..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Jumat, 20 Desember 2013

Konsultasi Pajak Gratis: Apakah Legalisasi Fotokopi SKB Dibuat Untuk Setiap Transaksi?

Penulis menerima banyak sekali pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan PPh Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh rekan-rekan Account Representative mengenai apakah legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas dari Pemotongan PPh sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 harus diajukan untuk setiap transaksi atau diajukan sekali untuk seluruh transaksi yang dilakukan oleh setiap lawan transaksi selama setahun.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyimak ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013. Dalam Pasal 7 ayat (1) PER-32/PJ/2013 ditegaskan bahwa pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Berdasarkan ketentuan yang diatur pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kategori sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang tidak bersifat final (seperti objek PPh Pasal 21, objek PPh Pasal 22 atau objek PPh Pasal 23) tidak akan dipotong dan/atau dipungut PPh atas penghasilannya tersebut oleh pemotong dan/atau pemungut pajak apabila telah diterima fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan.

Sedangkan untuk tata cara pengajuan legalisasi SKB, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PER-32/PJ/2013. Namun jika kita cermati mengenai tata cara pemberian legalisasi SKB, tidak secara jelas disebutkan apakah pengajuan legalisasi ini harus diajukan untuk setiap transaksi yang dilakukan. Namun secara implisit dapat kita temukan mengenai pengajuan legalisasi ini harus dilakukan atas setiap transaksi yang menimbulkan pemotongan dan/atau pemungutan PPh kecuali untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22.

Hal ini dapat kita temukan dalam persyaratan pengajuan legalisasi SKB yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, yang mengatur bahwa salah satu persyaratan pengajuan permohonan legalisasi SKB ini adalah menyerahkan bukti penyetoran PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa SSP lembar ke-3 yang telah divalidasi dengan NTPN, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 atas impor, pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas, pembelian hasil produksi industri semen, kertas, baja, otomotif dan farmasi.

Jadi untuk dapat memperoleh legalisasi fotokopi SKB dari Kantor Pelayanan Pajak, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah telah melakukan pembayaran PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2)) atas transaksi yang menjadi objek pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak final. Dengan demikian secara implisit dapat kita simpulkan bahwa fotokopi SKB yang dilegalisasi harus diberikan untuk setiap transaksi.

Analisis Penulis

Apabila Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh yang tidak bersifat final (seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23), maka harus mengajukan permohonan SKB dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh untuk setiap jenis pajak yang berlaku untuk 1 tahun pajak. Untuk dapat mendapatkan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh maka Wajib Pajak harus menyerahkan fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. Legalisasi ini dapat diminta atas setiap transaksi dengan salah satu persyaratan adalah Wajib Pajak telah menyetorkan PPh Final 1% atas transaksi tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ditegaskan bahwa PPh Final sebesar 1% dari peredaran bruto setiap bulannya ini disetorkan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Dengan demikian, maka secara praktek, legalisasi SKB PPh ini baru dapat diminta pada bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi sepanjang PPh Final 1% pada masa pajak yang bersangkutan telah disetorkan. Padahal secara konsep, pihak pemberi penghasilan sudah harus melakukan pemotongan PPh dan membuatkan bukti pemotongan PPh atas setiap transaksi yang menjadi objek pemotongan PPh. Sehingga dalam praktek kemungkinan akan dijumpai kesulitan baik bagi pihak yang akan membayarkan penghasilan (pemotong pajak) dengan pihak yang menerima penghasilan, karena kewajiban pemotongan PPh dapat tertunda akibat belum diterimanya legalisasi SKB dan ini juga akan berdampak kepada pembayaran penghasilan yang akan dilakukan oleh pihak pemotong pajak, karena idealnya mereka harus memotong PPh dari total pembayaran yang akan dilakukan apabila pihak penerima penghasilan tidak dapat menunjukkan SKB Pemotongan PPh.

Justru dari hal ini, terkesan bahwa ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini bukannya mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak justru mempersulit terutama dalam sisi administratif. Mungkin hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam memikirkan mekanisme yang dapat lebih mempermudah.

Selasa, 17 Desember 2013

Perubahan Ketentuan Pemungutan PPh Pasal 22 atas Impor

Pemerintah telah menaikan tarif PPh Pasal 22 atas kegiatan di bidang impor dengan mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010. Perubahan ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 tanggal 5 Desember 2013 dan diundangkan pada tanggal 6 Desember 2013. Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah dengan menaikan tarif PPh Pasal 22 atas impor barang untuk 502 jenis barang menjadi 7,5% (sebelumnya tarif PPh Pasal 22 atas impor adalah sebesar 2,5%).

Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam peraturan ini adalah sebagai berikut.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor

Tarif PPh Pasal 22 atas impor barang-barang tertentu yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan (sebanyak 502 jenis barang) ini adalah sebesar 7,5% dari nilai impor.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor selain barang-barang tertentu yang dilakukan oleh importir yang memiliki Angka Pengenal Impor (API) dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu sebesar 0,5% dari nilai impor.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor selain barang-barang tertentu yang dilakukan oleh importir yang tidak memiliki API dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari nilai impor.

Sanksi Pengenaan Tarif Lebih Tinggi Bagi Importir yang Tidak Punya NPWP

Besarnya tarif pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana yang diatur tersebut yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Ketentuan pengenaan tarif lebih tinggi 100% ini diterapkan untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang bersifat tidak final.

Saat Berlakunya Ketentuan Ini

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Download Peraturannya:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013
Lampiran

Jumat, 13 Desember 2013

Tarif PPh Pasal 22 Impor Naik Jadi 7,5%

Sebagai tindak lanjut dari Paket Kebijakan Ekonomi yang diumumkan Pemerintah tanggal 24 Agustus 2013, yang salah satunya adalah untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah dan sebagai upaya untuk meredam impor barang-barang tertentu, maka pada tanggal 9 Desember 2013, melalui Siaran Pers-nya, Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang isi pokoknya adalah:
  1. Menyesuaikan tarif pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang tertentu dari semula 2,5% menjadi 7,5%
  2. Kriteria impor barang tertentu yang menjadi sasaran pengenaan tarif PPh Pasal 22 Impor yang lebih tinggi adalah: bukan barang yang digunakan untuk industri dalam negeri (untuk tetap menjaga produktifitas industri dalam negeri) dan merupakan barang konsumtif dengan nilai impor yang signifikan dan tidak memberikan dampak besar pada inflasi.
  3. Berdasarkan kriteria tersebut di atas maka barang impor yang akan dikenai tarif PPh Pasal 22 impor yang lebih tinggi meliputi 502 jenis barang berdasarkan kode Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
Kelompok barang yang meliputi 502 jenis barang tersebut meliputi antara lain:
  1. elektronik dan hand phone
  2. kendaraan bermotor (kecuali kendaraan CKD/IKD, Hibrid/Listrik, dan kendaraan berpenumpang lebih dari sepuluh)
  3. Tas, baju, alas kaki dan perhiasaan, termasuk parfum,
  4. Furnitur, perlengkapan rumah tangga dan mainan.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan menaikan tarif PPh Pasal 22 impor ini dengan harapan agar:
  1. pengendalian impor atas barang konsumsi tertentu,
  2. penurunan tekanan pada defisit neraca perdagangan,
  3. mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan produksi barang sebagai substitusi impor barang.
Pokok-pokok kebijakan yang mengalami perubahan dalam peraturan ini dapat digolongkan dalam 2 (dua) kelompok yaitu:

1. Penambahan jenis insentif fiskal
Perubahan kebijakan di bidang fiskal yaitu atas fasilitas pembebasan yang sebelumnya hanya mendapatkan fasilitas bebas bea masuk, saat ini ditambah dengan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) tidak dipungut;

2. Kebijakan kemudahan di bidang perijinan dan pelayanan fasilitas KITE yang meliputi:
  1. Penyederhanaan persyaratan dan penerapan otomasi dalam pengajuan perijinan untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau pengembalian. Demikian juga peraturan ini memberikan kemudahan bagi perusahaan baru untuk menikmati fasilitas KITE,
  2. Perluasan objek fasilitas yaitu meliputi semua bahan baku dan bahan penolong yang digunakan untuk proses produksi dalam rangka ekspor sehingga dapat mengurangi biaya produksi perusahaan,
  3. Penyederhanaan prosedur pelayanan impor dan ekspor dimana dimungkinkan mengimpor barang KITE bersama-sama dengan barang impor non KITE serta mengekspor barang KITE bersama-sama dengan barang ekspor perusahaan KITE lainnya, sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya dan waktu impor/ekspor,
  4. Kuota impor atas bahan baku/penolong tidak dibatasi seperti sebelumya yaitu menjadi sampai dengan maksimal kapasitas produksi dan dalam jangka waktu selama perusahaan berdiri,
  5. Masa pembebasan/pengembalian dan jangka waktu realisasi ekspor dapat diperpanjang yaitu disesuaikan dengan sifat produksi barang atau disesuaikan dengan kondisi khusus yang diluar kendali perusahaan seperti pembatalan kontrak/pembelian, keadaan luar biasa seperti kelesuan ekonomi global, atau kondisi lainnya yang lazim dalam dunia bisnis. Begitu juga dalam ketentuan baru ini diakuinya keadaan kahar (force majeure) dalam laporan pertanggungjawaban perusahaan,
  6. Kemudahan perubahan lokasi penimbunan/pembongkaran dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui media elektronik g) Simplifikasi laporan menjadi hanya sekali dalam masa pembebasan dari sebelumnya setiap 6 bulan sekali,
  7. Penerapan risk management dalam pelayanan dan pengawasan terutama didasarkan pada penilaian atas kemampuan perusahaan dalam pengelolaan sistem pengendalian internal dan sistem pencatatan persediaan bahan baku dan hasil produksinya (inventory). Semakin baik perusahaan, maka semakin banyak fasilitas yang dapat dinikmati (penerapan prinsip fairness),
  8. Diakuinya corporate guarantee bagi perusahaan yang mempunyai reputasi yang baik sebagai instrumen jaminan,
  9. Dimungkinkan menyerahkan sebagian kegiatan kepada pihak ketiga (subkontrak) atau seluruh kegiatan produksi bagi perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu yang terkait dengan profil/reputasi,
  10. Sinergi dengan fasilitas kepabeanan lainnya yaitu Kawasan Berikat dan Gudang Berikat yang membolehkan penggunaan bahan baku yang berasal dari pembelian dari Gudang Berikat dan Kawasan Berikat,
  11. Perusahaan dapat memanfaatkan beberapa fasilitas kepabeanan/perpajakan secara bersamaan (double fasilitas) dengan tujuan untuk memperkuat dan mengefisienkan biaya produksi dan logistik serta mengurangi devisa impor karena bahan baku dapat diperoleh dari fasilitas kepabeanan/perpajakan lainnya,
  12. Penyempurnaan penggunaan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan produksi KITE misalnya pemenuhan persyaratan dan pemberian ijin cukup disampaikan dengan media softcopy. penggunaan teknologi informasi juga memperpendek janji layanan kepada pengguna jasa dari yang sebelumnya 45 hari menjadi 30 hari.
Peraturan baru ini akan berlaku 30 (enam puluh) hari sejak tanggal diundangkan.

Kamis, 12 Desember 2013

Target Penerimaan Pajak dalam APBN 2014

Saat ini pajak sudah menjadi andalan utama dalam sumber pembiayaan negara. Dari tahun ke tahun penerimaan pajak semakin meningkat dan menjadi porsi terbesar sebagai sumber penerimaan yang ditetapkan dalam APBN.

Hal ini juga tampak dalam susunan APBN tahun 2014. Dalam APBN 2014, rencana total penerimaan yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah sebesar Rp 1.667,1 triliun yang diantaranya sebesar 1.280,4 triliun (sebesar 76.04%) direncanakan berasal dari penerimaan di sektor perpajakan, kepabeanan dan Cukai.
Penerimaan yang ditetapkan dalam APBN 2014 ini terdiri dari:
PENDAPATAN NEGARA
Penerimaan dari pajak sebesar Rp 1.110,2 triliun
Penerimaan dari kepabeanan dan cukai sebesar Rp 170,2 triliun
Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp 385,4 triliun
Penerimaan dari Hibah sebesar Rp 1,4 triliun

PENERIMAAN PEMBIAYAAN
Penarikan Pinjaman Dalam Negeri sebesar Rp 1,3 triliun
Hasil Pengelolaan Aset sebesar Rp1,0 triliun
Penerbitan Surat Berharga Negara sebesar Rp 205,1 triliun
Pinjaman Program sebesar Rp 3,9 triliun
Pinjaman Proyek sebesar Rp 35,2 triliun
Perbankan dalam negeri sebesar Rp 4,4 triliun

Untuk penerimaan dari sektor perpajakan sendiri yang ditargetkan sebesar Rp 1.110,2 triliun mengambil peran sebesar 66,59% dari total penerimaan APBN 2014.

Sedangkan tax ratio yang ditetapkan untuk tahun 2014 adalah sebesar 12,3%

Rabu, 20 November 2013

Bayar PPh Final 1% Bisa Lewat ATM

Slogan membayar pajak itu mudah semakin gencar dikampanyekan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam prakteknya tidak hanya melalui kampanye saja, namun DJP juga berupaya mendukung dan membuat semua kemudahan dalam melakukan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak tersebut melalui regulasi, sarana, prasarana dan prosedur. Pada tanggal 15 November 2013, DJP kembali meluncurkan satu metode baru dalam pembayaran pajak yang semakin memudahkan bagi Wajib Pajak. Prosedur baru ini adalah pembayaran pajak melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Sebagaimana kita ketahui bahwa mulai 1 Juli 2013, DJP telah mengeluarkan satu kebijakan baru bagi para pengusaha dan Wajib Pajak dalam melakukan penghitungan PPh atas penghasilan yang diperolehnya. Kebijakan baru ini adalah berupa pemberlakuan ketentuan untuk menghitung PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan omzet setahun yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar. PPh yang terutang atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak ini adalah sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) setiap bulannya dan bersifat final.

Sebagai upaya untuk lebih memudahkan bagi Wajib Pajak ini dalam melakukan pembayarannya, maka sejak 15 November 2013 diluncurkanlah program pembayaran PPh Final 1% ini melalui ATM. Bekerja sama dengan 4 (empat) bank, yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Mandiri Tbk, dan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), DJP membuat suatu terobosan baru yang mempermudah Wajib Pajak yang akan membayar PPh Final 1% ini. Direncanakan pada akhir Desember, DJP juga akan bekerja sama dengan Bank DKI untuk menyelenggarakan pembayaran PPh Final 1% melalui ATM ini.

Selain melalui ATM, pembayaran PPh Final 1% dapat juga dilakukan melalui mobile banking (m-banking).

Bukti Pembayaran Pajak

Pembayaran PPh Final 1% yang dilakukan melalui ATM ini akan dibuktikan dengan struk bukti transaksi yang dicetak dari mesin ATM pada saat transaksi dilakukan. Jadi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran melalui ATM ini harus menyimpan struk ini dan kelak akan dilampirkan pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh (Orang Pribadi atau Badan).

Sebagaimana kita ketahui bahwa struk bukti transaksi yang dicetak dari mesin ATM tersebut umumnya akan memudar setelah beberapa lama, oleh sebab itu penulis menyarankan kepada para Pembaca setia Tax Learning yang melakukan pembayaran PPh melalui ATM ini agar mem-fotokopi struk ATM tersebut untuk diarsip.

Namun apabila struk ATM ini hilang, pihak DJP berjanji dapat membantu untuk melacak pembayaran tersebut serta membuatkan salinan bukti pembayaran tersebut. Namun prakteknya seperti apa, hingga saat ini penulis belum memperoleh ketentuan dan prosedurnya.

Langkah-Langkah Pembayaran PPh melalui ATM

Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan bagi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Final 1% melalui ATM.



Tampilan lengkap pada layar ATM adalah sebagai berikut:




(c) http://syafrianto.blogspot.com