..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri PPh final 1% PP 46. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri PPh final 1% PP 46. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Agustus 2013

Aplikasi Ketentuan PPh Final 1 Persen untuk WP dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Besok, 15 Agustus 2013 adalah batas akhir pelunasan/penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013. Namun bagi sebagian Wajib Pajak, kewajiban penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013 ini telah mengalami perubahan perlakuan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sebagaimana kita ketahui ketentuan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tersebut mengatur Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak akan dikenakan PPh sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) yang bersifat final.

Dalam PP ini juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Namun yang menjadi permasalahannya, hingga hari ini, penulis masih belum memperoleh informasi apakah Peraturan Menteri Keuangan ini telah diterbitkan. Tentunya hal ini akan sangat menyulitkan bagi Wajib Pajak yang harus menerapkan ketentuan ini.

Beberapa hari terakhir, penulis banyak memperoleh pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini, namun apa daya, penulis masih belum memperoleh landasan hukum sebagai acuan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di lapangan tersebut.

Setoran PPh 1% Final

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang memenuhi kriteria sebagaimana yang pernah penulis bahas dalam artikel ini) dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet). Dalam Pasal 4 PP Nomor 46 Tahun 2013 ini ditegaskan bahwa dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Dalam penjelasan Pasal 4 ini ditegaskan bahwa penghitungan PPh final ini dilakukan setiap bulan. Artinya perlakuan penyetoran PPh final 1% ini dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai pengganti dari setoran PPh Pasal 25 yang selama ini telah mereka lakukan, sama halnya untuk ketentuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Jadi seandainya Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini dan selama ini menghitung PPh Orang Pribadi atau Badan dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh dan diangsur diawal setiap bulan melalui penyetoran PPh Pasal 25, maka sejak masa Juli 2013 harus menyetor PPh dengan tarif 1% dari omzet sebulan dan bersifat final.

Contoh: selama masa Juli 2013 Andi memperoleh penghasilan dari usaha dagang melalui tokonya di Mangga Dua dengan omzet sebesar Rp 120.000.000. Maka PPh yang bersifat final yang harus disetorkan untuk masa Juli 2013 adalah sebesar:
Rp 120.000.000 x 1% = Rp 1.200.000

Berdasarkan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa penyetoran PPh ini dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan mencantumkan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420.

Permasalahan:
Setelah penulis cek ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 untuk Kode Akun Pajak 411128 adalah merupakan setoran untuk jenis PPh Final namun untuk Kode Jenis Setoran 420, tidak tercantum dalam ketentuan tersebut.

Akibatnya ketika kita akan menyetorkan PPh final ini dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, pasti akan ditolak oleh pihak Bank Persepsi atau Kantor Pos penerima setoran pajak, karena kode tersebut tidak tercantum dalam sistem Modul Penerimaan Negara (MPN).

(*) Sebagai catatan, ternyata pihak Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 tanggal 2 Juli 2013 yang telah menambahkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, namun sepertinya pihak Bank Persepsi dan Kantor Pos sebagai penerima setoran atau pihak Ditjen Perbendaharaan belum mengupdate kode ini ke dalam sistem MPN sehingga ketika ada beberapa Wajib Pajak rekan penulis yang mencoba menyetorkan setoran pajak dengan kode akun pajak ini, ditolak oleh pihak Bank Persepsi. Jadi sebaiknya pihak Ditjen Pajak segera berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengecek apakah kode akun pajak yang baru ini sudah ter-update dalam sistem MPN.

Untuk Lampiran PER-24/PJ/2013 mengenai tabel baru Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dapat dibaca di sini.

Tanggal Jatuh Tempo Setor PPh Final

Sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaan yang menegaskan mengenai kapan batas waktu penyetoran PPh final 1% ini.

Namun apabila kita mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.02/2010 diatur bahwa untuk penyetoran jenis PPh yang harus dibayar sendiri (baik PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 25) harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi menurut penulis, maka penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu sebesar 1% yang bersifat final ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir karena PPh ini adalah termasuk jenis PPh yang harus dibayar sendiri.

Walaupun demikian, pihak Pemerintah tetap harus mengeluarkan dasar hukum mengenai batas akhir penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu ini.

Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu yang Sudah Terlanjur Setor PPh Pasal 25 Selama Setahun

Saat ini banyak kita temukan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan setoran PPh Pasal 25 yang dilakukan di awal untuk 12 bulan kemudian. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan dan sesuai ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.23/1989 tentang Penyetoran Dimuka PPh Pasal 25 Sekaligus Untuk Beberapa Bulan.

Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu dan mulai masa Juli 2013 harus menghitung PPh terutangnya menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini yang ternyata telah menyetorkan PPh Pasal 25 dari masa Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 tentu akan mengalami permasalahan. Karena ternyata PPh Pasal 25 yang sudah terlanjur disetorkan tersebut ternyata salah setor.

Sebenarnya solusi yang dapat dilakukan adalah Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan (Pbk) dari setoran PPh Pasal 25 yang telah disetorkan tersebut (salah setor) untuk dipindahkan sebagai setoran PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Tentunya hal ini akan menambah pekerjaan administratif baik bagi petugas pajak maupun Wajib Pajak.

Sebagai catatan, setelah penulis membuat tulisan ini, akhirnya pihak Direktorat Jenderal Pajak merilis peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini walaupun menurut penafsiran penulis, masih banyak hal dari praktek di lapangan yang belum diakomodasi dalam aturan pelaksana ini.

Artikel Terkait:
Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar
PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak dengan Omzet di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Kamis, 09 Oktober 2014

Penegasan Pelaksanaan Pengenaan PPh Final 1% bagi WP Tertentu sesuai PP 46 Tahun 2013 (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya, penulis telah membahas sebagian dari pokok-pokok penegasan Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 (sebagaimana yang diralat dengan SE-38/PJ/2014). Pada artikel berikut ini, adalah merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya sisa dari beberapa pokok penegasan lainnya.

3. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Badan atau Lembaga Nirlaba Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan

Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan perlakuannya adalah sebagai berikut.
  • Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut adalah bukan merupakan penghasilan yang bukan objek PPh.
  • Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana diuraikan di atas tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek PPh. Oleh sebab itu, perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan adalah mengacu kepada ketentuan tarif umum PPh.
4. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Reksa Dana

Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sesuai UU Pasar Modal.

Aliran penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa dana memenuhi kriteria PP 46 Tahun 2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai PPh yang bersifat final sesuai ketentuan PP 46 Tahun 2013.

5. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Bank/Bank Perkreditan Rakyat/Koperasi Simpan Pinjam/Lembaga Pemberi Dana Pinjaman

Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolehnya dikenai PPh bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
  • pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberi kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman,
  • penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, kecuali bagi Wajib pajak selain bank/bank perkreditan rakyat.
Dalam hal Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh.

6. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak OPPT)

Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolehnya dikenai PPh bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Bagi Wajib Pajak OPPT yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan PPh bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum UU PPh dan pembayaran angsuran PPh mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) UU PPh yaitu sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.

7. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai PPAT sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah:
  • mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
  • dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.
Perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT adalah mengacu pada ketentuan umum UU PPh yang dikenakan tarif PPh umum.

8. Penegasan Mengenai Ketentuan Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Sesuai Ketentuan PP 46 Tahun 2013

a. Ketentuan Penyetoran PPh

Wajib Pajak wajib menyetorkan PPh terutang ke kas negara melalui:
  • kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP;
  • Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu dimana Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaa Negara (NTPN) dalam bentuk cetakan struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP;
Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Contoh: untuk setoran PPh Final 1% masa pajak September 2014 disetorkan paling lambat tanggal 15 Oktober 2014.

b.Ketentuan Pelaporan SPT Masa

Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib menyampaikan SPT Masa PPh paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Contoh: untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) masa pajak September 2014 dilaporkan paling lambat tanggal 20 Oktober 2014.

Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran PPh final 1% dan telah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah menyampaikan/melaporkan SPT Masa PPh, dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang tercantum pada SSP atau cetakan struk ATM.

Wajib Pajak dengan jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini.

Ketentuan mengenai pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014, sehingga atas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa Juli s.d. Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000 untuk setiap masa pelaporan.

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Jumat, 03 Oktober 2014

Penegasan Pelaksanaan Pengenaan PPh Final 1% bagi WP Tertentu sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013

Walaupun telah lebih dari 1 tahun ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 diberlakukan, namun pada prakteknya masih ditemukan banyaknya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan ketentuan mengenai pengenaan PPh sebesar 1% dari Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 tanggal 17 September 2014 sebagaimana yang diralat dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ/2014 tanggal 22 Oktober 2014.

Beberapa hal yang ditegaskan dalam SE-32/PJ/2014 (sebagaimana yang diralat dengan SE-38/PJ/2014) sehubungan dengan pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:

1. Objek Pajak Penghasilan

Penghasilan yang dikenai PPh Final sebesar 1% berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:
  • penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013;
  • penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
  • penghasilan yang telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  • penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
2. Penentuan Saat Beroperasi Secara Normal

Penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali. Bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
  • jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan;
  • dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.

Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana disebutkan di paragraf sebelum ini, dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial ini melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan PPh berdasarkan tarif umum UU PPh berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.

Pengenaan PPh yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, untuk tahun selanjutnya ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

Contoh 1:
PT ABCD (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT ABCD dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan hingga 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada tahun 2015 adalah dengan memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Contoh 2:
PT CDE (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT CDE dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.

Contoh 3:
PT XYZ (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT XYZ dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Contoh 4:
PT KLM (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT KLM dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Bersambung ke Artikel Selanjutnya

Selasa, 27 Agustus 2013

Kriteria Wajib Pajak yang Memenuhi Ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 sebagai Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pengenaan PPh dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sejak 1 Juli 2013, maka seluruh Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang memenuhi ketentuan dalam peraturan ini sudah harus mengubah penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh atas penghasilan yang diterimanya. Apabila selama ini, penghasilan yang diterimanya adalah merupakan penghasilan yang harus dihitung dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh tarif Pasal 17 UU PPh, maka sejak 1 Juli 2013, Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memenuhi ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 harus mengubah penghitungan PPh atas penghasilannya menjadi dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran usaha bruto setiap bulannya.

Walaupun PP Nomor 46 Tahun 2013 telah berlaku hampir 2 (dua) bulan, namun prakteknya di lapangan masih banyak menimbulkan pertanyaan dari para Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan yang timbul seperti: apakah saya termasuk sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, sebagaimana yang diatur di PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Siapa sajakah Wajib Pajak yang berhak untuk menerapkan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% ini? Jika kita simak ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013, maka dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang harus menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini kriterianya adalah (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013):

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap); dan
  2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Jika menyimak aturan Pasal 2 ayat (2) pada kedua aturan ini, maka dapat kita lihat bahwa kedua persyaratan/kriteria tersebut harus terpenuhi seluruhnya dan bersifat kumulatif (karena dihubungkan dengan kata penghubung “dan”).

Pengecualian Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan Omzet Tidak Lebih dari Rp4,8 miliar

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan untuk menggunakan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) yang memiliki peredaran usaha (omzet) tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Namun demikian, tidak semua Wajib Pajak dengan Omzet di bawah Rp4,8 miliar otomatis memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dikenai PPh yang bersifat final 1% atas omzetnya. Pengecualiannya dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf b PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013. Disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Apa saja jenis penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yaitu:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Selain pengecualian di atas yang berlaku umum baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, masih ada pengecualian lagi khusus bagi:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau kasa dalam usahanya yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap), dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  2. Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial atau Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Wajib Pajak dengan Penghasilan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan ketentuan sebelumnya

Bagi Wajib Pajak yang atas penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang telah ada (misal penghasilan dari jasa konstruksi, penghasilan dari penyewaan tanah dan/atau bangunan) juga dikecualikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Simpulan

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib Pajak Orang Pribadi, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; atau
  2. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap); dan
  3. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak Badan, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  2. belum beroperasi secara komersial; atau
  3. dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Selain itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini juga tidak berlaku apabila Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perpajakan yang sebelumnya.

Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013 sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Minggu, 05 Februari 2017

Kriteria Wajib Pajak yang Dikenakan PPh Final 1% Dengan Omzet di Bawah Rp 4,8 Miliar

Sejak Juli 2013, Wajib Pajak (baik orang pribadi maupun badan) yang memiliki peredaran usaha tertentu (dengan kriteria tertentu) di bawah Rp 4,8 miliar setahun, atas penghasilan yang diterimanya tersebut dikenai PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto (omzet) yang diterima/diperoleh setiap bulannya dan bersifat final sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013.

Penentuan peredaran usaha bruto (omzet) setahun yang tidak boleh melebihi Rp 4,8 miliar adalah didasarkan pada omzet yang diterima/diperoleh selama setahun pada tahun pajak sebelumnya. Apabila dalam suatu tahun pajak, omzet yang diterima/diperoleh Wajib Pajak ini telah melebihi Rp 4,8 miliar, maka pada awal tahun pajak berikutnya Wajib Pajak akan dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU PPh.

Walaupun ketentuan ini sudah berlaku selama 3,5 tahun, namun kenyataannya di lapangan masih ditemukan banyaknya kesalahan penafsiran mengenai penentuan kapan Wajib Pajak akan dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 dan kapan dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh.

Terakhir ini penulis baru mendapatkan beberapa kejadian, dimana beberapa fiskus yang memberikan informasi kepada Wajib Pajak yang pada tahun pajak 2016 memenuhi ketentuan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 dan pada pertengahan tahun pajak 2016 omzetnya telah melampaui Rp 4,8 miliar dan meminta mereka untuk melakukan perhitungan kembali sejak Januari 2016 dengan menggunakan ketentuan Pasal 17 UU PPh (dan menyetorkan PPh Pasal 25) serta melakukan pemindahbukuan atas setoran PPh Final sebesar 1% yang telah dilakukannya sejak masa Januari 2016 menjadi setoran PPh Pasal 25. Penulis sangat menyayangkan adanya penafsiran yang salah atas perlakuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Jika kita cermati ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 menegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan badan yang menerima penghasilan dari usaha tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak. Pengenaan PPh ini ditentukan dari peredaran bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir.

Lebih lanjut pada Pasal 5 ditegaskan bahwa jika peredaran bruto kumulatif WP pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4,8 miliar dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai PPh tarif 1% sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak berikutnya dikenai PPh dengan tarif umum.

Sehingga berdasarkan penegasan pada kedua ayat ini, dapat kita lihat bahwa penafsiran fiskus yang disebutkan di atas tadi adalah salah. Walaupun pada pertengahan tahun pajak 2016, peredaran usaha bruto yang diperoleh Wajib Pajak melampaui Rp 4,8 miliar, namun karena pemenuhan kewajiban PPh pada tahun 2016 (berdasarkan omzet yang dicapai selama tahun pajak 2015 yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar), maka selama Januari 2016 sampai dengan Desember 2016 Wajib Pajak ini telah memenuhi ketentuan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2016 dan menyetorkan PPh sebesar 1% dari omzet.

Contoh:
Tahun buku PT A adalah Januari-Desember. PT A memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu. Omzet Januari 2015-Desember 2015 adalah sebesar Rp 4,5 miliar. Omzet Januari 2016 sebesar Rp 0,5 miliar. Maka akumulasi omzet untuk menentukan batasannya adalah dihitung dari akumulasi Januari 2015 s.d. Desember 2015. Dengan demikian maka selama Januari 2016 sampai dengan Desember 2016 PT A akan dikenakan PPh final sebesar 1% dari omzet.
Misalkan omzet selama Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 telah mencapai Rp 4,9 miliar. Maka hingga Desember 2016, PT A tetap menyetor PPh final 1% dari omzet. Barulah mulai Januari 2017, PT A dikenakan PPh dengan tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh sehingga harus menyetor PPh Pasal 25 setiap bulannya.

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Kamis, 27 Juni 2013

PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak Dengan Omzet Di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Pemerintah kembali mengeluarkan sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi para pelaku bisnis dengan skala kecil dan menengah. Kebijakan ini adalah perlakuan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha (omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar setahun. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Siapakah Wajib Pajak yang dimaksud dalam ketentuan ini yang berhak mendapatkan fasilitas ketentuan ini dan bagaimanakah pelaksanaannya? Dalam tulisan berikut, penulis akan mengupas isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Namun karena hingga tulisan ini dibuat, masih belum ada peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini (Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak), maka masih ada beberapa pelaksanaan teknis yang masih harus menunggu diterbitkannya peraturan pelaksananya. Ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini antara lain adalah:

Wajib Pajak Yang Dapat Menerapkan Ketentuan Ini

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang atas penghasilan dari usahanya dikenai PPh yang bersifat final adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:

  • Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap (BUT); dan
  • menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak.
  • Wajib Pajak yang dimaksud di atas yang tidak dapat menerapkan ketentuan ini adalah:
    Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
    1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
    2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

    Wajib Pajak Badan, adalah:
    1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
    2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000

    Tarif PPh dan Ketentuan Pengenaannya

    Besarnya tarif PPh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sebesar 1% dan bersifat final. Pengenaan PPh ini didasarkan pada peredara bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

    Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 dalam suatu Tahun Pajak, maka Wajib Pajak tetap dikenai tarif PPh final 1% ini sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Sedangkan untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya barulah dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang telah dikenai PPh yang bersifat final lainnya. (Misalnya untuk penghasilan dari jasa konstruksi tetap dikenakan tarif PPh final untuk jasa konstruksi sebesar 2% untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini hanya berlaku untuk penghasilan dari usaha sedangkan untuk penghasilan selain dari usaha tetap dikenakan tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Dasar Pengenan dan Perhitungan PPh

    Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah atas jumlah peredaran bruto setiap bulan.

    Pengenaan PPh dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.

    Kredit Pajak Luar Negeri

    Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan UU PPh dan aturan pelaksananya.

    Kompensasi Kerugian Fiskal

    Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan ketentuan ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan:

    1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun pajak; 
    2. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 tahun tersebut;
    3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

    Ketentuan Khusus Terkait Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan Pajak

    Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan PPh yang bersifat final ini adalah:

    1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 bulan;
    2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan ini di bulan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku
    3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan ini.
    Saat Berlakunya Ketentuan Ini

    Ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.

    Komentar Penulis

    Semoga Peraturan Menteri Keuangan terkait ketentuan ini segera terbit karena ketentuan ini akan berlaku dalam 3 hari lagi. Yang menjadi permasalahan adalah ketentuan ini berlaku di tengah tahun pajak sehingga untuk tahun pajak 2013 ini, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang memenuhi ketentuan ini harus menggunakan 2 metode dalam menghitung PPh yang terutang di tahun 2013, yaitu untuk masa Januari s.d. Juni 2013 yang masih menggunakan tarif PPh umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh, sedangkan sejak Juli s.d. Desember 2013 harus menggunakan tarif PPh yang bersifat final sebesar 1%. Tentunya hal ini cukup menyulitkan bagi Wajib Pajak.

    Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

    Jumat, 20 Desember 2013

    Konsultasi Pajak Gratis: Apakah Legalisasi Fotokopi SKB Dibuat Untuk Setiap Transaksi?

    Penulis menerima banyak sekali pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan PPh Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh rekan-rekan Account Representative mengenai apakah legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas dari Pemotongan PPh sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 harus diajukan untuk setiap transaksi atau diajukan sekali untuk seluruh transaksi yang dilakukan oleh setiap lawan transaksi selama setahun.

    Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyimak ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013. Dalam Pasal 7 ayat (1) PER-32/PJ/2013 ditegaskan bahwa pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Berdasarkan ketentuan yang diatur pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kategori sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang tidak bersifat final (seperti objek PPh Pasal 21, objek PPh Pasal 22 atau objek PPh Pasal 23) tidak akan dipotong dan/atau dipungut PPh atas penghasilannya tersebut oleh pemotong dan/atau pemungut pajak apabila telah diterima fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan.

    Sedangkan untuk tata cara pengajuan legalisasi SKB, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PER-32/PJ/2013. Namun jika kita cermati mengenai tata cara pemberian legalisasi SKB, tidak secara jelas disebutkan apakah pengajuan legalisasi ini harus diajukan untuk setiap transaksi yang dilakukan. Namun secara implisit dapat kita temukan mengenai pengajuan legalisasi ini harus dilakukan atas setiap transaksi yang menimbulkan pemotongan dan/atau pemungutan PPh kecuali untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22.

    Hal ini dapat kita temukan dalam persyaratan pengajuan legalisasi SKB yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, yang mengatur bahwa salah satu persyaratan pengajuan permohonan legalisasi SKB ini adalah menyerahkan bukti penyetoran PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa SSP lembar ke-3 yang telah divalidasi dengan NTPN, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 atas impor, pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas, pembelian hasil produksi industri semen, kertas, baja, otomotif dan farmasi.

    Jadi untuk dapat memperoleh legalisasi fotokopi SKB dari Kantor Pelayanan Pajak, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah telah melakukan pembayaran PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2)) atas transaksi yang menjadi objek pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak final. Dengan demikian secara implisit dapat kita simpulkan bahwa fotokopi SKB yang dilegalisasi harus diberikan untuk setiap transaksi.

    Analisis Penulis

    Apabila Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh yang tidak bersifat final (seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23), maka harus mengajukan permohonan SKB dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh untuk setiap jenis pajak yang berlaku untuk 1 tahun pajak. Untuk dapat mendapatkan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh maka Wajib Pajak harus menyerahkan fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. Legalisasi ini dapat diminta atas setiap transaksi dengan salah satu persyaratan adalah Wajib Pajak telah menyetorkan PPh Final 1% atas transaksi tersebut.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ditegaskan bahwa PPh Final sebesar 1% dari peredaran bruto setiap bulannya ini disetorkan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

    Dengan demikian, maka secara praktek, legalisasi SKB PPh ini baru dapat diminta pada bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi sepanjang PPh Final 1% pada masa pajak yang bersangkutan telah disetorkan. Padahal secara konsep, pihak pemberi penghasilan sudah harus melakukan pemotongan PPh dan membuatkan bukti pemotongan PPh atas setiap transaksi yang menjadi objek pemotongan PPh. Sehingga dalam praktek kemungkinan akan dijumpai kesulitan baik bagi pihak yang akan membayarkan penghasilan (pemotong pajak) dengan pihak yang menerima penghasilan, karena kewajiban pemotongan PPh dapat tertunda akibat belum diterimanya legalisasi SKB dan ini juga akan berdampak kepada pembayaran penghasilan yang akan dilakukan oleh pihak pemotong pajak, karena idealnya mereka harus memotong PPh dari total pembayaran yang akan dilakukan apabila pihak penerima penghasilan tidak dapat menunjukkan SKB Pemotongan PPh.

    Justru dari hal ini, terkesan bahwa ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini bukannya mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak justru mempersulit terutama dalam sisi administratif. Mungkin hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam memikirkan mekanisme yang dapat lebih mempermudah.

    Minggu, 24 Juni 2018

    Mulai Juli 2018 Tarif PPh Final UMKM Turun Jadi 0,5%

    Sebagaimana informasi yang sudah beredar bahwa tarif PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang bersifat final (yang selama ini diatur dengan PP Nomor 46 Tahun 2013) akan diturunkan dari tarif sebelumnya yaitu sebesar 1% menjadi 0,5%. Informasi ini menyebabkan banyak Wajib Pajak yang penasaran apakah aturannya sudah ada ataukah kapan ketentuan baru ini akan diberlakukan.

    Pada hari Jumat, 22 Juni 2018, resmilah ketentuan mengenai penurunan tarif PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu ini diumumkan. Adalah Presiden Joko Widodo sendiri yang merilis ketentuan baru tentang penurunan tarif PPh bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang biasanya dikenal juga sebagai PPh bagi UMKM. Secara resmi Presiden Joko Widodo meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu di JX International (Jatim Expo), Surabaya.

    PP Nomor 23 Tahun 2018 (yang ditandatangani tanggal 8 Juni 2018) sebagai aturan yang mengubah PP Nomor 46 Tahun 2013 mengenai PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu, secara garis besar mengatur beberapa hal, yaitu:

    Subjek Pajak
    1. Wajib Pajak orang pribadi; dan 
    2. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma atau perseroan terbatas,
    yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

    Batasan besarnya peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000 dalam 1 Tahun Pajak ini adalah merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terkahir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami isteri yang menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau isterinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan sendiri, maka besarnya peredaran bruto yang dimaksud ini ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan isteri.

    Subjek Pajak Yang Dikecualikan
    1. Wajib Pajak memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif umum/non final (yaitu sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU PPh);
    2. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 23 Tahun 2018 ini;
    3. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas PPh berdasarkan ketentuan Pasal 31A UU PPh (mendapatkan fasilitas tax holiday) atau PP Nomor 94 Tahun 2010; dan
    4. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT).
    Wajib Pajak yang dikecualikan untuk menggunakan tarif 0,5% sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak. Sehingga untuk Tahun Pajak - Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai PPh tarfi 0,5% sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini.

    Jangka Waktu Penerapan Tarif Sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018

    Jangka waktu tertentu pengenaan PPh yang bersifat final sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini paling lama adalah:
    1. 7 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
    2. 4 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
    3. 3 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
    Jangka waktu ini adalah terhitung sejak:
    1. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar sejak berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018 ini, atau
    2. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018 ini.

    Tarif PPh

    Tarif PPh Final untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu adalah sebesar 0,5% dari peredaran bruto atas penghasilan dari usaha setiap bulannya yang merupakan dasar pengenaan pajak.

    Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak ini adlaah merupakan imbalan atau nilai penggantian berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
    Bersambung ke Artikel berikutnya.
    (c) http://syafrianto.blogspot.com

    Download:
    Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018

    Rabu, 04 Januari 2023

    e-Form PDF SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 Belum Dukung Ketentuan Omzet PP 23 Yang Tidak Kena PPh 0,5%

    Ada ketentuan baru bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang biasanya dikenal sebagai Wajib Pajak UMKM) yang penghasilannya dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 0,5% dari Peredaran Bruto (omzet) setiap bulannya. Ketentuan baru yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2022 ini adalah ketentuan yang diatur pada Pasal 7 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).dan telah dipertegas pada Pasal 60 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022.

    Ketentuan baru ini adalah mulai Tahun Pajak 2022, Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu diberikan batasan peredaran bruto tertentu (omzet) sampai dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 Tahun Pajak yang tidak dikenai PPh final 0,5%.

    Sebagai contoh, perhitungan PPh bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki Peredaran Bruto tertentu mulai Tahun Pajak 2022 adalah sebagai berikut.
    Gambar 1

    Ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU HPP Belum Diakomodir Oleh e-Form SPT 1770 Tahun 2022

    Saat ini seluruh Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi secara online melalui e-Filing, diwajibkan untuk melaporkannya dengan menggunakan aplikasi e-Form. Aplikasi e-Form ini adalah suatu bentuk form elektronik berbentuk PDF (Portabel Document Format) yang dapat dijalankan dengan aplikasi Acrobat Reader.

    Untuk melaporkan SPT secara e-Filing, terlebih dahulu Wajib Pajak menginput laporan pajaknya secara offline ke dalam e-Form ini. Setelah selesai diinput semua, barulah dilaporkan (submit) secara online dengan mengklik tombol "submit" pada bagian form yang telah disediakan.

    Penulis mencoba untuk mengisi e-Form SPT 1770 Tahun 2022 terutama untuk menguji apakah e-Form ini telah menyediakan sarana untuk melaporkan penghasilan dari peredaran bruto tertentu diberikan batasan peredaran bruto tertentu (omzet) sampai dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 Tahun Pajak yang tidak dikenai PPh final 0,5% sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU HPP.
     
    Penulis mencoba e-Form 1770 Tahun Pajak 2022 yang diunduh (download) pada tanggal 4 Januari 2023. Rupanya pada halaman "Daftar Jumlah Penghasilan Bruto dan Pembayaran PPh Final Berdasarkan PP 46 Tahun 2013 dan atau PP 23 Tahun 2018 per Masa Pajak serta dari Masing-Masing Tempat Usaha" masih ada kolom (field) yang BELUM di-update sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU HPP. Yaitu pada kolom "Jumlah PPh Final Yang Dibayar".
    Gambar 2

    Kolom "Jumlah PPh Final Yang Dibayar" pada e-Form tersebut tampak berwarna kuning yang artinya kolom ini tidak dapat diinput manual, melainkan merupakan hasil dari formula matematis. Formula pada kolom ini adalah nilai pada kolom "Peredaran Usaha" dikalikan dengan 0,5%.

    Apabila kita lihat pada Gambar 1 di atas, maka tampak bahwa untuk Masa Januari, Februari dan Maret, Wajib Pajak ini masih belum dikenai PPh karena Peredaran Brutonya masih di bawah Rp 500 juta. Sedangkan pada Masa April, peredaran bruto yang dikenai PPh baru atas Rp 40 juta. Namun untuk pengisian pada e-Form 1770, tampak bahwa dari Masa Januari sampai dengan April, jumlah PPh yang disetor masih berupa nilai dari formula kolom Peredaran Bruto dikalikan dengan 0,5%, seperti tampak pada Gambar 3 di bawah ini.
    Gambar 3

    Penulis juga mencoba cara untuk mengatasi rumus yang belum update dengan menggunakan fasilitas impor dari file CSV. Namun tabel impor yang disiapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak hanya terdiri dari 4 kolom data (lihat Gambar 4), sedangkan untuk kolom "Jumlah PPh Final Yang Dibayar" tidak ada fasilitas untuk diimpor.
    Gambar 4


    Dengan demikian, e-Form SPT 1770 untuk Tahun Pajak 2022 ini masih belum di-update mengikuti ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU HPP untuk batasan omzet sampai dengan Rp 500 juta yang tidak dikenai PPh.

    Saran

    Mengingat bahwa mulai 1 Januari 2023, adalah masa di mana Wajib Pajak sudah harus mulai menjalankan rutinitas kweajibannya yaitu melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2022 hingga batas waktu 31 Maret 2023, maka Penulis mengharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat segera meng-update (memutakhirkan) e-Form 1770 ini, supaya Wajib Pajak dapat melaporkan SPT Tahunan PPh-nya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Sabtu, 13 Februari 2016

    Mengapa Jadi Susah Untuk Setor Pajak?

    Selama ini Direktorat Jenderal Pajak telah membuat berbagai kemudahan bagi Wajib Pajak dalam rangka menyetorkan pajaknya. Salah satu kemudahan adalah dengan membuat sistem penyetoran PPh Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 yang melalui ATM. Kemudahan untuk melakukan penyetoran pajak melalui ATM ini sudah dirasakan oleh para Wajib Pajak selama setahun belakangan ini. Mereka dapat melakukan penyetoran PPh Final 1%-nya melalui ATM beberapa bank dan dapat dilakukan dalam waktu 24 jam tanpa khawatir, jam pelayanan di bank telah berakhir.

    Namun sayangnya, kemudahan yang dirasakan oleh Wajib Pajak ini terusik lantaran dalam seminggu terakhir ini ketika sebagian Wajib Pajak yang akan menyetorkan pajaknya melalui ATM (terutama ATM BCA), ternyata sistem layanan ini tidak dapat digunakan. Akibat adanya gangguan ini, penulis menerima banyak pertanyaan dari para Wajib Pajak mengenai gangguan layanan ini. Penulis memperoleh informasi dari sebagian Wajib Pajak yang melakukan transaksi pembayaran pajak ini melalui ATM BCA di sejumlah tempat seperti di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Depok, Bogor, Cileungsi.

    Penasaran dengan hal ini, penulis pun mencoba sendiri untuk melakukan penyetoran PPh Final 1% ini melalui salah satu ATM BCA di daerah Depok. Ternyata memang benar setoran tersebut mengalami kendala dan pada tahap terakhir dari transaksi di ATM tersebut (yaitu validasi pembayaran untuk dicetakkan struk tanda penyetoran PPh final telah dilakukan) tidak dapat dilakukan. Pada layar ATM tertera pesan: "Maaf, transaksi Anda tidak dapat diproses"

    Dugaan penulis, kendala ini terjadi adalah karena koneksi ke server sistem MPN (Modul Penerimaan Negara) yang mengalami gangguan atau server down. Dugaan ini diperkuat karena penulis sudah mencoba menghubungi Halo BCA dan dijawab bahwa dalam sistem di BCA tidak mengalami kendala dan kemungkinan kendala ada di sistem MPN.

    Akibat bahwa batas waktu penyetoran PPh Final 1% untuk masa Januari 2016 adalah hingga hari Senin,15 Februari 2016, maka untuk membantu para Wajib Pajak yang akan menyetorkan pajaknya, penulis menyarankan agar mereka mencoba untuk menyetorkan pajaknya ini melalui teller bank atau kantor pos.

    Karena sejak 1 Januari 2016, Direktorat Jenderal Pajak telah mengumumkan bahwa penyetoran pajak melalui bank persepsi atau kantor pos sudah diwajibkan dengan menggunakan sistem e-billing, maka hampir semua bank sudah tidak bersedia menerima pembayaran pajak yang masih dilakukan secara manual menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Untuk itu, maka penulis menyarankan agar Wajib Pajak yang akan menyetor PPh Final 1% itu untuk terlebih dahulu mendaftarkan di situs https://sse.pajak.go.id (server e-Billing versi 1). Namun muncul lagi satu kendala, akibat mulai 16 Februari 2016 dimana Direktorat Jenderal Pajak akan memindahkan (migrasi) server e-Billing ini ke versi 2 di https://sse2.pajak.go.id, maka ketika mendaftarkan diri di server e-Billing versi 1 selalu error dan tidak dapat melanjutkan pendaftaran. Sedangkan apabila mendaftar di server e-Billing versi 2, maka dibutuhkan kode EFIN yang harus diperoleh dari Kantor
    Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar (harus meminta secara langsung ke KPP).

    Sangat disayangkan mengapa selama ini Direktorat Jenderal Pajak tidak mensosialisasikan secara penuh mengenai perubahan sistem ini. Bahkan mungkin belum dipikirkan kendala yang terjadi di lapangan ketika para Wajib Pajak yang telah memiliki ketaatan penuh untuk melakukan penyetoran pajak ternyata dihadapkan dengan kendala teknis yang menyebabkan tidak dapat membayar pajak. Walaupun sebenarnya kendala ini tidak seharusnya terjadi saat ini karena proses migrasi ke server kedua baru dilakukan tanggal 16 Februari 2016. Bahkan akibat rencana migrasi ini, kemungkinan server MPN yang terhubungan dengan sistem pembayaran di ATM juga sudah mengalami gangguan.

    Harapan penulis, semoga pihak berwenang di Direktorat Jenderal Pajak segera mengatasi kendala dan gangguan yang terjadi saat ini, supaya proses penyetoran pajak tidak akan terganggu atau bahkan terhenti, mengingat saat ini penerimaan pajak yang diperoleh dari para Wajib Pajak menjadi tulang punggung bagi pembiayaan APBN.

    Rabu, 11 September 2013

    Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

    Dengan berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013, maka bagi Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak, harus menghitung PPh terutangnya dengan menggunakan ketentuan ini. Artinya Wajib Pajak Badan yang memenuhi kriteria ini setiap bulannya menghitung dan menyetor PPh yang terutang atas penghasilannya sebesar 1% dari Peredaran Bruto selama satu bulan yang bersangkutan.

    Walau tampaknya sederhana, namun ternyata penafsiran PP Nomor 46 Tahun 2013 beserta aturan pelaksananya di lapangan ternyata berbeda-beda. Baru saja penulis mendapatkan informasi dan argumen dari beberapa rekan penulis yang telah mengikuti kegiatan sosialisasi tentang PP Nomor 46 Tahun 2013 yang diadakan oleh pihak DJP. Berdasarkan materi sosialisasi yang mereka dapatkan mereka menafsirkan bahwa Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak yang dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak perlu menyelenggarakan pembukuan melainkan hanya cukup membuat pencatatan seperti halnya Wajib Pajak Orang Pribadi.

    Terus terang, penulis sangat tidak setuju dengan statement yang disampaikan oleh rekan penulis ini. Karena ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban melakukan pembukuan diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) menyebutkan bahwa Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak mengatur ketentuan mengenai pembukuan.

    Walaupun ada argumen mengatakan bahwa pembukuan tidak wajib dibuat oleh Wajib Pajak Badan karena penghasilannya telah dikenakan PPh Final yang dihitung dari peredaran usaha, sehingga Wajib Pajak Badan cukup menyelenggarakan pencatatan atas peredaran usaha saja, namun menurut penulis pandangan ini adalah keliru.

    Karena walaupun penghitungan PPh atas penghasilan yang diperoleh cukup dihitung atas peredaran usaha, namun bagi Wajib Pajak Badan yang memenuhi kriteria sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tetap harus memiliki pembukuan yang dapat menggambarkan kegiatan usahanya untuk menyajikan transaksi-transaksi yang menjadi objek pemotongan dan pemungutan PPh (baik PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 15).

    Jadi sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.
    (c)http://syafrianto.blogspot.com

    Jumat, 04 Oktober 2013

    Cara Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan PPh untuk WP Kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013

    Menindaklanjuti ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 milyar setahun sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan untuk mendapatkan surat keterangan bebas (SKB) atas pemotongan PPh. Ketentuan yang mengatur mengenai cara pengajuan permohonan SKB adalah melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 tanggal 25 September 2013.

    Sebelumnya sudah ada aturan mengenai Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tentang tata cara pengajuan permohonan untuk mendapatkan SKB atas pemotongan PPh, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011. Walaupun telah diterbitkan PER-32/PJ/2013 ini, bukan berarti PER-1/PJ/2011 lantas dicabut, karena ketentuan tata cara pengajuan SKB berdasarkan PER-32/PJ/2013 ini hanya berlaku untuk Wajib Pajak yang memenuhi sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sebagaimana ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013.

    Berikut beberapa hal yang diatur dalam PER-32/PJ/2013 ini.

    Cara Pengajuan SKB

    (1)Mengajukan permohonan secara tertulis ke KPP tempat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, dengan syarat:

    1. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
    2. menyerahkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
    3. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
    4. permohonan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP. (2)Permohonan ini harus diajukan untuk setiap jenis pemotongan pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor dan/atau Pasal 23)
    Jangka waktu Proses SKB PPh
    5 (lima) hari sejak surat permohonan diterima lengkap

    Download:
    -Peraturan PER-32/PJ/2013
    -Lampiran Peraturan PER-32/PJ/2013
    -Template Bentuk Surat Permohonan SKB
    -Template Surat Pernyataan WP dengan Peredaran Bruto Tertentu
    -Template Surat Permohonan Legalisasi SKB
    (c)http://syafrianto.blogspot.com

    Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

    Kamis, 12 Maret 2015

    Panduan Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2014

    Tax Learning - 12 Maret 2015
    Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk tahun pajak 2014 sudah harus dilaporkan paling lambat hari Selasa tanggal 31 Maret 2015. Praktis tinggal 19 hari lagi dari hari ini. Saat ini sebagian besar Wajib Pajak Orang Pribadi tengah sibuk menyiapkan data-data terkait dengan penghasilan di tahun 2014 yang perlu dilaporkan. Sebenarnya rutinitas pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini sudah dilakukan setiap tahunnya. Namun karena adanya beberapa ketentuan baru, termasuk adanya perubahan bentuk formulir, maka tahun ini penulis banyak menerima pertanyaan dari para Pembaca mengenai bagaimana cara dan prosedur pelaporan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2014. Berikut ini penulis ulas salah satu pertanyaan yang diterima.

    Pertanyaan:
    saya punya usaha PKL bidang kuliner terdaftar dari juni 2014 sbg wajib pajak pph ps 25 op... blm menikah perbulan saya setor Rp.100.000 ... saya bingung mengisi form nya... saya sdh baca blog mas tapi tetep belm faham... mohon penjelasan

    Jawab:
    Untuk usaha yang Anda jalankan di bidang kuliner ini, Anda terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Apabila peredaran usaha bruto (omzet) yang Anda terima ini dalam setahun tidak melebihi Rp 4,8 milliar, maka Anda termasuk kategori sebagai Pengusaha yang memiliki peredaran bruto tertentu. Dengan demikian, maka seharusnya pajak yang Anda setorkan setiap bulannya adalah dihitung sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto yang Anda peroleh pada bulan yang bersangkutan (sesuai ketentuan PP No. 46 Tahun 2013). Jadi PPh yang Anda setorkan per bulan sebesar Rp 100.000 ini seharusnya tidak sesuai.

    Sebagai contoh, misalkan peredaran bruto yang Anda terima pada bulan Juni 2014 adalah sebesar Rp 45.530.000, maka PPh yang harus Anda setorkan ini adalah sebesar Rp 455.300. Demikian seterusnya untuk setiap bulannya hingga bulan Desember 2014. PPh ini disetorkan dengan menggunakan SSP dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420 (baca petunjuknya di sini). Apabila ternyata Anda salah menyetorkan PPh dan disetorkan sebagai PPh Pasal 25 (sebagaimana yang disebutkan di email yaitu sebesar Rp 100.000 setiap bulannya), maka Anda dapat mengajukan pemindahbukuan atas setoran yang salah tersebut ke setoran yang seharusnya (baca juga di artikel yang sama). Apabila terdapat kekurangan setor dari hasil pemindahbukuan tersebut, maka kekurangan setor tersebut harus Anda setorkan kembali.

    Kelak pada akhir tahun pajak, setoran PPh 1% menjadi final dan tidak perlu dihitung ulang lagi dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Formulir SPT yang Anda gunakan adalah Formulir 1770 (temukan formulirnya di sini yaitu di aturan PER-19/PJ/2014 Lampiran I). Anda cukup mengisikan penghasilan dari usaha kuliner dan PPh yang disetorkan selama 1 tahun pajak tersebut pada Formulir 1770 - III (Lampiran III) pada bagian A Nomor Urut 16 "Penghasilan Lain yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final". Pada kolom "Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto" diisikan dengan jumlah peredaran bruto yang diterima selama setahun (periode Januari s.d. Desember tahun pajak yang bersangkutan). Sedangkan pada kolom "PPh Terutang (Rupiah)" isikan dengan jumlah PPh yang telah disetorkan selama setahun tersebut yang nilainya adalah 1% dari kolom Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto". Selain itu, Anda juga perlu merinci peredaran bruto dan PPh 1% per bulan dalam lampiran tersendiri yang menjadi bagian dari Lampiran SPT ini.

    Apabila Anda tidak memiliki penghasilan lain, maka SPT Induk (form 1770 hanya perlu Anda isikan Identitas diri, PTKP dan jumlahnya (status TK/0 dengan nilai Rp 24.300.000), menyilang lampiran pilihan lampiran apa saja yang disertakan serta menandatangani SPT tersebut. Sedangkan apabila Anda memiliki penghasilan dari bunga deposito atau tabungan, maka isikan pada pada Formulir 1770 - III (Lampiran III) pada bagian A Nomor Urut 1.

    Kemudian isikan jumlah jenis dan jumlah harta yang Anda miliki per akhir tahun pajak serta hutang yang ada pada Formulir 1770 - IV (Lampiran IV) pada Bagian A dan Bagian B.

    Semoga penjelasan singkat ini dapat dipahami.

    Rabu, 13 Oktober 2010

    Konsultasi Pajak Gratis: Jawaban atas Beberapa Pertanyaan

    Akibat dari kesibukan yang dialami oleh pengelola blog Tax Learning selama beberapa waktu terakhir ini, mengakibatkan banyak sekali pertanyaan yang masuk (baik melalui email, maupun posting komentar) yang tidak sempat dijawab oleh penulis. Karena semakin banyak pertanyaan yang tertumpuk, mengakibatkan penulis kesulitan dalam membuka arsip pertanyaan lama. Akibatnya tentulah banyak pertanyaan dari Pembaca Setia Tax Learning yang tidak mendapatkan respon dari penulis. Tentunya ini menimbulkan kekecewaan bagi para Pembaca Setia Tax Learning.

    Untuk itulah, pada saat ini penulis menyampaikan permintaan maaf atas keterbatasan dari Penulis ini. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sumber daya manusia (karena blog ini dikelola sendiri oleh penulis), serta keterbatasan sumber dana (sehingga hingga saat ini masih menggunakan hosting gratis di blogspot) sehingga manajemen database untuk merespon pertanyaan yang masuk sangat sulit. Namun penulis bertekad, akan terus mengembangkan blog ini (terutama jika sumber dana dari iklan mencukupi, dan ini sangat diperlukan bantuan dari para Pembaca Setia Tax Learning dalam mengunjungi blog ini dan juga mengunjungi para sponsor blog ini). Saat ini penulis berkonsentrasi untuk dapat menjawab seluruh pertanyaan dari para Pembaca Setia Tax Learning.

    Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Pembaca Setia Tax Learning.

    1. Pencabutan NPWP Wajib Pajak Meninggal Yang Meninggalkan Warisan

    Pertanyaan:
    Numpang tanya, Ibu saya memiliki usaha toko meninggal dunia pada September 2009. Saya disarankan untuk tetap membayarkan pph pasal 25 ibu saya sampai akhir thn pajak, jd saya bayar sampai Desember 2009. Desember 2009 saya mengajukan permohonan penutupan NPWP Ibu saya krn meninggal dunia. Maret 2010 saya dihubungi petugas KPP lokasi (tempat ibu saya buka toko), petugasnya meminta copy NPWP saya dan copy Akte Waris. Saya keberatan NPWP saya dikaitkan dengan Ibu saya terutama kalau Penghapusan NPWP beliau belum selesai. Saudara2 keberatan memberikan copy Akte Waris krn tidak ada hubungannya dengan permohonan penutupan.

    Herannya petugas KPP domisili tidak menghubungi saya sama sekali. Pertanyaan saya, apakah copy NPWP saya dan copy Akte Waris benar diperlukan untuk penutupan NPWP Ibu saya di KPP lokasi? Terima kasih atas bantuannya.
    Dari Ina Junita, April 8, 2010 8:15 PM

    Jawab:
    Dalam proses pencabutan NPWP atas orang yang telah meninggal dunia, apabila pemilik NPWP yang meninggal tersebut tidak memiliki harta warisan, maka NPWP dapat langsung dicabut. Namun apabila pemilik NPWP yang meninggal tersebut memiliki harta warisan, maka harta warisan ini harus diwariskan terlebih dahulu kepada para ahli warisnya (secara legal umumnya ini dibuktikan akta waris). Kemudian para ahli waris yang menerima harta dan penghasilan dari warisan ini haruslah telah memiliki NPWP dan kelak melaporkan penghasilan dan harta yang diterima dari warisan ini.
    Apabila harta milik orang yang meninggal tersebut masih belum terbagikan, maka dalam istilah perpajakan disebut sebagai ”warisan belum terbagi” dan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh, warisan belum terbagi ini dianggap sebagai subjek pajak dan tetap harus menjalankan ”kewajiban pajaknya”. Jadi dalam hal ini apa yang dilakukan oleh petugas KPP Lokasi telah sesuai ketentuan.
    Mengenai pertanyaan Anda bahwa pihak KPP domisili tidak pernah menghubungi Anda, ini adalah karena Anda tidak mengajukan pencabutan NPWP ke KPP domisili, namun pencabutan ini diajukan ke KPP lokasi, sehingga pihak KPP lokasi yang harus memverifikasi Anda. Yang perlu Anda perhatikan adalah bahwa pihak KPP lokasi yang memverifikasi Anda tersebut harus menjalankan tugasnya sesuai dengan kewenangannya, dan Anda juga memiliki hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU KUP.

    2. Saat Penerbitan Faktur Pajak

    Pertanyaan:
    Saya menerbitkan faktur pajak biasanya setiap awal bulan, tapi didalam keterangan untuk barang kena pajak pemakaian bulan sebelumnya. Apakah faktur pajak kami tersebut cacat. Contoh faktur pajak tgl 1 Mei, untuk pemakaian jasa bulan April. Tq
    Dari Mery, April 24, 2010 2:46 PM

    Jawab:
    Kalau saya analisis dari pernyataan Anda ini, maka Faktur Pajak yang Anda terbitkan ini harus kita bagi menjadi 2 periode:
    1) Periode transaksi sebelum 1 April 2010 (sesuai UU Nomor 18 Tahun 2000)
    Untuk periode ini, ketentuan penerbitan Faktur Pajak adalah: harus diterbitkan pada tanggal transaksi dan paling lambat dapat diterbitkan adalah pada akhir bulan berikutnya setelah bulan transaksi tersebut, kecuali jika didahului dengan pembayaran uang, maka Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal pembayaran tersebut dilakukan.
    Contoh:
    Transaksi penyerahan jasa (pemakaian jasa) dilakukan pada tanggal 1 Januari 2010, apabila sampai dengan tanggal 28 Februari 2010 (akhir bulan berikutnya) belum ada pembayaran uang atas jasa tersebut, maka Faktur Pajak dapat dibuat untuk tanggal 1 Januari 2010 s.d. tanggal 28 Februari 2010 (paling lambat).
    Namun apabila ternyata pada tanggal 20 Januari 2010 telah terjadi pembayaran uang tunai maka Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 20 Januari 2010.

    2) Periode transaksi mulai 1 April 2010 s.d. sekarang (sesuai UU Nomor 42 Tahun 2009)
    Untuk periode ini, ketentuan penerbitan Faktur Pajak adalah: harus dibuat pada tanggal transaksi dilakukan atau apabila ada pembayaran uang muka, maka Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal dibayarnya uang muka tersebut.
    Contoh:
    Transaksi penyerahan jasa (pemakaian jasa) dilakukan pada tanggal 5 April 2010, pembayaran uang atas jasa tersebut baru dilakukan pada tanggal 1 Mei 2010, maka Faktur Pajak harus dibuat tanggal 5 April 2010.
    Namun apabila ternyata pada tanggal 1 April 2010 telah terjadi pembayaran uang muka, maka Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 April 2010 untuk pembayaran uang muka tersebut.

    Jadi apabila Faktur Pajak untuk transaksi pada kedua periode tersebut diterbitkan melampaui waktu sebagaimana penulis jelaskan di atas, maka Faktur Pajak tersebut akan dianggap cacat (tidak memenuhi syarat formal dan material).

    3. PPh Atas Usaha Jasa Konstruksi

    Pertanyaan:
    Mohon bantuannya...
    Saya punya Usaha Konstruksi dalam bentuk CV. yang bergerak dalam bidang General Trading & Contractor.
    Dari Nilai PO (Jasa + Material), apakah betul saya dikenakan Potongan PPh 4 Ayat 2 Final atas Penghasilan yang diterima?
    DPP pada PPh 4 Ayat 2 Final meliputi Jasa Konstruksi saja ataukah Jasa + Material?
    Pada PO tidak dipisahkan antara Jasa & Material. Bagaimana sebaiknya, apakah harus dipisahkan?
    Berapa Tarif yang dikenakan pada Penghasilan CV. saya, apabila CV. saya belum mempunyai SIUJK?
    Apakah betul DPP pada PPh 4 Ayat 2 Final adalah sama dengan DPP pada PPN?
    Pada PO tercantum Pembayaran sebanyak 4x, D/P 30%, Termin I 30%, Termin II 35%, Termin III 5%. Pada Faktur Pajak (PPN) Kolom BKP/JKP, saya tulis Uang Muka sebesar 30% atas Pengadaan CME & Instalasinya. Apakah betul kalimat yang saya tulis tersebut? Apakah jumlah Prosentase Pembayaran perlu dicantumkan atau tidak?
    Mohon Penjelasannya, karena saya masih baru.
    Terima kasih...
    Dari: tanpa nama, May 31, 2010 12:10 PM

    Jawab:
    Ketentuan mengenai penghasilan dari usaha jasa konstruksi saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009.
    Pada Pasal 5 ayat (2) PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 ditegaskan bahwa besarnya PPh yang dipotong adalah atas jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN. Pada ayat (3) dijelaskan bahwa jumlah pembayaran atau penerimaan pembayaran ini adalah merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi. Jadi, besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang adalah atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sesuai nilai kontrak tidak termasuk PPN, berarti baik atas nilai jasa maupun materialnya. Nilai ini adalah juga sebagai nilai DPP PPN.
    Mengenai pertanyaan tentang pencantuman uraian pada pembuatan PO (dan mungkin juga untuk penerbitan Faktur Pajak), apa yang Anda tulisakan sebagai ”uang muka...” itu telah benar. Akan lebih baik lagi jika Anda cantumkan persentase pembayarannya, walaupun bila tidak dicantumkan juga tidak berpengaruh, karena telah didukung oleh kontrak kerja.

    4. Kewajiban Pajak Orang Pribadi Sebagai Karyawan

    Pertanyaan:
    mau tanya dong.. saya kan karyawan belum tetap tapi sudah diminta untuk buat NPWP. dan akhirnya saya buat melalui e-reg, tapi saya masih bingung dimana setahu saya, pajak karyawan itu PPH Pasal 21.
    tapi waktu saya isi form, saya memilih pilihan “karyawan yg tidak melakukan pekerjaan bebas” apakah itu benar cocok dengan saya yg merupakan karyawan dari sebuah perusahaan swasta? bagaimana ya perhitungan pajaknya? terima kasih sebelumnya..
    Dari: Anastasia Vinera, June 7, 2010 1:59 PM

    Jawab:
    Pilihan pada saat Anda melakukan pendaftaran NPWP sesuai dengan status Anda sebagai karyawan telah benar, yaitu: “karyawan yg tidak melakukan pekerjaan bebas”.
    Namun sebagaimana perlu Anda pahami, bahwa kewajiban yang timbul setelah memiliki NPWP adalah kewajiban pajak orang pribadi. Kewajiban dari seorang Wajib Pajak yang statusnya orang pribadi adalah:
    - melakukan kewajiban pelaporan PPh Pasal 25 setiap bulannya (kewajiban ini hanya diwajibkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan usaha dan pekerjaan bebas, sedangkan untuk Anda sebagai karyawan, kewajiban ini tidak perlu).
    -melakukan kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi setahun sekali (kewajiban inilah yang harus Anda penuhi), serta melakukan penyetoran PPh Pasal 29 atas kekurangan bayar PPh selama setahun hasil dari perhitungan kembali dalam SPT Tahunan tersebut (hal ini dimungkinkan terjadi apabila Anda juga memperoleh penghasilan lain-lain di luar gaji dan imbalan sebagai karyawan, yang belum atau kurang dipotong pajak).
    Sedangkan kewajiban PPh Pasal 21 itu, adalah kewajiban melakukan pemotongan pajak yang harus dilakukan oleh pemberi kerja ketika ia melakukan pembayaran biaya gaji dan imbalan sehubungan dengan mempekerjakan karyawan. Jadi ketika Anda bekerja sebagai karyawan, maka ketika Anda menerima gaji dari majikan Anda (perusahaan), maka majikan Anda tersebut harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 ini bukanlah kewajiban Anda, tapi kewajiban majikan Anda untuk memotong pajak atas gaji yang Anda terima.
    Bagi Anda, potongan PPh Pasal 21 ini yang dapat diperhitungkan dengan pajak yang terutang kelak (sebagai pengurang/kredit pajak) pada saat Anda menghitung dan membuat SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Apabila penghasilan Anda hanya dari pekerjaan di perusahaan ini, maka besarnya PPh atas gaji Anda yang Anda hitung dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi akan sama besarnya dengan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh perusahaan, sehingga sering orang rancu dan menyamakan antara PPh Pasal 21 dengan PPh Orang Pribadi.

    5. Pengukuhan Sebagai Pengusaha Kena Pajak

    Pertanyaan:
    untuk melakukan pengukuhan sebagai pkp, apa saja hal-hal yang diperlukan?
    jika perusahaan saat ini sudah berjalan cukup lama (belum menjadi pkp) dan ingin menjadi pkp...namun terdapat perubahan dalam permodalan (modal kerja dll) apakah bisa? (dengan menggunakan identitas perusahaan sebelumnya)...mempertimbangkan pelaporan pajak sebelum menjadi pkp.
    jika perusahaan tidak memiliki laporan rinci setiap transaksi - penerimaan netto secara akutansi, adakah metode lain yang disarankan oleh perpajakan?
    terima kasih
    Dari: tanpa nama, October 5, 2010 10:04 PM

    Jawab:
    Apabila perubahan modal kerja tersebut tidak mengakibatkan perubahan Nama perusahaan, maka Anda cukup melaporkan perubahan permodalan ini pada saat melaporkan SPT Tahunan PPh Badan. Namun apabila perubahan ini mengakibatkan adanya perubahan nama perusahaan, maka atas perubahan ini Anda harus melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan Anda ini terdaftar untuk meng-update identitas Wajib Pajak dengan melampirkan bukti-bukti perubahan (Akta perubahan dan sejenisnya).