..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Senin, 11 April 2011

SEJARAH PAJAK DI INDONESIA (Bagian 2)

Sambungan dari Bagian 1

Riwayat Perkembangan Aturan Pemungutan Pajak di Indonesia

1. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan
Sejak awal 19 pada zaman kolonial pajak tanah diberlakukan pada saat Pulau Jawa diperintah oleh Inggris yang dipimpin Letnan Jenderal Raffles. Pajak tanah waktu itu dinamakan Landrent, yang artinya “sewa tanah”. Raffles meniru sistem pajak tanah di India dengan 3 jenis macam sistem pemungutan landrent yaitu :

(1)Sistem zamindari atau zamindarars artinya landheer atau tuan tanah. Sistem ini mengenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap pada kepada para tuan tanah. Pengenaan tarif pajak dengan suatu jumlah yang tetap disebut dengan istilah “Permanent Settlement”. Sistem ini dipakai di Benggala dan di sekitar barat laut India.
(2)Sistem Pateedari atau Mauzawari. Sistem ini meniru sistem pajak bumi pemerintah Portugis di Goa. Sistem ini memberlakukan pajak bumi pada Desa yang dianggap sebagai suatu kesatuan. Selanjutnya pengenaan kepada penduduk kebijaksanaannya diserahkan kepada Kepala Desa masing-masing. Sistem ini diberlakukan di Punjab dan distrik-distrik barat Laut India.
(3)Sistem rayatwari. Dalam sistem ini, pajak tanah/bumi dikenakan langsung kepada para petani yang mengolah tanah berdasarkan pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh masing-masing petani. Sistem ini diberlakukan di Madras, Bombay dan sebagainya.

Pajak tanah diberlakukan di Pulau Jawa oleh Raffles pada tahun 1811 sampai dengan 1816. Landrent didasarkan pada suatu dalil bahwa “ semua tanah adalah milik Raja (souvereign), dan semua Kepala Desa dianggap sebagai “penyewa” (pachetrs). Oleh karenanya mereka harus membayar “sewa tanah” (Landrent) dengan natura secara tetap.

Ketika kekuasaan beralih pada Belanda Landrent diubah menjadi “landrente”, sistem ini merubah sistem terdahulu dengan melakukan perubahan mengarah kepada keadilan dan kepentingan rakyat, yang berlangsung sampai dengan tahun 1942. Di masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Belanda diambil alih sepenuhnya dan namanya diganti menjadi Pajak Tanah.

Setelah Indonesia merdeka, pajak tanah diubah menjadi pajak bumi. Periode tahun 1945 sampai tahun 1951 untuk melaksanakan pajak bumi masih menggunakan cara lama yaitu:

(1)Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta dihapus, untuk wilayah federal pajak bumi terus berlaku;
(2)Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dihapus dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1951. hal ini disebabkan adanya desakan dari golongan yang dipimpin oleh Tauchid.
(3)Desakan politik tersebut dikenal sebagai Mosi Tauchid, dan sebagai gantinya dikeluarkan pajak baru yaitu Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).

Tahun 1951 sampai tahun 1959, setelah dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 1951 tentang Penghapusan Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia, maka lahirlah Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) yang bertugas melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat yang ada di Indonesia. Karena tugasnya hanya mengurus pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah kembali menjadi jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) dan bertugas sama seperti sebelumnya ditambah dengan kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran sementara terhadap tanah milik yang sudah terdaftar.
Tahun 1959 sampai tahun 1985 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (LN Th. 1959 Nomor 104. TLN. Nomor 1806) yang dengan Undang-Undang Nomor tahun 1 Tahun 1961 (LN Th. 1961 Nomor 3 TLN Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya nama jawatan yang mengelola Pajak Hasil Bumi menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dalam melaksanakannya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara Nomor PMPPU 1-1-3 tanggal 29 Nopember 1965 yang menetapkan Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Pengenaannya diberlakukan pada tanah-tanah sektor pedesaan, perkotaan, perhutanan. Sektor perkebunan dan sektor pertambangan.
Tahun 1985 sampai dengan tahun 1995 sesuai dengan amanat GBHN 1983 berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah diadakan “tax Reform” yaitu diadakan pembaruan dan penggantian peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku. Tax reform tahun 1983 berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Dengan adanya tax reform, sistem perpajakan Indonesia berubah dari Official Assessment menjadi Self Assessment.
Official Assessment yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak berdasarkan pada Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Self Assessment yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang dipercayakan kepada Wajib Pajak mulai menghitung sampai penyetoran. Aparat perpajakan melaksanakan pengendalian tugas, pembinaan,penelitian, pengawasan, dan penetapan sanksi administrasi.
Setelah Tax Reform 1983 lalu dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan bangunan (PBB), yang ditetapkan tanggal 27 Desember 1985 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986 (LN Th. 1985 Nomor 68, TLN 3312).
Tanggal 9 November 1994 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB, yang mulai berlaku pada tanggal tanggal 1 Januari 1995 (LN Th. 1994 Nomor 62, TLN 3569).

2. Sejarah Pajak Penghasilan
Secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 periode yaitu :
(1)Masa sebelum tahun 1920
(2)Masa 1920 sampai dengan 1983
(3)Masa 1984 sampai sekarang.

(1) Masa sebelum tahun 1920

Sebelum tahun 1920 diberlakukan sistem pajak yang berbeda untuk pribumi, untuk orang Asing Asia dan untuk orang Eropa (“indigenousIndonesians, “foreignAsians and Europeans).

(2) Masa 1920 sampai dengan 1983

Masa antara tahun 1920 sampai dengan 1983 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.1.Ordonansi PPd 1920 (The Income Tax Ordinance of 1920). Sekarang diberlakukan pajak yang sama tanpa melihat asal usul keturunan (the unification principle) masa itu pula diperkenalkan Pajak Kekayaan.
1.2.Corporation tax Ordinance of 1925 (ordonansi pajak perseroan PPS 1925 dan berlaku sampai dengan 1983). Subjeknya adalah badan hukum seperti, PT,CV atas saham, objeknya adalah laba bersih.
1.3.Personal Income Tax Ordinance of 1932(Ordonansi pajak Pendapatan 1932 = ordonantie op Inkomstenbelasting 1932). Pajak pendapatan pertama kali dipungut di Indonesia berdasarkan ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de inkomstenbelasting 1908). Tahun 1920 ordonansi ini diganti dengan ordonansi pajak pendapatan 1920, lalu tahun 1932 menjadi ordonansi pajak pendapatan 1932 dan terakhir diganti menjadi ordonansi pajak pendapatan 1944.

Ordonansi pajak pendapatan 1944 semula bernama “pajak perang” (Oorlogsbelasting) atau pajak peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).
Ordonansi pajak pendapatan 1944 bentuk aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu Indonesia diduduki Jepang.

Rancangan ordonansi tersebut disusun tahun 1943 diumumkan dalam staatsblad 1944 No 17 dan diberlakukan 1 Januari 1945 saat yang bersamaan maka “ordonantie op de inkomstenbelasting 1932” dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ordonansi pajak pendapatan 1944 yang semula dinamakan Oorlogsbelasting (pajak perang). Mulai 1 Januari 1946 namanya diubah menjadi “Overgangsbelasting” (pajak peralihan), lalu dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1957 (LN Nomor 41 tahun 1957) nama ordonansi tersebut dengan resmi menjadi “ordonansi pajak pendapatan 1944”. Oleh Pemerintah Hindia Belanda Ordonansi dibuat dengan sederhana dan darurat karena mengingat keadaan saat itu. Dan kelak akan diganti dengan suatu ordonansi pajak atas pendapatan yang lebih sempurna.

Subjek Pajak Pendapatan 1932 adalah: orang pribadi, badan/persekutuan (Fa-Firma, CV, Kongsi). Objeknya adalah Pendapatan bersih. Dengan berbagai kekurangan maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ordonantie op Inkomstenbelasting 1932.

Menyadari kekurangan yang terdapat dalam ordonansi ini pemerintah Indonesia berusaha menyempurnakannya dengan menyesuaikan dengan keadaan, yang dilakukan mulai tahun 1960 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970, ordonansi pajak pendapatan 1944 aslinya tersusun dalam bahasa Belanda. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia pertama kali dimuat dalam buku “Perundang-undangan Pajak Indonesia, terbitan Juni 1960 yang diterjemahkan oleh Prof Dr.Rochmat Soemitro, SH dan Drs B. Usman.
(4)Wages Tax Ordonance of 1935 (ordonansi pajak upah 1935) dimana pemungutan pajaknya dilakukan oleh para majikan, saat itu diperkenalkan di Indonesia PAYE = Pay-As-You-Earn(bayar sesuai dengan upah yang diterima).

(3) Masa 1984 sampai sekarang

Tahun 1984 sampai saat ini mulai berlakunya tax reform yang ditetapkan tahun 1983.
1 Januari 1984 mulai berlaku Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh yang disahkan tanggal 31 Desember 1983 (LN 1983 No: TLN 3263). Kemudian PP Nomor 42 tahun 1985 tentang pelaksanaan Undang-Undang PPh 1984 yang ditetapkan pada tanggal 13 November 1985 mulai diberlakukan untuk tahun pajak 1985. Tahun 1991 sudah ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh. (LN 1991 Nomor 93. TLN 3459). Tahun 1994 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1991 (LN 1994 Nomor 60. TLN 3567). Kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (LN 2000 Nomor 127. TLN 3985) yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001. Terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (LN 2008 Nomor 133. TLN 4893) yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2009.


3. Sejarah Pajak Perseroan
Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting 1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti “Landrente” atau landrent dan “Hoofdelijke Belasting”.
Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan.
Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op deVennootschapsblasting 1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970.
Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan Pajak Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Bersambung ke Bagian 3

0 Comments

Posting Komentar