Penulis menerima banyak sekali pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan PPh Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh rekan-rekan Account Representative mengenai apakah legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas dari Pemotongan PPh sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 harus diajukan untuk setiap transaksi atau diajukan sekali untuk seluruh transaksi yang dilakukan oleh setiap lawan transaksi selama setahun.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyimak ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013. Dalam Pasal 7 ayat (1) PER-32/PJ/2013 ditegaskan bahwa pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Berdasarkan ketentuan yang diatur pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kategori sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang tidak bersifat final (seperti objek PPh Pasal 21, objek PPh Pasal 22 atau objek PPh Pasal 23) tidak akan dipotong dan/atau dipungut PPh atas penghasilannya tersebut oleh pemotong dan/atau pemungut pajak apabila telah diterima fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan.
Sedangkan untuk tata cara pengajuan legalisasi SKB, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PER-32/PJ/2013. Namun jika kita cermati mengenai tata cara pemberian legalisasi SKB, tidak secara jelas disebutkan apakah pengajuan legalisasi ini harus diajukan untuk setiap transaksi yang dilakukan. Namun secara implisit dapat kita temukan mengenai pengajuan legalisasi ini harus dilakukan atas setiap transaksi yang menimbulkan pemotongan dan/atau pemungutan PPh kecuali untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22.
Hal ini dapat kita temukan dalam persyaratan pengajuan legalisasi SKB yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, yang mengatur bahwa salah satu persyaratan pengajuan permohonan legalisasi SKB ini adalah menyerahkan bukti penyetoran PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa SSP lembar ke-3 yang telah divalidasi dengan NTPN, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 atas impor, pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas, pembelian hasil produksi industri semen, kertas, baja, otomotif dan farmasi.
Jadi untuk dapat memperoleh legalisasi fotokopi SKB dari Kantor Pelayanan Pajak, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah telah melakukan pembayaran PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2)) atas transaksi yang menjadi objek pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak final. Dengan demikian secara implisit dapat kita simpulkan bahwa fotokopi SKB yang dilegalisasi harus diberikan untuk setiap transaksi.
Analisis Penulis
Apabila Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh yang tidak bersifat final (seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23), maka harus mengajukan permohonan SKB dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh untuk setiap jenis pajak yang berlaku untuk 1 tahun pajak. Untuk dapat mendapatkan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh maka Wajib Pajak harus menyerahkan fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. Legalisasi ini dapat diminta atas setiap transaksi dengan salah satu persyaratan adalah Wajib Pajak telah menyetorkan PPh Final 1% atas transaksi tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ditegaskan bahwa PPh Final sebesar 1% dari peredaran bruto setiap bulannya ini disetorkan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dengan demikian, maka secara praktek, legalisasi SKB PPh ini baru dapat diminta pada bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi sepanjang PPh Final 1% pada masa pajak yang bersangkutan telah disetorkan. Padahal secara konsep, pihak pemberi penghasilan sudah harus melakukan pemotongan PPh dan membuatkan bukti pemotongan PPh atas setiap transaksi yang menjadi objek pemotongan PPh. Sehingga dalam praktek kemungkinan akan dijumpai kesulitan baik bagi pihak yang akan membayarkan penghasilan (pemotong pajak) dengan pihak yang menerima penghasilan, karena kewajiban pemotongan PPh dapat tertunda akibat belum diterimanya legalisasi SKB dan ini juga akan berdampak kepada pembayaran penghasilan yang akan dilakukan oleh pihak pemotong pajak, karena idealnya mereka harus memotong PPh dari total pembayaran yang akan dilakukan apabila pihak penerima penghasilan tidak dapat menunjukkan SKB Pemotongan PPh.
Justru dari hal ini, terkesan bahwa ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini bukannya mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak justru mempersulit terutama dalam sisi administratif. Mungkin hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam memikirkan mekanisme yang dapat lebih mempermudah.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyimak ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013. Dalam Pasal 7 ayat (1) PER-32/PJ/2013 ditegaskan bahwa pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Berdasarkan ketentuan yang diatur pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kategori sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang tidak bersifat final (seperti objek PPh Pasal 21, objek PPh Pasal 22 atau objek PPh Pasal 23) tidak akan dipotong dan/atau dipungut PPh atas penghasilannya tersebut oleh pemotong dan/atau pemungut pajak apabila telah diterima fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan.
Sedangkan untuk tata cara pengajuan legalisasi SKB, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PER-32/PJ/2013. Namun jika kita cermati mengenai tata cara pemberian legalisasi SKB, tidak secara jelas disebutkan apakah pengajuan legalisasi ini harus diajukan untuk setiap transaksi yang dilakukan. Namun secara implisit dapat kita temukan mengenai pengajuan legalisasi ini harus dilakukan atas setiap transaksi yang menimbulkan pemotongan dan/atau pemungutan PPh kecuali untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22.
Hal ini dapat kita temukan dalam persyaratan pengajuan legalisasi SKB yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, yang mengatur bahwa salah satu persyaratan pengajuan permohonan legalisasi SKB ini adalah menyerahkan bukti penyetoran PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa SSP lembar ke-3 yang telah divalidasi dengan NTPN, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 atas impor, pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas, pembelian hasil produksi industri semen, kertas, baja, otomotif dan farmasi.
Jadi untuk dapat memperoleh legalisasi fotokopi SKB dari Kantor Pelayanan Pajak, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah telah melakukan pembayaran PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2)) atas transaksi yang menjadi objek pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak final. Dengan demikian secara implisit dapat kita simpulkan bahwa fotokopi SKB yang dilegalisasi harus diberikan untuk setiap transaksi.
Analisis Penulis
Apabila Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh yang tidak bersifat final (seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23), maka harus mengajukan permohonan SKB dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh untuk setiap jenis pajak yang berlaku untuk 1 tahun pajak. Untuk dapat mendapatkan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh maka Wajib Pajak harus menyerahkan fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. Legalisasi ini dapat diminta atas setiap transaksi dengan salah satu persyaratan adalah Wajib Pajak telah menyetorkan PPh Final 1% atas transaksi tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ditegaskan bahwa PPh Final sebesar 1% dari peredaran bruto setiap bulannya ini disetorkan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dengan demikian, maka secara praktek, legalisasi SKB PPh ini baru dapat diminta pada bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi sepanjang PPh Final 1% pada masa pajak yang bersangkutan telah disetorkan. Padahal secara konsep, pihak pemberi penghasilan sudah harus melakukan pemotongan PPh dan membuatkan bukti pemotongan PPh atas setiap transaksi yang menjadi objek pemotongan PPh. Sehingga dalam praktek kemungkinan akan dijumpai kesulitan baik bagi pihak yang akan membayarkan penghasilan (pemotong pajak) dengan pihak yang menerima penghasilan, karena kewajiban pemotongan PPh dapat tertunda akibat belum diterimanya legalisasi SKB dan ini juga akan berdampak kepada pembayaran penghasilan yang akan dilakukan oleh pihak pemotong pajak, karena idealnya mereka harus memotong PPh dari total pembayaran yang akan dilakukan apabila pihak penerima penghasilan tidak dapat menunjukkan SKB Pemotongan PPh.
Justru dari hal ini, terkesan bahwa ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini bukannya mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak justru mempersulit terutama dalam sisi administratif. Mungkin hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam memikirkan mekanisme yang dapat lebih mempermudah.
7 Comments
waah.. dibuatkan tulisan... makasih banyak pak..
dear Pak Anto,
Apakah Pph psl.22 import bisa di PBK? Kami bingung karena impor kami tidak bisa di proses PIB oleh DHL meskipun ijin impor kami lengkap dengan alasan sepanjang berat barang kurang dari 100kg maka akan dilakukan proses PIBK bukan PIB , sehingga SKB pph psl.22 impor kami diabaikan oleh DHL, akibatnya nanti kami akan selalu LB pph psl.22 impor.
Supaya tidak LB, apakah kami bisa melakukan impor borongan yg semua pajak sudah dibayar forwarder (bayar jasa customs misal 5kg x Rp 100000 tanpa BM,PPH22 DAN PPN IMPOR) bisa menjadi alternative lain?
Sebenarnya kami lebih memilih impor resmi karena semua persyaratan impor kami lengkap. Hanya pihak ke-3 yg tidak mau repot dengan aturan pajak.
Mohon saran supaya kami tidak LB, dan tidak menyalahi aturan pajak dan bea cukai
Terimakasih
Dona Jakarta
Menjawab pertanyaan Bu Dona:
PPh Pasal 22 Impor tidak dapat di-Pbk, sebagai solusinya atas PPh Pasal 22 yang telah dipungut ini dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak yang bersangkutan.
Solusi yang paling tepat, adalah meminta pihak forwarder Anda untuk menerapkan ketentuan perpajakan dan kepabean sesuai ketentuan yang berlaku dan mempertimbangkan SKB yang telah diperoleh dari pihak kantor pelayanan pajak.
dear Pak Anto,
Terimakasih atas sarannya, namun pihak DHL tetap ngotot dengan alasan orang bea cukai lah kata DHL yg tidak mau proses PIB, namun kami penasaran apa iya orang bea cukai tidak mau proses PIB dengan SKB, kami tanya ke courier sejenis ternyata SKB bisa digunakan dan proses PIB adalah hak pemilik barang berapapun beratnya sepanjang persyaratan ijin import lengkap.
Demikian informasi yang kami dapatkan, semoga SDM bangsa kita tidak bekerja menurut kemauannya sendiri.
best regards,
Dona
Bu Dona,
Memang benar, apabila importir telah memiliki SKB dan berlaku sesuai ketentuan, maka pihak Ditjen Bea dan Cukai tidak dapat menolak untuk tidak memproses pembebasan PPh Pasal 22 impor berdasarkan SKB yang dimiliki importir tersebut. Sebaiknya Anda perlu berkoordinasi dengan pihak forwarder Anda.
Dear Pak Anto
apakah surat SKB pph 22 bisa buat transaksi tidak beraturan dalam pengadaan import untk bayar PIB?
misalnya SKB bulan juli 2019 di pakai untuk transaksi PIB tapi untuk bulan agustus tidak dipakai dan bulan selanjutnya dipakai lagi
mohon saran supaya kami tidak kurang bayar pph 29 di akhir tahun ,
terima kasih
Aman
Menjawab pertanyaan dari Unknown pada tanggal 15 Juli 2019:
Untuk proses mendapatkan pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 22 impor, terlebih dahulu Wajib Pajak mengajukan permohonan ke KPP terdaftar. Permohonan yang disetujui oleh KPP ini biasanya berlaku untuk 1 tahun takwim berjalan. Jadi misalkan mengajukan permohonan di bulan Juli 2019 dan disetujui, maka pembebasan pemotongan yang diterima oleh Wajib Pajak adalah hingga 31 Desember 2019. Persetujuan ini dituangkan dalam Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 Impor.
Setiap kali melakukan impor, maka Wajib Pajak wajib memberikan fotokopi SKB PPh Pasal 22 Impor yang telah dilegalisasi oleh KPP terdaftar kepada Pabean (kantor Pelayanan Bea dan Cukai tempat barang impor tersebut masuk ke dalam daerah pabean), untuk mendapatkan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor. Apabila Wajib Pajak tidak menyerahkan SKB PPh Pasal 22 Impor ini, maka atas impornya tetap akan dikenakan pemungutan PPh Pasal 22.
Jadi sangat dimungkinkan apabila Wajib Pajak telah memiliki SKB PPh Pasal 22 Impor, namun karena tidak menyerahkan SKB PPh Pasal 22 Impor ini pada saat proses clearance barang impor di pabean (daerah penimbunan barang impor sebelum diperbolehkan masuk ke wilayah pabean Indonesia), maka Wajib Pajak ini tetap akan dipungut PPh Pasal 22 Impor.
Posting Komentar