..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Tax Learning. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tax Learning. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Juli 2016

Pengampunan Pajak - Apa dan Bagaimana (Bagian 1)

Apa Yang Dimaksud Dengan Pengampunan Pajak?

Pengampunan pajak adalah sebuah program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang berupa penghapusan terhadap pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang telah timbul dan membayar Uang Tebusan.


Mengapa Saya Perlu Ikut Pengampunan Pajak?

Kebijakan Pengampunan Pajak adalah terobosan kebijakan yang didorong oleh semakin kecilnya kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena semakin transparannya sektor keuangan global dan meningkatnya intensitas pertukaran informasi antarnegara. Selain itu, mulai tahun 2017, hampir seluruh negara di dunia telah menandatangani kesepakatan pertukaran informasi secara otomatis terutama informasi perpajakan. Kebijakan Pengampunan Pajak juga tidak akan diberikan secara berkala. Setidaknya, hingga beberapa puluh tahun ke depan, kebijakan Pengampunan Pajak tidak akan diberikan lagi.

Kebijakan Pengampunan Pajak, dalam penjelasan umum Undang-Undang Pengampunan Pajak, hendak diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta kebijakan strategis lain di bidang perpajakan dan perbankan sehingga membuat ketidakpatuhan Wajib Pajak akan tergerus di kemudian hari melalui basis data kuat yang dihasilkan oleh pelaksanaan Undang-Undang ini.

Bahkan dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak (Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4)) ditegaskan bahwa dalam hal Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Pengampunan Pajak dan Direktr Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, maka atas harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai harta tersebut, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak ini berlaku, serta akan dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Siapakah Yang Dapat Mengikuti Pengampunan Pajak?

Yang dapat mengikuti kebijakan pengampunan pajak ini adalah:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi
  2. Wajib Pajak Badan
  3. Wajib Pajak yang bergerak di bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
  4. Orang Pribadi atau Badan yang belum menjadi Wajib Pajak
Siapakah Yang Tidak Dapat Mengikuti Pengampunan Pajak?

Wajib Pajak yang dikecualikan dan tidak dapat mengikuti program Pengampunan Pajak ini adalah:
  1. Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (status P-21),
  2. Wajib Pajak yang sedang dalam proses peradilan, atau
  3. Wajib Pajak yang sedang menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Apa Persyaratan Untuk Mengikuti Pengampunan Pajak?

Persyaratan Wajib Pajak yang dapat mengikuti program Pengampunan Pajak ini adalah:
  1. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  2. membayar Uang Tebusan;
  3. melunasi seluruh Tunggakan Pajak;
  4. melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan;
  5. menyampaikan SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
  6. mencabut permohonan: o pengembalian kelebihan pembayaran pajak; o pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang; o pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar; o keberatan; o pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan; o banding; o gugatan; dan/atau o peninjauan kembali, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
Kapan dan Berapa Lama Masa Berlakunya Pengampunan Pajak?

Pengampunan Pajak mulai berlaku sejak diundangkan sampai dengan 31 Maret 2017, dan pelaksanaannya terbagi ke dalam 3 (tiga) periode, yaitu:
  1. Periode I: mulai tanggal diundangkan s.d 30 September 2016
  2. Periode II: mulai tanggal 1 Oktober 2016 s.d 31 Desember 2016
  3. Periode III: mulai tanggal 1 Januari 2017 s.d 31 Maret 2017
Apa Objek Pengampunan Pajak?

Pengampunan Pajak diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya melalui Surat Pernyataan. Harta yang diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam mengikuti Pengampunan Pajak ini adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selama ini belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.

Kemana Saya Harus Mengajukan Pengampunan Pajak?

Wajib Pajak yang akan memperoleh Pengampunan Pajak harus harus mengajukan Surat Pernyataan Ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri Keuangan dengan membawa Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Bagaimana Cara Pengajuan Pengampunan Pajak?

1. Wajib Pajak datang ke KPP

Wajib Pajak mendatangi KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk meminta penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pernyataan.

Kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pernyataan adalah: o bukti pembayaran Uang Tebusan; o bukti pelunasan Tunggakan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki Tunggakan Pajak; o daftar rincian Harta beserta informasi kepemilikan Harta yang dilaporkan; o daftar Utang serta dokumen pendukung; o bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan; o fotokopi SPT PPh Terakhir; dan o surat pernyataan mencabut segala permohonan yang telah diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak o surat pernyataan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan dalam hal Wajib Pajak akan melaksanakan repatriasi; o melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan dalam hal Wajib Pajak akan melaksanakan deklarasi; o surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang UMKM

2. Wajib Pajak membayar Uang Tebusan dan Tunggakan Pajak

Selain melengkapi dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, Wajib Pajak membayar Uang Tebusan, melunasi tunggakan pajak, dan melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan.

3. Penyampaian Surat Pernyataan ke KPP

Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau Tempat Lain yang ditentukan Menteri Keuangan.

4. Menerima tanda terima Surat Pernyataan

Setelah menyampaikan Surat Pernyataan ke KPP, Wajib Pajak akan mendapatkan tanda terima Surat Pernyataan.

5. Surat Keterangan Pengampunan Pajak

Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan Surat Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima Surat Pernyataan beserta lampirannya dan mengirimkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak kepada Wajib Pajak.

Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri belum menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan dianggap diterima.

6. Penyampaian Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali.

Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017 di mana Surat Pernyataan Kedua dan Ketiga dapat disampaikan sebelum atau setelah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan sebelumnya dikeluarkan

Bagaimana Cara Menghitung Besarnya Uang Tebusan Pengampunan Pajak?

Besarnya Uang Tebusan = Tarif x Dasar Pengenaan
Dasar Pengenaan = Nilai Wajar Harta Yang Diungkap - Nilai Harta Terkait dengan Harta Yang Diungkap

Berapa Besarnya Tarif Uang Tebusan Pengampunan Pajak?

Untuk Harta yang belum pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh yang berada di Dalam Negeri yang diungkapkan (deklarasi di Dalam Negeri) dan Harta yang Berada di Luar Negeri yang dibawa ke Dalam Negeri (repatriasi) tarifnya terbagi menjadi:
  1. 2% untuk periode 1 Juli 2016 s.d. 30 September 2016
  2. 3% untuk periode 1 Oktober 2016 s.d. 31 Desember 2016
  3. 5% untuk periode 1 Januari 2017 s.d. 31 Maret 2017
Untuk Harta yang belum pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh yang berada di Luar Negeri yang diungkapkan dan tidak dibawa ke Dalam Negeri (deklarasi di Luar Negeri) tarifnya terbagi menjadi:
  1. 4% untuk periode 1 Juli 2016 s.d. 30 September 2016
  2. 6% untuk periode 1 Oktober 2016 s.d. 31 Desember 2016
  3. 10% untuk periode 1 Januari 2017 s.d. 31 Maret 2017
Untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha sampai dengan Rp 4.800.000.000 pada Tahun Pajak terakhir (sesuai dengan yang dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015), tarifnya adalah:
  1. 0,5% bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 dalam Surat Pernyataan
  2. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 dalam Surat Pernyataan
untuk periode penyampaian Surat Pernyataan tanggal 1 Juli 2016 s.d. tanggal 31 Maret 2017.
(c) http://syafrianto.blogspot.co.id

Rabu, 20 Mei 2015

Penentuan Kriteria Kualifikasi Usaha Jasa Konstruksi Untuk Dasar Pemotongan PPh

Sejak 1 Januari 2008, Pemerintah telah mengubah kebijakan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh oleh kegiatan usaha jasa konstruksi dengan menyederhanakan sistem pemungutannya dengan memperlakukan pengenaan PPh yang bersifat final untuk semua jenis kegiatan usaha jasa konstruksi. Pada aturan sebelumnya (Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000) sistem pemungutannya masih dibedakan menjadi 2 perlakuan, yaitu berdasarkan ketentuan PPh yang bersifat final untuk nilai pengadaan sampai dengan Rp 1 miliar dan perlakuan pengenaan PPh berdasarkan ketentuan PPh yang bersifat umum (tidak final) untuk nilai pengadaan di atas Rp 1 miliar.

Perlakuan pengenaan PPh untuk usaha jasa konstruksi mulai 1 Januari 2008 (dan berlaku hingga saat ini) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009. Pada Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008 ditetapkan bahwa tarif PPh Final untuk Jasa Konstruksi ditentukan berdasarkan kualifikasi usaha dan terbagi menjadi:
  1. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
  2. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
  3. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  4. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  5. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Jika dibaca dari Penjelasan atas ayat ini, maka definisi “Kualifikasi Usaha” yang menjadi batasan penentuan tarif PPh adalah stratifikasi yang ditentukan berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

Penafsiran Keliru Tentang Kualifikasi Usaha

Selama ini banyak terjadi kesalahan penafsiran mengenai penerapan tarif PPh Final sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008 tersebut. Banyak penafsiran bahwa batasan kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar tersebut harus disesuaikan dengan batasan nilai proyek pekerjaan jasa konstruksi yang dikerjakan oleh perusahaan jasa konstruksi tersebut. Hal ini kemungkinan akibat dari ketentuan lama (PP Nomor 140 Tahun 2000) yang membatasi bahwa Wajib Pajak yang akan dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 2% hanya untuk Wajib Pajak yang melakukan proyek pekerjaan dengan nilai pengadaan sampai dengan Rp 1 miliar.

Saat ini banyak pihak yang menafsirkan bahwa untuk menentukan kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar sesuai PP Nomor 51 Tahun 2008 ini harus dikaitkan dengan batasan kemampuan melaksanakan pekerjaan sebagaimana yang diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2011.

Pada Pasal 8B ayat (1) PP 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 4 Tahun 2010 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2011 ditetapkan bahwa kualifikasi badan usaha jasa konstruksi terdiri dari:
  1. kualifikasi usaha besar; ;
  2. kualifikasi usaha menengah; dan;
  3. kualifikasi usaha kecil.
Pada tabel lampiran III Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2011 memang disebutkan bahwa kemampuan melaksanakan pekerjaan dan kemampuan batasan nilai satu pekerjaan maksimum adalah sampai dengan Rp 2,5 miliar untuk usaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha kecil. Namun tidak ada larangan atau batasan bagi suatu badan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil untuk tidak boleh menangani suatu pekerjaan dengan nilai pengadaan di atas Rp 2,5 miliar.

Apabila diperhatikan pada Pasal 100 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengenai Pengadaan Barang dan/atau Jasa, disebutkan bahwa:
“nilai paket pekerjaan Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sampai dengan Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juga rupiah), diperuntukan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompentensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.”

Jika kita simak aturan di atas, maka batasan nilai proyek yang diatur ini hanya membatasi bahwa batasan nilai pengadaan ini sebenarnya untuk melindungi usaha kecil supaya kontraktor dengan kualifikasi usaha menengah dan besar tidak menguasai semua jenis proyek yang mengakibatkan kontraktor kualifikasi usaha kecil kalah bersaing.

Kembali lagi ke pokok masalah kita, apakah aturan mengenai pengenaan PPh berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tersebut, kualifikasi usaha besar, menengah atau kecil tersebut adalah didasarkan pada nilai suatu proyek pekerjaan. PP Nomor 51 Tahun 2008 tidak pernah mengatur mengenai pengklasifikasian skala kualifikasi usaha jasa konstruksi. PP Nomor 51 Tahun 2008 hanya menetapkan besaran tarif PPh Final yang harus dikenakan terhadap masing-masing kualifikasi usaha. Sedangkan kualifikasi usaha ini sendiri menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 adalah mengacu kepada kualifikasi yang telah ditentukan (sertifikasi yang dikeluarkan) oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

Simpulan

Jadi menurut penulis, untuk keperluan pengenaan PPh pihak yang berkepentingan untuk menetapkan besarnya PPh yang terutang, kualifikasi usaha dari kontraktor pemberi jasa konstruksi ini ditentukan berdasarkan sertifikasi klasifikasi usaha yang telah diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang masih berlaku. Apabila ternyata kontraktor yang memiliki sertifikat kualifikasi usaha kecil ini mengerjakan proyek dengan nilai di atas Rp 2,5 miliar, maka untuk keperluan pengenaan PPh, tidak boleh serta merta langsung diklasifikasikan sebagai kontraktor yang memiliki sertifikat kualifikasi usaha menengah atau besar. Karena secara legal, kontraktor tersebut memiliki sertifikat kualifikasi usaha kecil, walaupun dalam prakteknya yang bersangkutan mengerjakan proyek untuk kualifikasi menengah atau besar, maka pengenaan PPh harus memperhatikan aspek legalnya dimana kontraktor ini adalah pemegang sertifikat kualifikasi usaha kecil. Oleh sebab itu, PPh final yang harus dikenakan untuk kontraktor ini adalah PPh Final sebesar 2%.

Senin, 13 Januari 2014

Pemberitahuan Nomor Faktur Pajak Yang Tidak Terpakai

Sejak 1 April 2013, nomor Faktur Pajak tidak dapat ditetapkan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Untuk membuat Faktur Pajak, PKP harus mendapatkan Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP tersebut dikukuhkan. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 diatur bahwa Nomor Seri Faktur Pajak diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP tersebut dikukuhkan setelah mendapatkan surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak dari PKP yang bersangkutan.

Ketentuan Nomor Faktur Pajak

Format Nomor Faktur Pajak yang ditetapkan oleh PER-24/PJ/2012 ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:
-Kode Faktur Pajak yang terdiri dari 3 digit angka; dan
-Nomor Seri Faktur Pajak yang terdiri dari 13 digit angka.

Nomor Faktur Pajak yang akan diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak adalah untuk Nomor Seri Faktur Pajak yang terdiri dari 13 digit angka, sedangkan Kode Faktur Pajak ditetapkan sendiri oleh PKP sesuai dengan jenis transaksi yang dilakukan.

Pada format Nomor Seri Faktur Pajak yang terdiri dari 13 digit angka, pada angka digit keempat dan kelima adalah merupakan kode tahun penerbitan Faktur Pajak. Dalam Lampiran III huruf B nomor 3 c Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 ditegaskan bahwa Nomor Seri Faktur Pajak digunakan untuk penerbitan Faktur Pajak dalam tahun yang sama dengan 2 (dua) digit tahun penerbitan yang tertera dalam Nomor Seri Faktur Pajak.
Berdasarkan prosedur yang dijelaskan dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2012 Kantor Pelayanan Pajak akan memberikan Nomor Seri Faktur Pajak kepada PKP yang mengajukan permintaan dengan jumlah sebanyak:
-maksimal 75 nomor seri untuk PKP baru atau PKP yang melaporkan SPT secara manual/hardcopy; atau
-maksimal nomor seri faktur yang diberikan sebanyak 120% dari jumlah penerbitan Faktur Pajak selama 3 (tiga) bulan sebelumnya untuk PKP yang melaporkan SPT Masa PPN untuk masa pajak sebelumnya secara elektronik (e-SPT).

Apabila dalam suatu tahun pajak, nomor seri Faktur Pajak ini telah habis digunakan, maka PKP dapat mengajukan permintaan kembali Nomor Seri Faktur Pajak.

Nomor Seri Faktur Pajak yang Tidak Terpakai

Berdasarkan ketentuan mengenai Nomor Faktur Pajak yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak hanya dapat digunakan dalam tahun pajak yang sama dengan tahun pajak diberikannya Nomor Seri Faktur Pajak tersebut. Apabila Nomor Seri Faktur Pajak tersebut tidak habis digunakan dalam tahun pajak yang bersangkutan, maka Nomor Seri tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk tahun pajak berikutnya.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 yang menegaskan bahwa Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak digunakan dalam suatu tahun pajak tertentu, tidak dapat digunakan lagi pada tahun pajak berikutnya dan harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan. Pelaporan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak digunakan ini dilakukan bersamaan dengan pelaporan SPT Masa PPN Masa Pajak Desember tahun pajak yang bersangkutan dan menggunakan formulir sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Lampiran IVF Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012.

Simpulan

Yang perlu diperhatikan oleh para Pengusaha Kena Pajak sehubungan dengan ketentuan penomoran Faktur Pajak yang baru ini adalah:

Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak, hanya dapat digunakan dalam tahun pajak sesuai dengan tahun pajak diberikannya Nomor Seri Faktur Pajak tersebut dari Kantor Pelayanan Pajak.

Nomor Seri Faktur Pajak yang tersisa yang masih belum terpakai hingga akhir tahun pajak, tidak boleh digunakan lagi pada tahun pajak berikutnya.

Atas Nomor Seri Faktur Pajak yang tersisa dan tidak terpakai ini, harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan dengan menggunakan format surat sesuai Lampiran IVF Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012. Pelaporan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak terpakai ini dilakukan bersamaan dengan saat pelaporan SPT Masa PPN Masa Pajak Desember tahun pajak yang bersangkutan.

Download:
Template Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak Tidak Terpakai (lampiran IVF) versi Word
(c)http://syafrianto.blogspot.com
 
Catatan:

Senin, 06 Januari 2014

Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar, PKP Dicabut?

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, maka batasan pengusaha yang wajib untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) berubah dari ketentuan sebelumnya adalah memperoleh Peredaran Bruto setahunnya di atas Rp 600 juta naik menjadi Rp 4,8 miliar. Dengan adanya kenaikan batasan ini tentunya akan berakibat bagi pengusaha yang memiliki Peredaran Bruto (omzet) setahunnya antara Rp 600 juta hingga Rp 4,8 miliar yang selama ini telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan memiliki kewajiban PPN, sejak 1 Januari 2014 seharusnya sudah tidak lagi diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Akibatnya banyak Pengusaha Kena Pajak yang telah terdaftar namun memiliki Peredaran Bruto yang masih di bawah Rp 4,8 miliar setahun menjadi ragu, apakah mereka tetap diwajibkan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak ataukah sudah tidak diwajibkan lagi untuk menjadi seorang Pengusaha Kena Pajak. Akibatnya pertanyaan terkait dengan hal ini sering diterima oleh penulis beberapa saat terakhir ini. Untuk mengatasi kebingungan yang timbul di antara para Pembaca Setia Tax Learning ini, maka berikut akan diulas beberapa hal mengenai kewajiban pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Pencabutan PKP Karena Termasuk Sebagai Pengusaha Kecil

Dalam ketentuan PPN, dikenal adanya istilah Pengusaha Kecil. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 ditegaskan bahwa Pengusaha Kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan dalam rangka kegiatan usaha dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 ditegaskan bahwa Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.

Oleh sebab itu, Pengusaha Kecil dengan peredaran bruto yang tidak lebih dari Rp 4,8 miliar tidak perlu mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Apabila dalam suatu kondisi, ternyata Pengusaha Kena Pajak memperoleh peredaran bruto dalam setahun tidak melebihi batasan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (dalam hal ini mulai 1 Januari 2014 adalah sebesar Rp 4,8 miliar), maka berdasarkan ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, maka Pengusaha Kena Pajak ini dapat mengajukan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian, pencabutan pengukuhan PKP ini dapat dilakukan apabila Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan pencabutan PKP.

Selain itu, pencabutan pengukuhan PKP juga dapat dilakukan apabila berdasarkan hasil verifikasi lapangan atau berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas pajak ternyata ditemukan fakta bahwa PKP tersebut sudah tidak memenuhi persyaratan untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Pengusaha Kecil dengan Peredaran Bruto Tidak Lebih dari Rp 4,8 Miliar Boleh Dikukuhkan PKP

Pengusaha yang dalam 1 (satu) tahun buku telah melakukan penyerahan dengan peredaran bruto yang melebihi Rp 4,8 miliar wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan bagi pengusaha yang melakukan penyerahan dengan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar (Pengusaha Kecil), sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Namun apabila Pengusaha Kecil dengan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar ini ingin dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha Kecil ini diperbolehkan untuk mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Bagi Pengusaha Kecil yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka ia memiliki kewajiban PPN yang sama dengan Pengusaha Kena Pajak dengan peredaran bruto yang lebih dari Rp 4,8 miliar yaitu wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.

Bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 dan ternyata peredaran bruto setahunnya masih di bawah Rp 4,8 miliar namun tetap ingin dikukuhkan sebagai PKP, maka pengusaha ini tidak perlu mengajukan permohonan pencabutan PKP, sehingga ia tetap memiliki kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Senin, 28 Mei 2012

Pendaftaran Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah merupakan pajak yang bersifat objektif yang artinya bahwa besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objeknya yaitu bumi (tanah) dan/atau bangunan. Kondisi dan keadaan dari subjek pajaknya (siapa yang menjadi penanggung atau pembayar PBB) tidak ikut dalam menentukan besarnya pajak terutang.

Walaupun demikian, untuk dapat menentukan terutangnya pajak atas suatu objek PBB, maka harus ada Subjek Pajaknya. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
  1. mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
  2. memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
  3. memiliki bangunan, dan atau;
  4. menguasai bangunan, dan atau;
  5. memperoleh manfaat atas bangunan.

Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban untuk membayar PBB ditetapkan sebagai Wajib Pajak oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak (saat ini pihak Pemerintah Daerah untuk pemungutan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan) sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Namun dewasa ini sering kita jumpai bahwa nama Wajib Pajak yang tercantum dalam SPPT tersebut tidak sesuai dengan keadaan sekarang karena Subjek Pajaknya yang berbeda. Hal ini dapat terjadi salah satunya adalah dikarenakan bahwa telah terjadi mutasi dan perubahan subjek pajak atas objek PBB tersebut, namun masih belum ada pembaharuan data (updating data) yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak (Pemerintah Daerah). Bagaimanakah proses pembaharuan data PBB tersebut? Dalam artikelberikut akan penulis uraikan teori singkat mengenai hal ini.

Pendaftaran objek PBB dilakukan oleh Subjek Pajak (baik orang pribadi maupun badan) dengan cara mengambil dan mengisi formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) secara jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan dikembalikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut atau tempat yang ditunjuk untuk pengambilan dan pengembalian SPOP dengan dilampiri bukti-bukti pendukung seperti:

  1. Sketsa/denah objek pajak;
  2. fotokopi KTP dan NPWP (milik subjek pajak yang bersangkutan);
  3. fotokopi sertifikat tanah;
  4. fotokopi akta jual beli;
  5. atau bukti pendukung lainnya.

SPOP adalah merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan Objek Pajak yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung PBB yang terutang. SPOP disediakan dan dapat diambil gratis di KPP atau KP2KP atau tempat lain yang ditunjuk atau dapat juga melalui teknologi internet dengan mencetak langsung dari situs www.pajak.go.id.

Sehubungan dengan SPOP ini, Wajib Pajak memiliki hak dan kewajiban. Hak dari Wajib Pajak adalah:
  1. memperoleh formulir SPOP secara gratis pada KPP atau KP2KP atau tempat lain yang ditunjuk.
  2. Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP.
  3. Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari KPP atau KP2KP.
  4. Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan fotokopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan lain-lain).
  5. Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP.
  6. Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.

Sedangkan kewajiban dari seorang Wajib Pajak adalah:
  1. Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP.
  2. Mengisi SPOP dengan jelas (berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir), benar (berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya), dan lengkap (berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri surat kuasa khusus bagi yang dikuasakan).
  3. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke KPP atau KP2KP setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah formulir SPOP diterima.
  4. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP ke KPP atau KP2KP setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.

(c)http://syafrianto.blogspot.com

Setelah artikel ini diposting, penulis mendapatkan beberapa pertanyaan dari Pembaca setia Tax Learning. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai bagaimana cara mengajukan keberatan atas PBB Rumah. Tata cara pengajuan keberatan atas PBB Rumah ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2009 tanggal 16 Maret 2009 ini telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010. Lebih jelasnya dapat dibaca di artikel berikut ini.

Selasa, 12 April 2011

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA (Bagian 3)

Sambungan dari Bagian 2
Kronologis Undang-Undang Perpajakan Yang Berlaku Di Indonesia Saat Ini

Sejak tahun 1983, dunia perpajakan di Indonesia memasuki babak baru yaitu dengan melakukan reformasi sistem dan ketentuan perpajakan. Perubahan yang dilakukan adalah dengan mengubah sistem pemungutan pajak dari sebelumnya yang masih menggunakan official assessment system yang diubah menjadi self assessment system. Dalam sistem pemungutan pajak yang baru ini, masyarakat dan Wajib Pajak yang berperan utama dalam melakukan proses menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan kewajiban pajaknya sendiri. Sejak tahun 1984 di Indonesia berlaku 9 (sembilan) Undang-Undang Perpajakan. Kesembilan Undang-Undang ini hingga saat ini telah mengalami perubahan yaitu sebagai berikut:

1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

2. Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

3. Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984 (Penetapan Pemberlakuan UU PPN)
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

4. Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994

5. Undang-Undang tentang Bea Meterai (BM)
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985

6. Undang-Undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 (Penetapan Pemberlakuan UU BPHTB)
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000

7. Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000

8. Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002

9. Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
- Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Senin, 11 April 2011

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA (Bagian 2)

Sambungan dari Bagian 1

Riwayat Perkembangan Aturan Pemungutan Pajak di Indonesia

1. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan
Sejak awal 19 pada zaman kolonial pajak tanah diberlakukan pada saat Pulau Jawa diperintah oleh Inggris yang dipimpin Letnan Jenderal Raffles. Pajak tanah waktu itu dinamakan Landrent, yang artinya “sewa tanah”. Raffles meniru sistem pajak tanah di India dengan 3 jenis macam sistem pemungutan landrent yaitu :

(1)Sistem zamindari atau zamindarars artinya landheer atau tuan tanah. Sistem ini mengenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap pada kepada para tuan tanah. Pengenaan tarif pajak dengan suatu jumlah yang tetap disebut dengan istilah “Permanent Settlement”. Sistem ini dipakai di Benggala dan di sekitar barat laut India.
(2)Sistem Pateedari atau Mauzawari. Sistem ini meniru sistem pajak bumi pemerintah Portugis di Goa. Sistem ini memberlakukan pajak bumi pada Desa yang dianggap sebagai suatu kesatuan. Selanjutnya pengenaan kepada penduduk kebijaksanaannya diserahkan kepada Kepala Desa masing-masing. Sistem ini diberlakukan di Punjab dan distrik-distrik barat Laut India.
(3)Sistem rayatwari. Dalam sistem ini, pajak tanah/bumi dikenakan langsung kepada para petani yang mengolah tanah berdasarkan pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh masing-masing petani. Sistem ini diberlakukan di Madras, Bombay dan sebagainya.

Pajak tanah diberlakukan di Pulau Jawa oleh Raffles pada tahun 1811 sampai dengan 1816. Landrent didasarkan pada suatu dalil bahwa “ semua tanah adalah milik Raja (souvereign), dan semua Kepala Desa dianggap sebagai “penyewa” (pachetrs). Oleh karenanya mereka harus membayar “sewa tanah” (Landrent) dengan natura secara tetap.

Ketika kekuasaan beralih pada Belanda Landrent diubah menjadi “landrente”, sistem ini merubah sistem terdahulu dengan melakukan perubahan mengarah kepada keadilan dan kepentingan rakyat, yang berlangsung sampai dengan tahun 1942. Di masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Belanda diambil alih sepenuhnya dan namanya diganti menjadi Pajak Tanah.

Setelah Indonesia merdeka, pajak tanah diubah menjadi pajak bumi. Periode tahun 1945 sampai tahun 1951 untuk melaksanakan pajak bumi masih menggunakan cara lama yaitu:

(1)Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta dihapus, untuk wilayah federal pajak bumi terus berlaku;
(2)Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dihapus dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1951. hal ini disebabkan adanya desakan dari golongan yang dipimpin oleh Tauchid.
(3)Desakan politik tersebut dikenal sebagai Mosi Tauchid, dan sebagai gantinya dikeluarkan pajak baru yaitu Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).

Tahun 1951 sampai tahun 1959, setelah dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 1951 tentang Penghapusan Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia, maka lahirlah Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) yang bertugas melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat yang ada di Indonesia. Karena tugasnya hanya mengurus pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah kembali menjadi jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) dan bertugas sama seperti sebelumnya ditambah dengan kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran sementara terhadap tanah milik yang sudah terdaftar.
Tahun 1959 sampai tahun 1985 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (LN Th. 1959 Nomor 104. TLN. Nomor 1806) yang dengan Undang-Undang Nomor tahun 1 Tahun 1961 (LN Th. 1961 Nomor 3 TLN Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya nama jawatan yang mengelola Pajak Hasil Bumi menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dalam melaksanakannya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara Nomor PMPPU 1-1-3 tanggal 29 Nopember 1965 yang menetapkan Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Pengenaannya diberlakukan pada tanah-tanah sektor pedesaan, perkotaan, perhutanan. Sektor perkebunan dan sektor pertambangan.
Tahun 1985 sampai dengan tahun 1995 sesuai dengan amanat GBHN 1983 berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah diadakan “tax Reform” yaitu diadakan pembaruan dan penggantian peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku. Tax reform tahun 1983 berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Dengan adanya tax reform, sistem perpajakan Indonesia berubah dari Official Assessment menjadi Self Assessment.
Official Assessment yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak berdasarkan pada Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Self Assessment yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang dipercayakan kepada Wajib Pajak mulai menghitung sampai penyetoran. Aparat perpajakan melaksanakan pengendalian tugas, pembinaan,penelitian, pengawasan, dan penetapan sanksi administrasi.
Setelah Tax Reform 1983 lalu dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan bangunan (PBB), yang ditetapkan tanggal 27 Desember 1985 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986 (LN Th. 1985 Nomor 68, TLN 3312).
Tanggal 9 November 1994 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB, yang mulai berlaku pada tanggal tanggal 1 Januari 1995 (LN Th. 1994 Nomor 62, TLN 3569).

2. Sejarah Pajak Penghasilan
Secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 periode yaitu :
(1)Masa sebelum tahun 1920
(2)Masa 1920 sampai dengan 1983
(3)Masa 1984 sampai sekarang.

(1) Masa sebelum tahun 1920

Sebelum tahun 1920 diberlakukan sistem pajak yang berbeda untuk pribumi, untuk orang Asing Asia dan untuk orang Eropa (“indigenousIndonesians, “foreignAsians and Europeans).

(2) Masa 1920 sampai dengan 1983

Masa antara tahun 1920 sampai dengan 1983 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.1.Ordonansi PPd 1920 (The Income Tax Ordinance of 1920). Sekarang diberlakukan pajak yang sama tanpa melihat asal usul keturunan (the unification principle) masa itu pula diperkenalkan Pajak Kekayaan.
1.2.Corporation tax Ordinance of 1925 (ordonansi pajak perseroan PPS 1925 dan berlaku sampai dengan 1983). Subjeknya adalah badan hukum seperti, PT,CV atas saham, objeknya adalah laba bersih.
1.3.Personal Income Tax Ordinance of 1932(Ordonansi pajak Pendapatan 1932 = ordonantie op Inkomstenbelasting 1932). Pajak pendapatan pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de inkomstenbelasting 1908). Tahun 1920 ordonansi ini diganti dengan ordonansi pajak pendapatan 1920, lalu tahun 1932 menjadi ordonansi pajak pendapatan 1932 dan terakhir diganti menjadi ordonansi pajak pendapatan 1944.

Ordonansi pajak pendapatan 1944 semula bernama “pajak perang” (Oorlogsbelasting) atau pajak peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang.

Rancangan ordonansi tersebut disusun tahun 1943 diumumkan dalam staatsblad 1944 No 17 dan diberlakukan 1 Januari 1945 saat yang bersamaan maka “ordonantie op de inkomstenbelasting 1932” dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ordonansi pajak pendapatan 1944 yang semula dinamakan Oorlogsbelasting (pajak perang). Mulai 1 Januari 1946 namanya diubah menjadi “Overgangsbelasting” (pajak peralihan), lalu dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1957 (LN Nomor 41 tahun 1957) nama ordonansi tersebut dengan resmi menjadi “ordonansi pajak pendapatan 1944”. Oleh Pemerintah Hindia Belanda Ordonansi dibuat dengan sederhana dan darurat karena mengingat keadaan saat itu. Dan kelak akan diganti dengan suatu ordonansi pajak atas pendapatan yang lebih sempurna.

Subjek Pajak Pendapatan 1932 adalah: orang pribadi, badan/persekutuan (Fa-Firma, CV, Kongsi). Objeknya adalah Pendapatan bersih. Dengan berbagai kekurangan maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ordonantie op Inkomstenbelasting 1932.

Menyadari kekurangan yang terdapat dalam ordonansi ini pemerintah Indonesia berusaha menyempurnakannya dengan menyesuaikan dengan keadaan, yang dilakukan mulai tahun 1960 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970, ordonansi pajak pendapatan 1944 aslinya tersusun dalam bahasa Belanda. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pertama kali dimuat dalam buku “Perundang-undangan Pajak Indonesia, terbitan Juni 1960 yang diterjemahkan oleh Prof Dr.Rochmat Soemitro, SH dan Drs B. Usman.
(4)Wages Tax Ordonance of 1935 (ordonansi pajak upah 1935) dimana pemungutan pajaknya dilakukan oleh para majikan, saat itu diperkenalkan di Indonesia PAYE = Pay-As-You-Earn(bayar sesuai dengan upah yang diterima).

(3) Masa 1984 sampai sekarang

Tahun 1984 sampai saat ini mulai berlakunya tax reform yang ditetapkan tahun 1983.
1 Januari 1984 mulai berlaku Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh yang disahkan tanggal 31 Desember 1983 (LN 1983 No: TLN 3263). Kemudian PP Nomor 42 tahun 1985 tentang pelaksanaan Undang-Undang PPh 1984 yang ditetapkan pada tanggal 13 November 1985 mulai diberlakukan untuk tahun pajak 1985. Tahun 1991 sudah ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh. (LN 1991 Nomor 93. TLN 3459). Tahun 1994 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1991 (LN 1994 Nomor 60. TLN 3567). Kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (LN 2000 Nomor 127. TLN 3985) yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001. Terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (LN 2008 Nomor 133. TLN 4893) yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2009.


3. Sejarah Pajak Perseroan
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti “Landrente” atau landrent dan “Hoofdelijke Belasting”.
Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan.
Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op deVennootschapsblasting 1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970.
Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan Pajak Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Bersambung ke Bagian 3

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA (Bagian 1)

Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.

Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda hingga sebelum tahun 1983 telah diberlakukan cukup banyak Undang-Undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:

  1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
  2. Aturan Bea Meterai;
  3. Ordonansi Bea Balik Nama;
  4. Ordonansi Pajak Kekayaan;
  5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
  6. Ordonansi Pajak Upah;
  7. Ordonansi Pajak Potong;
  8. Ordonansi Pajak Pendapatan;
  9. Ordonansi Pajak Perseroan;
  10. Undang-Undang Pajak Radio;
  11. Undang-Undang Pajak Pembangunan I;
  12. Undang-Undang Pajak Peredaran;
  13. Undang-Undang Pajak Bumi atau Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).

Sedangkan setelah tahun 1983, Indonesia melakukan tax reform (reformasi perpajakan) dengan menyempurnakan sistem pemungutan pajak dari yang sebelumnya masih bersifat official assessment menjadi sistem self assessment. Sejak tax reform tahun 1983 hingga saat ini, ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku adalah:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
  2. Undang-Undang Pajak Pajak Penghasilan (UU PPh);
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN);
  4. Undang-Undang Bea Meterai (UU BM);
  5. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB);
  6. Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (UU BPHTB);
  7. Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP);
  8. Undang-Undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (UU BPSP);
  9. Undang-Undang Pengadilan Pajak (UU PP);
  10. Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Bersambung ke Bagian 2

Selasa, 19 Mei 2009

Teori Dasar Pajak

Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 23A ditentukan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Undang-undang, dalam kalimat ini dapat berarti dengan suatu undang-undang atau peraturan perundangan lainnya di bawah undang-undang yang pembuatannya berdasarkan undang-undang. Berdasarkan ketentuan itu telah dibuat banyak undang-undang yang mengatur masalah perpajakan di Indonesia.
Undang-Undang yang mengatur mengenai masalah perpajakan adalah:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
Undang-Undang ini berisi tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang mengatur mengenai Hukum Pajak Formal, yang semata-mata memuat peraturan-peraturan mengenai tata-cara pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara. Seluruh pajak yang dikelola oleh negara (Pajak Pusat), ketentuannya akan mengacu pada Undang-Undang ini kecuali atas Undang-Undang pajak yang lain secara khusus tata cara pelaksanaan pemungutannya diatur dengan aturan tersendiri.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Undang-Undang ini mengatur mengenai Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Undang-Undang ini mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM).
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
Undang-Undang ini mengatur mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
Undang-Undang ini mengatur mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
Undang-Undang ini mengatur mengenai Bea Meterai.

7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
8. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Definisi Pajak
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, disebutkan bahwa:
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pembagian Kewenangan Pemungutan Pajak
Berdasarkan kewenangan pemungutan/pengelolaan pajak, pajak terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu Pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (Pajak Pusat) dan Pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Pajak Daerah).
Pajak Pusat
Pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat terdiri dari:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
5. Bea Meterai
Pajak Daerah
Pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah terdiri dari:
1. Pajak Pemerintah Daerah Tingkat I (Propinsi)
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2. Pajak Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya)
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g. Pajak Parkir.