..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Jumat, 06 September 2013

Kawasan Berikat tahun 2013

Ketentuan mengenai kawasan berikat kembali mengalami perubahan. Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tanggal 6 September 2011 telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan, yaitu diubah dengan:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011 tanggal 28 Desember 2011
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.04/2012 tanggal 16 Maret 2012
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013 tanggal 26 Agustus 2013.
Perubahan terakhir ketentuan mengenai Kawasan Berikat yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 26 Agustus 2013 ini mengubah beberapa ketentuan yaitu mengenai:
  1. ketentuan kuota penjualan lokal Hasil Produksi Kawasan Berikat;
  2. ketentuan intermediate goods;
  3. ketentuan subkontraktor; dan
  4. ketentuan pemenuhan syarat lokasi untuk perusahaan yang mendapatkan izin Kawasan Berikat.
Bagian ketentuan yang diubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013 antara lain:

Ketentuan Pasal 3 ayat (8) dan ayat (9)

Dengan menambah ketentuan untuk Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB diberikan pelayanan dan pengawasan secara proposional berdasarkan profil risiko Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang dikategorikan menjadi:
  1. kategori layanan hijau;
  2. kategori layanan kuning; atau
  3. kategori layanan merah,

Ketentuan Pasal 23 huruf h

Menambah ketentuan mengenai pemasukan barang ke Kawasan Berikat dapat dilakukan dari kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketentuan Pasal 24A ayat (1)

Mengubah ketentuan mengenai otoritas yang memberikan persetujuan untuk permohonan pemasukan barang modal berupa peralatan pabrik dan/atau suku cadang barang modal yang diajukan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang sebelumnya adalah oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama saat ini diganti menjadi oleh Kepala Kantor Pabean.

Ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf f

Menambah ketentuan mengenai pengeluaran Hasil Produksi Kawasan Berikat dilakukan ke kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketentuan Pasal 27 ayat (1) huruf b angka 6)

Menambah ketentuan mengenai pengeluaran Hasil Produksi Kawasan Berikat ke luar daerah pabean dapat berupa gabungan Hasil Produksi Kawasan Berikat dengan barang lain sebagai pelengkap yang berasal dari kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketentuan Pasal 27 ayat (5)

Menambahkan ketentuan mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari bea masuk yang seharusnya dibayar apabila ketentuan jangka waktu pemasukan kembali ke Kawasan Berikat atas Hasil Produksi Kawasan Berikat yang dikeluarkan ke TPPB tidak dipenuhi.

Ketentuan Pasal 27 ayat (7) dan ayat (8) s.d. ayat (14)

Mengubah dan menambah ketentuan mengenai Pengeluaran Hasil Produksi Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean dapat dilakukan dalam jumlah paling banyak 50% dari penjumlahan nilai realisasi tahun sebelumnya yang meliputi nilai ekspor, nilai penjualan Hasil Produksi Kawasan Berikat ke Kawasan Berikat lainnya, nilai penjualan Hasil Produksi Kawasan Berikat ke Kawasan Bebas, dan nilai penjulana Hasil Produksi Kawasan Berikat ke kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan rekomendasi dari instansi terkait yang membidangi perindustrian. Di aturan sebelumnya batas maksimal untuk pengeluaran ini hanya sebesar 25%.

Ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40

Mengubah ketentuan mengenai pekerjaan subkontrak

Ketentuan Pasal 47

Menambah ketentuan tentang pembekuan Izin sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB apabila memproduksi barang yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

Ketentuan Pasal 55

Menambah ketentuan Pasal 55 ayat (1a) yaitu bagi pengusaha penerima fasilitas pembebasan atau pengembalian bea masuk atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki Nomor Induk Perusahaan (NIPER) dalam status aktif pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 yang berada di luar kawasan industri atau berada di kawasan budidaya yang diperuntukkan bagi kegiatan industri, dapat diberikan izin Pengusaha Kawasan Berikat dengan tidak diberlakukan ketentuan dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi kriteria:
  1. mempunyai reputasi baik atau sangat baik;
  2. memiliki Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory yang dapat diakses secara real time dan online ketika dibutuhkan serta menunjukkan keterkaitan dengan dokumen kepabeanan;
  3. tidak memiliki hutang kepabeanan; dan
  4. memiliki Closed Circuit Television (CCTV) yang bisa diakses dari Kantor Pabean secara realtime, online, dan arsip rekamannya, yang dapat memberikan gambaran mengenai pemasukan dan pengeluaran barang.
Menambah ketentuan Pasal 55 ayat (1b) yang mengatur bahwa permohonan untuk mendapatkan izin Pengusaha Kawasan Berikat berdasarkan ketentuan ayat (1a) di atas dapat diajukan paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya PMK ini.

Menambah ketentuan Pasal 55 ayat (4) yang mengatur Terhadap Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang memiliki kategori layanan hijau dapat menggunakan corporate guarantee sebagai jaminan yang diserahkan dalam rangka:
  1. pengeluaran Barang Modal ke tempat lain dalam daerah pabean untuk keperluan perbaikan/reparasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
  2. pengeluaran barang contoh/sampel ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3);
  3. pengeluaran barang dalam rangka pekerjaan subkontrak ke perusahaan/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6);
  4. pengeluaran mesin produksi dan cetakan (moulding) untuk dipinjamkan kepada perusahaan/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean dalam rangka subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6); dan/atau
  5. pengeluaran Barang Modal sehubungan peminjaman Barang Modal berupa mesin produksi dan cetakan (moulding) selain dalam rangka subkontrak, ke perusahaan/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4).

Kamis, 05 September 2013

Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29 bagi WP Industri Tertentu

Saat ini krisis keuangan global telah berdampak pada kondisi perekonomian Indonesia. Dalam beberapa pekan terakhir ini, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat dan nilai Indeks Harga Saham Gabungan semakin terkoreksi negatif. Hal ini berdampak kepada dunia usaha yang mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan dan mengurangi laba yang akan diperoleh. Tentunya hal ini juga akan menyebabkan berkurangnya jumlah PPh Terutang atas laba yang diterima Wajib Pajak di tahun 2013 dibandingkan dengan jumlah PPh Terutang tahun 2012 lalu. Tentunya apabila mengikuti ketentuan UU PPh dimana Wajib Pajak harus mengangsur PPh Pasal 25 selama tahun 2013 dengan mendasarkan pada perhitungan PPh Terutang tahun 2012, maka akan menyebabkan angsuran PPh Pasal 25 di tahun 2013 berpotensi mengalami kelebihan pembayaran pajak. Untuk mengantisipasi hal ini, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tanggal 27 Agustus 2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu.

Fasilitas yang Diberikan dalam Ketentuan ini
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013,Pemerintah memberikan fasilitas perpajakan berupa:
  1. pengurangan PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak September 2013 s.d. Desember 2013; dan/atau
  2. penundaan pembayaran PPh Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013.
Wajib Pajak yang Mendapatkan Fasilitas
Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan PPh Pasal 25 atau penundaan pembayaran PPh Pasal 29 ini adalah Wajib Pajak badan industri tertentu yang terdiri dari:
  1. industri tekstil
  2. industri pakaian jadi
  3. industri alas kaki
  4. industri furnitur; dan/atau
  5. industri mainan anak-anak.
Pengurangan PPh Pasal 25 dan penundaan pembayaran PPh Pasal 29 dapat diberikan kepada Wajib Pajak badan industri tertentu (sebagaimana disebutkan di atas) berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Besarnya Pengurangan yang Dapat Diberikan
Besarnya pengurangan PPh Pasal 25 yang dapat diberikan paling tinggi sebesar:
  1. untuk WP badan industri tertentu yang tidak berorientasi ekspor adalah 25% dari PPh Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013.
  2. untuk WP badan industri tertentu yang berorientasi ekspor adalah 50% dari PPh Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013.
Tata Cara untuk Mendapatkan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25
Untuk mendapatkan pengurangan Angsuran PPh Pasal 25, Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis tentang besarnya pengurangan PPh Pasal 25 yang diminta kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Lama Waktu Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29
Penundaan pembayaran PPh Pasal 29 diberikan kepada Wajib Pajak badan Industri Tertentu paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya PPh Pasal 29.

Tata Cara untuk Mendapatkan Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29
Untuk mendapatkan penundaan pembayaran PPh Pasal 29, Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 29 Bagi Wajib Pajak yang Mendapatkan Penundaan

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan menghapuskan sanksi administrasi atas penundaan pembayaran PPh Pasal 29 yang telah diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak kepada Wajib Pajak badan industri tertentu.

Ketentuan Pelaksana
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksaan pengurangan PPh Pasal 25 dan penundaan pembayaran PPh Pasal 29 ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Saat Berlakunya Ketentuan Ini
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 29 Agustus 2013.

Selasa, 03 September 2013

Pengumuman Hasil USKP Periode I Bulan Juni 2013

Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak atau yang biasa dikenal sebagai USKP adalah suatu ujian yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan menjadi konsultan pajak. USKP ini diselenggarakan oleh BP USKP dan biasanya dalam setahun diselenggarakan 2 (dua) kali. USKP yang terakhir diselenggarakan adalah periode I bulan Juni 2013.

Kemarin BP USKP telah mengumumkan hasil USKP untuk periode I bulan Juni 2013 tersebut. Berikut ini adalah hasil dari USKP periode I bulan Juni 2013.

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) A

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) B

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) C

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

Selasa, 27 Agustus 2013

Kriteria Wajib Pajak yang Memenuhi Ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 sebagai Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pengenaan PPh dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sejak 1 Juli 2013, maka seluruh Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang memenuhi ketentuan dalam peraturan ini sudah harus mengubah penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh atas penghasilan yang diterimanya. Apabila selama ini, penghasilan yang diterimanya adalah merupakan penghasilan yang harus dihitung dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh tarif Pasal 17 UU PPh, maka sejak 1 Juli 2013, Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memenuhi ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 harus mengubah penghitungan PPh atas penghasilannya menjadi dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran usaha bruto setiap bulannya.

Walaupun PP Nomor 46 Tahun 2013 telah berlaku hampir 2 (dua) bulan, namun prakteknya di lapangan masih banyak menimbulkan pertanyaan dari para Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan yang timbul seperti: apakah saya termasuk sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, sebagaimana yang diatur di PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Siapa sajakah Wajib Pajak yang berhak untuk menerapkan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% ini? Jika kita simak ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013, maka dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang harus menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini kriterianya adalah (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013):

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap); dan
  2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Jika menyimak aturan Pasal 2 ayat (2) pada kedua aturan ini, maka dapat kita lihat bahwa kedua persyaratan/kriteria tersebut harus terpenuhi seluruhnya dan bersifat kumulatif (karena dihubungkan dengan kata penghubung “dan”).

Pengecualian Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan Omzet Tidak Lebih dari Rp4,8 miliar

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan untuk menggunakan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) yang memiliki peredaran usaha (omzet) tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Namun demikian, tidak semua Wajib Pajak dengan Omzet di bawah Rp4,8 miliar otomatis memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dikenai PPh yang bersifat final 1% atas omzetnya. Pengecualiannya dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf b PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013. Disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Apa saja jenis penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yaitu:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Selain pengecualian di atas yang berlaku umum baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, masih ada pengecualian lagi khusus bagi:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau kasa dalam usahanya yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap), dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  2. Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial atau Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Wajib Pajak dengan Penghasilan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan ketentuan sebelumnya

Bagi Wajib Pajak yang atas penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang telah ada (misal penghasilan dari jasa konstruksi, penghasilan dari penyewaan tanah dan/atau bangunan) juga dikecualikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Simpulan

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib Pajak Orang Pribadi, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; atau
  2. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap); dan
  3. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak Badan, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  2. belum beroperasi secara komersial; atau
  3. dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Selain itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini juga tidak berlaku apabila Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perpajakan yang sebelumnya.

Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013 sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 14 Agustus 2013

Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Akhirnya Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagai peraturan pelaksana yang mengatur mengenai mekanisme penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh untuk Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Usaha Tertentu atau biasa disebut sebagai PPh Final 1% untuk UKM melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ini ditandatangani pada tanggal 30 Juli 2013 dan diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 adalah sebagai berikut.

PPh final 1% bagi Wajib Pajak dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikut.

Penyetoran PPh final 1% ini menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP dan disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos.

Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 1% dengan menggunakan SSP dan telah mendapatkan validasi dan diberi NTPN dianggap telah melaporkan SPT Masanya sesuai dengan tanggal validasi tersebut. Bagi Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 1% namun tidak mendapatkan validasi NTPN, maka masih tetap harus melaporkan SSP yang telah disetorkan PPh finalnya ini ke kantor pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak yang bersangkutan berakhir.

Tata cara mengenai penyetoran dengan SSP, sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP, bentuk SPT Masa serta tata cara pembebasan dari pemotongan dan pemungutan PPh oleh pihak ketiga akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.