..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Minggu, 29 Desember 2019

Pengesahan Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan Terkait P3B untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan

Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba) di Paris, Perancis pada tanggal 7 Juni 2017.

Konvensi multilateral di Paris ini diadakan dengna tujuan untuk menerapkan tindakan-tindakan terkait dengan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dalam rangka mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba secara serentak, tersinkronisasi, dan efisien.

Tindak lanjut yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia agar Konvensi Multilateral di Paris ini dapat dilaksanakan maka diperlukan pengesahan hasil konvensi ini sebagai dasar pemberlakuannya sehingga pasal-pasal yang diadopsi dalam Konvensi tersebut dapat diberlakukan terhadap P3B yang tercakup dalam pensyaratan (reservations). Untuk itulah, Pemerintah menerbitkan peraturan pengesahannya melalui Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2019 tanggal 12 November 2019 tentang Pengesahan Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting (Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan Terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba.

Salinan naskah asli Konvensi ini dalam bahasa Prancis dan bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dengan pensyaratan (reservations) sebagaimana yang dicantumkan dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. Apabila kelak dalam menjalankan ketentuan konvensi ini terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Konvensi dalam bahasa Indonesia dengan salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis, maka yang berlaku adalah salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis.

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 13 November 2019.

Rabu, 25 Desember 2019

Kewajiban Menyampaikan Notifikasi Country by Country Report (CbCR)

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.03/2016, Wajib Pajak yang memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dan memenuhi kriteria tertentu sebagaimana yang diatur dalam PMK Nomor 213/PMK.03/2016 tersebut, diwajibkan untuk membuat dan menyimpan dokumen dan/atau informasi tambahan yang terdiri dari Dokumen Induk (Master File), Dokumen Lokal (Local File) dan Laporan per Negara (Country by Country Report/CbCR).

Salah satu laporan yang wajib disampaikan adalah Laporan per Negara atau yang dikenal sebagai CbCR. Wajib Pajak yang merupakan bagian atau anggota dari suatu Grup Usaha, termasuk yang memiliki transaksi afiliasi, wajib menyampaikan CbCR adalah sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak Badan dalam negeri yang merupakan Entitas Induk atau Ultimate Parent Entity (UPE) dari suatu Grup Usaha dengan peredaran bruto konsolidasi paling sedikit Rp11 triliun, atau
  2. Wajib Pajak Badan dalam negeri yang merupakan anggota Grup Usaha yang UPE-nya merupakan subjek pajak luar negeri dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. UPE-nya memiliki peredaran bruto konsolidasi paling sedikit €750 juta; dan
b. UPE-nya berdomisili di negara atau yurisdiksi yang:
  1. tidak mewajibkan penyampaian CbC report; 
  2. memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan namun tidak memiliki Qualifying Competent Authority Agreement (QCAA) efektif; atau 
  3. memiliki QCAA efektif tetapi terjadi systematic failure dalam pertukaran CbC report melalui Automatic Exchange of Information.
Ketentuan menyampaikan CbCR ini adalah terlebih dahulu Wajib Pajak wajib menyampaikan notifikasi apakah diwajibkan untuk menyampaikan CbCR ini. Bentuk dari Notifikasi CbCR ini telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2017 (bagi yang membutuhkan Template Notifikasi CbCR dalam bentuk Ms. Excel dapat download di sini). Notifikasi ini dapat disampaikan secara elektronik melalui sistem pelaporan elektronik yang telah diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui portal DJP Online yang dapat diakses di alamat https://djponline.pajak.go.id.

Dalam sistem tersebut Wajib Pajak akan dipandu secara tahap demi tahap dalam menyampaikan Notifikasi. Notifikasi tersebut berisi pernyataan apakah Wajib Pajak Badan tersebut hanya wajib menyampaikan Notifikasi namun tidak wajib menyampaikan CbC report, atau wajib menyampaikan Notifikasi dan wajib menyampaikan CbC report.

Apabila Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk menyampaikan CbC report maka Wajib Pajak menyampaikan CbC report (beserta kertas kerja, dalam hal Wajib Pajak merupakan Entitas Induk yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri) dalam format XML bersamaan dengan penyampaian Notifikasi. CbC report tidak diperkenankan disampaikan dalam bentuk kertas (hardcopy) maupun dalam format file selain XML.

Terhadap Notifikasi dan/atau CbC report yang disampaikan melalui DJP Online akan diberikan tanda terima yang harus dilampirkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan. Apabila Wajib Pajak menyampaikan SPT dalam bentuk SPT Elektronik, tanda terima tersebut disampaikan dalam bentuk file Portable Document Format (PDF) sebagai bagian dari dokumen atau keterangan yang harus dilampirkan dalam SPT Elektronik.

Untuk menjadi perhatian bagi Wajib Pajak yang memiliki transaksi dengan pihak afiliasi untuk memperhatikan jangka waktu penyampaian Notifikasi CbCR dan/atau CbCR ini paling lambat adalah 12 bulan setelah akhir tahun pajak. Dengan demikian, maka tanggal 31 Desember 2019 ini adalah merupakan batas waktu bagi Wajib Pajak dengan tahun buku 1 Januari s.d. 31 Desember untuk segera menyampaikan Notifikasi CbCR Tahun Pajak 2018.

Selasa, 26 November 2019

Pernyataan Pers Menteri Keuangan tentang Proses RUU Omnibus Perpajakan

Pada tanggal 22 November 2019 bertempat di Kantor Presiden RI telah diselenggarakan Rapat Terbatas Kebijakan Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Dalam Rapat Terbatas ini telah dibahas mengenai perkembangan proses Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Perpajakan yang sebelumnya telah diminta oleh Presiden Jokowi. Setelah Rapat Terbatas tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan pernyataan pers kepada para wartawan yang meliput.

Pada intinya pernyataan pers yang disampaikan oleh Menteri Keuangan ini menjelaskan mengenai RUU Omnibus Perpajakan, bahwa: RUU Omnibus Perpajakan ini adalah amandemen Undang-Undang yang terkait dengan ketentuan perpajakan dan perekonomian yang sebelum diatur dalam UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan UU lainnya yang berpengaruh atau dipengaruhi RUU Omnibus Perpajakan ini. Hal yang diatur dalam RUU Omnibus Perpajakan akan terdiri dari 6 kelompok, yaitu:
  1. Hal yang akan diatur RUU Omnibus Perpajakan ini adalah penurunan tarif PPh Badan dari yang berlaku saat ini sebesar 25% menjadi 22% dan 20%, 22% untuk periode 2021-2022. Selain itu juga diatur khusus tarif PPh Badan untuk perusahaan yang go public.
  2. Penurunan tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga yang diterima oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku, dengan diatur dalam peraturan pemerintah.
  3. Perubahan sistem pemajakan bagi Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari Luar Negeri, yang selama ini menganut prinsip world wide income yang akan diubah menjadi prinsip territori, untuk penghasilan baik dalam bentuk dividen maupun penghasilan setelah pajak dari usahanya. Prinsip Territori ini juga akan diterapkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan Warga Negera Asing yang menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri yang memperoleh penghasilan di Indonesia serta bagi Warga Negara Indonesia yang telah berada di Luar Negeri lebih dari 183 hari.
  4. Akan diatur juga mengenai hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan, terutama bagi Pengusaha Kena Pajak, terutama Pengusaha Kena Pajak yang memperoleh barang ataupun jasa namun dari pihak yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
  5. Mengubah ketentuan pengenaan sanksi administrasi atas bunga keterlambatan penyetoran pajak yang sebelumnya 2% menjadi lebih rendah.
  6. Mengubah ketentuam mengenai pemberian imbalan bunga oleh Pemerintah.
  7. Mengatur pemajakan atas transaksi perdagangan dengan sistem elektronik (e-commerce).
  8. Melakukan pengaturan kembali atas peraturan terkait pajak daerah
  9. Mengatur mengenai fasilitas-fasilitas perpajakan.
Berikut ini adalah video Pernyataan Pers Menteri Keuangan.

Berikut ini adalah transkrip dari pernyataan pers Menteri Keuangan tersebut.

Pernyataan Pers Menteri Keuangan RI
Rapat Terbatas Kebijakan Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian Kantor Presiden RI, 22 November 2019

Assalamualaikum wr. wb.

Telah dibahas dalam ratas tadi mengenai RUU Omnibus Perpajakan. Seperti diketahui bahwa Bapak Presiden meminta Kabinet (Indonesia Maju) untuk membuat peraturan perundang-undangan di dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan peranan UMKM, dan bagaimana meningkatkan investasi di dalam rangka meningkatkan penciptaan kesempatan kerja di Indonesia. Salah satunya yang ada di dalam kelompok perpajakan akan menjadi Omnibus tersendiri, kita sekarang menyampaikan kepada Bapak Presiden dalam sidang kabinet tadi RUU mengenai Omnibus Perpajakan.
  1. Pada dasarnya untuk penyusunan RUU ini terdiri dari 6 (enam) kelompok isu yang akan disampaikan untuk meningkatkan kemampuan perekonomian Indonesia dalam menciptakan kesempatan kerja. Dan menyangkut tentang UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta UU lainnya yang berpengaruh atau dipengaruhi oleh UU ini.
  2. Yang kesatu, kelompok pertama adalah mengenai Tarif Pajak Badan. Kita akan menurunkan, seperti disampaikan di sidang kabinet sebelumnya, PPh Badan dari saat ini 25% menjadi 22% dan 20%, 22% untuk periode 2021-2022, dan untuk periode 2023 akan menjadi 20%. Kita juga akan menurunkan untuk Pajak Badan yang akan melakukan go public dengan pengurangan Tarif PPh-nya 3% lagi di bawah tarif penurunan yang saya sebutkan tadi, hanya untuk yang go public yang baru selama 5 tahun sesudah mereka go public. Dengan demikian untuk yang go public, PPh-nya akan turun dari 22% menjadi 19% dan yang go public nanti di tahun 2023, mereka akan turun dari 20% menjadi 17%, karena turun 3% di bawah tarif normal. Kemudian kita juga akan membuat penurunan tarif atau pembebasan Tarif PPh Dividen dalam negeri, dalam hal ini dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi akan dibebaskan dan nanti akan kita atur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah di bawahnya.
  3. Untuk kelompok yang kedua adalah menyesuaikan Tarif PPh Pasal 26 atas bunga. Ini dalam rangka tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subjek pajak luar negeri, yang dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku, dengan diatur dalam peraturan pemerintah.
  4. Di dalam RUU Omnibus ini, kita juga akan mengatur sistem territori di dalam rangka untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri, yaitu untuk Wajib Pajak yang penghasilannya dari luar negeri baik dalam bentuk dividen maupun penghasilan setelah pajak dari usahanya, badan usaha tetapnya di luar negeri, dividen tersebut tidak dikenakan pajak di Indonesia, apabila diinvestasikan di Indonesia, yang berasal dari perusahaan baik yang listed maupun nonlisted. Ini nanti akan dijelaskan lebih jelas oleh Pak Suryo mengenai sistem territorial ini, terutama mengenai prosentase berapa yang merupakan berapa pajak yang ditahan dan berapa banyak pajak yang merupakan dividen. Untuk sistem territori yang kedua, terutama untuk penghasilan tertentu dari luar negeri, yaitu dari Warga Negara Asing yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri yang selama ini mereka mendapatkan posisi sebagai dual residence. Jadi, orang asing namun dia tinggal di Indonesia, maka yang dipajaki atau yang objek pembayaran pajaknya hanya PPh yang berasal dari penghasilan yang dari Indonesia saja, kita tidak meminta penghasilan mereka yang berasal dari luar territori Indonesia. Kemudian, dalam omnibus ini juga akan diatur mengenai Subjek Pajak Orang Pribadi, terutama yang selama ini cut off harinya 183 hari, apakah bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia. Untuk Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini mereka dianggap masih sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri karena dia orang Indonesia walaupun dia sudah tinggal di luar negeri, bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari, lebih dari 6 bulan, mereka masih dianggap sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri. Dan, oleh karena itu, dia dikenakan PPh untuk pajak dalam negeri kita. Sekarang dalam RUU ini, Subjek Pajak Dalam Negerinya bisa dikecualikan apabila mereka memenuhi persyaratan tertentu sehingga mereka bisa dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Dan, PPh yang diperoleh dari atas penghasilan dari Indonesia, dikenakan mekanisme pemotongan Pasal 26, namun untuk penghasilan yang berasal dari luar Indonesia itu adalah subjek pajak di luar negeri, karena sudah lebih dari 183 hari. Untuk Warga Negara Asing yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini begitu dia tinggal di Indonesia lebih dari 6 bulan, dia otomatis menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri. Kita juga akan melakukan hal yang sama, namun pajak yang dibayar oleh Warga Negara Asing di dalam negeri adalah hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja.
  5. Bagian lain dari RUU ini juga mengatur mengenai hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan, terutama bagi Pengusaha Kena Pajak. Ini terutama Pengusaha Kena Pajak yang memperoleh barang ataupun jasa namun dari pihak yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, selama ini mereka tidak bisa melakukan pengkreditan. Di dalam UU ini, nanti RUU ini kita mengusulkan agar mereka tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut, maksimal 80%. Ini yang merupakan bagi kita suatu yang baru, sehingga merupakan suatu insentif dan kemudahan bagi para pengusaha yang selama ini memiliki barang dan jasa yang berasal dari perusahaan yang belum merupakan Pengusaha Kena Pajak atau bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak. Ini juga termasuk untuk Pajak-Pajak Masukan dari SPT yang ditemukan pada saat pemeriksaan dan mereka tidak bisa lagi mengidentifikasi dari mana perusahaan yang dia peroleh atau pembelian barang- barang tersebut dari perusahaan yang dia peroleh.
  6. Untuk bagian yang keenam, adalah mengenai sanksi. Di dalam RUU ini kami mengusulkan bahwa sanksi administrasi bagi pelanggaran pajak yang selama ini dihitung berdasarkan flat rate yaitu 2% per bulan, kita akan mengubah berdasarkan tarif bunga yang berjalan saat ini dibagi berapa lama mereka, dengan tentu saja memberikan perhatian bahwa sanksi tersebut adalah dianggap adil karena sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku, selama ini dengan suku bunga yang rendah tentu akan memberikan keuntungan bagi mereka untuk bisa comply lebih baik. Tujuannya adalah untuk para Wajib Pajak untuk dapat meningkatkan compliance- nya dan mereka bisa menghitung sanksi administrasinya secara lebih rasional. Dan oleh karena itu, kemudian bisa menciptakan struktur compliance yang lebih baik.
  7. Bagian yang ketujuh adalah mengenai pengaturan ulang dari sanksi di mana pemerintah mengambil dan oleh karena itu, kita harus memberikan kompensasi imbalan bunga yang akan dibayarkan oleh pemerintah juga akan mengikuti suku bunga yang berlaku. Jadi tidak lagi mengikuti 2% per bulan maksimum 24 bulan seperti yang selama ini diadopt dalam RUU KUP kita.
  8. Kemudian, untuk bidang yang berhubungan dengan pemajakan atas perdagangan dengan sistem elektronik, di dalam RUU ini kita akan menyampaikan bahwa subjek pajak luar negeri seperti NETFLIX dan yang lain-lain, yang selama ini merupakan subjek pajak luar negeri dapat memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN- nya. Jadi walaupun mereka tidak beroperasi, tidak berada di Indonesia namun ia memiliki aktivitas yang menghasilkan pendapatan dari Indonesia, mereka tetap bisa dan menjadi subjek pajak luar negeri yang memiliki kewenangan untuk memungut, dan kemudian menyetor dan melaporkan kepada otoritas pajak di sini. Ini dilakukan dalam rangka untuk menghindari transaksi-transaksi elektronik yang selama ini tidak (dikenakan PPN), karena keberadaannya di Indonesia, dari sisi badan usaha tersebut kita memiliki kesulitan untuk memungut pajaknya. Kemudian, untuk pengenaan Pajak Penghasilan atau Pajak Transaksi Elektronik yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri ini, maka diatur ketentuan sebagai BUT yang berdasarkan sumber penerimaan pajak di sini atau disebut sebagai economic presence-nya bukan berasal dari sisi tempat mereka atau phisycal presence-nya. Jadi, walaupun mereka tidak secara fisik ada di sini namun karena kegiatannya menghasilkan nilai ekonomi, itulah yang diatur sebagai basis perpajakannya dan dalam hal ini akan diatur dalam peraturan pemerintah.
  9. Terakhir di dalam, adalah mengenai rasionalisasi pajak daerah. Ini tujuannya adalah untuk mengatur kembali yang selama ini kewenangan Pemerintah Pusat untuk menetapkan tarif pajak daerah secara nasional, maka akan ditegaskan dalam RUU ini dan ditegaskan bahwa pengaturannya melalui peraturan presiden dan tentu nanti kita akan berkonsultasi dengan asosiasi pemerintah daerah di dalam rangka untuk mengatur agar kemampuan daerah untuk mengumpulkan pajak asli daerahnya, penerimaan asli daerahnya tetap bisa baik namun tetap sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat untuk menciptakan lingkungan usaha dan penciptaan kesempatan kerja serta investasi yang baik. Ini yang akan kita terus formulasikan, termasuk bagaimana agar Pemerintah Daerah dapat memajukan untuk perbaikan peraturan daerahnya secara lebih cepat melalui Peraturan Kepala Daerah.
  10. Terakhir, di dalam RUU ini adalah mengumpulkan seluruh fasilitas-faslitas perpajakan di dalam satu bagian, termasuk pengurangan dan pembebasan pajak seperti pajak PPh, Tax Holiday, Super Deduction untuk vokasi dan research and development, dan juga perusahaan yang melakukan penanaman modal untuk kegiatan padat karya. Kita juga juga, fasilitas PPh untuk Kawasan Eknomi Khusus dan juga pengurangan dan pembebasan pajak daerah itu akan diatur di dalam kelompok ini. Kita juga akan mengatur PPh untuk surat berharga nasional yang diedarkan di pasar internasional. Ini semuanya tujuannya adalah untuk memberikan landasan hukum dari pemberian berbagai fasilitas agar landasan itu menjadi lebih tegas dan kuat sehingga kita bisa melaksanakan policy-policy perpajakan di dalam mendorong penciptaan kesempatan kerja. Mungkin demikian yang bisa kita sampaikan, silakan jika ada pertanyaan. Untuk timeline selanjutnya, di dalam sidang kabinet ini kami akan merumuskan secara final.

Jumat, 01 November 2019

Selamat Bertugas Pak Suryo Utomo Sebagai Direktur Jenderal Pajak

Pagi ini, 1 November 2019 pukul 09.00 bertempat di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani melantik Suryo Utomo sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru menggantikan Robert Pakpahan yang telah menjadi Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 30 November 2017, dan telah memasuki masa purnabakti pada tanggal 31 Oktober 2019 kemarin.

Pelantikan Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak ini bersamaan juga dengan pelantikan beberapa pejabat Eselon I dan Eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan.

Profil Suryo Utomo

Sebagaimana kita ketahui bahwa Suryo Utomo yang dilantik sebagai Dirjen Pajak yang baru menggantikan Robert Pakpahan, sebelumnya adalah sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak.

Sebagaimana dikutip dari situs Kementerian Keuangan serta beberapa sumber lainnya, berikut ini adalah profil singkat Suryo Utomo.

Lahir di Semarang pada tanggal 26 Maret 1969. Menempuh pendidikan Sarjana Ekonomi di Universitas Diponegoro. Gelarnya diraih pada tahun 1992. Melanjutkan pendidikan Master of Business Taxation di University of Southern California, Amerika Serikat dan mendapatkan gelarnya pada tahun 1998. Gelar Doctor of Philosophy in Taxation diperolehnya dari University Kebangsaan Malaysia pada tahun 2019.

Mengawali karir Pegawai Negeri Sipil sebagai pelaksana di Kementerian Keuangan pada tahun 1993 di Sekretariat Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Pajak. Pernah menjabat sebagai Kepala Seksi PPN Industri pada tahun 1998, sebagai Kepala Seksi Pajak Penghasilan Badan pada tahun 2002. Tahun 2002 dipromosikan menjadi Kepala Subdirektorat Pertambahan Nilai Industri, 2006 menjadi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga, 2008 menjadi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu. 28 Maret 2009 dipromosikan menjadi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah I. Kemudian pada tahun 2010 menjadi Direktur Peraturan Perpajakan I. Lalu pada tanggal 31 Maret 2015 menjadi Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian, dan pada 1 Juli 2015 beliau dipercaya menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak.

Selamat bertugas untuk Pak Suryo Utomo sebagai Direktur Jenderal Pajak. Semoga dapat mengemban tugas ini sesuai dengan amanah yang diberikan dan selalu sukses.

Rabu, 02 Oktober 2019

e-Book: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Terbitan DDTC

Hari ini penulis memperoleh berkat yang luar biasa dari salah seorang rekan. Disebutkan berkat karena penulis memperoleh soft file e-Book sebuah buku yang sangat bagus karangan dari Darussalam, Danny Septriadi dan team DDTC yang berjudul Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda - Panduan, Interpretasi, dan Aplikasi.

Penulis sudah pernah diberikan hardcopy buku ini secara langsung oleh pengarangnya, Pak Darussalam, dalam suatu sesi seminar yang diikuti oleh Penulis. Buku ini cukup tebal, yaitu sebanyak 744 halaman di luar Kata Pengantar dan Daftar Isi. Dengan mendapatkan kembali file dalam bentuk e-Book, sangat memudahkan bagi penulis untuk membawa buku ini kemana pun.

Buku Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda - Panduan, Interpretasi, dan Aplikasi yang ditulis oleh beberapa penulis di DDTC yaitu Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji, Romi Irawan, Yusuf Wangko Ngantung, Deborah, Ganda Christian Tobing, dan Khisi Armaya Dhora ini terbagi menjadi 28 Bab. Ke-28 Bab ini terdiri dari:

Bab 1: Pajak Internasional suatu Pengantar
Bab 2: Perkembangan dan Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab 3: Penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab 4: Interpretasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab 5: Subjek Pajak yang Dicakup dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab 6: Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bab 7: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Laba Usaha
Bab 8: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Kegiatan Pelayaran, Transportasi Perairan Darat, dan Penerbangan
Bab 9: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Dividen
Bab 10: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Bunga
Bab 11: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Royalti
Bab 12: Beneficial Owner dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab 13: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari Harta Tak Bergerak
Bab 14: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Capital Gains
Bab 15: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari Pekerjaan Bebas
Bab 16: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari Hubungan Pekerjaan
Bab 17: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Direktur
Bab 18: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Entertainer dan Olahragawan
Bab 19: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pensiun
Bab 20: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pegawai Pemerintah
Bab 21: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pelajar dan Peserta Magang
Bab 22: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Akademisi: Profesor, Dosen Tamu, dan Peneliti
Bab 23: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Lain
Bab 24: Metode Eliminasi Pajak Berganda secara Yuridis
Bab 25: Prinsip Nondiskriminasi dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab 26: Pertukaran Informasi untuk Tujuan Pajak
Bab 27: Penghasilan Pejabat Diplomatik dan Konsulat dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab 28: Penghindaran Pajak, Proyek Anti-BEPS, dan Upaya Merestorasi Sistem Pajak Internasional

Buku ini disusun secara sistematis sesuai dengan model suatu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda sehingga cukup mudah untuk menemukan bagian yang diperlukan oleh pembaca. Di samping itu pembahasan yang disajikan dalam buku ini juga sangat mudah untuk dicerna karena disertai juga dengan diagram, gambar serta ilustrasi-ilustrasi sederhana.

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda - Panduan, Interpretasi, dan Aplikasi ini cocok digunakan oleh para mahasiswa praktisi, konsultan, akademisi maupun birokrat yang sedang mendalami ilmu pajak internasional.

Penulis mengucapkan secara khusus untuk Pak Darussalam, Mas Bawono dan seluruh team DDTC yang telah mengijinkan bukunya ini untuk dibagikan secara cuma-cuma dalam bentuk e-Book ini.

Download:
e-Book: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda - Panduan, Interpretasi, dan Aplikasi