blogger yang dapat hidup hanya dari usahanya mengelola blog mereka. Berdasarkan potensi yang cukup besar yang dapat diperoleh oleh para pemilik blog, maka tidak dapat kita hindari lagi bahwa tentulah ada aspek pajak yang akan timbul, minimal dari penghasilan yang diterima oleh para blogger tersebut. Ketika bertemu dengan Mubarika Darmayanti, salah seorang founder idblognetwork.com penulis sempat berdiskusi mengenai aspek pajak atas blogger, malah Mubarika sangat mengharapkan agar penulis dapat membuat artikel mengenai pajak atas penghasilan blogger. Oleh sebab itu, dalam artikel ini penulis akan mengangkat topik mengenai aspek perpajakan bagi para blogger. Pada artikel ini, penulis hanya akan membahas pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh blogger atas penghasilan yang diperoleh dari pihak penyedia jasa periklanan atas pemasangan iklan di suatu situs/blog yang dalam dunia online lebih dikenal sebagai “adsense”. Blogger yang dibahas di sini adalah blogger orang pribadi dan tidak berbentuk badan usaha (berbadan hukum).

Mekanisme Transaksi
Salah satu jenis penghasilan yang banyak diperoleh oleh para blogger adalah penayangan suatu materi iklan pada blog/situs milik blogger yang dikenal dengan istilah “adsense”. Mekanisme transaksi untuk jenis “adsense” ini adalah pihak advertiser sebagai pemilik iklan yang ingin memasangkan iklan pada situs/blog tertentu membayar pihak penyedia jasa periklanan online untuk memasangkan iklannya pada situs/blog yang telah bekerja sama dengan pihak penyedia jasa periklanan online.
Kemudian pihak penyedia jasa periklanan akan memasangkan materi iklan yang telah dipesan oleh advertiser ke sejumlah situs/blog yang telah bekerja sama dengan (terdaftar pada) pihak penyedia jasa periklanan.
Dari hasil penayangan iklan di situs/blog, melalui mekanisme perhitungan penghasilan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh pihak advertiser dengan pihak penyedia jasa periklanan, para blogger sebagai pemilik situs/blog (biasa disebut sebagai “publisher”) akan memperoleh bayarannya.

Mekanisme Penghitungan Penghasilan
Biaya pemasangan iklan yang dibebankan kepada advertiser adalah didasarkan pada jumlah banyaknya iklan yang mereka pasang tersebut di suatu situs/blog diakses (klik) oleh pengunjung lain selain pemilik situs/blog. Umumnya advertiser harus membayar sejumlah uang untuk pasang iklan berdasarkan paket berapa kali diakses oleh pengunjung. Apabila jumlah diakses oleh pengunjung ini telah mencapai batas, maka iklan dari advertiser tersebut tidak akan ditayangkan di situs/blog target pasang iklan.
Sedangkan penghasilan dari pemilik situs/blog atas iklan yang ditayangkan di situs/blognya tersebut adalah berdasarkan banyaknya pengunjung berbeda yang telah mengakses iklan tersebut.

Aspek Perpajakan Bagi Penyedia Jasa Periklanan Online

1. Kewajiban Memotong Pajak

Kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas pembayaran penghasilan yang dibayarkan kepada pemilik situs/blog. Umumnya pemilik situs/blog adalah orang pribadi. Maka atas penghasilan yang dibayarkan kepada para pemilik situs/blog sebagai orang pribadi akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-57/PJ/2009 menegaskan bahwa Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai, wajib memotong PPh Pasal 21.
Jika kita simak bunyi dari Pasal ini, maka dapat kita simpulkan bahwa atas pemberi kerja (dalam hal ini pihak penyedia jasa periklanan) yang membayarkan pembayaran sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi bukan pegawai (dalam hal ini adalah para blogger yang memperoleh penghasilan atas iklan yang diakses melalui blog/situs mereka), diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada para blogger tersebut.

2. Tarif PPh
Besarnya tarif PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pihak penyedia jasa periklanan atas pembayaran penghasilan kepada para blogger orang pribadi dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah kumulatif 1 (satu) tahun kalender dari penghasilan kena pajak bagi bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan.
Penghasilan kena pajak yang diterima bukan pegawai yang diterima secara berkesinambungan adalah sebesar 50% dari dari jumlah penghasilan bruto. Sedangkan besarnya tarif Pasal 17 UU PPh adalah:
  1. Penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, tarif PPhnya 5%
  2. Penghasilan di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta, tarif PPhnya 15%
  3. Penghasilan di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta, tarif PPhnya 25%
  4. Penghasilan di atas Rp 500 juta, tarif PPhnya 30%

3. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Yang Harus Dipotong atas Penghasilan Blogger
Shandy Sundoro adalah seorang blogger yang terdaftar sebagai member di idblognetwork.com dan merupakan Publisher. Selama tahun 2011, blog milik Shandy Sundoro mendapatkan iklan untuk diterbitkan dari para advertiser melalui idblognetwork.com. Atas iklan-iklannya tersebut, Shandy mendapatkan penghasilan sebagai berikut:
  1. Januari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 40 juta
  2. Februari 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 70 juta
  3. Maret 2011 penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 180 juta
Maka Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com ketika membayarkan penghasilan kepada Shandy setiap bulannya adalah:

a. Januari 2011
Penghasilan Rp 40 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 40 juta = Rp 20 juta
PPh Pasal 21 = 5% x Rp 20 juta (tarif 5% karena akumulasi PKP mulai awal 2011 masih di bawah Rp 50 juta).
Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Januari 2011 adalah sebesar Rp 1 juta.

b. Februari 2011
Penghasilan Rp 70 juta
Penghasilan Kena Pajak (PKP)= 50% x Rp 70 juta = Rp 35 juta
Akumulasi Penghasilan Kena Pajak: Januari: Rp 20 juta; Februari: Rp 35 juta. Sehingga total akumulasi selama 2 bulan adalah Rp 55 juta (sudah melampaui lapisan pertama dari tarif PPh Pasal 17).
Sehingga perhitungan PPh Pasal 21 =
-5% x Rp 30 juta = Rp 1.500.000
-15% x Rp 5 juta = Rp 750.000
Total PPh Pasal 21 = Rp 1.500.000 + Rp 750.000 = Rp 2.250.000

Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork untuk pembayaran penghasilan bulan Februari 2011 adalah sebesar Rp 2.250.000.

c. Maret 2011
Selanjutnya silakan kepada para Pembaca Setia Tax Learning, cobalah hitung besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh idblognetwork.com atas pembayaran penghasilan kepada Shandy untuk bulan Maret 2011. Jawaban boleh diposting di bawah ini.

Sebagai catatan, perhitungan PPh Pasal 21 di atas diasumsikan bahwa Shandy Sundoro sebagai penerima penghasilan memiliki NPWP. Apabila penerima penghasilan orang pribadi tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh Pasal 21 akan dikenakan 20% lebih tinggi dari tarif normal tersebut di atas. Misalkan jika Shandy Sundoro tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong atas penghasilan bulan Januari 2011 adalah: 120% x 5% x Rp 20 juta. Jadi PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk penghasilan Januari 2011 adalah sebesar Rp 1.200.000.

Potongan PPh Pasal 21 ini adalah merupakan kredit pajak sebagai pengurang PPh terutang untuk seluruh penghasilan yang diterima oleh blogger tersebut selama setahun, yang biasanya dihitung ulang dan dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.

Bagaimanakah bila penerima penghasilan merupakan badan? Bagaimanakah perlakuan hasil pemotongan PPh Pasal 21 yang diperoleh para blogger yang merupakan kredit pajak? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, apabila penulis memiliki waktu luang, penulis akan mencoba untuk menjelaskannya dalam artikel lain.
(c)http://syafrianto.blogspot.com 31052011

Rabu, 27 April 2011

Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan

Salah satu kewajiban Wajib Pajak adalah melaporkan/menyampaikan SPT Tahunan PPh setiap tahunnya. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, maka setiap tahun harus menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Artinya apabila untuk tahun pajak 2010 (dengan periode tahun buku 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010), maka batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi paling lambat adalah tanggal 31 Maret 2011.

Bagi Wajib Pajak Badan, maka setiap tahun harus menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan paling lambat pada akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir. Artinya apabila untuk tahun pajak 2010 (dengan periode tahun buku 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010), maka batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan paling lambat adalah tanggal 30 April 2011. Apabila Wajib Pajak melaporkan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2010 lewat dari tanggal 30 April 2011, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU KUP, yaitu sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Dalam ketentuan Undang-Undang Perpajakan yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) memberikan jangka waktu pelaporan SPT Tahunan PPh dari 3 (tiga) sampai 4 (empat) bulan setelah periode laporan keuangan berakhir ini dengan maksud bahwa waktu yang diberikan ini dianggap cukup bagi Wajib Pajak untuk menyusun, menghitung dan melaporkan SPT Tahunan PPh-nya. Namun pada kenyataannya, sering dihadapi bahwa batas waktu yang diberikan oleh Pemerintah ini tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena berbagai hal dan penyebab, misalnya laporan keuangan yang belum selesai disusun, laporan keuangan yang belum selesai diaudit dan sebagainya.

Apabila batas waktu yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh-nya ternyata masih belum mencukupi, maka dalam ketentuan Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5) UU KUP, memberikan toleransi kepada Wajib Pajak untuk mengajukan pemberitahuan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahuan PPh.

Ketentuan dan tata cara mengenai perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan ini diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2009. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

Lamanya Masa Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan

Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan. Pengajuan Perpanjangan Waktu Penyampaian SPT Tahunan ini dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, sepanjang batas paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan belum terlampui.

Misalkan Wajib Pajak mengajukan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan selama 1 (satu) bulan, ternyata setelah lewat 1 (satu) bulan, ternyata Wajib Pajak masih belum siap untuk menyampaian SPT Tahunannya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan lagi Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dengan syarat total jangka waktu Perpanjangan Waktu sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan hingga tanggal pengajuan kembali untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan tidak melebihi 2 (dua) bulan.

Siapa Yang Dapat Mengajukan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan?

Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan ini dapat diajukan oleh:
  1. Wajib Pajak Badan; menggunakan Formulir 1771-Y (untuk pembukuan Rupiah) atau 1771-$Y (untuk pembukuan Dolar) atau jika menggunakan bentuk data elektronik adalah e-SPTy.
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas; menggunakan formulir 1770-Y atau jika menggunakan bentuk data elektronik adalah e-SPTy.
  3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas disampaikan dalam bentuk surat pemberitahuan sesuai Lampiran II PER-21/PJ/2009, dan hanya berlaku khusus untuk tahun pajak 2008.

Apa Yang Harus Disebutkan Dalam Surat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan?

Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang mengajukan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan wajib menyebutkan alasan perpanjangan dan melakukan penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang.

Kapan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan ini harus disampaikan ke KPP?

Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan ini harus diajukan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) secara tertulis, sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir.

Dokumen Apa Saja yang Harus Dilampirkan Pada Saat Mengajukan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan?


Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang dibuat secara tertulis harus dilampiri dengan:
  1. penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
  2. laporan keuangan sementara untuk tahun pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri (bukan Laporan Keuangan Sementara dari konsolidasi grup);
  3. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang (apabila ada PPh Kurang Bayar/PPh Pasal 29), kecuali ada ijin untuk untuk mengangsur atau menunda pembayaran PPh Pasal 29; dan
  4. Surat Pernyataan dari Akuntan Publik yang menyatakan audit Laporan Keuangan belum selesai (dalam hal Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, yang pada tahun pajak 2008 dapat mengajukan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan, wajib melampirkan Surat Pernyataan dari pemberi kerja yang menyatakan bahwa bukti potong PPh Pasal 21 belum diberikan oleh pemberi kerja.

Bagaimana Cara Menyampaikan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan?
 

Surat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang telah dilengkapi dengan dokumen pendukung yang dipersyaratkan, disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. dengan cara lain, yaitu melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat atau dengan cara e-Filling melalui Application Service Provider (ASP).

Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan Tidak Memenuhi Ketentuan


Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan di atas dianggap bukan merupakan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan, sehingga Wajib Pajak tetap harus menyampaikan SPT Tahunan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam UU KUP. Atas Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang dianggap bukan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan, maka Direktur Jenderal Pajak (dalam hal ini diwakili oleh Kepala KPP) wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak secara tertulis paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan diterima lengkap di KPP. Wajib Pajak yang pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan tidak memenuhi ketentuan dan telah diberitahukan oleh KPP secara tertulis, masih dapat menyampaikan kembali Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan sepanjang tidak melampaui batas waktu penyampaian SPT Tahunan.

Apabila setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan diterima lengkap di KPP, Kepala KPP tidak memberikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak, maka Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dianggap diterima.

Masa Berlaku Ketentuan Ini


Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.

Download:
Formulir Pemberitahuan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Badan 1771-Y
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Artikel Terkait:
Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh Badan 2010

Senin, 07 Maret 2011

Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi Wanita Kawin

Apakah Wanita kawin harus mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi? Bagaimanakah cara menghitung dan melaporkan pajak bagi wanita yang telah menikah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang paling sering dilontarkan oleh para Pembaca Setia Tax Learning kepada penulis, baik melalui posting di blog ini maupun melalui email.

Sehubungan dengan akan berakhirnya masa penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 2010 yang jatuh tempo pada tanggal 31 Maret 2011, DJP mengeluarkan tulisan mengenai cara pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wanita yang telah menikah. Berikut artikel yang penulis kutip dari situs pajak.go.id.

* Apakah wanita kawin tersebut memiliki NPWP yang terpisah dengan suaminya (NPWP dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "000")? Jika jawabannya:
YA.
Apapun pekerjaan dari wanita kawin tersebut (baik hanya sebagai pegawai dari satu pemberi kerja yang menerima 1721-A1 atau 1721-A2 ataupun memiliki penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas) jika wanita kawin tsb memiliki NPWP dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "000",
maka harus diperlakukan sebagai isteri yang menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, yang pengisian SPT Tahunannya sama dengan wanita kawin dengan perjanjian pisah harta (SE-29/PJ/2010). Maka pengisian SPT Tahunannya adalah sbb:
  1. Pelaporan bagi wanita kawin ini dilakukan terpisah dengan SPT Tahunan PPh suami. (SE-29/PJ/2010)
  2. Dan untuk penghitungan PPh bagi wanita kawin ini, harus dihitung layaknya wanita kawin yang memilih untuk melakukan hak/kewajiban perpajakannya sendiri. Sehingga penghasilan neto wanita kawin tersebut harus digabung dengan penghasilan neto suami, dan besarnya PPh terutang bagi wanita kawin (isteri) dihitung dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
  3. Kolom PTKP baik dalam SPT Tahunan suami maupun isteri diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 32 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19).
  4. Kolom Penghasilan Kena Pajak baik dalam SPT Tahunan suami maupun isteri diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 32 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 20)
  5. Contoh cara penghitungan dan bentuk lembar penghitungan penghasilan serta PPh Terutang bagi isteri yang mempunyai NPWP sendiri (terpisah dari suami) dapat dilihat pada halaman 33-36 di Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahunan 1770 atau halaman 26-28 di Buku Petunjuk Pengisian 1770S (PER 34/PJ/2010)

TIDAK. (wanita kawin tsb memiliki NPWP cabang/NPWP anggota keluarga dengan kode cabang (tiga digit terakhir) "001")
Maka kita harus melihat lebih lanjut apa pekerjaan dari wanita kawin tersebut. Tanyakan pertanyaan untuk mengetahui pekerjaannya.
  • Apakah wanita kawin tersebut bekerja sebagai pegawai dari satu pemberi kerja dan memperoleh 1721-A1/ 1721-A2? Jika jawabannya:
YA.
Maka pengisian SPT Tahunan nya adalah sebagai berikut:
  1. Pelaporan disatukan dengan SPT Tahunan PPh suaminya, dimana penghasilan wanita kawin tsb dilaporkan didalam bagian "Penghasilan Isteri dari satu pemberi kerja" (1770-III Bagian A No.15 atau 1770S-II Bagian A No.13). Jadi penghasilan wanita tersebut sudah bersifat final dan tidak perlu ditambahkan dengan penghasilan neto suami. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 19 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 13)
  2. PTKP di induk SPT Tahunan suami diisi dengan "K/jumlah tanggungan", tidak boleh ditulis "K/I/". Karena penghitungan penghasilan isteri sudah bersifat final sehinggan PTKP untuk isteri juga tidak perlu ditambahkan lagi dengan PTKP suami. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 19 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 13)

TIDAK
.
wanita kawin tsb memiliki penghasilan dari :
  1. usaha/pekerjaan bebas yg tidak ada hubungannya dgn usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yg belum dewasa).
  2. bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas.
  3. bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja. Maka pengisian SPT Tahunannya adalah sbb: + Pelaporan disatukan dengan SPT Tahunan PPh suaminya. + Penghasilan neto isteri ditambahkan dengan penghasilan neto suaminya, begitu juga untuk PPh terutangnya menjadi suatu kesatuan. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 31 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19) + PTKP di induk SPT Tahunan suaminya adalah "K/I/jumlah tanggungan" karena penghasilan isteri digabung didalam induk SPT suami maka PTKP nya juga digabung. (Dasar hukum: Lampiran II atau Lampiran IV PER 34/PJ/2010, Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770 halaman 31 atau Buku Petunjuk pengisian SPT Tahunan 1770S halaman 19)

Sumber : DJP Tax Knowledge Base

Kamis, 16 September 2010

(Bukan Pajak) Wacana Pembatasan Penggunaan BBM Jenis Premium

Sehubungan tengah ramainya wacana dari Pemerintah untuk melakukan pembatasan penggunaan bensin jenis premium yang akan mulai disosialisasikan dan diterapkan di wilayah Jabodetabek, maka penulis tertarik untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan berikut ini. Tulisan ini hanyalah suatu pemikiran iseng saja, karena sebenarnya penulis tidak ahli dalam bidang ini.

Akhir-akhir ini kita dengar Pemerintah sedang gencar menyatakan akan melakukan pembatasan penggunaan premium. Program ini tujuannya agar subsidi BBM dalam APBN kita dapat dikurangi sehingga dananya dapat digunakan untuk tujuan lain yang lebih bermanfaat bagi mensejahterakan masyarakat.
Nah.. salah satu yang akan dilakukan pemerintah, yaitu dengan cara mengeluarkan larangan bagi kendaraan roda 4 (empat) yang berplat hitam dan keluaran di atas tahun 2005 untuk tidak boleh lagi menggunakan premium. Alasannya adalah karena diasumsikan bahwa orang yang dapat membeli kendaraan roda 4 (empat) keluaran di atas tahun 2005 adalah orang kaya yang tidak perlu lagi menikmati subsidi BBM.

Penulis sih setuju-setuju saja dengan usulan ini, karena memang sebagian besar orang yang memiliki kendaraan tahun 2005 ke atas adalah orang yang hidupnya berkecukupan. Hal ini karena mobil jenis ini harganya cukup mahal selain pajak kendaraan dan biaya perawatan setiap tahunnya juga cukup tinggi.

Hanya saja menurut penulis akan timbul beberapa masalah, antara lain:

  1. Bagaimana cara penerapan pelarangan bagi kendaraan berplat hitam keluaran tahun 2005 ke atas ini yang dilarang menggunakan premium? Apakah kendaraan pengangkut barang (misalnya pick up, truk, mobil box dan jenis-jenis kendaraan niaga lainnya) juga termasuk sebagai kategori ini? Apabila memang iya, maka penulis khawatir hal ini justru akan memicu kenaikan harga barang yang korbannya adalah rakyat kecil. Karena sebagaimana kita ketahui, kendaraan-kendaraan jenis ini biasa digunakan untuk pengangkut barang. Apabila mereka diharuskan untuk menggunakan pertamax, yang harganya lebih mahal, tentunya selisih kenaikan harga ini akan dibebankan ke harga barang yang kelak akan ditanggung masyarakat juga.
  2. Bagaimana mekanisme pengawasannya? Apakah setiap SPBU akan fair melakukan pelarangan penggunaan premium bagi kendaraan yang tidak diperbolehkan ini? Bagaimana bentuk pengawasan dari Pemerintah? Bagaimana jika terjadi kongkalikong antara SPBU dengan masyarakat, misalkan masyarakat pengguna kendaraan yang dilarang mengisi premium akan membayarkan uang lebih kepada petugas SPBU supaya boleh menggunakan premium. Misal harga Pertamax Rp6.900, harga Premium Rp 4.500. Pembeli ini bersedia membayarkan Rp5.000 untuk membeli premium dan selisih harga Rp500 akan jadi penghasilan pribadi si petugas di SPBU. Ini juga menjadi peluang usaha bagi SPBU, cobalah lihat kasus ledakan tabung LPG yang tengah marak akibat perbedaan harga LPG 3 kg dgn yg 12 kg. Ini terjadi disinyalir akibat ulah sejumlah oknum pengusaha yang ingin mencari untung dengan cara memindahkan isi gas dari tabung 3 kg (yang bersubsidi) ke tabung 12 kg. Sehingga mereka dapat menjual gas bersubsidi dengan harga tanpa subsidi.
  3. Belum lagi jika ada cara, misalkan ada masyarakat yang memiliki 2 (dua) kendaraan, yang satu sesuai ketentuan diperbolehkan mengisi premium dan yang lainnya tidak diperbolehkan. Tentunya dia akan bolak balik ke SPBU membawa kendaraan yang boleh diisikan premium, kemudian premium ini nantinya akan dipindahkan ke mobilnya yang tidak boleh menggunakan premium.
  4. Dan masih banyak lagi trik yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk menyikapi larangan ini (kan masyarakat kita paling kreatif dan inovatif untuk menyiasati yang seperti demikian).

Penulis memiliki ide, walaupun mungkin ide ini agak sulit diterapkan. Setahu penulis, dulu kendaraan-kendaraan tertentu yang mesinnya sudah menggunakan sistem digital/komputerisasi disarankan untuk menggunakan bensin dengan oktan yang tinggi. Malah sekitar tahun 1990-an, penulis masih ingat bahwa perusahaan otomotif/dealer kendaraan selalu berpesan untuk menggunakan bensin beroktan tinggi untuk mobil-mobil keluaran tahun 1990-an. Sehingga dulunya kendaraan jenis sedan pastilah mengisi bensin jenis pertamax, karena jika mengisi bensin jenis premium, oktannya kurang yang akan mengakibatkan pembakaran kurang sempurna sehingga dapat merusak mesin.

Namun setelah krisis moneter 1998 yang melanda Indonesia, dan harga minyak yang melambung tinggi, perusahaan-perusahaan otomotif tidak lagi melarang konsumen pemilik kendaraan jenis sedan untuk menggunakan premium lagi. Entah apakah ada perubahan setelan mesin yang dilakukan, sehingga mobil jenis ini boleh mengkonsumsi bensin jenis premium. Namun setelah kasus tentang kerusakan fuel pump yang dialami sejumlah kendaraan yang menggunakan bensin jenis premium, justru penulis berfikir apakah kerusakan fuel pump ini diakibatkan karena kesalahan dari pemilik kendaraan sendiri akibat mengkonsumsi bensin jenis premium untuk kendaraan yang tidak diperbolehkan. Berdasarkan pengamatan penulis, rata-rata kendaraan yang bermasalah adalah kendaraan keluaran terbaru yang menggunakan mesin jenis vvti/injection. Padahal kendaraan lainnya yang juga mengkonsumsi bensin jenis premium tidak bermasalah.

Dari kasus ini, menurut penulis seharusnya pembatasan penggunaan bensin jenis premium ini dapat dilakukan dengan cara bekerja sama dengan produsen kendaraan bermotor, dimana untuk kendaraan keluaran terbaru akan dibuat suatu mesin khusus yang hanya dapat mengkonsumsi bensin jenis pertamax. Atau juga Pertamina sebagai pihak produsen bensin, dapat membuat suatu spesifikasi bensin premium dan pertamax yang dapat dikonsumsi oleh kendaraan jenis tertentu. Dengan demikian, maka Pemerintah akan mudah untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan bensin bersubsidi supaya dapat dikonsumsi oleh pihak yang tepat. Namun kendala dari ide ini adalah koordinasi dengan pihak produsen kendaraan bermotor, dan juga ide ini memerlukan waktu jangka panjang karena kendaraan dengan spesifikasi mesin yang masih dapat mengkonsumsi bensin jenis premium masih banyak beredar di masyarakat. Satu hal yang menjadi catatan, sampai saat ini kita masih belum mengetahui bagaimana hasil investigas dari kasus fuel pump. Jangan-jangan kasus fuel pump ini terjadi karena memang selama ini untuk kendaraan jenis tertentu (menggunakan mesin komputerisasi/injection) tidak boleh mengkonsumsi bensin jenis premium karena akan merusak mesin. Tapi karena penulis tidak ahli di bidang ini, maka penulis juga tidak tahu apa penyebabnya.

Senin, 06 September 2010

Batas Waktu Setor dan Lapor Pajak Bulan September 2010, Apa Ada Toleransi?

Hari Raya Idul Fitri 1431 H (Lebaran) yang jatuh pada hari Jumat tanggal 10 September 2010, adalah bertepatan dengan batas waktu setoran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) untuk masa Agustus 2010. Bahkan pada hari Kamis tanggal 9 September 2010 telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai hari Cuti Bersama (demikian juga hari Senin tanggal 13 September 2010), sehingga sebagian besar pelaku bisnis di Indonesia akan meliburkan kegiatan perekonomiannya mulai tanggal 9 September 2010 hingga tanggal 13 September 2010.

Oleh sebab itu, praktis waktu yang tersedia bagi para Wajib Pajak maupun orang-orang yang diserahi tugas oleh perusahaannya untuk menangani kewajiban perpajakan perusahaan tersebut dalam memenuhi kewajiban pajak jenis ini sebelum Lebaran tinggal 2 (dua) hari, yaitu besok dan lusa. Tentunya bagi Anda yang memiliki tanggung jawab ini, harus segera menyelesaikan tugas ini supaya pada saat libur Lebaran nanti, Anda dapat berlibur dengan tenang tanpa harus khawatir dengan kemungkinan terlambat menyetorkan pajak sehingga akan dikenakan sanksi bunga atas keterlambatan setor sebesar 2% per bulan dari pokok pajak yang kurang bayar.

Namun bagaimanakah jika ternyata dalam 2 (dua) hari, jumlah pajak yang harus disetorkan masih belum dapat dihitung, sehingga Anda masih belum dapat menyetorkan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) tepat sebelum libur Lebaran? Apakah setoran yang dilakukan setelah Libur Lebaran nantinya sudah dianggap terlambat dan akan dikenakan sanksi?

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:

"Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya."

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, menegaskan bahwa Hari libur nasional yang dimaksud ini adalah termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian, apabila tanggal jatuh tempo penyetoran pajak jatuh pada hari libur, maka penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Oleh sebab itu, untuk kewajiban penyetoran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) masa Agustus 2010 yang jatuh temponya pada tanggal 10 September 2010 ini ternyata jatuh pada hari Libur Nasional, sehingga setoran ini dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah libur Nasional tersebut, yaitu pada hari Selasa tanggal 14 September 2010 (karena hari Senin tanggal 13 September 2010 juga bertepatan dengan cuti bersama).

Jadi, para Pembaca sekalian, tidak perlu khawatir lagi, apabila sampai dengan hari Rabu sore tanggal 8 September 2010 masih belum dapat memenuhi tenggat waktu penyetoran pajak jenis ini, maka setoran dapat dilakukan pada tanggal 14 September 2010.

Akhirnya Penulis mengucapkan selamat berlibur panjang, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1431 H bagi para Pembaca yang merayakannya. Mohon maaf Lahir dan Batin. Serta, selamat menjalankan kewajiban perpajakan Anda.

Artikel Sejenis:
9 April 2009 adalah Hari Libur Nasional

Kamis, 26 Agustus 2010

Perhitungan PPh Pasal 21 untuk THR

Lebaran sebentar lagi…
Dua minggu lagi, umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1431 H atau yang kita kenal sebagai Lebaran.

Sesuai ketentuan ketenagakerjaan di Indonesia, dalam rangka menyambut datangnya hari raya keagamaan (seperti Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, Hari Raya Imlek, dan hari raya keagamaan bagi pemeluk agama lainnya) setiap pemberi kerja wajib memberikan imbalan berupa bonus yang biasa diistilahkan sebagai Tunjangan Hari Raya (THR). Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Menyambut Hari Raya Idul Fitri tahun 2010 ini, pada Selasa 24 Agustus 2010 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar telah mengeluarkan surat edaran, yang menginstruksikan kepada perusahaan, maksimal H-7 sebelum lebaran, harus telah membayarkan THR kepada para pekerjanya.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja tersebut, mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja tiga bulan atau lebih secara terus-menerus. Berdasarkan peraturan itu, besarnya THR pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 12 bulan atau lebih mendapat THR minimal satu bulan gaji. Sedangkan pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan hingga kurang dari 12 bulan, mendapat THR proporsional, yaitu dengan menghitung masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 bulan lalu dikali satu bulan upah.

Dari sisi perpajakan, pemberian THR/bonus ini menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 yang wajib dilakukan oleh pemberi kerja sebagai pemotong PPh Pasal 21.


Pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawai/karyawan/pekerja berupa bonus/THR ini dapat kita bedakan menjadi 2 (dua) metode pengenaan, yaitu pengenaan PPh Pasal 21 atas bonus/THR yang:
1. diterima oleh pegawai/karyawan/pekerja pada pemberi kerja swasta,
2. diterima oleh pegawai negeri sipil/militer.

1. Pengenaan PPh Pasal 21 atas bonus/THR yang diterima pegawai swasta

Dalam ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21/26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 mengatur mengenai tata cara penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas pemberian THR/bonus ini.

Dalam ketentuan Peraturan Dirjen Pajak ini, pemotongan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan yang diterima pegawai/pekerja, kita mengenal ada 2 jenis pegawai, yaitu Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Pegawai Tetap, metodenya lebih rumit dibandingkan dengan Pegawai Tidak Tetap. Karena penghasilan yang diterima oleh Pegawai Tetap ini dibagi menjadi 2 jenis penghasilan, sebagaimana diatur dalam Pada Pasal 1 angka 15 dan angka 16, yaitu:
-Penghasilan Pegawai Tetap yang bersifat Teratur, yaitu penghasilan bagi pegawai berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur (walaupun nilainya berfluktuatif setiap masanya).
-Penghasilan Pegawai Tetap Yang Bersifat Tidak Teratur, yaitu penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas pemberian bonus/THR, sebagai penghasilan yang bersifat tidak teratur ini dijelaskan dalam Lampiran PER-31/PJ/2009 angka Romawi I angka 1 huruf b, yaitu: Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut :
a. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
b. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
c. selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.

Cara penghitungan PPh Pasal 21 yang dijelaskan dalam PER-31/PJ/2009 ini adalah:

Karyawati Ken Prameswari (tidak kawin) bekerja pada PT Prabu Kedaton dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.750.000,00 sebulan. Perusahaan ikut dalam program jamsostek. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dan Iuran Jaminan Hari Tua dibayar oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing sebesar 1,00%, 0,30% dan 3,70% dari gaji. Prameswari membayar iuran Pensiun Rp 50.000,00 dan iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji untuk setiap bulan. Dalam tahun berjalan dia juga menerima bonus sebesar Rp 4.000.000,00

Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus, terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu sebagai berikut :
a. PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun):

Gaji setahun (12 x Rp 2.750.000,00)
Bonus
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
12xRp 27.500,00
Premi Jaminan Kematian
12 x Rp 8.250,00

Rp 33.000.000,00

Rp 4.000.000,00

Rp 330.000,00
Rp 99.000,00
Penghasilan bruto setahun
Rp 37.429.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 37.429.000,00=
2. Iuran pensiun setahun
12 x Rp 50.000,00=
3. Iuran Jaminan Hari Tua 12 x Rp 55.000,00=


Rp 1.871.450,00

Rp 600.000,00


Rp 660.000,00








Rp 3.131.450,00
Penghasilan neto setahun
Rp 34.297.550,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Dibulatkan

Rp 18.457.550,00
Rp 18.457.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 18.457.000,00 =

Rp 922.850,00

b PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun
Gaji setahun (12xRp 2.750.000,00) =
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 12 x Rp 27.500,00 =
Premi Jaminan Kematian
12 x Rp 8.250,00 =




Rp 33.000.000,00

Rp 330.000,00

Rp 99.000,00
Jumlah
Rp 33.429.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 33.429.000,00=
2. Iuran pensiun setahun
12 x Rp 50.000,00=
3. Iuran Jaminan Hari Tua
12 x Rp 55.000,00=

Jumlah


Rp 1.671.450,00

Rp 600.000,00

Rp 660.000,00







Rp 2.931.450,00
Penghasilan neto setahun =
Rp 30.497.550,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Pembulatan

Rp 14.657.550,00
Rp 14.657.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 14.657.000,00=

Rp 732.850,00

c PPh Pasal 21 atas Bonus

PPh Pasal 21 atas Bonus adalah :

Rp 922.850,00 - Rp 732.850,00 = Rp 190.000,00


Apabila pada unsur penghasilan rutin (Penghasilan Gaji, Tunjangan-tunjangan, termasuk juga uang lembur) terjadi adanya fluktuasi besarnya penghasilan setiap bulan, perhitungan di atas tetap dilakukan dengan mengambil nilai real yang dibayarkan pada bulan ketika dibayarkan juga bonus.

2. Pengenaan PPh Pasal 21 atas bonus/THR yang diterima Pegawai Negeri Sipil/Militer

Apabila Pegawai Negeri Sipil (PNS)/TNI/POLRI menerima THR atau bonus yang pembayarannya berasal dari APBN atau APBD, cara pengenaan PPh Pasal 21-nya tidak mengacu kepada perhitungan PPh Pasal 21 atas Bonus untuk pegawai swasta seperti di atas. Khusus untuk Pegawai Negeri Sipil/TNI/POLRI yang menerima THR atau bonus ini, ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan PPh Pasal 21-nya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Dan Para Pensiunan Atas Penghasilan Yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara Atau Keuangan Daerah.

Pada Pasal 1 ayat (2) ditegaskan bahwa atas penghasilan yang diterima Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil, anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pensiunan berupa honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah selain penghasilan sebagaimana disebut pada ayat (1), dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, kecuali yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan II/d ke bawah dan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang ini ditanggung pemerintah.

Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong atas pembayaran honorarium dan imbalan lainnya ini menurut Pasal 2 ayat (2) adalah sebesar 15% dan bersifat final.

Berdasarkan ketentuan ini, maka apabila seorang PNS/TNI/POLRI yang memiliki golongan III/a ke atas menerima THR (dikategorikan sebagai honorarium dan imbalan lainnya), akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final sebesar 15% dari Penghasilan Bruto bonus/THR tersebut.

Selasa, 27 April 2010

Beberapa Ketentuan Baru Yang Perlu Diperhatikan Dalam Melaporkan SPT Tahunan PPh Badan

Sebenarnya penulis ingin menuliskan artikel tentang seluruh perubahan yang terjadi atas kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009. Namun akibat keterbatasan waktu, akhirnya penulis buatkan saja ringkasannya.

Formulir SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 Sedikit Berubah!

Untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009, mengalami sedikit perubahan antara lain mengenai transaksi hubungan istimewa. Saat ini pernyataan transaksi hubungan istimewa ada pada halaman induk SPT (pada bagian G No. 16 Formulir 1771). Jika Wajib Pajak memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka Wajib melampirkan formulir Lampiran Khusus 3A, 3A-1, dan 3A-2.

Ada Lampiran Khusus Transkrip Elemen Laporan Keuangan, yang harus dibuat dan dilampirkan oleh Wajib Pajak. Transkrip ini dibuat menurut jenis-jenis usaha Wajib Pajak.

Untuk mendapatkan formulir SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 format Microsoft Excel, silakan download di sini. Sedangkan Formulir Lampiran Khusus berupa Pernyataan dapat didownload di sini (namun di sini masih dalam bentuk file pdf, karena penulis belum sempat mengubah ke file excel).

Lampiran Daftar Nominatif untuk Biaya Promosi

Bagi Wajib Pajak yang selama tahun 2009 mengeluarkan dan membebankan biaya promosi sehubungan dengan usahanya, maka wajib melampirkan daftar nominatif untuk biaya promosi ini. Ketentuan ini adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010. Artikel dan bentuk Daftar Nominatif ini silakan download di sini.

Tarif PPh Berubah

a. Tarif PPh Badan umum
Tarif PPh Badan untuk tahun pajak 2009 adalah tarif tetap (flat) sebesar 28%. Berbeda dengan tahun pajak sebelumnya yang masih mengenal tarif berlapis atau progresif. Sedangkan tarif PPh Badan untuk tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% (Pasal 17 ayat (2a) UU PPh). Akibat adanya penurunan tarif PPh Badan untuk tahun 2010, maka dalam menghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang akan disetorkan mulai Masa Pajak April 2010 hingga Desember 2010 (dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009). Ulasan serupa (berkaitan dengan perubahan tarif PPh Orang Pribadi) mengenai penghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang harus disesuaikan dengan perubahan ketentuan ini pernah dibahas dalam artikel: Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2009. Jadi untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kelebihan penyetoran PPh untuk tahun pajak 2010, kita perlu mencermati adanya perubahan ketentuan ini dan menyesuaikan angsuran PPh Pasal 25.

b. Tarif PPh Badan untuk perseroan terbuka (go public)
Khusus untuk Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008, dapat memperoleh tarif PPh sebesar 5% lebih rendah daripada tarif yang berlaku. Jadi untuk tahun 2009 ini tarif PPh Badan yang berlaku adalah 28%, maka untuk Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka yang memenuhi ketentuan ini berhak menggunakan tarif 23%. Ulasan mengenai ketentuan ini sudah penulis bahas pada artikel: WP Badan Go Publik Otomatis Dapat Penurunan Tarif PPh Badan untuk SPT Tahunan 2008.

c. Tarif PPh untuk WP Badan dengan peredaran usaha kurang dari Rp 50 milyar
Wajib Pajak badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapatkan fasilitas berupa pengurangan tarif PPh sebesar 50% dari tarif yang berlaku berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, dengan ketentuan bahwa pengenaan tarif sebesar 50% lebih rendah dari tarif yang berlaku ini akan dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh perusahaan ini dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00. Ketentuan mengenai fasilitas ini diatur dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
Mengutip contoh perhitungan dari penjelasan Pasal 31E ayat (1) adalah sebagai berikut:
Contoh 1:
Peredaran Bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00.
Maka perusahaan ini memenuhi kriteria sebagai WP Badan yang berhak memperoleh fasilitas pengenaan tarif PPh sebesar 50% (karena peredaran bruto masih di bawah Rp 50 miliar).
Pengenaan tarif PPh sebesar 50% dapat dikenakan terhadap seluruh Penghasilan Kena Pajak PT Y, yaitu Rp 500.000.000,00 (karena peredaran usahanya masih di bawah batas bagian peredaran usaha yang mendapatkan fasilitas ini yaitu Rp 4.800.000.000,00).
Jadi PPh Badan Terutang PT Y Tahun 2009 = (50% x 28%) x Rp 500.000.000,00 atau PPh Terutangnya adalah sebesar Rp 70.000.000,00.

Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3 miliar. Maka Penghitungan PPh yang terutang adalah:
-Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas adalah (Rp 4,8 miliar : Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480.000.000,00.
-Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas adalah Rp 3 miliar - Rp 480 juta = Rp 2.520.000.000,00
Sehingga PPh Terutangnya adalah:
-(50% x 28%) x Rp 480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
-28% x Rp 2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00
Jumlah PPh Terutang = Rp 772.800.000,00

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah ketentuan ini dapat langsung ditetapkan oleh semua Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sesuai persyaratan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 50 miliar? Padahal sampai dengan saat ini penulis belum menemukan peraturan pelaksana untuk menerapkan ketentuan Pasal 31E ini. Menurut penulis ketentuan ini sudah dapat diterapkan walau tidak ada peraturan pelaksananya, karena tidak dalam Pasal ini mensyaratkan bahwa aturan lebih lanjut akan diatur dengan peraturan di bawahnya. Pada ayat (2)-nya hanya menyebutkan bahwa yang akan diatur dengan peraturan lebih lanjut (yaitu Peraturan Menteri Keuangan) hanyalah mengenai ketentuan menaikkan batasan peredaran bruto.
(c) syafrianto.blogspot.com 27042010

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Jumat, 23 April 2010

Apakah Pajak yang Saya Bayarkan Tidak Akan Masuk Ke Kantong Pribadi Pegawai Pajak?

Pendahuluan

Sebulan terakhir ini kita banyak mendengar dan membaca berita mengenai kasus penyelewengan dan korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai pajak terhadap uang pajak. Kasus yang sempat menggemparkan adalah Makelar Kasus Pengadilan Pajak yang dilakukan oleh oknum Gayus Tambunan yang dibongkar oleh Susno Duadji, serta yang baru-baru ini terungkap adalah kasus pemalsuan setoran pajak yang dilakukan oleh suatu jaringan (mafia) di Surabaya. Akibat mencuatnya berita mengenai kasus-kasus ini mengakibatkan, menimbulkan kembali terjadinya resistensi (penolakan) di kalangan masyarakat terhadap kewajiban membayar pajak. Bahkan kita sebagai Wajib Pajak yang selama ini telah menjalankan kewajiban perpajakan kita termasuk juga melakukan penyetoran pajak akan merasa khawatir, jangan-jangan pajak yang selama ini telah kita setorkan bisa dikorupsi oleh oknum-oknum seperti yang disebutkan di atas?

Sistem Pembayaran Pajak

Untuk membahas pertanyaan tersebut di atas, penulis akan membahas dari sisi akademisi sesuai dengan bidang yang dikuasai oleh penulis. Tulisan berikut ini adalah murni hasil pemikiran penulis dan tidak bermaksud untuk menuduh atau menyudutkan pihak manapun yang terkait dalam tulisan berikut. Tujuan dari tulisan berikut adalah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang apa sebenarnya dan bagaimana mekanisme pembayaran pajak.

Jika kita tinjau dari sistem penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajak yang telah diterapkan di Indonesia sejak Reformasi Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983, Indonesia menganut sistem yang disebut sebagai self assessment system. Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk menghitung sendiri, melakukan penyetoran sendiri atas pajak terutang yang telah dihitungnya tersebut, serta melaporkannya sendiri ke Direktorat Jenderal Pajak/DJP (dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak setempat). Karena sistem inilah menyebabkan pihak DJP tidak lagi melakukan penetapan dan menarik setoran pajak langsung dari para Wajib Pajak. Fungsi DJP hanyalah sebagai pengawas terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak.

Dalam self assessment system ini, Wajib Pajak harus menghitung pajak terutangnya atas seluruh penghasilan yang diterimanya. Maka di sini dituntut kejujuran dari pihak Wajib Pajak sendiri. Uang pajak yang telah dihitung dan terutang selama suatu periode tertentu haruslah disetorkan sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau ke Kantor Pos dan Giro. Namun sampai dengan saat ini masih banyak pihak yang salah persepsi dan menganggap bahwa uang pajak yang terutang tersebut harus disetorkan ke kantor pajak (DJP), seperti isu yang beredar di masyarakat selama ini. Setelah kasus Gayus ini terungkap, maka timbullah gerakan dari masyarakat untuk tidak membayar pajak, karena mereka khawatir uang pajak yang dibayarkannya ini akan masuk ke kantong pribadi oknum petugas pajak. Bahkan saat pembahasan di Panja Wakil Rakyat, bahkan ada kesan bahwa para Wakil Rakyat juga masih awam soal pembayaran pajak.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah, apakah uang untuk pembayaran pajak yang telah kita bayarkan ke bank persepsi atau kantor pos dan giro itu akan aman dan tidak dapat dikorupsi oleh oknum aparat pajak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlulah kita ketahui bagaimana sebenarnya sistem penerimaan negara kita melalui pajak, serta bagaimana distribusi dari pajak yang telah diterima ini untuk digunakan sebagai biaya pembangunan.

Dalam sistem tata negara kita, sumber pembiayaan negara kita ini sebagian besar berasal dari penerimaan pajak dari masyarakat (Wajib Pajak). Pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak yang masuk ke bank persepsi dan kantor pos dan giro akan masuk langsung kas negara (dalam pos-pos penerimaan). Pos-pos penerimaan ini dapat kita ibaratkan sebagai suatu “rekening bank”, jadi Wajib Pajak yang menyetorkan pajaknya akan masuk ke “rekening bank” tersebut. Sama halnya seperti rekening bank yang kita miliki di Bank maka untuk mengambil uang dari “rekening bank” setoran pajak ini haruslah orang yang telah diotorisasikan. Uang yang diterima oleh negara (termasuk juga penerimaan dari pajak) yang telah masuk ke “rekening bank” kas negara ini baru akan dapat dikeluarkan setelah adanya APBN serta penjabaran penggunaannya dalam pos-pos dan untuk instansi-instansi yang telah ditetapkan dan disetujui oleh Wakil Rakyat dalam Rapat Paripurnanya. Melalui kuasa hasil penetapan para Wakil Rakyat inilah baru pihak Pemerintah dapat mencairkan (mengambil) uang dalam rekening kas negara ini untuk pembiayaan pembangunan, yang didelegasikan ke masing-masing instansi dan departemen.

Dengan demikian, maka apabila kita menyetorkan uang ke kas negara (antara lain berupa pajak), mustahil jika akan diambil atau dicairkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi, karena uang di kas negara baru dapat dicairkan jika ada proyek pembiayaan sebagaimana yang tercantum dalam APBN yang telah disetujui oleh Wakil Rakyat. Justru sebenarnya penyimpangan yang mungkin terjadi adalah pada saat uang tersebut telah dicairkan (sesuai dengan APBN) dan akan digunakan oleh tiap instansi untuk digunakan dalam pembiayaan negara. Oleh sebab itu, mengapa DJP saat ini menggunakan slogan: “Lunasi Pajaknya dan Awasi Penggunaannya”. Dengan demikian, maka kita sebagai masyarakat para pembayar pajak, kita dapat mengawasi penggunaan dana dari pajak yang telah kita bayar ini dengan memantau kegiatan seluruh instansi dan lembaga pemerintahan negara kita ini dalam hal pengelolaan dan penggunaan anggaran yang mereka terima melalui APBN atau APBD setiap tahunnya.

Sampai di sini mungkin para Pembaca Setia Tax Learning sudah mulai dapat memahami mengenai mekanisme penyetoran pajak serta dapat menjawab pertanyaan “Apakah Pajak yang Saya Bayarkan Tidak Akan Masuk Ke Kantong Pribadi Pegawai Pajak?”

Jadi sepanjang pajak dari para Pembaca Setia Tax Learning (dan juga para Wajib Pajak) disetorkan sendiri langsung ke bank persepsi atau kantor pos dan giro, maka uang pajak ini tidak akan mungkin masuk ke kantong pribadi oknum Pegawai Pajak.

Skema tentang mekanisme penghitungan pajak, pembayaran pajak, pelaporan pajak serta alokasi penggunaannya dapat dilihat pada gambar berikut ini (gambar ini diambil dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, www.pajak.go.id):


Mengapa Terjadi Kasus Uang Pajak Masuk ke Kantong Pribadi Oknum Tertentu?

Namun pertanyaan berikutnya mungkin akan muncul, “Jika memang setoran pajak ini tidak akan masuk ke kantong pribadi oknum Pegawai Pajak, lalu mengapa kasus Gayus dan kasus pemalsuan setoran pajak di Surabaya dapat terjadi?

Sebenarnya kasus Gayus ini dapat terjadi akibat adanya kolusi (penulis kurang setuju dengan istilah korupsi, karena kejadian ini sebenarnya terjadi karena adanya kesepakatan dari pihak Wajib Pajak dan oknum Pegawai Pajak untuk menghilangkan atau mengurangkan ketetapan pajak). Kasus ini kemungkinan dilakukan pada saat Wajib Pajak mengajukan Banding di Pengadilan dengan cara membuat hasil keputusan dari banding tersebut untuk membatalkan ketetapan pajak yang sudah ditetapkan pihak DJP sebelumnya (simpulan ini diambil oleh penulis setelah membaca dan menganalisis informasi dari media massa, pihak Kementerian Keuangan, Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum serta pihak-pihak lainnya).

Sedangkan untuk kasus yang terjadi di Surabaya, kemungkinan dapat terjadi akibat manipulasi setoran pajak yang dibuat oleh pihak ketiga.
Berdasarkan analisis penulis, manipulasi setoran pajak ini dapat terjadi, akibat adanya Wajib Pajak yang menyerahkan sepenuhnya penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya ke pihak ketiga yang tidak berkompeten (menurut informasi di media massa adalah staf dari konsultan pajak). Modus ini dilakukan oleh oknum konsultan pajak yang mengurus penghitungan, penyetoran serta pelaporan pajak dari seorang Wajib Pajak (yang biasanya karena belum mengerti atau tidak mau repot untuk melakukannya sendiri). Si oknum akan meminta sejumlah uang kepada Wajib Pajak yang meminta tolong untuk diurus perhitungan dan pelaporan pajaknya tersebut sebagai dana untuk menyetorkan pajak berdasarkan perhitungan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), namun oknum ini akan menyetorkan nilai yang lebih kecil dari dana yang telah diperoleh dari Wajib Pajak (atau bahkan tidak menyetorkan pajaknya tersebut), kemudian bukti penyetoran pajak yang sesuai dengan dana yang telah diberikan oleh Wajib Pajak ini akan dipalsukan (dibuatkan surat setoran pajak palsu, seolah-olah dana untuk pajak tersebut seluruhnya telah disetorkan).

Dengan demikian, menurut penulis atas 2 kasus penyelewengan setoran pajak di atas terjadi akibat adanya kolusi antara Wajib Pajak sendiri dengan oknum petugas pajak dan akibat adanya Wajib Pajak yang menyerahkan penyetoran pajak kepada pihak ketiga yang kurang bertanggung jawab sehingga setoran pajaknya ini dimanipulasi.

Oleh sebab itu, saran penulis kepada para Pembaca Setia Tax Learning untuk menghindari tindakan yang mengarah kepada tindakan pidana perpajakan (atau terlibat melakukan tindakan tersebut) seperti kedua kasus di atas, maka sebaiknya Wajib Pajak melakukan perhitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya secara sendiri. Apabila menggunakan jasa konsultan pajak, gunakanlah konsultan pajak yang resmi yang memiliki ijin praktek yang diakui oleh instansi yang berwenang. Selain itu, laporkanlah pajak Anda secara jujur dan benar sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam sistem perpajakan kita serta sebagai wujud bahwa kita adalah warga negara yang bertanggung jawab. Karena pajak yang Anda setorkan ini adalah modal untuk melakukan pembangunan bangsa kita ini. Apabila tidak ada pembayaran pajak dari Anda, maka kemungkinan besar jalannya roda pemerintahan negara kita akan terhenti.

Selamat membayar pajak dengan jujur dan benar.
(c)23042010 @ http://syafrianto.blogspot.com

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Selasa, 12 Januari 2010

Ingat: Ada Perbedaan Dalam Melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember

Ada perbedaan dalam pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa Desember 2009 ini. Perbedaan tersebut terletak pada saat menghitung dan melaporkan penghasilan bruto dan PPh terutang atas setiap pegawai dan lampiran SPT yang harus disampaikan.

Dalam melaporkan dan menghitung penghasilan bruto pegawai pada masa Desember ini, jumlah penghasilan bruto yang dilaporkan adalah seluruh jumlah penghasilan bruto yang diterima oleh pegawai di pemberi kerja yang bersangkutan sejak periode Januari 2009 s.d. Desember 2009, demikian juga dengan nilai PPh-nya adalah PPh yang sesungguhnya terutang atas penghasilan yang diterima pegawai yang bersangkutan sejak periode 1 Januari 2009 s.d. 31 Desember 2009.

Jadi penghitungan dan pelaporan PPh Pasal 21 untuk masa Desember 2009 ini sebenarnya mirip dengan penghitungan dan pelaporan PPh Pasal 21 yang dahulu kita lakukan ketika sedang mengisi dan melaporkan SPT Tahunan PPh Pasal 21.

Sejak tidak digunakan lagi pelaporan SPT Tahunan PPh Pasal 21, maka penghitungan rampung atas PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima oleh pegawai dilakukan pada bulan Desember. Sehingga dalam melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa Desember, ada formulir SPT tambahan yang perlu juga dilaporkan oleh Wajib Pajak. Pembahasan mengenai jenis-jenis formulir yang harus dilaporkan ini pernah dibahas oleh Penulis dan dapat dibaca di sini.

Namun untuk mempertegas dan mengingatkan kepada para Pembaca Setia Tax Learning, maka berikut Penulis sajikan lagi formulir SPT yang harus dibuat dan dilaporkan untuk masa Desember ini adalah:
- Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 (Formulir 1721) – Induk SPT
- Formulir 1721 – I. Sumber data untuk mengisi Formulir 1721 – I ini adalah berasal dari Formulir 1721-A1 atau 1721-A2, namun formulir 1721-A1 atau 1721-A2 ini hanya perlu diserahkan kepada masing-masing pegawai terkait tanpa perlu dilaporkan ke kantor pajak.

Sebagai tambahan:

Jika ada Pegawai Tetap yang keluar dan/atau masuk ke pemberi kerja dan/atau ada pegawai yang baru memiliki NPWP, maka pemberi kerja perlu juga melaporkan Formulir 1721 – II.

Sedangkan jika ada pegawai tidak tetap (sebagaimana yang disebutkan pada Bagian B angka 7 s.d. 19 Formulir 1721 dan Bagian C angka 29 dan 30) maka atas masing-masing pegawai tersebut harus dibuatkan serta dilampirkan dalam laporan SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember ini yaitu:
-Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Non Final)
-Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final)
-Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Non Final)
-Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final)

Maka diingatkan kepada seluruh Pembaca setia Tax Learning, agar janganlah sampai salah dalam melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 masa Desember 2009 yang paling lambat sudah harus dilaporkan pada tanggal 20 Januari 2010, sedangkan jika ada kekurangan bayar PPh-nya, sudah harus dilunasi paling lambat tanggal 11 Januari 2010.
Keterlambatan dalam menyampaikan SPT Masa ini akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 untuk 1 SPT.

catatan: aturan ini sudah berubah
copyright (c) syafrianto.blogspot.com 12012010