..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PPh. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Juni 2016

Penghasilan Tidak Kena Pajak tahun 2016

Pemerintah kembali menetapkan kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang berlaku mulai Januari 2016, sehingga besarnya PTKP untuk tahun 2016 adalah menjadi sebagai berikut:
  1. Diri WP Orang Pribadi: Rp 54.000.000 (di tahun 2015 sebesar Rp 36.000.000)
  2. Tambahan untuk WP Kawin: Rp 4.500.000 (di tahun 2015 sebesar Rp 3.000.000)
  3. Tambahan untuk isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami: Rp 54.000.000 (di tahun 2015 sebesar Rp 36.000.000)
  4. Tambahan untuk setiap tanggungan, maks 3 orang @: Rp 4.500.000 (di tahun 2015 sebesar Rp 3.000.000)
Berikut ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan terkait dengan PTKP 2016 ini.
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 tanggal 22 Juni 2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tanggal 22 Juni 2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak


Sabtu, 25 Juni 2016

PTKP Tahun 2016 Naik Jadi Rp 54 Juta

Pemerintah kembali menetapkan kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang berlaku mulai Januari 2016. Besarnya PTKP yang ditetapkan untuk tahun pajak 2016 ini naik sebesar 50% dibandingkan dengan besaran PTKP yang berlaku sejak Januari 2016. Walaupun kenaikan PTKP baru yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang telah ditandatangani dan diumumkan melalui Siaran Pers Kementerian Keuangan Nomor 31/KLI/2016 tanggal 24 Juni 2016, namun PTKP baru ini berlaku surut sejak Januari 2016.

Berikut adalah besaran PTKP untuk tahun 2016:
  1. Diri WP Orang Pribadi: Rp 54.000.000 (di tahun 2015 sebesar Rp 36.000.000)
  2. Tambahan untuk WP Kawin: Rp 4.500.000 (di tahun 2015 sebesar Rp 3.000.000)
  3. Tambahan untuk isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami: Rp 54.000.000 (di tahun 2015 sebesar Rp 36.000.000)
  4. Tambahan untuk setiap tanggungan, maks 3 orang @: Rp 4.500.000 (di tahun 2015 sebesar Rp 3.000.000)
Seperti halnya dengan pemberlakuan PTKP di tahun 2015 yang berlaku surut, maka untuk PTKP tahun 2016 ini juga berlaku surut mulai Januari 2016.

Oleh sebab itu, maka Wajib Pajak yang memiliki kewajiban melakukan pemotongan PPh Pasal 21, harus melakukan penghitungan ulang PPh Pasal 21 atas setiap penghasilan yang diterima oleh pekerjanya yang dilakukan mulai masa pajak Januari 2016, serta melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 mulai Januari 2016.

Apabila ternyata dari pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 tersebut menimbulkan kelebihan pembayaran PPh Pasal 21, maka atas kelebihan pembayaran tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.

Artikel Terkait:
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk Tahun 2015

Kamis, 17 September 2015

Rasio Utang dan Modal (Debt to Equity Ratio) Yang Diperkenankan oleh Pajak

Setelah sekian lama wacana dari Pemerintah yang akan membatasi mengenai rasio antara Utang terhadap Modal atau dalam istilah akuntansi dikenal dengan istilah "Debt to Equity Ratio", akhirnya Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tanggal 9 September 2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan.

Dasar hukum dari ketentuan ini adalah mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU PPh.

Wajib Pajak Yang Diatur Dalam Ketentuan Ini

Wajib Pajak yang diatur dan wajib mengikuti ketentuan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal sebagaimana diatur dalam peraturan ini adalah bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham.

Utang

Utang yang ditentukan dalam Peraturan ini adalah saldo rata-rata utang pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
  1. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
  2. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
Saldo utang yang dimaksud di atas meliputi saldo utang jangka panjang maupun saldo utang jangka pendek termasuk saldo utang dagang yang dibebani bunga.

Modal

Modal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
  1. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
  2. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
Saldo modal ini meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Besaran Nilai Rasio Utang dan Modal

Besarnya perbandingan antara utang dan modal yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah sebesar empat dibanding satu (4:1).

Dikecualikan dari ketentuan untuk memiliki perbandingan utang dan modal ini adalah bagi:
  1. Wajib Pajak bank;
  2. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
  3. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
  4. Wajib Pajak di bidang pertambangan migas, umum dan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang dalam kontraknya mengatur secara khusus tentang batasan utang dan modal ini;
  5. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai PPh final; dan
  6. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
Wajib Pajak dengan Rasio Utang dan Modal Yang Melebihi

Apabila besarnya rasio antara utang dan modal Wajib Pajak melebihi besarnya perbandingan yang ditetapkan dalam peraturan ini, maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan besarnya perbandingan yang telah ditetapkan ini.

Biaya pinjaman yang dimaksud ini adalah biaya yang ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan peminjaman dana yang meliputi:
  1. bunga pinjaman;
  2. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
  3. biaya tambahan yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
  4. beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
  5. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
  6. selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing.
Besarnya biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh.

Jika Wajib Pajak memiliki utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, disamping harus memenuhi ketentuan di atas, juga harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh.

Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.

Kewajiban Menyampaikan Laporan Utang

Dalam peraturan ini juga diatur mengenai kewajiban bagi Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan besarnya utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.

Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan mengenai utang swasta luar negeri ini, maka atas biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak.

Tata cara pelaporan utang swasta luar negeri ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Saat Berlaku Ketentuan Ini

Saat berlakunya ketentuan ini adalah sejak Tahun Pajak 2016.

Senin, 03 Agustus 2015

Perubahan Ketentuan Jenis Jasa Lain Yang Menjadi Objek Pemotongan PPh Pasal 23

Jenis jasa lainnya yang merupakan objek Pemotongan PPh sebagaimana yang diatur pada Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan. Selama ini, ketentuan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai jenis jasa lainnya ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008.

Pada tanggal 24 Juli 2015 Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 yang mengatur mengenai jenis jasa lainnya ini dan menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 ini kembali menetapkan beberapa jenis jasa lainnya yang pada aturan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 telah dinyatakan bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 ditetapkan mulai berlaku setelah 30 hari terhitung sejak tanggal diundangkannya (diundangkan pada tanggal 27 Juli 2015).

Kamis, 09 Juli 2015

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk Tahun 2015

Seiring kenaikan harga untuk kebutuhan hidup yang dalam beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, maka untuk mengimbangi biaya hidup yang terus meningkat ini Pemerintah (dalam hal ini Menteri Keuangan) melakukan penyesuaian dengan menaikkan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penyesuaian ini dituangkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sekaligus mengubah ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012.

Penyesuaian PTKP ini sebelumnya juga telah mendapatkan persetujuan dalam pertemuan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 25 Juni 2015.

Besarnya PTKP yang akan berlaku untuk tahun pajak 2015 disesuaikan menjadi sebagai berikut:
  1. Untuk diri Wajib Pajak sebesar Rp 36.000.000 (sebelumnya sebesar Rp 24.300.000);
  2. Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin sebesar Rp 3.000.000 (sebelumnya sebesar Rp 2.025.000;
  3. Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebesar Rp 36.000.000 (sebelumnya Rp 24.300.000);
  4. Tambahan untuk anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya sebesar Rp 3.000.000 untuk setiap anggota keluarga, maksimal 3 orang (sebelumnya Rp 2.025.000).
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian besarnya PTKP ini mulai berlaku pada Tahun Pajak 2015. Sedangkan ketentuan yang diperlukan mengenai tata cara penghitungan besarnya PTKP untuk Wajib Pajak orang pribadi diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(c) syafrianto.blogspot.com

Kamis, 25 Juni 2015

DPR Menyetujui PTKP Naik Menjadi Rp 36 Juta Per Tahun

Komisi XI DPR RI telah menyetujui usulan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro untuk menaikkan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi sebesar Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah) dari sebelumnya yang sebesar Rp 24.300.000 untuk status Tidak Kawin (TK) tanpa tanggungan anggota keluarga. Informasi ini penulis peroleh dari berita yang beredar yang mengutip pernyataan dari Ketua Komisi XI Fadel Muhammad.

Dengan disetujuinya usulan ini, maka Menteri Keuangan akan segera menyiapkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai perubahan PTKP ini. Menurut informasi yang diperoleh, Menteri Keuangan menegaskan bahwa peraturan mengenai kenaikan PTKP ini akan diberlakukan mulai 1 Juli 2015. Sehingga per 1 Juli 2015, bagi perusahaan maupun pemberi kerja sebagai pemotong PPh Pasal 21, akan memotong gaji karyawan yang dibayarkannya tersebut dengan PTKP yang baru ini.

Mari kita nantikan ketentuan yang akan diterbitkan ini. Namun yang menjadi perhatian penulis, adalah apabila PTKP ini diterapkan hanya untuk setengah tahun, maka tentunya akan menimbulkan kesulitan bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam menghitung PPh yang terutang untuk pribadinya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, karena harus menghitung menggunakan 2 nilai PTKP yang berbeda. Selain itu, apakah besaran PTKP yang baru ini tetap dihitung berdasarkan keadaan status Wajib Pajak per 1 Januari 2015 atau keadaan status Wajib Pajak per 1 Juli 2015.

Semoga ketentuan mengenai PTKP serta petunjuk teknis penghitungannya akan jelas dan memudahkan bagi Wajib Pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajaknya. Kita nantikan saja.

Selasa, 16 Juni 2015

Tarif PPh Pasal 22 Impor Naik Jadi 10% Untuk Barang Tertentu

Pemerintah kembali mengubah ketentuan mengenai pengenaan PPh Pasal 22 atas impor barang yaitu dengan menaikkan tarif PPh Pasal 22 impor atas beberapa jenis barang sehingga tarifnya menjadi 10% dari nilai impor. Perubahan ketentuan mengenai pengenaan PPh Pasal 22 atas impor barang ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.010/2015 tanggal 8 Juni 2015 yang merupakan perubahan yang keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010.

Dalam ketentuan ini, ada perubahan tarif pemungutan PPh Pasal 22 impor terhadap beberapa jenis kegiatan impor barang sehingga tarif selengkapnya menjadi:
  1. Barang tertentu (sebagaimana tercantum di Lampiran I), PPh Pasal 22 impor adalah 10% dari nilai impor;
  2. Barang tertentu lainnya (sebagaimana tercantum di Lampiran II), PPh Pasal 22 impor adalah 7,5% dari nilai impor;
  3. Selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya, PPh Pasal 22 impornya bagi yang menggunakan API adalah sebesar 2,5% dari nilai impor, kecuali impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% dari nilai impor;
  4. Selain barang tertentu dan barang tertentu lainnya, PPh Pasal 22 impornya bagi yang tidak menggunakan API adalah sebesar 7,5% dari nilai impor; dan/atau
  5. barang yang tidak dikuasai adalah sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Beberapa barang yang atas impornya dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 10% sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.010/2015 adalah:
  1. parfum dan cairan pewangi
  2. pakaian dan aksesori pakaian dari karet divulkasinasi
  3. peti, kopor, tas perempuan, tas eksekutif, tas kantor, tas sekolah, dompet kacamata, tas teropong, tas kamera, tas peralatan musik, kopor senjata, sarung pistol dan kemasan semacamnya, tas travel, tas makanan/minuman, tas rias, ransel, dompet, tempat botol, kotak perhiasan, tempat pisau dan sejenisnya.
  4. pakaian dan aksesori pakaian dari kulit samak atau kulit komposisi
  5. pakaian, aksesori pakaian dan barang lainnya dari kulit berbulu
  6. karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, rajutan, sudah jadi maupun belum jadi,
  7. karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, tenunan
  8. garmen dibuat dari kain rajutan, pakaian selam
  9. alas kaki
  10. batu monumen dan batu bangunan seperti marmer, granit
  11. bak cuci, wastafel, alas baskom cuci, bak mandi, kloset, tangki air pembilasan, tempat kencing, dan perlengkapan saniter sejenis dari keramik
  12. barang dari jenis kaca untuk meja, dapur, toilet, kantor, dekorasi ruangan dan sejenisnya
  13. barang hasil tempaan pandai emas atau perak dan barang lainnya dari logam mulia
  14. barang dari mutiara alam atau mutiara budidaya, batu mulia atau batu semi mulia
  15. tungku, kompor, alat masak, panggangan besar, anglo, gelang gas, piring pemanas dan peralatan rumah tangga tanpa listrik
  16. mesin pengatur suhu udara
  17. lemari pendingin, lemari pembeku, pompa panas
  18. perlengkapan mesin, pabrik atau laboratorium
  19. mesin cuci tipe rumah tangga atau binatu, termasuk mesin yang dapat digunakan untuk mencuci dan mengeringkan.
  20. pemanas air instan atau pemanas air dengan tempat penyimpanan dan pemanas celup, listrik
  21. aparatus perekam atau pereproduksi video, digabung dengan video tuner maupun tidak
  22. aparatus transmisi untuk penyiaran radio atau televisi digabung dengan aparatus penerima atau dengan aparatus perekam suara maupun tidak, kamera televisi, kamera digital dan kamera perekam video
  23. monitor dan proyektor, tidak digabung dengan aparatus penerima televisi, aparatus penerima untuk televisi, digabung dengan penerima siaran radio atau aparatus perekam atau pereproduksi suara atau video, maupun tidak.
  24. yacht dan kendaraan air lainnya untuk pelesir atau olah raga, sampan dan kano
  25. kacamata, kacamata pelindung dan sejenisnya, korektif, protektif atau lainnya
  26. arloji tangan, arloji saku dan lainnya dengan badan arloji dari logam mulia
  27. jam dengan penggerak jam
  28. jam panel instrumen dan jam tipe semacam untuk kendaraan darat, kendaraan udara, kendaraan luar angkasa dan kendaraan air.
  29. jam lainnya
  30. piano, parpsichord, dan instrumen keyboard bersenar lainnya
  31. instrumen musik dengan suara yang dihasilkan atau diperkuat, secara elektrik (seperti organ, gitar, akordeon)
  32. tempat duduk yang dapat diubah menjadi tempat tidur maupun tidak dan bagiannya
  33. perabotan lainnya
  34. alas kasur, barang keperluan tidur dan perabotan sejenis
  35. lampu dan alat kelengkapan penerangan
  36. barang untuk perlengkapan latihan fisik, gimnastik, atletik, olahraga
  37. tongkat golf dan perlengkapan golf lainnya
  38. joran, mata kail, penggulung tali pancing
Ketentuan ini berlaku setelah 60 hari terhitung sejak tanggal diundangkan (diundangkan tanggal 9 Juni 2015).

Senin, 09 Maret 2015

Penjualan Tanah dan/atau Bangunan Masih Status PPJB Kena PPh Tarif Umum atas Capital Gain

Tahun 2013 dan 2014 Direktorat Jenderal Pajak gencar dalam menggali potensi pajak yang berasal dari transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan. Mulanya program penggalian potensi pajak ini ditujukan kepada para perusahaan pengembang (developer) perumahan. Program penggalian potensi pajak ini dilakukan karena adanya indikasi bahwa adanya potensi pajak yang hilang dari sektor usaha bisnis properti ini.

Dari hasil penggalian potensi pajak ini, ditemukan adanya transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan (properti) yang baru sampai pada tahap terjadinya perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah dan/atau bangunan antara pihak pengembang dengan pihak pembeli (dalam hal ini penulis sebut sebagai pihak pembeli pertama) namun oleh pihak pembeli pertama, properti ini sudah langsung dijualkan kepada pihak pembeli kedua. Kelak pada saat pembuatan Akta Jual Beli (AJB), transaksi yang tercantum dalam akta ini adalah merupakan transaksi pengalihan hak (penjualan) atas properti dari pihak pengembang kepada pihak pembeli kedua tanpa mencantumkan transaksi yang terjadi dengan pihak pembeli pertama.

Umumnya pihak Notaris yang membuat Akta Jual Beli ini, hanya dapat melakukan pengawasan dengan meminta pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada pihak Developer atas pengalihan (penjualan) properti ini kepada pihak pembeli kedua. Sedangkan transaksi sebenarnya pengalihan properti dari pihak Pembeli pertama ke pihak pembeli kedua justru tidak terdeteksi sehingga potensi PPh yang seharusnya diterima oleh negara menjadi hilang.

Perlakuan PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Sebelum AJB

Akibat adanya kejadian pembeli properti yang belum melakukan proses AJB namun sudah menjual kembali properti yang dibelinya tersebut kepada pembeli lain, yang dimana kejadian ini sulit untuk diawasi, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak segera mengeluarkan surat penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2014 tanggal 14 Agustus 2014 tentang Pengawasan atas Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Melalui Jual Beli.

Tujuan dari penetapan surat edaran ini adalah untuk memberikan acuan dan pedoman dalam rangka pengawasan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang dilakukan oleh Wajib Pajak pemegang hak atas tanah yang belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli sehingga terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.

Penegasan Pengenaan PPh Tidak Final Atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Dalam SE-30/PJ/2014 ini, Direktur Jenderal Pajak menegaskan mengenai perlakuan pengenaan PPh atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh baru melalui PPJB dan belum dilakukan penandatanganan AJB yaitu: Dalam hal sebelum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli antara penjual dengan pembeli terjadi perubahan nama pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka atas penghasilan dari perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pembeli yang semula namanya tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, merupakan penghasilan berupa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak pembeli yang semula namanya tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Sebagai contoh kasus, dalam SE-30/PJ/2014 ini diilustrasikan sebagai berikut:

Odik Wijaya membeli 1 unit rumah dari developer PT Bali Griya Persada seharga Rp500.000.000,00 secara tunai. Antara PT Bali Griya Persada dengan Odik Wijaya belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), karena sertifikat rumah tersebut masih dalam proses pemecahan sehingga dilakukan terlebih dahulu dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara PT Bali Griya Persada sebagai penjual dan Odik Wijaya sebagai pembeli. Sertifikat rumah tersebut masih atas nama PT Bali Griya Persada. Sebelum dilakukan AJB antara PT Bali Griya Persada dengan Odik Wijaya, rumah tersebut oleh Odik Wijaya dijual kepada Indra Adi, sehingga akibat transaksi tersebut nama penjual dan pembeli yang tercantum dalam PPJB rumah tersebut menjadi PT Bali Griya Persada sebagai penjual dan Indra Adi sebagai pembeli.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh Odik Wijaya dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan berupa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang PPh yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang PPh dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh.

Jadi dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa atas transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih dalam bentuk PPJB dan belum dilakukan penandatanganan AJB, maka akan dikenakan PPh dengan tarif Pasal 17 (tidak final) atas selisih keuntungan dari penjualan tanah dan/atau bangunan tersebut (capital gain). Penjualan tanah dan/atau bangunan yang belum ditandatangani AJB ini bukan lagi merupakan objek PPh Final sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.

Komentar atas Penegasan ini

Definisi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 adalah:
  1. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
  2. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
  3. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus perikatan jual beli memang secara legal belum ada pengalihan hak atas suatu tanah dan/atau bangunan dari penjual kepada pembeli. Namun biasanya dalam praktek, pembeli yang membeli suatu unit properti ke pengembang, diawali dengan suatu perikatan jual beli. Sering ditemukan bahwa pada prakteknya pembeli tidak akan meningkatkan status tanah dan/atau bangunan yang dibeli menjadi akta jual beli (AJB), namun segera dijual ke pembeli baru walaupun status tanah dan/atau bangunan masih PPJB. Sebenarnya untuk kasus ini dapat kita lihat walaupun status atas pembelian tanah dan/bangunan tersebut masih PPJB, namun pihak pembeli sudah memiliki hak atas kepemilikan tanah tersebut, bahkan sudah dapat menjualkan kembali kepada pihak lainnya sebagai pembeli baru. Sehingga seharusnya definisi pelepasan hak/penyerahan hak dari pengembang kepada pembeli pertama sudah terpenuhi. Sehingga walaupun transaksi dari pengembang ke pembeli pertama masih berstatus PPJB, namun definisi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sudah terpenuhi, karena pihak pembeli pertama ini sudah memiliki hak untuk melepaskannya kepada pihak lainnya.

Sehingga menurut penulis, dengan menerbitkan Surat Edaran yang mengatur bahwa transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus PPJB yang bukan merupakan objek PPh Final sesuai ketentuan PP Nomor 71 Tahun 2008 kurang menguntungkan bagi penerimaan negara, dalam kondisi apabila nilai keuntungan (capital gain) dari transaksi ini masih rendah. Karena seharusnya jika transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus PPJB ini dianggap sebagai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, maka akan dikenakan PPh Final atas total nilai transaksi tanpa mempedulikan berapa keuntungan yang diperoleh oleh pembeli pertama.

Sebagai contoh, suatu tanah yang dibeli oleh pembeli pertama dari pengembang seharga Rp 100.000.000. Kemudian dijual kembali (dalam status tanah yang masih PPJB dengan pengembang) kepada pembeli kedua seharga Rp 120.000.000. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan SE-30/PJ/2014 ini, maka PPh yang terutang ini adalah hanya dikenakan atas capital gain sebesar Rp 20.000.000 (Rp 120.000.000 – Rp 100.000.000) dengan tarif umum PPh untuk orang pribadi yaitu sebesar 5%. Maka PPh terutangnya adalah sebesar Rp 1.000.000.

Padahal seharusnya apabila diterapkan PP Nomor 71 Tahun 2008, maka PPh yang harus disetorkan atas transaksi ini adalah sebesar Rp 120.000.000 x 5% atau sebesar Rp 6.000.000.

Jumat, 06 Februari 2015

Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Baru tahun 2015

Tax Learning, 06 Februari 2015 - Mulai Masa Pajak Maret 2015, Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) yang akan melaporkan pemotongan pajak yang telah dilakukannya harus menggunakan formulir baru sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2015 tanggal 26 Januari 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2), SPT Masa PPh Pasal 15, SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya.

Pihak yang lebih merasakan adanya perubahan akibat dari ketentuan PER-01/PJ/2015 adalah Wajib Pajak industri perbankan. Karena dalam ketentuan baru ini, pihak perbankan diharuskan untuk membuat daftar pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito dan/atau tabungan yang harus dirinci per Nama, Nomor Identitas/NIK, alamat dan NPWP Nasabah yang menerima bunga deposito dan/atau tabungan tersebut. Apabila nasabah yang bersangkutan tidak memiliki NPWP, maka pada kolom NPWP ditulis 00.000.000.0-000.000. Namun demikian, efeknya akan sangat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya, khususnya pada bagian pelaporan harta berupa tabungan dan deposito di bank.

Jika dikaitkan dengan kewajiban merinci nama bank pada daftar harta di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2014 ini, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan mudah untuk melakukan cross check data dari Bukti Pemotongan dari bank dengan kebenaran pelaporan jumlah tabungan/deposito di bank yang dilaporkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Ketentuan PER-01/PJ/2015 ini berlaku mulai masa pajak Maret 2015. Sedangkan untuk pembetulan SPT Masa sebelum masa Maret 2015 namun dilakukan setelah berlakunya PER-01/PJ/2015 maka pembetulan tetap menggunakan formulir lama yang diatur dalam PER-53/PJ/2009.

Tambahan informasi:
Menteri Keuangan pada tanggal 18 Februari 2015 menyatakan akan menunda pelaksanaan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2015 ini tanpa batas waktu. Dasar hukum dari penundaan PER-01/PJ/2015 diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2015.

Download:
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2015
- Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
- Lampiran Petunjuk Pengisian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)

Kamis, 09 Oktober 2014

Penegasan Pelaksanaan Pengenaan PPh Final 1% bagi WP Tertentu sesuai PP 46 Tahun 2013 (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya, penulis telah membahas sebagian dari pokok-pokok penegasan Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 (sebagaimana yang diralat dengan SE-38/PJ/2014). Pada artikel berikut ini, adalah merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya sisa dari beberapa pokok penegasan lainnya.

3. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Badan atau Lembaga Nirlaba Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan

Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan perlakuannya adalah sebagai berikut.
  • Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut adalah bukan merupakan penghasilan yang bukan objek PPh.
  • Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana diuraikan di atas tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek PPh. Oleh sebab itu, perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan adalah mengacu kepada ketentuan tarif umum PPh.
4. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Reksa Dana

Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sesuai UU Pasar Modal.

Aliran penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa dana memenuhi kriteria PP 46 Tahun 2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai PPh yang bersifat final sesuai ketentuan PP 46 Tahun 2013.

5. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Bank/Bank Perkreditan Rakyat/Koperasi Simpan Pinjam/Lembaga Pemberi Dana Pinjaman

Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolehnya dikenai PPh bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
  • pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberi kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman,
  • penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, kecuali bagi Wajib pajak selain bank/bank perkreditan rakyat.
Dalam hal Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh.

6. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak OPPT)

Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolehnya dikenai PPh bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Bagi Wajib Pajak OPPT yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan PPh bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum UU PPh dan pembayaran angsuran PPh mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) UU PPh yaitu sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.

7. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai PPAT sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah:
  • mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
  • dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.
Perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT adalah mengacu pada ketentuan umum UU PPh yang dikenakan tarif PPh umum.

8. Penegasan Mengenai Ketentuan Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Sesuai Ketentuan PP 46 Tahun 2013

a. Ketentuan Penyetoran PPh

Wajib Pajak wajib menyetorkan PPh terutang ke kas negara melalui:
  • kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP;
  • Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu dimana Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaa Negara (NTPN) dalam bentuk cetakan struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP;
Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Contoh: untuk setoran PPh Final 1% masa pajak September 2014 disetorkan paling lambat tanggal 15 Oktober 2014.

b.Ketentuan Pelaporan SPT Masa

Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib menyampaikan SPT Masa PPh paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Contoh: untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) masa pajak September 2014 dilaporkan paling lambat tanggal 20 Oktober 2014.

Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran PPh final 1% dan telah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah menyampaikan/melaporkan SPT Masa PPh, dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang tercantum pada SSP atau cetakan struk ATM.

Wajib Pajak dengan jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini.

Ketentuan mengenai pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014, sehingga atas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa Juli s.d. Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000 untuk setiap masa pelaporan.

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Jumat, 03 Oktober 2014

Penegasan Pelaksanaan Pengenaan PPh Final 1% bagi WP Tertentu sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013

Walaupun telah lebih dari 1 tahun ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 diberlakukan, namun pada prakteknya masih ditemukan banyaknya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan ketentuan mengenai pengenaan PPh sebesar 1% dari Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 tanggal 17 September 2014 sebagaimana yang diralat dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ/2014 tanggal 22 Oktober 2014.

Beberapa hal yang ditegaskan dalam SE-32/PJ/2014 (sebagaimana yang diralat dengan SE-38/PJ/2014) sehubungan dengan pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:

1. Objek Pajak Penghasilan

Penghasilan yang dikenai PPh Final sebesar 1% berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:
  • penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013;
  • penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
  • penghasilan yang telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  • penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
2. Penentuan Saat Beroperasi Secara Normal

Penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali. Bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
  • jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan;
  • dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.

Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana disebutkan di paragraf sebelum ini, dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial ini melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan PPh berdasarkan tarif umum UU PPh berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.

Pengenaan PPh yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, untuk tahun selanjutnya ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

Contoh 1:
PT ABCD (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT ABCD dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan hingga 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada tahun 2015 adalah dengan memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Contoh 2:
PT CDE (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT CDE dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.

Contoh 3:
PT XYZ (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT XYZ dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Contoh 4:
PT KLM (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT KLM dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Bersambung ke Artikel Selanjutnya

Selasa, 17 Desember 2013

Perubahan Ketentuan Pemungutan PPh Pasal 22 atas Impor

Pemerintah telah menaikan tarif PPh Pasal 22 atas kegiatan di bidang impor dengan mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010. Perubahan ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 tanggal 5 Desember 2013 dan diundangkan pada tanggal 6 Desember 2013. Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah dengan menaikan tarif PPh Pasal 22 atas impor barang untuk 502 jenis barang menjadi 7,5% (sebelumnya tarif PPh Pasal 22 atas impor adalah sebesar 2,5%).

Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam peraturan ini adalah sebagai berikut.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor

Tarif PPh Pasal 22 atas impor barang-barang tertentu yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan (sebanyak 502 jenis barang) ini adalah sebesar 7,5% dari nilai impor.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor selain barang-barang tertentu yang dilakukan oleh importir yang memiliki Angka Pengenal Impor (API) dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu sebesar 0,5% dari nilai impor.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor selain barang-barang tertentu yang dilakukan oleh importir yang tidak memiliki API dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari nilai impor.

Sanksi Pengenaan Tarif Lebih Tinggi Bagi Importir yang Tidak Punya NPWP

Besarnya tarif pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana yang diatur tersebut yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Ketentuan pengenaan tarif lebih tinggi 100% ini diterapkan untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang bersifat tidak final.

Saat Berlakunya Ketentuan Ini

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Download Peraturannya:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013
Lampiran

Jumat, 13 Desember 2013

Tarif PPh Pasal 22 Impor Naik Jadi 7,5%

Sebagai tindak lanjut dari Paket Kebijakan Ekonomi yang diumumkan Pemerintah tanggal 24 Agustus 2013, yang salah satunya adalah untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah dan sebagai upaya untuk meredam impor barang-barang tertentu, maka pada tanggal 9 Desember 2013, melalui Siaran Pers-nya, Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang isi pokoknya adalah:
  1. Menyesuaikan tarif pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang tertentu dari semula 2,5% menjadi 7,5%
  2. Kriteria impor barang tertentu yang menjadi sasaran pengenaan tarif PPh Pasal 22 Impor yang lebih tinggi adalah: bukan barang yang digunakan untuk industri dalam negeri (untuk tetap menjaga produktifitas industri dalam negeri) dan merupakan barang konsumtif dengan nilai impor yang signifikan dan tidak memberikan dampak besar pada inflasi.
  3. Berdasarkan kriteria tersebut di atas maka barang impor yang akan dikenai tarif PPh Pasal 22 impor yang lebih tinggi meliputi 502 jenis barang berdasarkan kode Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
Kelompok barang yang meliputi 502 jenis barang tersebut meliputi antara lain:
  1. elektronik dan hand phone
  2. kendaraan bermotor (kecuali kendaraan CKD/IKD, Hibrid/Listrik, dan kendaraan berpenumpang lebih dari sepuluh)
  3. Tas, baju, alas kaki dan perhiasaan, termasuk parfum,
  4. Furnitur, perlengkapan rumah tangga dan mainan.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan menaikan tarif PPh Pasal 22 impor ini dengan harapan agar:
  1. pengendalian impor atas barang konsumsi tertentu,
  2. penurunan tekanan pada defisit neraca perdagangan,
  3. mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan produksi barang sebagai substitusi impor barang.
Pokok-pokok kebijakan yang mengalami perubahan dalam peraturan ini dapat digolongkan dalam 2 (dua) kelompok yaitu:

1. Penambahan jenis insentif fiskal
Perubahan kebijakan di bidang fiskal yaitu atas fasilitas pembebasan yang sebelumnya hanya mendapatkan fasilitas bebas bea masuk, saat ini ditambah dengan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) tidak dipungut;

2. Kebijakan kemudahan di bidang perijinan dan pelayanan fasilitas KITE yang meliputi:
  1. Penyederhanaan persyaratan dan penerapan otomasi dalam pengajuan perijinan untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau pengembalian. Demikian juga peraturan ini memberikan kemudahan bagi perusahaan baru untuk menikmati fasilitas KITE,
  2. Perluasan objek fasilitas yaitu meliputi semua bahan baku dan bahan penolong yang digunakan untuk proses produksi dalam rangka ekspor sehingga dapat mengurangi biaya produksi perusahaan,
  3. Penyederhanaan prosedur pelayanan impor dan ekspor dimana dimungkinkan mengimpor barang KITE bersama-sama dengan barang impor non KITE serta mengekspor barang KITE bersama-sama dengan barang ekspor perusahaan KITE lainnya, sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya dan waktu impor/ekspor,
  4. Kuota impor atas bahan baku/penolong tidak dibatasi seperti sebelumya yaitu menjadi sampai dengan maksimal kapasitas produksi dan dalam jangka waktu selama perusahaan berdiri,
  5. Masa pembebasan/pengembalian dan jangka waktu realisasi ekspor dapat diperpanjang yaitu disesuaikan dengan sifat produksi barang atau disesuaikan dengan kondisi khusus yang diluar kendali perusahaan seperti pembatalan kontrak/pembelian, keadaan luar biasa seperti kelesuan ekonomi global, atau kondisi lainnya yang lazim dalam dunia bisnis. Begitu juga dalam ketentuan baru ini diakuinya keadaan kahar (force majeure) dalam laporan pertanggungjawaban perusahaan,
  6. Kemudahan perubahan lokasi penimbunan/pembongkaran dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui media elektronik g) Simplifikasi laporan menjadi hanya sekali dalam masa pembebasan dari sebelumnya setiap 6 bulan sekali,
  7. Penerapan risk management dalam pelayanan dan pengawasan terutama didasarkan pada penilaian atas kemampuan perusahaan dalam pengelolaan sistem pengendalian internal dan sistem pencatatan persediaan bahan baku dan hasil produksinya (inventory). Semakin baik perusahaan, maka semakin banyak fasilitas yang dapat dinikmati (penerapan prinsip fairness),
  8. Diakuinya corporate guarantee bagi perusahaan yang mempunyai reputasi yang baik sebagai instrumen jaminan,
  9. Dimungkinkan menyerahkan sebagian kegiatan kepada pihak ketiga (subkontrak) atau seluruh kegiatan produksi bagi perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu yang terkait dengan profil/reputasi,
  10. Sinergi dengan fasilitas kepabeanan lainnya yaitu Kawasan Berikat dan Gudang Berikat yang membolehkan penggunaan bahan baku yang berasal dari pembelian dari Gudang Berikat dan Kawasan Berikat,
  11. Perusahaan dapat memanfaatkan beberapa fasilitas kepabeanan/perpajakan secara bersamaan (double fasilitas) dengan tujuan untuk memperkuat dan mengefisienkan biaya produksi dan logistik serta mengurangi devisa impor karena bahan baku dapat diperoleh dari fasilitas kepabeanan/perpajakan lainnya,
  12. Penyempurnaan penggunaan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan produksi KITE misalnya pemenuhan persyaratan dan pemberian ijin cukup disampaikan dengan media softcopy. penggunaan teknologi informasi juga memperpendek janji layanan kepada pengguna jasa dari yang sebelumnya 45 hari menjadi 30 hari.
Peraturan baru ini akan berlaku 30 (enam puluh) hari sejak tanggal diundangkan.

Jumat, 04 Oktober 2013

Cara Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan PPh untuk WP Kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013

Menindaklanjuti ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 milyar setahun sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan untuk mendapatkan surat keterangan bebas (SKB) atas pemotongan PPh. Ketentuan yang mengatur mengenai cara pengajuan permohonan SKB adalah melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 tanggal 25 September 2013.

Sebelumnya sudah ada aturan mengenai Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tentang tata cara pengajuan permohonan untuk mendapatkan SKB atas pemotongan PPh, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011. Walaupun telah diterbitkan PER-32/PJ/2013 ini, bukan berarti PER-1/PJ/2011 lantas dicabut, karena ketentuan tata cara pengajuan SKB berdasarkan PER-32/PJ/2013 ini hanya berlaku untuk Wajib Pajak yang memenuhi sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sebagaimana ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013.

Berikut beberapa hal yang diatur dalam PER-32/PJ/2013 ini.

Cara Pengajuan SKB

(1)Mengajukan permohonan secara tertulis ke KPP tempat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, dengan syarat:

  1. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
  2. menyerahkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
  3. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
  4. permohonan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP. (2)Permohonan ini harus diajukan untuk setiap jenis pemotongan pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor dan/atau Pasal 23)
Jangka waktu Proses SKB PPh
5 (lima) hari sejak surat permohonan diterima lengkap

Download:
-Peraturan PER-32/PJ/2013
-Lampiran Peraturan PER-32/PJ/2013
-Template Bentuk Surat Permohonan SKB
-Template Surat Pernyataan WP dengan Peredaran Bruto Tertentu
-Template Surat Permohonan Legalisasi SKB
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Kamis, 05 September 2013

Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29 bagi WP Industri Tertentu

Saat ini krisis keuangan global telah berdampak pada kondisi perekonomian Indonesia. Dalam beberapa pekan terakhir ini, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat dan nilai Indeks Harga Saham Gabungan semakin terkoreksi negatif. Hal ini berdampak kepada dunia usaha yang mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan dan mengurangi laba yang akan diperoleh. Tentunya hal ini juga akan menyebabkan berkurangnya jumlah PPh Terutang atas laba yang diterima Wajib Pajak di tahun 2013 dibandingkan dengan jumlah PPh Terutang tahun 2012 lalu. Tentunya apabila mengikuti ketentuan UU PPh dimana Wajib Pajak harus mengangsur PPh Pasal 25 selama tahun 2013 dengan mendasarkan pada perhitungan PPh Terutang tahun 2012, maka akan menyebabkan angsuran PPh Pasal 25 di tahun 2013 berpotensi mengalami kelebihan pembayaran pajak. Untuk mengantisipasi hal ini, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tanggal 27 Agustus 2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu.

Fasilitas yang Diberikan dalam Ketentuan ini
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013,Pemerintah memberikan fasilitas perpajakan berupa:
  1. pengurangan PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak September 2013 s.d. Desember 2013; dan/atau
  2. penundaan pembayaran PPh Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013.
Wajib Pajak yang Mendapatkan Fasilitas
Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan PPh Pasal 25 atau penundaan pembayaran PPh Pasal 29 ini adalah Wajib Pajak badan industri tertentu yang terdiri dari:
  1. industri tekstil
  2. industri pakaian jadi
  3. industri alas kaki
  4. industri furnitur; dan/atau
  5. industri mainan anak-anak.
Pengurangan PPh Pasal 25 dan penundaan pembayaran PPh Pasal 29 dapat diberikan kepada Wajib Pajak badan industri tertentu (sebagaimana disebutkan di atas) berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Besarnya Pengurangan yang Dapat Diberikan
Besarnya pengurangan PPh Pasal 25 yang dapat diberikan paling tinggi sebesar:
  1. untuk WP badan industri tertentu yang tidak berorientasi ekspor adalah 25% dari PPh Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013.
  2. untuk WP badan industri tertentu yang berorientasi ekspor adalah 50% dari PPh Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013.
Tata Cara untuk Mendapatkan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25
Untuk mendapatkan pengurangan Angsuran PPh Pasal 25, Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis tentang besarnya pengurangan PPh Pasal 25 yang diminta kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Lama Waktu Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29
Penundaan pembayaran PPh Pasal 29 diberikan kepada Wajib Pajak badan Industri Tertentu paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya PPh Pasal 29.

Tata Cara untuk Mendapatkan Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29
Untuk mendapatkan penundaan pembayaran PPh Pasal 29, Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 29 Bagi Wajib Pajak yang Mendapatkan Penundaan

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan menghapuskan sanksi administrasi atas penundaan pembayaran PPh Pasal 29 yang telah diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak kepada Wajib Pajak badan industri tertentu.

Ketentuan Pelaksana
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksaan pengurangan PPh Pasal 25 dan penundaan pembayaran PPh Pasal 29 ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Saat Berlakunya Ketentuan Ini
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 29 Agustus 2013.

Selasa, 27 Agustus 2013

Kriteria Wajib Pajak yang Memenuhi Ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 sebagai Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pengenaan PPh dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sejak 1 Juli 2013, maka seluruh Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang memenuhi ketentuan dalam peraturan ini sudah harus mengubah penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh atas penghasilan yang diterimanya. Apabila selama ini, penghasilan yang diterimanya adalah merupakan penghasilan yang harus dihitung dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh tarif Pasal 17 UU PPh, maka sejak 1 Juli 2013, Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memenuhi ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 harus mengubah penghitungan PPh atas penghasilannya menjadi dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran usaha bruto setiap bulannya.

Walaupun PP Nomor 46 Tahun 2013 telah berlaku hampir 2 (dua) bulan, namun prakteknya di lapangan masih banyak menimbulkan pertanyaan dari para Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan yang timbul seperti: apakah saya termasuk sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, sebagaimana yang diatur di PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Siapa sajakah Wajib Pajak yang berhak untuk menerapkan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% ini? Jika kita simak ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013, maka dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang harus menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini kriterianya adalah (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013):

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap); dan
  2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Jika menyimak aturan Pasal 2 ayat (2) pada kedua aturan ini, maka dapat kita lihat bahwa kedua persyaratan/kriteria tersebut harus terpenuhi seluruhnya dan bersifat kumulatif (karena dihubungkan dengan kata penghubung “dan”).

Pengecualian Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan Omzet Tidak Lebih dari Rp4,8 miliar

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan untuk menggunakan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) yang memiliki peredaran usaha (omzet) tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Namun demikian, tidak semua Wajib Pajak dengan Omzet di bawah Rp4,8 miliar otomatis memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dikenai PPh yang bersifat final 1% atas omzetnya. Pengecualiannya dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf b PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013. Disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Apa saja jenis penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yaitu:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Selain pengecualian di atas yang berlaku umum baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, masih ada pengecualian lagi khusus bagi:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau kasa dalam usahanya yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap), dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  2. Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial atau Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Wajib Pajak dengan Penghasilan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan ketentuan sebelumnya

Bagi Wajib Pajak yang atas penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang telah ada (misal penghasilan dari jasa konstruksi, penghasilan dari penyewaan tanah dan/atau bangunan) juga dikecualikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Simpulan

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib Pajak Orang Pribadi, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; atau
  2. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap); dan
  3. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak Badan, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  2. belum beroperasi secara komersial; atau
  3. dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Selain itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini juga tidak berlaku apabila Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perpajakan yang sebelumnya.

Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013 sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 14 Agustus 2013

Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Akhirnya Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagai peraturan pelaksana yang mengatur mengenai mekanisme penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh untuk Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Usaha Tertentu atau biasa disebut sebagai PPh Final 1% untuk UKM melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ini ditandatangani pada tanggal 30 Juli 2013 dan diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 adalah sebagai berikut.

PPh final 1% bagi Wajib Pajak dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikut.

Penyetoran PPh final 1% ini menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP dan disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos.

Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 1% dengan menggunakan SSP dan telah mendapatkan validasi dan diberi NTPN dianggap telah melaporkan SPT Masanya sesuai dengan tanggal validasi tersebut. Bagi Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 1% namun tidak mendapatkan validasi NTPN, maka masih tetap harus melaporkan SSP yang telah disetorkan PPh finalnya ini ke kantor pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak yang bersangkutan berakhir.

Tata cara mengenai penyetoran dengan SSP, sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP, bentuk SPT Masa serta tata cara pembebasan dari pemotongan dan pemungutan PPh oleh pihak ketiga akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Aplikasi Ketentuan PPh Final 1 Persen untuk WP dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Besok, 15 Agustus 2013 adalah batas akhir pelunasan/penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013. Namun bagi sebagian Wajib Pajak, kewajiban penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013 ini telah mengalami perubahan perlakuan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sebagaimana kita ketahui ketentuan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tersebut mengatur Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak akan dikenakan PPh sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) yang bersifat final.

Dalam PP ini juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Namun yang menjadi permasalahannya, hingga hari ini, penulis masih belum memperoleh informasi apakah Peraturan Menteri Keuangan ini telah diterbitkan. Tentunya hal ini akan sangat menyulitkan bagi Wajib Pajak yang harus menerapkan ketentuan ini.

Beberapa hari terakhir, penulis banyak memperoleh pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini, namun apa daya, penulis masih belum memperoleh landasan hukum sebagai acuan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di lapangan tersebut.

Setoran PPh 1% Final

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang memenuhi kriteria sebagaimana yang pernah penulis bahas dalam artikel ini) dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet). Dalam Pasal 4 PP Nomor 46 Tahun 2013 ini ditegaskan bahwa dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Dalam penjelasan Pasal 4 ini ditegaskan bahwa penghitungan PPh final ini dilakukan setiap bulan. Artinya perlakuan penyetoran PPh final 1% ini dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai pengganti dari setoran PPh Pasal 25 yang selama ini telah mereka lakukan, sama halnya untuk ketentuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Jadi seandainya Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini dan selama ini menghitung PPh Orang Pribadi atau Badan dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh dan diangsur diawal setiap bulan melalui penyetoran PPh Pasal 25, maka sejak masa Juli 2013 harus menyetor PPh dengan tarif 1% dari omzet sebulan dan bersifat final.

Contoh: selama masa Juli 2013 Andi memperoleh penghasilan dari usaha dagang melalui tokonya di Mangga Dua dengan omzet sebesar Rp 120.000.000. Maka PPh yang bersifat final yang harus disetorkan untuk masa Juli 2013 adalah sebesar:
Rp 120.000.000 x 1% = Rp 1.200.000

Berdasarkan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa penyetoran PPh ini dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan mencantumkan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420.

Permasalahan:
Setelah penulis cek ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 untuk Kode Akun Pajak 411128 adalah merupakan setoran untuk jenis PPh Final namun untuk Kode Jenis Setoran 420, tidak tercantum dalam ketentuan tersebut.

Akibatnya ketika kita akan menyetorkan PPh final ini dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, pasti akan ditolak oleh pihak Bank Persepsi atau Kantor Pos penerima setoran pajak, karena kode tersebut tidak tercantum dalam sistem Modul Penerimaan Negara (MPN).

(*) Sebagai catatan, ternyata pihak Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 tanggal 2 Juli 2013 yang telah menambahkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, namun sepertinya pihak Bank Persepsi dan Kantor Pos sebagai penerima setoran atau pihak Ditjen Perbendaharaan belum mengupdate kode ini ke dalam sistem MPN sehingga ketika ada beberapa Wajib Pajak rekan penulis yang mencoba menyetorkan setoran pajak dengan kode akun pajak ini, ditolak oleh pihak Bank Persepsi. Jadi sebaiknya pihak Ditjen Pajak segera berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengecek apakah kode akun pajak yang baru ini sudah ter-update dalam sistem MPN.

Untuk Lampiran PER-24/PJ/2013 mengenai tabel baru Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dapat dibaca di sini.

Tanggal Jatuh Tempo Setor PPh Final

Sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaan yang menegaskan mengenai kapan batas waktu penyetoran PPh final 1% ini.

Namun apabila kita mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.02/2010 diatur bahwa untuk penyetoran jenis PPh yang harus dibayar sendiri (baik PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 25) harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi menurut penulis, maka penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu sebesar 1% yang bersifat final ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir karena PPh ini adalah termasuk jenis PPh yang harus dibayar sendiri.

Walaupun demikian, pihak Pemerintah tetap harus mengeluarkan dasar hukum mengenai batas akhir penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu ini.

Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu yang Sudah Terlanjur Setor PPh Pasal 25 Selama Setahun

Saat ini banyak kita temukan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan setoran PPh Pasal 25 yang dilakukan di awal untuk 12 bulan kemudian. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan dan sesuai ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.23/1989 tentang Penyetoran Dimuka PPh Pasal 25 Sekaligus Untuk Beberapa Bulan.

Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu dan mulai masa Juli 2013 harus menghitung PPh terutangnya menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini yang ternyata telah menyetorkan PPh Pasal 25 dari masa Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 tentu akan mengalami permasalahan. Karena ternyata PPh Pasal 25 yang sudah terlanjur disetorkan tersebut ternyata salah setor.

Sebenarnya solusi yang dapat dilakukan adalah Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan (Pbk) dari setoran PPh Pasal 25 yang telah disetorkan tersebut (salah setor) untuk dipindahkan sebagai setoran PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Tentunya hal ini akan menambah pekerjaan administratif baik bagi petugas pajak maupun Wajib Pajak.

Sebagai catatan, setelah penulis membuat tulisan ini, akhirnya pihak Direktorat Jenderal Pajak merilis peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini walaupun menurut penafsiran penulis, masih banyak hal dari praktek di lapangan yang belum diakomodasi dalam aturan pelaksana ini.

Artikel Terkait:
Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar
PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak dengan Omzet di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Kamis, 27 Juni 2013

PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak Dengan Omzet Di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Pemerintah kembali mengeluarkan sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi para pelaku bisnis dengan skala kecil dan menengah. Kebijakan ini adalah perlakuan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha (omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar setahun. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Siapakah Wajib Pajak yang dimaksud dalam ketentuan ini yang berhak mendapatkan fasilitas ketentuan ini dan bagaimanakah pelaksanaannya? Dalam tulisan berikut, penulis akan mengupas isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Namun karena hingga tulisan ini dibuat, masih belum ada peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini (Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak), maka masih ada beberapa pelaksanaan teknis yang masih harus menunggu diterbitkannya peraturan pelaksananya. Ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini antara lain adalah:

Wajib Pajak Yang Dapat Menerapkan Ketentuan Ini

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang atas penghasilan dari usahanya dikenai PPh yang bersifat final adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:

  • Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap (BUT); dan
  • menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak.
  • Wajib Pajak yang dimaksud di atas yang tidak dapat menerapkan ketentuan ini adalah:
    Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
    1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
    2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

    Wajib Pajak Badan, adalah:
    1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
    2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000

    Tarif PPh dan Ketentuan Pengenaannya

    Besarnya tarif PPh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sebesar 1% dan bersifat final. Pengenaan PPh ini didasarkan pada peredara bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

    Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 dalam suatu Tahun Pajak, maka Wajib Pajak tetap dikenai tarif PPh final 1% ini sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Sedangkan untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya barulah dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang telah dikenai PPh yang bersifat final lainnya. (Misalnya untuk penghasilan dari jasa konstruksi tetap dikenakan tarif PPh final untuk jasa konstruksi sebesar 2% untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini hanya berlaku untuk penghasilan dari usaha sedangkan untuk penghasilan selain dari usaha tetap dikenakan tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Dasar Pengenan dan Perhitungan PPh

    Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah atas jumlah peredaran bruto setiap bulan.

    Pengenaan PPh dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.

    Kredit Pajak Luar Negeri

    Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan UU PPh dan aturan pelaksananya.

    Kompensasi Kerugian Fiskal

    Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan ketentuan ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan:

    1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun pajak; 
    2. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 tahun tersebut;
    3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

    Ketentuan Khusus Terkait Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan Pajak

    Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan PPh yang bersifat final ini adalah:

    1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 bulan;
    2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan ini di bulan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku
    3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan ini.
    Saat Berlakunya Ketentuan Ini

    Ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.

    Komentar Penulis

    Semoga Peraturan Menteri Keuangan terkait ketentuan ini segera terbit karena ketentuan ini akan berlaku dalam 3 hari lagi. Yang menjadi permasalahan adalah ketentuan ini berlaku di tengah tahun pajak sehingga untuk tahun pajak 2013 ini, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang memenuhi ketentuan ini harus menggunakan 2 metode dalam menghitung PPh yang terutang di tahun 2013, yaitu untuk masa Januari s.d. Juni 2013 yang masih menggunakan tarif PPh umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh, sedangkan sejak Juli s.d. Desember 2013 harus menggunakan tarif PPh yang bersifat final sebesar 1%. Tentunya hal ini cukup menyulitkan bagi Wajib Pajak.

    Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

    Senin, 14 Januari 2013

    Pemungutan PPh Pasal 22 di Bidang Impor dan Kegiatan Bidang Lain

    Selama ini Pemerintah telah menunjuk badan-badan tertentu untuk melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas kegiatan di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain. Pemungutan PPh Pasal 22 ini dilakukan untuk setiap kegiatan impor barang, pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah, penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, penjualan hasil produksi oleh badan usaha di bidang industri semen, kertas, baja, otomotif, dan pedagang pengumpul.

    Saat ini Pemerintah melalui Menteri Keuangan menunjuk satu Wajib Pajak baru sebagai pemungut PPh Pasal 22, yaitu Wajib Pajak yang bergerak di bidang Industri Farmasi. Penunjukan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012 ini mulai diberlakukan 60 hari terhitung sejak tanggal diundangkannya, tanggal 26 Desember 2012. Berarti peraturan ini mulai berlaku tanggal 23 Februari 2013. Salah satu perubahan signifikan dalam peraturan ini adalah menunjuk pemungut PPh Pasal 22 yang baru yaitu untuk transaksi penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri farmasi dengan PPh Pasal 22 terutang atas penjualan semua jenis obat dengan tarif sebesar 0,3% dari dasar pengenaan PPN.

    Di samping itu, untuk kegiatan penjualan hasil produksi yang dilakukan badan usaha bidang industri semen, kertas, baja dan otomotif, ada tambahan kata “atas penjualan hasil produksi kepada distributor” sehingga dalam aturan baru ini pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi.

    Selain itu, pihak BUMN kembali ditunjuk untuk melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha. BUMN yang ditunjuk adalah PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero), dan bank-bank BUMN.

    Pemungutan PPh Pasal 22 yang baru juga berlaku terhadap kegiatan penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas kepada pihak selain SPBU Pertamina dan SPBU non Pertamina, yang selama ini tidak diatur. Besarnya PPh Pasal 22 atas kegiatan ini adalah sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN.

    Untuk penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri, ada juga tambahan aturan untuk pemungutan PPh Pasal 22 yaitu atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor sebesar 0,45% dari dasar pengenaan PPN.