..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Kamis, 02 April 2015

Kumpulan Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015

Berikut ini adalah daftar Pengumuman Yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat di bawahnya yang diterbitkan selama tahun 2015:

Siaran Pers Tanggal 30 Desember 2015
Mulai 1 Januari 2016, Bayar Pajak Secara Online Melalui E-Billing


Kembali ke Menu Kumpulan Peraturan Perpajakan

Selasa, 31 Maret 2015

Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Konsultan Pajak

Untuk menindaklanjuti dan memberikan petunjuk teknis secara detail mengenai ketentuan yang mengatur Konsultan Pajak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2015 tanggal 10 Maret 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Konsultan Pajak.

Dalam PER-13/PJ/2015 ini diatur beberapa hal antara lain yaitu:

Pengajuan Izin Praktik Konsultan Pajak

Sebagaimana halnya yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014, pengajuan izin praktik konsultan pajak ini persyaratannya terbagi menjadi untuk 2 jenis, yaitu persyaratan izin bagi umum dan persyaratan izin bagi pensiunan Pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Persyaratan diatur di PER-13/PJ/2015 ini tidak berbeda dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 (sebagaimana yang telah diuraikan dalam artikel berikut ini).

Izin Praktik yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ini berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Izin Praktik Konsultan Pajak Diberikan Berjenjang

Ketentuan ini juga merupakan penegasan dari yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 dimana untuk mendapatkan izin praktek konsultan pajak, maka seseorang harus mendapatkan izin praktik tingkat A. Setelah minimal berpraktik selama 12 bulan barulah izin praktiknya dapat ditingkatkan ke tingkat B. Demikian juga untuk tingkat C, baru dapat ditingkatkan setelah berpraktik minimal selama 12 bulan di tingkat B.

Jangka Waktu Pengajuan Izin Praktik

Permohonan untuk memperoleh Izin Praktik dan permohonan untuk peningkatan Izin Praktik harus diajukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkannya Sertifikat Konsultan Pajak. Dengan demikian, maka ijazah Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) saat ini secara tidak langsung dapat dikatakan memiliki masa daluwarsa apabila pemegang ijazah USKP ini tidak mengajukan izin praktik lewat dari 2 tahun.

Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak

Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) dilaksanakan paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. Sertifikasi Konsultan Pajak ini diselenggarakan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak. Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun, dan dapat diperpanjang.

Asosiasi Konsultan Pajak

Konsultan Pajak wajib untuk berhimpun pada satu Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak. Asosiasi Konsultan Pajak ini harus berbentuk badan hukum, memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, memiliki susunan pengurus yang telah disahkan oleh rapat anggota, memiliki program pengembangan profesional berkelanjutan, memiliki kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak, dan memiliki Dewan Kehormatan sebagai pengawas.

Asosiasi Konsultan Pajak harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar dari Direktorat Jenderal Pajak dan wajib membuat laporan keuangan setiap tahunnya yang diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya dilaporkan di Direktorat Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya. Direktur Jenderal Pajak dapat mengusulkan satu Asosiasi Konsultan Pajak yang telah memiliki Surat Keterangan Terdaftar kepada Menteri Keuangan untuk diusulkan menjadi anggota Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak. Jika terdapat lebih dari satu Asosiasi Konsultan Pajak yang telah memiliki Surat Keterangan Terdaftar, maka Direktur Jenderal Pajak akan melakukan seleksi untuk memperoleh satu asosiasi untuk diusulkan. Kegiatan seleksi ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap aspek tata kelola organisasi yang baik dan jumlah keanggotaan Asosiasi Konsultan Pajak. Unsur penilaian terhadap aspek tata kelola organisasi meliputi:
  1. usia dan riwayat organisasi berdasarkan akta notaris yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
  2. jumlah kantor cabang berdasarkan susunan pengurus yang telah disahkan rapat anggota;
  3. memiliki dan menerapkan prinsip-prinsip Good Governance, yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, Kemandirian, dan Kesetaraan berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, laporan keuangan dan laporan tahunan;
  4. kekayaan/jumlah aset asosiasi berdasarkan laporan keuangan;
  5. kepatuhan anggota asosiasi terhadap pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Tahunan Konsultan Pajak selama 1 (satu) tahun terakhir berdasarkan data internal Direktorat Jenderal Pajak.
Asosiasi Konsultan Pajak wajib melakukan daftar ulang dimulai 6 bulan setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 atau mulai tanggal 9 Juni 2015.

Hingga saat ini Asosiasi Konsultan Pajak yang sudah terdaftar adalah:
  1. Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) (Indonesian Tax Consultants Assocsiation, Gedung IKPI Jl. Condet Pejaten No. 3B Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12940 Telp. +62 21 79189125, +62 21 79189128. Situs: www.ikpi.or.id. Surat Keterangan Terdaftar No. SKT-01/AKP/PJ/2015 tanggal 21 September 2015
  2. Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) (Indonesian Public Tax Consultants Association), Jl. Janur Elok Raya Blok PA26 No.4 Kelapa Gading, Jakarta Utara 14250 Telp. +62 21 22452268. Situs: www.akp2i.or.id. Surat Keterangan Terdaftar No. SKT-02/AKP/PJ/2015 tanggal 21 September 2015

Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL)

Setiap Konsultan Pajak wajib mengikuti kegiatan PPL dan memenuhi  Satuan Kredit PPL (SKPPL) yang dihitung mulai bulan Januari tahun berikutnya setelah diterbitkannya Izin Praktik.

Kegiatan PPL yang wajib diikuti oleh Konsultan Pajak terdiri atas:
PPL Terstruktur; dan
PPL Tidak Terstruktur.

PPL Terstruktur diperoleh dari kegiatan yang meliputi konferensi, seminar, lokakarya, diskusi panel, pelatihan, kursus dalam bidang perpajakan atau kegiatan sejenis, termasuk mengikut Program PPL Terstruktuk Jarak Jauh yang bersertifikat (Verified Certificate) yang diselenggarakan oleh Asosiasi Konsultan Pajak.

PPL Tidak Terstruktur diperoleh dari:
  1. menjadi pengurus pada Asosiasi Konsultan Pajak tempat berhimpun;
  2. mengikuti Kongres, Kongres Luar Biasa, Musyawarah Kerja Nasional, Rapat Koordinasi, Rapat Anggota, Rapat Pengurus Pusat, Rapat Pengurus Daerah, Rapat Pengurus Cabang, atau rapat lainnya dalam lingkungan Asosiasi Konsultan Pajak tempat berhimpun;
  3. mewakili Asosiasi Konsultan Pajak tempat berhimpun dalam pertemuan dengan pihak lain melalui penunjukan resmi;
  4. menjadi anggota tim atau panitia yang bersifat ad hoc dalam rangka kegiatan Asosiasi Konsultan Pajak tempat berhimpun;
  5. menjadi pengajar, instruktur, atau narasumber di lingkungan Asosiasi Konsultan Pajak atau mendapat izin dari Asosiasi Konsultan Pajak tempat yang bersangkutan berhimpun untuk mengikuti kegiatan di luar Asosiasi yang materinya meliputi bidang perpajakan; dan
  6. menulis artikel, makalah, atau buku dengan materi yang relevan dengan profesi Konsultan Pajak dengan membawa nama atau mendapat izin Asosiasi Konsultan Pajak tempat berhimpun dan telah dipublikasikan.
Jumlah SKPPL yang wajib dipenuhi oleh Konsultan Pajak setiap tahun adalah sebagai berikut:
a. Konsultan Pajak dengan Sertifikat Konsultan Pajak tingkat A
Wajib mencapai 20 SKPPL yang terdiri dari paling rendah 16 SKPPL Terstruktur dan 4 SKPPL Tidak terstruktur.

b. Konsultan Pajak dengan Sertifikat Konsultan Pajak tingkat B
Wajib mencapai 40 SKPPL yang terdiri dari paling rendah 32 SKPPL Terstruktur dan 8 SKPPL Tidak terstruktur.

c. Konsultan Pajak dengan Sertifikat Konsultan Pajak tingkat C
Wajib mencapai 60 SKPPL yang terdiri dari paling rendah 48 SKPPL Terstruktur dan 12 SKPPL Tidak terstruktur.

Ketentuan penghitungan nilai SKPPL Terstruktur yang kegiatannya diselenggarakan oleh Asosiasi Konsultan Pajak tempat yang bersangkutan berhimpun adalah sebesar 1 SKPPL terdiri dari 50 menit kegiatan. Untuk SKPPL Terstruktur yang kegiatannya diselenggarakan oleh pihak lain, SKPPL dihitung paling banyak 30% dari total nilai yang wajib dipenuhi Konsultan Pajak.

Hak Konsultan Pajak

Konsultan pajak berhak untuk memberikan jasa konsultasi di bidang perpajakan sesuai dengan batasan tingkat keahlian sebagaimana tercantum dalam Izin Praktik yang dimilikinya. Batasan tingkat keahlian ini adalah:
  1. Konsultan Pajak dengan Izin Praktik tingkat A hanya dapat memberikan jasa di bidang perpajakan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya, kecuali Wajib Pajak yang berdomisili di negara yang mempunyai persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia;
  2. Konsultan Pajak dengan Izin Praktik tingkat B hanya dapat memberikan jasa di bidang perpajakan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya, kecuali kepada Wajib Pajak penanaman modal asing, Bentuk Usaha Tetap, dan Wajib Pajak yang berdomisili di negara yang mempunyai persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia; dan
  3. Konsultan Pajak dengan Izin Praktik tingkat C dapat memberikan jasa di bidang perpajakan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiba perpajakannya.
Kewajiban Konsultan Pajak

Dalam menjalankan praktiknya, Konsultan Pajak wajib:
  1. memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
  2. mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsutan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak
  3. mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;
  4. menyampaikan Laporan Tahunan Konsultan Pajak;
  5. memberitahukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak setiap ada perubahan Asosiasi Konsultan Pajak tempat Konsultan Pajak berhimpun paling lama 30 hari kerja sejak tanggal Surat Keputusan Pencabutan Keterangan Terdaftar Asosiasi Konsultan Pajak tempat Konsultan Pajak berhimpun dengan melampirkan fotokopi surat keputusan keanggotaan pada Asosasi Konsultan Pajak yang baru yang telah dilegalisasi oleh Ketua Umum Asosiasi Konsultan Pajak;
  6. mendokumentasikan surat kontrak/perjanjian dengan persekutuan/badan hukum tempat Konsultan Pajak berpraktik dalam memberikan jasa konsultasi kepada setiap Wajib Pajak; atau surat kontrak/perjanjian dengan Wajib Pajak, yang menjadi dasar penyusunan Laporan Tahunan Konsultan Pajak; dan
  7. menyetujui publikasi data Konsultan Pajak berupa nama dan alamat Konsultan Pajak pada aplikasi administrasi Konsultan Pajak.
Personal Identification Number (PIN)

Setiap Konsultan Pajak yang telah memiliki izin Praktik akan diberikan PIN yang dapat digunakan untuk mengakses aplikasi administrasi Konsultan Pajak. Aplikasi administrasi Konsultan Pajak adalah aplikasi yang mendukung proses pengelolaan administrasi Konsultan Pajak yang dapat diakses melalui jaringan intranet Direktorat Jenderal Pajak maupun internet.

PIN ini akan digunakan oleh Konsultan Pajak untuk mengakses aplikasi administrasi Konsultan Pajak dalam menyampaikan softcopy Laporan Tahunan Konsultan Pajak yang dilakukan melalui aplikasi administrasi Konsultan Pajak.

Rabu, 25 Maret 2015

KPP Buka Loket Penerimaan SPT Tahunan 2014 Hari Sabtu dan Minggu

Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2014 tinggal 6 (enam) hari lagi. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan pelayanan penerimaan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak, seperti membuka lokasi-lokasi penyampaian SPT di pusat perkantoran atau pusat perbelanjaan yang disebut drop box, membuat aplikasi penyampaian SPT secara online yang disebut e-Filing, hingga pelayanan konvensional yaitu membuka loket tambahan di halaman KPP untuk melayani Wajib Pajak yang melaporkan SPT Tahunan langsung ke KPP.

Selain itu, upaya tambahan yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak yaitu membuka loket penerimaan SPT Tahunan pada hari Libur yaitu pada hari Sabtu tanggal 28 Maret 2015 dan Minggu tanggal 29 Maret 2015.

Jadwal tambahan jam pelayanan penerimaan SPT Tahunan PPh ini disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ/2015 tanggal 23 Maret 2015 tentang Pelayanan Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) Tahun Pajak 2014.

Dalam SE-21/PJ/2014 ini diinstruksikan kepada seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan (KLIP) dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia untuk tetap buka dan memperpanjang jam kerja pada:
  1. Sabtu, 28 Maret 2015 dari pukul 10.00 s.d. 15.00 waktu setempat
  2. Minggu, 29 Maret 2015 dari pukul 10.00 s.d. 15.00 waktu setempat
Jenis pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak selama penambahan jam kerja sebagaimana dimaksud pada angka 2 adalah pelayanan konsultasi dan penyampaian SPT Tahunan PPh.

Batas waktu jam kerja tambahan ini dapat diperpanjang sampai dengan pelayanan selesai.

Kamis, 12 Maret 2015

Panduan Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Usaha Kecil dan Menengah Tahun 2014

Tax Learning - 12 Maret 2015
Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk tahun pajak 2014 sudah harus dilaporkan paling lambat hari Selasa tanggal 31 Maret 2015. Praktis tinggal 19 hari lagi dari hari ini. Saat ini sebagian besar Wajib Pajak Orang Pribadi tengah sibuk menyiapkan data-data terkait dengan penghasilan di tahun 2014 yang perlu dilaporkan. Sebenarnya rutinitas pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini sudah dilakukan setiap tahunnya. Namun karena adanya beberapa ketentuan baru, termasuk adanya perubahan bentuk formulir, maka tahun ini penulis banyak menerima pertanyaan dari para Pembaca mengenai bagaimana cara dan prosedur pelaporan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2014. Berikut ini penulis ulas salah satu pertanyaan yang diterima.

Pertanyaan:
saya punya usaha PKL bidang kuliner terdaftar dari juni 2014 sbg wajib pajak pph ps 25 op... blm menikah perbulan saya setor Rp.100.000 ... saya bingung mengisi form nya... saya sdh baca blog mas tapi tetep belm faham... mohon penjelasan

Jawab:
Untuk usaha yang Anda jalankan di bidang kuliner ini, Anda terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Apabila peredaran usaha bruto (omzet) yang Anda terima ini dalam setahun tidak melebihi Rp 4,8 milliar, maka Anda termasuk kategori sebagai Pengusaha yang memiliki peredaran bruto tertentu. Dengan demikian, maka seharusnya pajak yang Anda setorkan setiap bulannya adalah dihitung sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto yang Anda peroleh pada bulan yang bersangkutan (sesuai ketentuan PP No. 46 Tahun 2013). Jadi PPh yang Anda setorkan per bulan sebesar Rp 100.000 ini seharusnya tidak sesuai.

Sebagai contoh, misalkan peredaran bruto yang Anda terima pada bulan Juni 2014 adalah sebesar Rp 45.530.000, maka PPh yang harus Anda setorkan ini adalah sebesar Rp 455.300. Demikian seterusnya untuk setiap bulannya hingga bulan Desember 2014. PPh ini disetorkan dengan menggunakan SSP dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420 (baca petunjuknya di sini). Apabila ternyata Anda salah menyetorkan PPh dan disetorkan sebagai PPh Pasal 25 (sebagaimana yang disebutkan di email yaitu sebesar Rp 100.000 setiap bulannya), maka Anda dapat mengajukan pemindahbukuan atas setoran yang salah tersebut ke setoran yang seharusnya (baca juga di artikel yang sama). Apabila terdapat kekurangan setor dari hasil pemindahbukuan tersebut, maka kekurangan setor tersebut harus Anda setorkan kembali.

Kelak pada akhir tahun pajak, setoran PPh 1% menjadi final dan tidak perlu dihitung ulang lagi dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Formulir SPT yang Anda gunakan adalah Formulir 1770 (temukan formulirnya di sini yaitu di aturan PER-19/PJ/2014 Lampiran I). Anda cukup mengisikan penghasilan dari usaha kuliner dan PPh yang disetorkan selama 1 tahun pajak tersebut pada Formulir 1770 - III (Lampiran III) pada bagian A Nomor Urut 16 "Penghasilan Lain yang Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final". Pada kolom "Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto" diisikan dengan jumlah peredaran bruto yang diterima selama setahun (periode Januari s.d. Desember tahun pajak yang bersangkutan). Sedangkan pada kolom "PPh Terutang (Rupiah)" isikan dengan jumlah PPh yang telah disetorkan selama setahun tersebut yang nilainya adalah 1% dari kolom Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto". Selain itu, Anda juga perlu merinci peredaran bruto dan PPh 1% per bulan dalam lampiran tersendiri yang menjadi bagian dari Lampiran SPT ini.

Apabila Anda tidak memiliki penghasilan lain, maka SPT Induk (form 1770 hanya perlu Anda isikan Identitas diri, PTKP dan jumlahnya (status TK/0 dengan nilai Rp 24.300.000), menyilang lampiran pilihan lampiran apa saja yang disertakan serta menandatangani SPT tersebut. Sedangkan apabila Anda memiliki penghasilan dari bunga deposito atau tabungan, maka isikan pada pada Formulir 1770 - III (Lampiran III) pada bagian A Nomor Urut 1.

Kemudian isikan jumlah jenis dan jumlah harta yang Anda miliki per akhir tahun pajak serta hutang yang ada pada Formulir 1770 - IV (Lampiran IV) pada Bagian A dan Bagian B.

Semoga penjelasan singkat ini dapat dipahami.

Senin, 09 Maret 2015

Penjualan Tanah dan/atau Bangunan Masih Status PPJB Kena PPh Tarif Umum atas Capital Gain

Tahun 2013 dan 2014 Direktorat Jenderal Pajak gencar dalam menggali potensi pajak yang berasal dari transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan. Mulanya program penggalian potensi pajak ini ditujukan kepada para perusahaan pengembang (developer) perumahan. Program penggalian potensi pajak ini dilakukan karena adanya indikasi bahwa adanya potensi pajak yang hilang dari sektor usaha bisnis properti ini.

Dari hasil penggalian potensi pajak ini, ditemukan adanya transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan (properti) yang baru sampai pada tahap terjadinya perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah dan/atau bangunan antara pihak pengembang dengan pihak pembeli (dalam hal ini penulis sebut sebagai pihak pembeli pertama) namun oleh pihak pembeli pertama, properti ini sudah langsung dijualkan kepada pihak pembeli kedua. Kelak pada saat pembuatan Akta Jual Beli (AJB), transaksi yang tercantum dalam akta ini adalah merupakan transaksi pengalihan hak (penjualan) atas properti dari pihak pengembang kepada pihak pembeli kedua tanpa mencantumkan transaksi yang terjadi dengan pihak pembeli pertama.

Umumnya pihak Notaris yang membuat Akta Jual Beli ini, hanya dapat melakukan pengawasan dengan meminta pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada pihak Developer atas pengalihan (penjualan) properti ini kepada pihak pembeli kedua. Sedangkan transaksi sebenarnya pengalihan properti dari pihak Pembeli pertama ke pihak pembeli kedua justru tidak terdeteksi sehingga potensi PPh yang seharusnya diterima oleh negara menjadi hilang.

Perlakuan PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Sebelum AJB

Akibat adanya kejadian pembeli properti yang belum melakukan proses AJB namun sudah menjual kembali properti yang dibelinya tersebut kepada pembeli lain, yang dimana kejadian ini sulit untuk diawasi, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak segera mengeluarkan surat penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2014 tanggal 14 Agustus 2014 tentang Pengawasan atas Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Melalui Jual Beli.

Tujuan dari penetapan surat edaran ini adalah untuk memberikan acuan dan pedoman dalam rangka pengawasan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang dilakukan oleh Wajib Pajak pemegang hak atas tanah yang belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli sehingga terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.

Penegasan Pengenaan PPh Tidak Final Atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Dalam SE-30/PJ/2014 ini, Direktur Jenderal Pajak menegaskan mengenai perlakuan pengenaan PPh atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh baru melalui PPJB dan belum dilakukan penandatanganan AJB yaitu: Dalam hal sebelum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli antara penjual dengan pembeli terjadi perubahan nama pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka atas penghasilan dari perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pembeli yang semula namanya tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, merupakan penghasilan berupa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak pembeli yang semula namanya tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Sebagai contoh kasus, dalam SE-30/PJ/2014 ini diilustrasikan sebagai berikut:

Odik Wijaya membeli 1 unit rumah dari developer PT Bali Griya Persada seharga Rp500.000.000,00 secara tunai. Antara PT Bali Griya Persada dengan Odik Wijaya belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), karena sertifikat rumah tersebut masih dalam proses pemecahan sehingga dilakukan terlebih dahulu dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara PT Bali Griya Persada sebagai penjual dan Odik Wijaya sebagai pembeli. Sertifikat rumah tersebut masih atas nama PT Bali Griya Persada. Sebelum dilakukan AJB antara PT Bali Griya Persada dengan Odik Wijaya, rumah tersebut oleh Odik Wijaya dijual kepada Indra Adi, sehingga akibat transaksi tersebut nama penjual dan pembeli yang tercantum dalam PPJB rumah tersebut menjadi PT Bali Griya Persada sebagai penjual dan Indra Adi sebagai pembeli.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh Odik Wijaya dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan berupa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang PPh yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang PPh dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh.

Jadi dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa atas transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih dalam bentuk PPJB dan belum dilakukan penandatanganan AJB, maka akan dikenakan PPh dengan tarif Pasal 17 (tidak final) atas selisih keuntungan dari penjualan tanah dan/atau bangunan tersebut (capital gain). Penjualan tanah dan/atau bangunan yang belum ditandatangani AJB ini bukan lagi merupakan objek PPh Final sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.

Komentar atas Penegasan ini

Definisi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 adalah:
  1. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
  2. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
  3. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus perikatan jual beli memang secara legal belum ada pengalihan hak atas suatu tanah dan/atau bangunan dari penjual kepada pembeli. Namun biasanya dalam praktek, pembeli yang membeli suatu unit properti ke pengembang, diawali dengan suatu perikatan jual beli. Sering ditemukan bahwa pada prakteknya pembeli tidak akan meningkatkan status tanah dan/atau bangunan yang dibeli menjadi akta jual beli (AJB), namun segera dijual ke pembeli baru walaupun status tanah dan/atau bangunan masih PPJB. Sebenarnya untuk kasus ini dapat kita lihat walaupun status atas pembelian tanah dan/bangunan tersebut masih PPJB, namun pihak pembeli sudah memiliki hak atas kepemilikan tanah tersebut, bahkan sudah dapat menjualkan kembali kepada pihak lainnya sebagai pembeli baru. Sehingga seharusnya definisi pelepasan hak/penyerahan hak dari pengembang kepada pembeli pertama sudah terpenuhi. Sehingga walaupun transaksi dari pengembang ke pembeli pertama masih berstatus PPJB, namun definisi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sudah terpenuhi, karena pihak pembeli pertama ini sudah memiliki hak untuk melepaskannya kepada pihak lainnya.

Sehingga menurut penulis, dengan menerbitkan Surat Edaran yang mengatur bahwa transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus PPJB yang bukan merupakan objek PPh Final sesuai ketentuan PP Nomor 71 Tahun 2008 kurang menguntungkan bagi penerimaan negara, dalam kondisi apabila nilai keuntungan (capital gain) dari transaksi ini masih rendah. Karena seharusnya jika transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus PPJB ini dianggap sebagai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, maka akan dikenakan PPh Final atas total nilai transaksi tanpa mempedulikan berapa keuntungan yang diperoleh oleh pembeli pertama.

Sebagai contoh, suatu tanah yang dibeli oleh pembeli pertama dari pengembang seharga Rp 100.000.000. Kemudian dijual kembali (dalam status tanah yang masih PPJB dengan pengembang) kepada pembeli kedua seharga Rp 120.000.000. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan SE-30/PJ/2014 ini, maka PPh yang terutang ini adalah hanya dikenakan atas capital gain sebesar Rp 20.000.000 (Rp 120.000.000 – Rp 100.000.000) dengan tarif umum PPh untuk orang pribadi yaitu sebesar 5%. Maka PPh terutangnya adalah sebesar Rp 1.000.000.

Padahal seharusnya apabila diterapkan PP Nomor 71 Tahun 2008, maka PPh yang harus disetorkan atas transaksi ini adalah sebesar Rp 120.000.000 x 5% atau sebesar Rp 6.000.000.