..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Rabu, 31 Desember 2008

Press Release DJP: Perpanjangan Sunset Policy Hingga 29 Februari 2009

Sehubungan dengan masih sangat tingginya antusiasme masyarakat untuk mengikuti program sunset policy, namun hingga tanggal 30 Desember 2008 masih belum dapat mengikuti program tersebut, maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan memperpanjang program sunset policy ini hingga 28 Februari 2009. Sambil menunggu diterbitkannya peraturan mengenai perpanjangan program sunset policy tersebut, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Siaran Pers (Press Release) tertanggal 30 Desember 2008 yang ditandatangani oleh Direktur P2 Humas, Djoko Slamet Surjoputro.

Berikut isi dari Siaran Pers tersebut.

"Perpanjangan Batas Waktu Pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) UU KUP"

Jakarta, 30 Desember 2008 – Untuk lebih memperkuat basis perpajakan nasional dalam mengantisipasi dampak krisis keuangan global serta antusiasme masyarakat yang luar biasa dalam memanfaatkan Pasal 37A ayat (1) UU KUP (sunset policy) namun tidak dapat memenuhi batas waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang, maka pemerintah memperpanjang pelaksanaan sunset policy, baik penyampaian pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) Pajak Penghasilan maupun pembayaran pajak yang kurang dibayar yang tadinya sampai dengan 31 Desember 2008 menjadi sampai dengan 29 Pebruari 2009. Produk hukum sebagai landasan perpanjangan sunset policy ini sedang dalam proses.
Demikian agar masyarakat maklum

Selesai.

Direktur P2 Humas

ttd

Djoko Slamet Surjoputro
NIP 060044562

Contact Person:
Richard Burton, Kasubdit Humas Dit P2Humas
Gedung B Lantai 15 Kantor Pusat DJP
Jln Gatot Subroto 40-42
Telp. 5251609, 5250208 Ext. 3597, 3598
Fax. 5736088

DOWNLOAD ISI SIARAN PERS ASLINYA

Selasa, 30 Desember 2008

Program Sunset Policy Diperpanjang Hingga Pebruari 2009?

Penulis banyak mendapatkan pertanyaan dari rekan-rekan pembaca mengenai adanya informasi bahwa Program Sunset Policy diperpanjang hingga akhir Pebruari 2009. Namun penulis sendiri belum mendapatkan aturan mengenai hal ini. Beberapa informasi yang berhasil diperoleh adalah berita dari detik.com dan runing text Metro TV. Hingga saat ini penulis masih berusaha untuk mengumpulkan informasi mengenai kepastian ini.
Berikut kutipan berita dari detik.com.

Selasa, 30/12/2008 17:04 WIB
Permintaan Membludak, Sunset Policy Diperpanjang Februari 2009
Alih Istik Wahyuni, Angga Aliya ZRF - detikFinance

Jakarta - Departemen Keuangan akan memperpanjang sunset policy atau kebijakan penghapusan sanksi pajak yang seharusnya berakhir besok menjadi Februari 2009.

Demikian disampaikan Menkeu Sri Mulyani dalam temu wicara dengan pelaku bursa di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (30/12/2008).

Sri Mulyani saat ditemui di kantor presiden sebelumnya mengungkapkan, pemerintah mempertimbangkan untuk memperpanjang sunset policy ke Februari 2009.

Pemerintah memperpanjang program ini karena membludaknya pendaftaran wajib pajak di detik-detik akhir pentutupan sunset policy di 2008.

"Sunset Policy akan diperpanjang sampai Februari, tapi jangan tunggu sampai 28 Februari lagi. Ini adalah (perpanjangan) yang terakhir," katanya..

Menurut Sri Mulyani, pihaknya hari ini sangat kewalahan melayani pendaftaran wajib pajak di kantor-kantor pajak. "Karena banyak wajib pajak yang register sunset policy. Karena deadline besok pagi," katanya.

Bahkan ada wajib pajak yang sampai mengeluh karena proses pendaftaran yang membludak. "Sampai ada yang bilang, 'saya mau kasih uang ke negara saja kok susah'. Padahal tadinya kita yang kejar-kejar untuk bayar," kata Sri Mulyani.

Namun ia menyatakan, kondisi ini cukup melegakan karena artinya ada kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.


(lih/qom)

Sabtu, 27 Desember 2008

Penghitungan Pajak Penghasilan atas Orang Pribadi Agen Asuransi

Tanya:
Bagaimanakah cara penghitungan pajak bagi seorang agen asuransi? Apakah agen asuransi (orang pribadi) dapat menghitung PPh Terutang untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya dengan menggunakan metode pencatatan dan menerapkan norma penghitungan penghasilan neto dalam menghitung besarnya penghasilan neto dari penghasilannya?

Jawab:
Penghasilan yang diterima oleh seorang Wajib Pajak dapat dibagi menjadi:
1. Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan
2. Penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas
3. Penghasilan dari modal
4. Penghasilan lainnya

Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

Dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan bahwa Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-15/PJ/2006 disebutkan bahwa Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e disebutkan bahwa Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 antara lain adalah honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri petugas dinas luar asuransi.

Pasal 2 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-536/PJ./2000 ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.

Saat ini ada ketentuan bahwa seorang agen asuransi orang pribadi hanya boleh menawarkan asuransi dari 1 (satu) perusahaan asuransi. Oleh sebab itu, maka agen asuransi ini bersifat lebih terikat dengan 1 (satu) perusahaan asuransi dan ia tidak dapat menjadi agen bebas yang dapat dengan leluasa menawarkan beberapa merk asuransi.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas, dengan ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Agen Asuransi orang pribadi berdasarkan definisi dari ketentuan pajak didefinisikan sebagai Petugas Dinas Luar Asuransi yang bekerja pada perusahaan asuransi (sebagai pemberi kerja) dan menerima penghasilan dari perusahaan asuransi tersebut dalam bentuk komisi, pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Atas penghasilan yang diterima oleh petugas dinas luar asuransi ini, harus dipotong PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja (perusahaan asuransi).
2. Agen asuransi orang pribadi yang mendapatkan penghasilan dari perusahaan asuransi ini adalah termasuk dalam kategori Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja dan memperoleh penghasilan dari pemberi kerja.
3. Wajib Pajak orang pribadi yang diperkenankan untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Wajib Pajak yang diwajibkan untuk melakukan pencatatan) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
4. Dengan demikian maka, Agen Asuransi orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari perusahaan asuransi (berupa honor, komisi, atau penghasilan sehubungan dengan imbalan atau pekerjaan) adalah merupakan orang pribadi yang bekerja dan memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan. Orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak diperkenankan untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
5. Untuk pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi si Agen Asuransi, dalam menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diperoleh oleh Agen Asuransi orang pribadi ini (sebagaimana yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang diberikan oleh pemberi kerja), setelah dikurangi dengan PTKP langsung dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17.

Catatan: ketentuan dan ulasan di atas saat ini telah digugurkan dengan dikeluarkannya ketentuan baru bagi Agen Asuransi untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, baca artikelnya di sini.

Artikel Terkait:
Penegasan Penghitungan PPh Agen Asuransi Menggunakan Norma

Jumat, 26 Desember 2008

Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Tidak Perlu Lapor SPT

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri tidak perlu menyampaikan surat pemberitahuan (SPT), apabila telah bekerja dan tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dalam setahun. Orang Pribadi [TKI/TKW] yang bekerja dan tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dalam setahun, maka mereka akan dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana yang dikutip oleh Harian Bisnis Indonesia edisi tanggal 26 Desember 2008.

Penegasan tersebut menjawab keresahan mengenai penetapan status perpajakan bagi TKI yang bekerja di luar negeri apakah digolongkan WP dalam negeri atau WP luar negeri.

Dengan berstatus sebagai WP luar negeri, TKI tidak lagi dikenai pungutan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilannya selama dia bekerja dan tinggal di luar negeri. Mereka hanya dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan, dan tidak wajib menyampaikan SPT.

Akan tetapi, apabila pekerja itu berstatus sebagai WP dalam negeri, TKI tersebut akan dikenai pungutan PPh baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Mereka akan dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, dan wajib menyampaikan SPT.

Berikut kutipan dari Harian Bisnis Indonesia edisi 26 Desember 2008.
Jumat, 26/12/2008
NPWP akan bertambah 20 juta pada 2009
JAKARTA: Direktorat Jenderal Pajak menargetkan kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) baru hingga akhir 2009 akan bertambah 20 juta atau 40% dari total rumah tangga di Indonesia sebanyak 55 juta keluarga.
Direktur Jenderal Pajak Depkeu Darmin Nasution mengungkapkan total penduduk Indonesia sekitar 230 juta jiwa yang diperkirakan terbagi dalam 55 keluarga.
Dari jumlah keluarga tersebut, hanya 40% atau sekitar 20 juta kepala keluarga yang memiliki penghasilan kena pajak, sedangkan sisanya berpendapatan di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
"Itu perhitungan agak kasar. Kami menganggap kalau sudah mencapai 20 juta itu sudah hampir semua," ujar dia usai rapat pimpinan Depkeu, Rabu.
Sejauh ini, jelas dia, kebijakan Ditjen Pajak telah berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang tampak dari meningkatnya rata-rata pembuatan NPWP. Hingga bulan ini, pertumbuhan NPWP baru telah melonjak drastis hingga 3,5 juta dibandingkan dengan bulan lalu yang hanya tumbuh 2,5 juta.
"Kalau tadinya [permohonan NPWP] sehari bisa 7.000-8.000, pada Desember ini 50.000-100.000 per hari. Pernah terjadi sehari bisa sampai 200.000. Saya kira sampai hari ini bertambahnya kira-kira 3,5 jutaan dari awal tahun."
enurut Darmin, pencapaian pertumbuhan NPWP baru telah melampaui dari harapan pemerintah. Secara keseluruhan, total NPWP di Indonesia sudah sekitar 10 juta. "Saya kira tadinya tidak sampai sebesar itu. Jadi kalau 10 juta itu sudah bagus. Ya siapa yang bisa membayangkan bisa seperti ini dapat 10 juta."
Terkait dengan rencana kenaikan tarif fiskal luar negeri menjadi Rp2,5 juta untuk orang yang tak memiliki NPWP, dia berharap kebijakan tersebut dapat merangsang masyarakat untuk membuat NPWP.
Kendati begitu, Dirjen Pajak meyakini kebijakan kenaikan tarif fiskal itu tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak tahun depan. Bahkan, jika semakin banyak masyarakat membuat NPWP, penerimaan dari fiskal justru semakin berkurang karena ada ketentuan pembebasan pembayaran. "Kalau semua mengurus NPWP, penerimaan dari bea fiskal bisa nol."
Lebih lanjut dia menjelaskan pengurusan NPWP saat ini jauh lebih singkat dari tahun-tahun sebelumnya. Sebelumnya, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus NPWP sekitar sebulan dan kini hanya membutuhkan waktu 3 hari.

Pajak TKI

Di tempat terpisah, Darmin menegaskan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri tidak perlu menyampaikan surat pemberitahuan (SPT), apabila telah bekerja dan tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dalam setahun.
"Kalau dia [TKI/TKW] bekerja dan tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dalam setahun mereka [digolongkan] WP luar negeri," tegasnya beberapa waktu lalu.
Penegasan tersebut menjawab keresahan mengenai penetapan status perpajakan bagi TKI yang bekerja di luar negeri apakah digolongkan WP dalam negeri atau WP luar negeri.
Dengan berstatus sebagai WP luar negeri, TKI tidak lagi dikenai pungutan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilannya selama dia bekerja dan tinggal di luar negeri. Mereka hanya dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan, dan tidak wajib menyampaikan SPT.
Akan tetapi, apabila pekerja itu berstatus sebagai WP dalam negeri, TKI tersebut akan dikenai pungutan PPh baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Mereka akan dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, dan wajib menyampaikan SPT.
Dalam APBN 2009, penerimaan pajak ditergetkan tumbuh 21,65% atau Rp650,29 triliun, lebih rendah dari pada target APBN-P 2008 sebesar 23,52%. Penurunan proyeksi tersebut karena mempertimbangkan revisi UU PPh terkait dengan penerapan tarif PPh baru.
Penerimaan pajak pada 2009 akan dioptimalkan dari PPh dengan target Rp364,4 triliun. Untuk target penerimaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Rp245,43 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan Rp36,16 triliun dan pajak lainnya Rp4,27 triliun.(15/16) (redaksi@bisnis.co.id)
Bisnis Indonesia 

 
Artikel Terkait:
-Wajib Pajak yang Tinggal di Luar Negeri Dapat Menjadi WP Non Efektif 

-Perlakuan Pengenaan Pajak Bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri

Senin, 22 Desember 2008

Pemungut PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 adalah merupakan salah satu jenis pajak penghasilan yang pemungutannya menggunakan sistem witholding (witholding system). Sistem pemungutan pajak ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas penghasilan yang mereka bayarkan kepada penerima penghasilan.
Penunjukan pemungut PPh Pasal 22, sifat dan besarnya pungutan PPh Pasal 22 serta tata cara penyetoran dan pelaporannya diatur lebih lanjut melalui Keputusan Menteri Keuangan dan/atau Peraturan Menteri Keuangan.
Sejak tahun 2001 hingga saat ini, Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur ketentuan mengenai Penunjukan pemungut PPh Pasal 22, sifat dan besarnya pungutan PPh Pasal 22 serta tata cara penyetoran dan pelaporannya, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001, telah mengalami beberapa kali perubahan, yaitu:
1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2007
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.03/2008
Saat ini ketentuan tersebut telah mengalami perubahan yang kelima kalinya yaitu dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 tanggal 11 Desember 2008.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 ini, diatur mengenai pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 adalah:


  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
  2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik tingkat Pusat maupun Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.
  3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembelian barang yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan pada angka 4 di bawah ini.
  4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
  5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
  6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas.
  7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Ketentuan eraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009.