Tax Learning - 12 Maret 2015
Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk tahun pajak 2014 sudah harus dilaporkan paling lambat hari Selasa tanggal 31 Maret 2015. Praktis tinggal 19 hari lagi dari hari ini. Saat ini sebagian besar Wajib Pajak Orang Pribadi tengah sibuk menyiapkan data-data terkait dengan penghasilan di tahun 2014 yang perlu dilaporkan. Sebenarnya rutinitas pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini sudah dilakukan setiap tahunnya. Namun karena adanya beberapa ketentuan baru, termasuk adanya perubahan bentuk formulir, maka tahun ini penulis banyak menerima pertanyaan dari para Pembaca mengenai bagaimana cara dan prosedur pelaporan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2014. Berikut ini penulis ulas salah satu pertanyaan yang diterima.
Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk tahun pajak 2014 sudah harus dilaporkan paling lambat hari Selasa tanggal 31 Maret 2015. Praktis tinggal 19 hari lagi dari hari ini. Saat ini sebagian besar Wajib Pajak Orang Pribadi tengah sibuk menyiapkan data-data terkait dengan penghasilan di tahun 2014 yang perlu dilaporkan. Sebenarnya rutinitas pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini sudah dilakukan setiap tahunnya. Namun karena adanya beberapa ketentuan baru, termasuk adanya perubahan bentuk formulir, maka tahun ini penulis banyak menerima pertanyaan dari para Pembaca mengenai bagaimana cara dan prosedur pelaporan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2014. Berikut ini penulis ulas salah satu pertanyaan yang diterima.
Pertanyaan:
saya punya usaha PKL bidang kuliner terdaftar dari juni 2014 sbg wajib
pajak pph ps 25 op... blm menikah perbulan saya setor Rp.100.000 ...
saya bingung mengisi form nya... saya sdh baca blog mas tapi tetep belm
faham... mohon penjelasan
Jawab:
Untuk usaha yang Anda jalankan di bidang
kuliner ini, Anda terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Apabila
peredaran usaha bruto (omzet) yang Anda terima ini dalam setahun tidak
melebihi Rp 4,8 milliar, maka Anda termasuk kategori sebagai Pengusaha
yang memiliki peredaran bruto tertentu. Dengan demikian, maka seharusnya
pajak yang Anda setorkan setiap bulannya adalah dihitung sebesar 1%
dari jumlah peredaran bruto yang Anda peroleh pada bulan yang
bersangkutan (sesuai ketentuan PP No. 46 Tahun 2013). Jadi PPh yang Anda setorkan per bulan sebesar Rp 100.000 ini seharusnya tidak sesuai.
Sebagai contoh, misalkan peredaran bruto yang Anda terima pada bulan Juni 2014 adalah sebesar Rp 45.530.000, maka PPh yang harus Anda setorkan ini adalah sebesar Rp 455.300. Demikian seterusnya untuk setiap bulannya hingga bulan Desember 2014. PPh ini disetorkan dengan menggunakan SSP dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420 (baca petunjuknya di sini). Apabila ternyata Anda salah menyetorkan PPh dan disetorkan sebagai PPh Pasal 25 (sebagaimana yang disebutkan di email yaitu sebesar Rp 100.000 setiap bulannya), maka Anda dapat mengajukan pemindahbukuan atas setoran yang salah tersebut ke setoran yang seharusnya (baca juga di artikel yang sama). Apabila terdapat kekurangan setor dari hasil pemindahbukuan tersebut, maka kekurangan setor tersebut harus Anda setorkan kembali.
Kelak pada akhir tahun pajak, setoran PPh 1% menjadi final dan tidak perlu dihitung ulang lagi dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Formulir SPT yang Anda gunakan adalah Formulir 1770 (temukan formulirnya di sini yaitu di aturan PER-19/PJ/2014 Lampiran I). Anda cukup mengisikan penghasilan dari usaha kuliner dan PPh yang disetorkan selama 1 tahun pajak tersebut pada Formulir 1770 - III (Lampiran III) pada bagian A Nomor Urut 16 "Penghasilan Lain yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final". Pada kolom "Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto" diisikan dengan jumlah peredaran bruto yang diterima selama setahun (periode Januari s.d. Desember tahun pajak yang bersangkutan). Sedangkan pada kolom "PPh Terutang (Rupiah)" isikan dengan jumlah PPh yang telah disetorkan selama setahun tersebut yang nilainya adalah 1% dari kolom Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto". Selain itu, Anda juga perlu merinci peredaran bruto dan PPh 1% per bulan dalam lampiran tersendiri yang menjadi bagian dari Lampiran SPT ini.
Apabila Anda tidak memiliki penghasilan lain, maka SPT Induk (form 1770 hanya perlu Anda isikan Identitas diri, PTKP dan jumlahnya (status TK/0 dengan nilai Rp 24.300.000), menyilang lampiran pilihan lampiran apa saja yang disertakan serta menandatangani SPT tersebut. Sedangkan apabila Anda memiliki penghasilan dari bunga deposito atau tabungan, maka isikan pada pada Formulir 1770 - III (Lampiran III) pada bagian A Nomor Urut 1.
Kemudian isikan jumlah jenis dan jumlah harta yang Anda miliki per akhir tahun pajak serta hutang yang ada pada Formulir 1770 - IV (Lampiran IV) pada Bagian A dan Bagian B.
Semoga penjelasan singkat ini dapat dipahami.
Sebagai contoh, misalkan peredaran bruto yang Anda terima pada bulan Juni 2014 adalah sebesar Rp 45.530.000, maka PPh yang harus Anda setorkan ini adalah sebesar Rp 455.300. Demikian seterusnya untuk setiap bulannya hingga bulan Desember 2014. PPh ini disetorkan dengan menggunakan SSP dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420 (baca petunjuknya di sini). Apabila ternyata Anda salah menyetorkan PPh dan disetorkan sebagai PPh Pasal 25 (sebagaimana yang disebutkan di email yaitu sebesar Rp 100.000 setiap bulannya), maka Anda dapat mengajukan pemindahbukuan atas setoran yang salah tersebut ke setoran yang seharusnya (baca juga di artikel yang sama). Apabila terdapat kekurangan setor dari hasil pemindahbukuan tersebut, maka kekurangan setor tersebut harus Anda setorkan kembali.
Kelak pada akhir tahun pajak, setoran PPh 1% menjadi final dan tidak perlu dihitung ulang lagi dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Formulir SPT yang Anda gunakan adalah Formulir 1770 (temukan formulirnya di sini yaitu di aturan PER-19/PJ/2014 Lampiran I). Anda cukup mengisikan penghasilan dari usaha kuliner dan PPh yang disetorkan selama 1 tahun pajak tersebut pada Formulir 1770 - III (Lampiran III) pada bagian A Nomor Urut 16 "Penghasilan Lain yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final". Pada kolom "Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto" diisikan dengan jumlah peredaran bruto yang diterima selama setahun (periode Januari s.d. Desember tahun pajak yang bersangkutan). Sedangkan pada kolom "PPh Terutang (Rupiah)" isikan dengan jumlah PPh yang telah disetorkan selama setahun tersebut yang nilainya adalah 1% dari kolom Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto". Selain itu, Anda juga perlu merinci peredaran bruto dan PPh 1% per bulan dalam lampiran tersendiri yang menjadi bagian dari Lampiran SPT ini.
Apabila Anda tidak memiliki penghasilan lain, maka SPT Induk (form 1770 hanya perlu Anda isikan Identitas diri, PTKP dan jumlahnya (status TK/0 dengan nilai Rp 24.300.000), menyilang lampiran pilihan lampiran apa saja yang disertakan serta menandatangani SPT tersebut. Sedangkan apabila Anda memiliki penghasilan dari bunga deposito atau tabungan, maka isikan pada pada Formulir 1770 - III (Lampiran III) pada bagian A Nomor Urut 1.
Kemudian isikan jumlah jenis dan jumlah harta yang Anda miliki per akhir tahun pajak serta hutang yang ada pada Formulir 1770 - IV (Lampiran IV) pada Bagian A dan Bagian B.
Semoga penjelasan singkat ini dapat dipahami.
4 Comments
selamat sore, sehubung dengan pemotongan pajak pasal 23 dimana telah dipotong pajak pph bln januari dimasukan kerekening titipan diambil dananya bulan maret utk disetor data ssp tersilang bulan januari untuk hal itu saya mohon petunjuk guna pelaporan SPT Pasal 23
selamat sore ini mau konsultasi sedikit soal pajak pasal 23
masalah saya disini pajak pph pasal 23 suda dipotong bulan januari dimasukan kerekening titipan bulan maret saya narik(ambil) dan disetor Kebank persepsi dimana ssp saya saya silang masa pajak januari dan saya setor bulan maret untuk itu saya mohon petunjuk sehingga saya bisa melaporkan SPT Pasal 23 ini terimakasih.
Selamat siang
Saya tahu PP 46 tahun 2013, ditkenakan pukul rata yaitu pph 1 % dari omset usaha dari yang margin laba tipis sampai margin laba super tinggi..
Apabila omset usaha dlm 1 tahun mencapai Rp 800.000.000 dengan keuntungan bersih Rp 600.000.000 ( maaf jenis barang sedikit monopoli dan untung besar). Dengan gaya hidup super hemat dari WPOP hanya Rp 40.000.000 pertahun,
Otomatis kenaikkan harta neto sekitar Rp 560,000,000 pertahun
Kalau PELAPORAN HARTA di SPT tahunan meningkat sedemikian rupa (besar) dalam beberapa tahun saja sudah mencapai millyaran. Tentu tampak tidak wajar padahal kondisi usahanya memang begitu (margin tinggi).
Itu harus jadi bagaimana ya pak ? , Saya jadi bingung untuk pelaporan HARTA di SPT.tahunan.
mohon bantuannya. Maksud nya setidaknya tampak proporsional antara penghasilan, pajak yang di bayar,
konsumsi wajib pajak dan sisanya yang lari untuk investasi (kenaikkan nilai harta WP di SPT). Terima kasih pak
Menjawab pertanyaan Sdr Hizkia Kinan:
Atas penyetoran PPh Pasal 23 yang telah dipotong pada bulan Januari dan pada SSP juga telah disilang untuk setoran masa Januari, namun baru disetorkan pada bulan Maret; sesuai ketentuan PPh yang telah dipotong atas transaksi bulan Januari tersebut memang harus disetorkan untuk masa pajak yang sama yaitu Januari juga. Dalam ketentuan UU KUP, ditegaskan bahwa penyetoran PPh Pasal 23 disetorkan paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh. Berarti atas transaksi yang telah dipotong PPh Pasal 23 untuk masa Januari ini harus disetorkan paling lambat tanggal 10 Februari. Karena Anda baru menyetorkan pada bulan Maret, maka Anda akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan setor sebesar 2% per bulan dari keterlambatan tersebut. Apabila PPh Pasal 23 ini baru disetorkan sampai dengan tanggal 10 Maret, maka bunganya sebesar 2% dikalikan 1 bulan. Apabila disetorkan setelah tanggal 10 Maret sampai dengan 10 April, maka dikenakan bunga 2% dikalikan 2 bulan.
Bunga ini akan ditagihkan oleh petugas kantor pelayanan pajak melalui Surat Tagihan Pajak (STP) yang akan dikirimkan ke Anda. Kelak Anda baru setorkan setelah mendapatkan STP ini.
Menjawab pertanyaan mengenai pelaporan harta bagi WP OP yang dikenakan PPh sesuai PP No. 46 Tahun 2013, sebenarnya peningatan harta dari WP ini tidak terkait langsung dengan jumlah PPh yang disetorkan. Untuk menentukan pertambahan harta, maka harus dihitung berapa penghasilan bersih yang diterimanya. Penghasilan bersih ini adalah dihitung dari besarnya omzet usaha yang diperolehnya selama setahun dikurangi dengan biaya-biaya sesungguhnya yang telah dikeluarkan yang terkait dengan usaha. Penghasilan bersih inilah yang merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh si WP yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk investasi (menambah harta WP).
Dengan demikian, maka mungkin saja WP OP yang memperoleh omzet yang sama yaitu misal sebesar Rp 800.000.000, namun karena karakteristik usahanya yang berbeda (yang satu memperoleh margin besar dan yang satunya margin kecil), walaupun PPh final (1% dari omzet yang disetorkan) adalah sama besar, namun kenaikan harta netonya akan berbeda, belum lagi faktor gaya hidup yang juga akan mempengaruhi kenaikan harta neto WP.
Oleh sebab itu, dalam meneliti kewajaran kenaikan harta seorang Wajib Pajak, seorang petugas pajak selalu melakukan analisis dengan berbagai macam pendekatan. Artikel mengenai analisis kewajaran pelaporan SPT ini, pernah penulis ulas di artikel berikut ini.
Posting Komentar