..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Rabu, 28 April 2010

Penyampaian Transkrip Kutipan Elemen Laporan Keuangan

Transkrip Kutipan Elemen Laporan Keuangan yang wajib diisi dan disampaikan oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009 ini masih belum mengakomodasi bentuk laporan keuangan dari suatu badan usaha yang bergerak di bidang Dana Pensiun dan perusahaan pembiayaan.
Saat ini transkrip elemen laporan keuangan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2009, terdiri dari 3 jenis yaitu:
-Lampiran Khusus 8A-1 untuk Perusahaan Industri, Manufactur
-Lampiran Khusus 8A-2 untuk Perusahaan Dagang
-Lampiran Khusus 8B-6 untuk Non-Kualifikasi
Walaupun terdapat Lampiran Khusus 8B-6, namun formulir ini tetap tidak mengakomodasi elemen laporan keuangan dari jenis usaha Dana Pensiun dan perusahaan pembiayaan.

Untuk mengantisipasi hal ini, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-55/PJ/2010 tanggal 27 April 2010 yang menegaskan bahwa sepanjang belum ada ketentuan mengenai formulir transkrip kutipan elemen-elemen dari laporan keuangan bagi Wajib Pajak Badan yang bergerak pada bidang dana pensiun dan perusahaan pembiayaan, maka kepada Wajib Pajak Badan yang bergerak di bidang usaha tersebut tetap wajib menyampaikan SPT Tahunan beserta laporan keuangannya tanpa perlu melampirkan transkrip kutipan elemen-elemen laporan keuangan.


Sebagai penyempurnaan, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014 yang mengubah formulir SPT Tahunan PPh Badan yang berlaku untuk tahun pajak 2014 sampai dengan sekarang (sampai dengan tulisan ini dibuat, berlaku juga untuk tahun pajak 2016):
1. Formulir SPT Tahunan PPh Badan Rupiah
2. Lampiran Khusus SPT Tahunan PPh Badan Rupiah
3. Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal untuk Transfer Pricing Documentation sesuai PMK 213/PMK.03/2016

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Selasa, 27 April 2010

Beberapa Ketentuan Baru Yang Perlu Diperhatikan Dalam Melaporkan SPT Tahunan PPh Badan

Sebenarnya penulis ingin menuliskan artikel tentang seluruh perubahan yang terjadi atas kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009. Namun akibat keterbatasan waktu, akhirnya penulis buatkan saja ringkasannya.

Formulir SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 Sedikit Berubah!

Untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009, mengalami sedikit perubahan antara lain mengenai transaksi hubungan istimewa. Saat ini pernyataan transaksi hubungan istimewa ada pada halaman induk SPT (pada bagian G No. 16 Formulir 1771). Jika Wajib Pajak memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka Wajib melampirkan formulir Lampiran Khusus 3A, 3A-1, dan 3A-2.

Ada Lampiran Khusus Transkrip Elemen Laporan Keuangan, yang harus dibuat dan dilampirkan oleh Wajib Pajak. Transkrip ini dibuat menurut jenis-jenis usaha Wajib Pajak.

Untuk mendapatkan formulir SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2009 format Microsoft Excel, silakan download di sini. Sedangkan Formulir Lampiran Khusus berupa Pernyataan dapat didownload di sini (namun di sini masih dalam bentuk file pdf, karena penulis belum sempat mengubah ke file excel).

Lampiran Daftar Nominatif untuk Biaya Promosi

Bagi Wajib Pajak yang selama tahun 2009 mengeluarkan dan membebankan biaya promosi sehubungan dengan usahanya, maka wajib melampirkan daftar nominatif untuk biaya promosi ini. Ketentuan ini adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010. Artikel dan bentuk Daftar Nominatif ini silakan download di sini.

Tarif PPh Berubah

a. Tarif PPh Badan umum
Tarif PPh Badan untuk tahun pajak 2009 adalah tarif tetap (flat) sebesar 28%. Berbeda dengan tahun pajak sebelumnya yang masih mengenal tarif berlapis atau progresif. Sedangkan tarif PPh Badan untuk tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% (Pasal 17 ayat (2a) UU PPh). Akibat adanya penurunan tarif PPh Badan untuk tahun 2010, maka dalam menghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang akan disetorkan mulai Masa Pajak April 2010 hingga Desember 2010 (dalam SPT Tahunan PPh Badan tahun 2009). Ulasan serupa (berkaitan dengan perubahan tarif PPh Orang Pribadi) mengenai penghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang harus disesuaikan dengan perubahan ketentuan ini pernah dibahas dalam artikel: Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2009. Jadi untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kelebihan penyetoran PPh untuk tahun pajak 2010, kita perlu mencermati adanya perubahan ketentuan ini dan menyesuaikan angsuran PPh Pasal 25.

b. Tarif PPh Badan untuk perseroan terbuka (go public)
Khusus untuk Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2008, dapat memperoleh tarif PPh sebesar 5% lebih rendah daripada tarif yang berlaku. Jadi untuk tahun 2009 ini tarif PPh Badan yang berlaku adalah 28%, maka untuk Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka yang memenuhi ketentuan ini berhak menggunakan tarif 23%. Ulasan mengenai ketentuan ini sudah penulis bahas pada artikel: WP Badan Go Publik Otomatis Dapat Penurunan Tarif PPh Badan untuk SPT Tahunan 2008.

c. Tarif PPh untuk WP Badan dengan peredaran usaha kurang dari Rp 50 milyar
Wajib Pajak badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapatkan fasilitas berupa pengurangan tarif PPh sebesar 50% dari tarif yang berlaku berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, dengan ketentuan bahwa pengenaan tarif sebesar 50% lebih rendah dari tarif yang berlaku ini akan dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh perusahaan ini dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00. Ketentuan mengenai fasilitas ini diatur dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
Mengutip contoh perhitungan dari penjelasan Pasal 31E ayat (1) adalah sebagai berikut:
Contoh 1:
Peredaran Bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00.
Maka perusahaan ini memenuhi kriteria sebagai WP Badan yang berhak memperoleh fasilitas pengenaan tarif PPh sebesar 50% (karena peredaran bruto masih di bawah Rp 50 miliar).
Pengenaan tarif PPh sebesar 50% dapat dikenakan terhadap seluruh Penghasilan Kena Pajak PT Y, yaitu Rp 500.000.000,00 (karena peredaran usahanya masih di bawah batas bagian peredaran usaha yang mendapatkan fasilitas ini yaitu Rp 4.800.000.000,00).
Jadi PPh Badan Terutang PT Y Tahun 2009 = (50% x 28%) x Rp 500.000.000,00 atau PPh Terutangnya adalah sebesar Rp 70.000.000,00.

Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3 miliar. Maka Penghitungan PPh yang terutang adalah:
-Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas adalah (Rp 4,8 miliar : Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480.000.000,00.
-Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas adalah Rp 3 miliar - Rp 480 juta = Rp 2.520.000.000,00
Sehingga PPh Terutangnya adalah:
-(50% x 28%) x Rp 480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
-28% x Rp 2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00
Jumlah PPh Terutang = Rp 772.800.000,00

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah ketentuan ini dapat langsung ditetapkan oleh semua Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sesuai persyaratan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 50 miliar? Padahal sampai dengan saat ini penulis belum menemukan peraturan pelaksana untuk menerapkan ketentuan Pasal 31E ini. Menurut penulis ketentuan ini sudah dapat diterapkan walau tidak ada peraturan pelaksananya, karena tidak dalam Pasal ini mensyaratkan bahwa aturan lebih lanjut akan diatur dengan peraturan di bawahnya. Pada ayat (2)-nya hanya menyebutkan bahwa yang akan diatur dengan peraturan lebih lanjut (yaitu Peraturan Menteri Keuangan) hanyalah mengenai ketentuan menaikkan batasan peredaran bruto.
(c) syafrianto.blogspot.com 27042010

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Senin, 26 April 2010

Penambahan Kode Jenis Setoran pada SSP

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah merupakan bukti pembayaran atau bukti penyetoran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak ke kas negara melalui Kantor Pos dan Giro serta Bank Persepsi sebagai tempat pembayaran pajak yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Saat ini ketentuan mengenai bentuk SSP ini telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tanggal 23 Juni 2009. Formulir SSP yang ditetapkan melalui PER-38/PJ/2009 ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2009 (dengan masa peralihan formulir SSP lama masih dapat digunakan hingga 31 Desember 2009).
Namun karena dalam PER-38/PJ/2009 masih terdapat beberapa jenis setoran pajak yang terakomodasi dalam SSP ini, maka Direktur Jenderal Pajak kembali menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 tanggal 22 April 2010 untuk menambahkan beberapa kode jenis setoran pajak yang sebelumnya belum tercantum dalam PER-38/PJ/2009.

Kententuan PER-23/PJ/2010 ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan pengantar Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-54/PJ/2010 tanggal 22 April 2010 yang menyampaikan bahwa beberapa perubahan yang dilakukan dalam PER-23/PJ/2010 ini adalah terdiri dari:
  1. Penambahan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk pembayaran deposit atas penggunaan Mesin Teraan Meterai Digital untuk membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas, dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP): 411611 dan KJS 2XX
  2. Penambahan KJS untuk denda administrasi atas pemeteraian kemudian, yaitu menggunakan KAP 411611 dan KJS 512.
  3. Penambahan KJS untuk pembayaran PPh Pasal 15 atas Jasa Penerbangan Dalam Negeri dalam bentuk charter, dengan menggunakan KAP 411129 KJS 101, serta penambahan KJS 301, 311, 321 untuk pembayaran jumlah yang harus dibayar sesuai dengan yang tercantum dalam STP, SKPKB dan SKPKBT.
  4. Perbaikan redaksional pada KAP 411612 (Penjualan Benda Meterai) dengan KJS 500, 501, dan 510 berupa perubahan istilah dari "Bea Meterai" menjadi "Benda Meterai".

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu tanggal 22 April 2010.

Artikel Terkait:
  1. PER-38/PJ/2009 beserta lampirannya
  2. Formulir SSP format Excel (formulir ini penulis buat 5 rangkap, lembar ke-5 dicetak jika dibutuhkan sesuai dengan petunjuk dari PER-38/PJ/2009


Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Jumat, 23 April 2010

Apakah Pajak yang Saya Bayarkan Tidak Akan Masuk Ke Kantong Pribadi Pegawai Pajak?

Pendahuluan

Sebulan terakhir ini kita banyak mendengar dan membaca berita mengenai kasus penyelewengan dan korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai pajak terhadap uang pajak. Kasus yang sempat menggemparkan adalah Makelar Kasus Pengadilan Pajak yang dilakukan oleh oknum Gayus Tambunan yang dibongkar oleh Susno Duadji, serta yang baru-baru ini terungkap adalah kasus pemalsuan setoran pajak yang dilakukan oleh suatu jaringan (mafia) di Surabaya. Akibat mencuatnya berita mengenai kasus-kasus ini mengakibatkan, menimbulkan kembali terjadinya resistensi (penolakan) di kalangan masyarakat terhadap kewajiban membayar pajak. Bahkan kita sebagai Wajib Pajak yang selama ini telah menjalankan kewajiban perpajakan kita termasuk juga melakukan penyetoran pajak akan merasa khawatir, jangan-jangan pajak yang selama ini telah kita setorkan bisa dikorupsi oleh oknum-oknum seperti yang disebutkan di atas?

Sistem Pembayaran Pajak

Untuk membahas pertanyaan tersebut di atas, penulis akan membahas dari sisi akademisi sesuai dengan bidang yang dikuasai oleh penulis. Tulisan berikut ini adalah murni hasil pemikiran penulis dan tidak bermaksud untuk menuduh atau menyudutkan pihak manapun yang terkait dalam tulisan berikut. Tujuan dari tulisan berikut adalah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang apa sebenarnya dan bagaimana mekanisme pembayaran pajak.

Jika kita tinjau dari sistem penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajak yang telah diterapkan di Indonesia sejak Reformasi Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983, Indonesia menganut sistem yang disebut sebagai self assessment system. Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk menghitung sendiri, melakukan penyetoran sendiri atas pajak terutang yang telah dihitungnya tersebut, serta melaporkannya sendiri ke Direktorat Jenderal Pajak/DJP (dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak setempat). Karena sistem inilah menyebabkan pihak DJP tidak lagi melakukan penetapan dan menarik setoran pajak langsung dari para Wajib Pajak. Fungsi DJP hanyalah sebagai pengawas terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak.

Dalam self assessment system ini, Wajib Pajak harus menghitung pajak terutangnya atas seluruh penghasilan yang diterimanya. Maka di sini dituntut kejujuran dari pihak Wajib Pajak sendiri. Uang pajak yang telah dihitung dan terutang selama suatu periode tertentu haruslah disetorkan sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau ke Kantor Pos dan Giro. Namun sampai dengan saat ini masih banyak pihak yang salah persepsi dan menganggap bahwa uang pajak yang terutang tersebut harus disetorkan ke kantor pajak (DJP), seperti isu yang beredar di masyarakat selama ini. Setelah kasus Gayus ini terungkap, maka timbullah gerakan dari masyarakat untuk tidak membayar pajak, karena mereka khawatir uang pajak yang dibayarkannya ini akan masuk ke kantong pribadi oknum petugas pajak. Bahkan saat pembahasan di Panja Wakil Rakyat, bahkan ada kesan bahwa para Wakil Rakyat juga masih awam soal pembayaran pajak.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah, apakah uang untuk pembayaran pajak yang telah kita bayarkan ke bank persepsi atau kantor pos dan giro itu akan aman dan tidak dapat dikorupsi oleh oknum aparat pajak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlulah kita ketahui bagaimana sebenarnya sistem penerimaan negara kita melalui pajak, serta bagaimana distribusi dari pajak yang telah diterima ini untuk digunakan sebagai biaya pembangunan.

Dalam sistem tata negara kita, sumber pembiayaan negara kita ini sebagian besar berasal dari penerimaan pajak dari masyarakat (Wajib Pajak). Pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak yang masuk ke bank persepsi dan kantor pos dan giro akan masuk langsung kas negara (dalam pos-pos penerimaan). Pos-pos penerimaan ini dapat kita ibaratkan sebagai suatu “rekening bank”, jadi Wajib Pajak yang menyetorkan pajaknya akan masuk ke “rekening bank” tersebut. Sama halnya seperti rekening bank yang kita miliki di Bank maka untuk mengambil uang dari “rekening bank” setoran pajak ini haruslah orang yang telah diotorisasikan. Uang yang diterima oleh negara (termasuk juga penerimaan dari pajak) yang telah masuk ke “rekening bank” kas negara ini baru akan dapat dikeluarkan setelah adanya APBN serta penjabaran penggunaannya dalam pos-pos dan untuk instansi-instansi yang telah ditetapkan dan disetujui oleh Wakil Rakyat dalam Rapat Paripurnanya. Melalui kuasa hasil penetapan para Wakil Rakyat inilah baru pihak Pemerintah dapat mencairkan (mengambil) uang dalam rekening kas negara ini untuk pembiayaan pembangunan, yang didelegasikan ke masing-masing instansi dan departemen.

Dengan demikian, maka apabila kita menyetorkan uang ke kas negara (antara lain berupa pajak), mustahil jika akan diambil atau dicairkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi, karena uang di kas negara baru dapat dicairkan jika ada proyek pembiayaan sebagaimana yang tercantum dalam APBN yang telah disetujui oleh Wakil Rakyat. Justru sebenarnya penyimpangan yang mungkin terjadi adalah pada saat uang tersebut telah dicairkan (sesuai dengan APBN) dan akan digunakan oleh tiap instansi untuk digunakan dalam pembiayaan negara. Oleh sebab itu, mengapa DJP saat ini menggunakan slogan: “Lunasi Pajaknya dan Awasi Penggunaannya”. Dengan demikian, maka kita sebagai masyarakat para pembayar pajak, kita dapat mengawasi penggunaan dana dari pajak yang telah kita bayar ini dengan memantau kegiatan seluruh instansi dan lembaga pemerintahan negara kita ini dalam hal pengelolaan dan penggunaan anggaran yang mereka terima melalui APBN atau APBD setiap tahunnya.

Sampai di sini mungkin para Pembaca Setia Tax Learning sudah mulai dapat memahami mengenai mekanisme penyetoran pajak serta dapat menjawab pertanyaan “Apakah Pajak yang Saya Bayarkan Tidak Akan Masuk Ke Kantong Pribadi Pegawai Pajak?”

Jadi sepanjang pajak dari para Pembaca Setia Tax Learning (dan juga para Wajib Pajak) disetorkan sendiri langsung ke bank persepsi atau kantor pos dan giro, maka uang pajak ini tidak akan mungkin masuk ke kantong pribadi oknum Pegawai Pajak.

Skema tentang mekanisme penghitungan pajak, pembayaran pajak, pelaporan pajak serta alokasi penggunaannya dapat dilihat pada gambar berikut ini (gambar ini diambil dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, www.pajak.go.id):


Mengapa Terjadi Kasus Uang Pajak Masuk ke Kantong Pribadi Oknum Tertentu?

Namun pertanyaan berikutnya mungkin akan muncul, “Jika memang setoran pajak ini tidak akan masuk ke kantong pribadi oknum Pegawai Pajak, lalu mengapa kasus Gayus dan kasus pemalsuan setoran pajak di Surabaya dapat terjadi?

Sebenarnya kasus Gayus ini dapat terjadi akibat adanya kolusi (penulis kurang setuju dengan istilah korupsi, karena kejadian ini sebenarnya terjadi karena adanya kesepakatan dari pihak Wajib Pajak dan oknum Pegawai Pajak untuk menghilangkan atau mengurangkan ketetapan pajak). Kasus ini kemungkinan dilakukan pada saat Wajib Pajak mengajukan Banding di Pengadilan dengan cara membuat hasil keputusan dari banding tersebut untuk membatalkan ketetapan pajak yang sudah ditetapkan pihak DJP sebelumnya (simpulan ini diambil oleh penulis setelah membaca dan menganalisis informasi dari media massa, pihak Kementerian Keuangan, Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum serta pihak-pihak lainnya).

Sedangkan untuk kasus yang terjadi di Surabaya, kemungkinan dapat terjadi akibat manipulasi setoran pajak yang dibuat oleh pihak ketiga.
Berdasarkan analisis penulis, manipulasi setoran pajak ini dapat terjadi, akibat adanya Wajib Pajak yang menyerahkan sepenuhnya penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya ke pihak ketiga yang tidak berkompeten (menurut informasi di media massa adalah staf dari konsultan pajak). Modus ini dilakukan oleh oknum konsultan pajak yang mengurus penghitungan, penyetoran serta pelaporan pajak dari seorang Wajib Pajak (yang biasanya karena belum mengerti atau tidak mau repot untuk melakukannya sendiri). Si oknum akan meminta sejumlah uang kepada Wajib Pajak yang meminta tolong untuk diurus perhitungan dan pelaporan pajaknya tersebut sebagai dana untuk menyetorkan pajak berdasarkan perhitungan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), namun oknum ini akan menyetorkan nilai yang lebih kecil dari dana yang telah diperoleh dari Wajib Pajak (atau bahkan tidak menyetorkan pajaknya tersebut), kemudian bukti penyetoran pajak yang sesuai dengan dana yang telah diberikan oleh Wajib Pajak ini akan dipalsukan (dibuatkan surat setoran pajak palsu, seolah-olah dana untuk pajak tersebut seluruhnya telah disetorkan).

Dengan demikian, menurut penulis atas 2 kasus penyelewengan setoran pajak di atas terjadi akibat adanya kolusi antara Wajib Pajak sendiri dengan oknum petugas pajak dan akibat adanya Wajib Pajak yang menyerahkan penyetoran pajak kepada pihak ketiga yang kurang bertanggung jawab sehingga setoran pajaknya ini dimanipulasi.

Oleh sebab itu, saran penulis kepada para Pembaca Setia Tax Learning untuk menghindari tindakan yang mengarah kepada tindakan pidana perpajakan (atau terlibat melakukan tindakan tersebut) seperti kedua kasus di atas, maka sebaiknya Wajib Pajak melakukan perhitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya secara sendiri. Apabila menggunakan jasa konsultan pajak, gunakanlah konsultan pajak yang resmi yang memiliki ijin praktek yang diakui oleh instansi yang berwenang. Selain itu, laporkanlah pajak Anda secara jujur dan benar sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam sistem perpajakan kita serta sebagai wujud bahwa kita adalah warga negara yang bertanggung jawab. Karena pajak yang Anda setorkan ini adalah modal untuk melakukan pembangunan bangsa kita ini. Apabila tidak ada pembayaran pajak dari Anda, maka kemungkinan besar jalannya roda pemerintahan negara kita akan terhenti.

Selamat membayar pajak dengan jujur dan benar.
(c)23042010 @ http://syafrianto.blogspot.com

Tidak menemukan artikel yang Anda inginkan? Lakukan pencarian lebih lanjut:

Rabu, 21 April 2010

Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak

Akibat adanya beberapa perubahan ketentuan termasuk mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN), maka ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) yang selama ini diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2010 tanggal 13 April 2010.