Perlakuan pengenaan PPh untuk usaha jasa konstruksi mulai 1 Januari 2008 (dan berlaku hingga saat ini) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009. Pada Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008 ditetapkan bahwa tarif PPh Final untuk Jasa Konstruksi ditentukan berdasarkan kualifikasi usaha dan terbagi menjadi:
- 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
- 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
- 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
- 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
- 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Penafsiran Keliru Tentang Kualifikasi Usaha
Selama ini banyak terjadi kesalahan penafsiran mengenai penerapan tarif PPh Final sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008 tersebut. Banyak penafsiran bahwa batasan kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar tersebut harus disesuaikan dengan batasan nilai proyek pekerjaan jasa konstruksi yang dikerjakan oleh perusahaan jasa konstruksi tersebut. Hal ini kemungkinan akibat dari ketentuan lama (PP Nomor 140 Tahun 2000) yang membatasi bahwa Wajib Pajak yang akan dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 2% hanya untuk Wajib Pajak yang melakukan proyek pekerjaan dengan nilai pengadaan sampai dengan Rp 1 miliar.
Saat ini banyak pihak yang menafsirkan bahwa untuk menentukan kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar sesuai PP Nomor 51 Tahun 2008 ini harus dikaitkan dengan batasan kemampuan melaksanakan pekerjaan sebagaimana yang diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2011.
Pada Pasal 8B ayat (1) PP 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 4 Tahun 2010 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2011 ditetapkan bahwa kualifikasi badan usaha jasa konstruksi terdiri dari:
- kualifikasi usaha besar; ;
- kualifikasi usaha menengah; dan;
- kualifikasi usaha kecil.
Apabila diperhatikan pada Pasal 100 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengenai Pengadaan Barang dan/atau Jasa, disebutkan bahwa:
“nilai paket pekerjaan Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sampai dengan Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juga rupiah), diperuntukan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompentensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.”
Jika kita simak aturan di atas, maka batasan nilai proyek yang diatur ini hanya membatasi bahwa batasan nilai pengadaan ini sebenarnya untuk melindungi usaha kecil supaya kontraktor dengan kualifikasi usaha menengah dan besar tidak menguasai semua jenis proyek yang mengakibatkan kontraktor kualifikasi usaha kecil kalah bersaing.
Kembali lagi ke pokok masalah kita, apakah aturan mengenai pengenaan PPh berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tersebut, kualifikasi usaha besar, menengah atau kecil tersebut adalah didasarkan pada nilai suatu proyek pekerjaan. PP Nomor 51 Tahun 2008 tidak pernah mengatur mengenai pengklasifikasian skala kualifikasi usaha jasa konstruksi. PP Nomor 51 Tahun 2008 hanya menetapkan besaran tarif PPh Final yang harus dikenakan terhadap masing-masing kualifikasi usaha. Sedangkan kualifikasi usaha ini sendiri menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 adalah mengacu kepada kualifikasi yang telah ditentukan (sertifikasi yang dikeluarkan) oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
Simpulan
Jadi menurut penulis, untuk keperluan pengenaan PPh pihak yang berkepentingan untuk menetapkan besarnya PPh yang terutang, kualifikasi usaha dari kontraktor pemberi jasa konstruksi ini ditentukan berdasarkan sertifikasi klasifikasi usaha yang telah diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang masih berlaku. Apabila ternyata kontraktor yang memiliki sertifikat kualifikasi usaha kecil ini mengerjakan proyek dengan nilai di atas Rp 2,5 miliar, maka untuk keperluan pengenaan PPh, tidak boleh serta merta langsung diklasifikasikan sebagai kontraktor yang memiliki sertifikat kualifikasi usaha menengah atau besar. Karena secara legal, kontraktor tersebut memiliki sertifikat kualifikasi usaha kecil, walaupun dalam prakteknya yang bersangkutan mengerjakan proyek untuk kualifikasi menengah atau besar, maka pengenaan PPh harus memperhatikan aspek legalnya dimana kontraktor ini adalah pemegang sertifikat kualifikasi usaha kecil. Oleh sebab itu, PPh final yang harus dikenakan untuk kontraktor ini adalah PPh Final sebesar 2%.