..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Selasa, 03 September 2013

Pengumuman Hasil USKP Periode I Bulan Juni 2013

Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak atau yang biasa dikenal sebagai USKP adalah suatu ujian yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan menjadi konsultan pajak. USKP ini diselenggarakan oleh BP USKP dan biasanya dalam setahun diselenggarakan 2 (dua) kali. USKP yang terakhir diselenggarakan adalah periode I bulan Juni 2013.

Kemarin BP USKP telah mengumumkan hasil USKP untuk periode I bulan Juni 2013 tersebut. Berikut ini adalah hasil dari USKP periode I bulan Juni 2013.

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) A

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) B

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) C

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

Selasa, 27 Agustus 2013

Kriteria Wajib Pajak yang Memenuhi Ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 sebagai Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pengenaan PPh dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sejak 1 Juli 2013, maka seluruh Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang memenuhi ketentuan dalam peraturan ini sudah harus mengubah penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh atas penghasilan yang diterimanya. Apabila selama ini, penghasilan yang diterimanya adalah merupakan penghasilan yang harus dihitung dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh tarif Pasal 17 UU PPh, maka sejak 1 Juli 2013, Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memenuhi ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 harus mengubah penghitungan PPh atas penghasilannya menjadi dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran usaha bruto setiap bulannya.

Walaupun PP Nomor 46 Tahun 2013 telah berlaku hampir 2 (dua) bulan, namun prakteknya di lapangan masih banyak menimbulkan pertanyaan dari para Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan yang timbul seperti: apakah saya termasuk sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, sebagaimana yang diatur di PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Siapa sajakah Wajib Pajak yang berhak untuk menerapkan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% ini? Jika kita simak ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013, maka dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang harus menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini kriterianya adalah (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013):

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap); dan
  2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Jika menyimak aturan Pasal 2 ayat (2) pada kedua aturan ini, maka dapat kita lihat bahwa kedua persyaratan/kriteria tersebut harus terpenuhi seluruhnya dan bersifat kumulatif (karena dihubungkan dengan kata penghubung “dan”).

Pengecualian Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan Omzet Tidak Lebih dari Rp4,8 miliar

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan untuk menggunakan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) yang memiliki peredaran usaha (omzet) tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Namun demikian, tidak semua Wajib Pajak dengan Omzet di bawah Rp4,8 miliar otomatis memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dikenai PPh yang bersifat final 1% atas omzetnya. Pengecualiannya dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf b PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013. Disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Apa saja jenis penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yaitu:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Selain pengecualian di atas yang berlaku umum baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, masih ada pengecualian lagi khusus bagi:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau kasa dalam usahanya yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap), dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  2. Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial atau Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Wajib Pajak dengan Penghasilan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan ketentuan sebelumnya

Bagi Wajib Pajak yang atas penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang telah ada (misal penghasilan dari jasa konstruksi, penghasilan dari penyewaan tanah dan/atau bangunan) juga dikecualikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Simpulan

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib Pajak Orang Pribadi, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; atau
  2. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap); dan
  3. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak Badan, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  2. belum beroperasi secara komersial; atau
  3. dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Selain itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini juga tidak berlaku apabila Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perpajakan yang sebelumnya.

Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013 sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 14 Agustus 2013

Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Akhirnya Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagai peraturan pelaksana yang mengatur mengenai mekanisme penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh untuk Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Usaha Tertentu atau biasa disebut sebagai PPh Final 1% untuk UKM melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ini ditandatangani pada tanggal 30 Juli 2013 dan diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 adalah sebagai berikut.

PPh final 1% bagi Wajib Pajak dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikut.

Penyetoran PPh final 1% ini menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP dan disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos.

Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 1% dengan menggunakan SSP dan telah mendapatkan validasi dan diberi NTPN dianggap telah melaporkan SPT Masanya sesuai dengan tanggal validasi tersebut. Bagi Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 1% namun tidak mendapatkan validasi NTPN, maka masih tetap harus melaporkan SSP yang telah disetorkan PPh finalnya ini ke kantor pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak yang bersangkutan berakhir.

Tata cara mengenai penyetoran dengan SSP, sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP, bentuk SPT Masa serta tata cara pembebasan dari pemotongan dan pemungutan PPh oleh pihak ketiga akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Aplikasi Ketentuan PPh Final 1 Persen untuk WP dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Besok, 15 Agustus 2013 adalah batas akhir pelunasan/penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013. Namun bagi sebagian Wajib Pajak, kewajiban penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013 ini telah mengalami perubahan perlakuan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sebagaimana kita ketahui ketentuan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tersebut mengatur Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak akan dikenakan PPh sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) yang bersifat final.

Dalam PP ini juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Namun yang menjadi permasalahannya, hingga hari ini, penulis masih belum memperoleh informasi apakah Peraturan Menteri Keuangan ini telah diterbitkan. Tentunya hal ini akan sangat menyulitkan bagi Wajib Pajak yang harus menerapkan ketentuan ini.

Beberapa hari terakhir, penulis banyak memperoleh pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini, namun apa daya, penulis masih belum memperoleh landasan hukum sebagai acuan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di lapangan tersebut.

Setoran PPh 1% Final

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang memenuhi kriteria sebagaimana yang pernah penulis bahas dalam artikel ini) dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet). Dalam Pasal 4 PP Nomor 46 Tahun 2013 ini ditegaskan bahwa dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Dalam penjelasan Pasal 4 ini ditegaskan bahwa penghitungan PPh final ini dilakukan setiap bulan. Artinya perlakuan penyetoran PPh final 1% ini dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai pengganti dari setoran PPh Pasal 25 yang selama ini telah mereka lakukan, sama halnya untuk ketentuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Jadi seandainya Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini dan selama ini menghitung PPh Orang Pribadi atau Badan dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh dan diangsur diawal setiap bulan melalui penyetoran PPh Pasal 25, maka sejak masa Juli 2013 harus menyetor PPh dengan tarif 1% dari omzet sebulan dan bersifat final.

Contoh: selama masa Juli 2013 Andi memperoleh penghasilan dari usaha dagang melalui tokonya di Mangga Dua dengan omzet sebesar Rp 120.000.000. Maka PPh yang bersifat final yang harus disetorkan untuk masa Juli 2013 adalah sebesar:
Rp 120.000.000 x 1% = Rp 1.200.000

Berdasarkan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa penyetoran PPh ini dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan mencantumkan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420.

Permasalahan:
Setelah penulis cek ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 untuk Kode Akun Pajak 411128 adalah merupakan setoran untuk jenis PPh Final namun untuk Kode Jenis Setoran 420, tidak tercantum dalam ketentuan tersebut.

Akibatnya ketika kita akan menyetorkan PPh final ini dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, pasti akan ditolak oleh pihak Bank Persepsi atau Kantor Pos penerima setoran pajak, karena kode tersebut tidak tercantum dalam sistem Modul Penerimaan Negara (MPN).

(*) Sebagai catatan, ternyata pihak Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 tanggal 2 Juli 2013 yang telah menambahkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, namun sepertinya pihak Bank Persepsi dan Kantor Pos sebagai penerima setoran atau pihak Ditjen Perbendaharaan belum mengupdate kode ini ke dalam sistem MPN sehingga ketika ada beberapa Wajib Pajak rekan penulis yang mencoba menyetorkan setoran pajak dengan kode akun pajak ini, ditolak oleh pihak Bank Persepsi. Jadi sebaiknya pihak Ditjen Pajak segera berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengecek apakah kode akun pajak yang baru ini sudah ter-update dalam sistem MPN.

Untuk Lampiran PER-24/PJ/2013 mengenai tabel baru Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dapat dibaca di sini.

Tanggal Jatuh Tempo Setor PPh Final

Sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaan yang menegaskan mengenai kapan batas waktu penyetoran PPh final 1% ini.

Namun apabila kita mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.02/2010 diatur bahwa untuk penyetoran jenis PPh yang harus dibayar sendiri (baik PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 25) harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi menurut penulis, maka penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu sebesar 1% yang bersifat final ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir karena PPh ini adalah termasuk jenis PPh yang harus dibayar sendiri.

Walaupun demikian, pihak Pemerintah tetap harus mengeluarkan dasar hukum mengenai batas akhir penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu ini.

Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu yang Sudah Terlanjur Setor PPh Pasal 25 Selama Setahun

Saat ini banyak kita temukan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan setoran PPh Pasal 25 yang dilakukan di awal untuk 12 bulan kemudian. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan dan sesuai ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.23/1989 tentang Penyetoran Dimuka PPh Pasal 25 Sekaligus Untuk Beberapa Bulan.

Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu dan mulai masa Juli 2013 harus menghitung PPh terutangnya menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini yang ternyata telah menyetorkan PPh Pasal 25 dari masa Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 tentu akan mengalami permasalahan. Karena ternyata PPh Pasal 25 yang sudah terlanjur disetorkan tersebut ternyata salah setor.

Sebenarnya solusi yang dapat dilakukan adalah Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan (Pbk) dari setoran PPh Pasal 25 yang telah disetorkan tersebut (salah setor) untuk dipindahkan sebagai setoran PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Tentunya hal ini akan menambah pekerjaan administratif baik bagi petugas pajak maupun Wajib Pajak.

Sebagai catatan, setelah penulis membuat tulisan ini, akhirnya pihak Direktorat Jenderal Pajak merilis peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini walaupun menurut penafsiran penulis, masih banyak hal dari praktek di lapangan yang belum diakomodasi dalam aturan pelaksana ini.

Artikel Terkait:
Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar
PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak dengan Omzet di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 31 Juli 2013

Jatuh Tempo Setor dan Lapor Pajak

Sebenarnya penulis telah beberapa kali menurunkan artikel yang membahas ketentuan mengenai penyetoran dan pelaporan pajak yang apabila tanggal jatuh temponya tersebut bertepatan dengan hari libur. Namun karena masih banyaknya pertanyaan yang diterima oleh penulis mengenai hal ini, apalagi minggu depan kita akan kembali mengalami jatuh tempo penyetoran pajak yang bertepatan dengan hari libur, maka penulis kembali menyajikan artikel yang membahas masalah ini.

Sehubungan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1434 H yang menurut penanggalan akan jatuh pada hari Kamis dan Jumat tanggal 8 dan 9 Agustus 2013, maka Pemerintah melalui 3 Menteri menetapkan Surat Keputusan Bersama tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013 bahwa pada hari Senin, Selasa, dan Rabu tanggal 5, 6 dan 7 Agustus 2013 ditetapkan sebagai Cuti Bersama. Akibatnya sejak hari Sabtu tanggal 3 Agustus 2013 hingga hari Minggu tanggal 11 Agustus 2013 adalah merupakan hari libur dan cuti bersama secara nasional. Tentunya salah satu pihak yang akan mengalami kesulitan akibat libur ini adalah para Wajib Pajak dan orang-orang yang terlibat dengan pekerjaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajak. Karena pada saat ini, salah satu kewajiban perpajakan yang akan mengalami jatuh tempo adalah penyetoran untuk pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Final, PPh Pasal 26 untuk masa Juli 2013. Jatuh tempo penyetoran kewajiban pemotongan PPh masa Juli 2013 ini adalah tanggal 10 Agustus 2013.

Akibatnya penulis banyak mendapatkan pertanyaan tentang apakah ada toleransi yang diberikan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak terhadap hal ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya."

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, menegaskan bahwa Hari libur nasional yang dimaksud ini adalah termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian, apabila tanggal jatuh tempo penyetoran pajak jatuh pada hari libur, maka penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Oleh sebab itu, untuk kewajiban penyetoran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) masa Juli 2013 yang jatuh temponya pada tanggal 10 Agustus 2013 ini ternyata jatuh pada hari Libur Nasional, sehingga setoran ini dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah libur Nasional tersebut, yaitu pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2013.

Jadi, para Pembaca sekalian, tidak perlu khawatir lagi, apabila sampai dengan hari Jumat sore tanggal 2 Agustus 2013 masih belum dapat memenuhi tenggat waktu penyetoran pajak jenis ini, maka setoran dapat dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013.

Akhirnya Penulis mengucapkan selamat berlibur panjang, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H bagi para Pembaca yang merayakannya. Mohon maaf Lahir dan Batin. Serta, selamat menjalankan kewajiban perpajakan Anda.

Artikel Sejenis:
9 April 2009 adalah Hari Libur Nasional
Batas Waktu Setor dan Lapor Pajak Bulan September 2010, Apa Ada Toleransi?