..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Jumat, 03 Oktober 2014

Penegasan Pelaksanaan Pengenaan PPh Final 1% bagi WP Tertentu sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013

Walaupun telah lebih dari 1 tahun ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 diberlakukan, namun pada prakteknya masih ditemukan banyaknya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan ketentuan mengenai pengenaan PPh sebesar 1% dari Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 tanggal 17 September 2014 sebagaimana yang diralat dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ/2014 tanggal 22 Oktober 2014.

Beberapa hal yang ditegaskan dalam SE-32/PJ/2014 (sebagaimana yang diralat dengan SE-38/PJ/2014) sehubungan dengan pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:

1. Objek Pajak Penghasilan

Penghasilan yang dikenai PPh Final sebesar 1% berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:
  • penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013;
  • penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
  • penghasilan yang telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  • penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
2. Penentuan Saat Beroperasi Secara Normal

Penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali. Bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
  • jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan;
  • dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.

Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana disebutkan di paragraf sebelum ini, dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial ini melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan PPh berdasarkan tarif umum UU PPh berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.

Pengenaan PPh yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali, untuk tahun selanjutnya ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

Contoh 1:
PT ABCD (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT ABCD dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan hingga 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada tahun 2015 adalah dengan memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Contoh 2:
PT CDE (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT CDE dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.

Contoh 3:
PT XYZ (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT XYZ dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Contoh 4:
PT KLM (Wajib Pajak badan) dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT KLM dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014).

Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

Bersambung ke Artikel Selanjutnya

Rabu, 01 Oktober 2014

APBN 2015

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada hari Senin, 29 September 2014 telah mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 menjadi Undang-undang (UU). APBN untuk tahun 2015 yang ditetapkan senilai Rp 2.039,5 triliun (naik lebih tinggi sekitar Rp19,6 triliun dibanding dengan usulan pemerintah dalam RAPBN 2015. Pengesahan UU APBN 2015 ini ditetapkan melalui sidang paripurna yang dipimpin oleh Sohibul Iman dan telah disepakati oleh seluruh anggota dewan yang hadir di Gedung DPR/MPR.

Berdasarkan Keterangan Pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan pada tanggal 29 September 2014 diketahui bahwa:

1. Pendapatan Negara ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun yang terdiri dari:
  • pendapatan dalam negeri dari perpajakan sebesar Rp 1.380 triliun
  • pendapatan dalam negeri dari penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 410,3 triliun
  • penerimaan hibah sebesar Rp 3,3 triliun

2.  Belanja Negara dalam APBN 2015 ini ditetapkan sebesar Rp 2.039,5 triliun yang terdiri dari:
  • Belanja Pemerintah Pusat ditetapkan sebesar Rp 1.392,4 triliun
  • Transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 647,04 triliun.

3. Keseimbangan primer ditetapkan sebesar negatif Rp 93,9 triliun

4. Defisit anggaran ditetapkan sebesar Rp 245,9 triliun atau sebesar 2,21% terhadap PDB

Sedangkan untuk target indikator makro APBN 2015 adalah sebagai berikut:
  • Pertumbuhan Ekonomi 5,8%
  • Tingkat inflasi 4,4%
  • Nilai tukar rupiah rata-rata Rp 11.900 per USD
  • Tingkat Suku Bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan adalah 6,0%
  • Harga Minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) US$ 105/barel
  • Lifting Minyak Bumi 900.000 barel/hari
  • Lifting Gas Bumi 1.248.000 setara barel minyak/hari.
  • Rasio penerimaan negara terhadap PDB atau tax ratio sebesar 12,38%
Penerimaan Perpajakan di tahun 2015 ditargetkan sebesar Rp1.380,0 triliun. Kenaikan target penerimaan pajak ini didasarkan pada beberapa kebijakan antara lain melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan, ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, penyesuaian kebijakan di bidang bea masuk, bea keluar, dan PPh dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian nasional, peningkatan daya saing dan nilai tambah melalui pemberian insentif fiskal dan penerapan kebiajakan hilirisasi pada komoditas tertentu dan pengendalian konsumsi barang kena cukai melalui penyesuaian tarif cukai hasil tembakau.

Untuk penerimaan sektor migas ditargetkan Rp 312,97 triliun, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) migas ditargetkan Rp 13,99 triliun, dan cost recovery US$ 16 miliar. Sementara pendapatan sektor Mineral dan Batu Bara ditargetkan Rp 24,599 triliun, dan PNBP mineral dan batu bara Rp 16,06 triliun.

Target Dividen BUMN total Rp 44 triliun dengan rincian:
  • Pertamina Rp 10,24 triliun
  • PLN Rp 2,813 triliun
  • Non Pertamina dan PLN Rp 30,9 triliun

Dalam APBN ini, subsidi sektor energi adalah Rp 344,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM, BBN, elpiji, dan LGV Rp 276,01 triliun, dan subsidi listrik Rp 68,68 triliun.

Kamis, 25 September 2014

Hasil Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode September 2014

Badan Penyelenggara Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) telah mengumumkan hasil ujian Periode II tahun 2014 yang ujiannya telah dilaksanakan pada tanggal 6 dan 7 September 2014.

Bagi peserta yang masih belum lulus dalam USKP periode II ini dan masih memiliki kesempatan untuk mengulang, maka ujian periode berikutnya akan diselenggarakan oleh BP USKP pada tanggal 18 dan 19 Oktober 2014.

Berikut adalah hasil dari USKP tersebut untuk USKP A, USKP B, dan USKP C yang telah diumumkan dalam situs ikpi.or.id.

1. USKP TINGKAT (BREVET) A
a. Ulang Ke-1 (Unduh A_Ulang1)
b. Ulang ke-2 (Unduh A_Ulang2)
c. Ulang ke-3 (Unduh A_Ulang3)
2. USKP TINGKAT (BREVET) B
a. Ulang Ke-1 (Unduh B_Ulang1)
b. Ulang ke-2 (Unduh B_Ulang2)
c. Ulang ke-3 (Unduh B_Ulang3)
3.USKP TINGKAT (BREVET) C
a. Ulang Ke-1 (Unduh C_Ulang1)
b. Ulang ke-2 (Unduh C_Ulang2)
c. Ulang ke-3 (Unduh C_Ulang3)


Dokumen Yang Wajib Dilampirkan untuk Pelaporan SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi

Direktur Jenderal Pajak kembali melakukan penyempurnaan atas tata cara dan prosedur penyampaian SPT Masa PPN yang selama ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010. Penyempurnaan yang dilakukan adalah dengan mengubah ketentuan pelaporan SPT Masa PPN 1111 Lebih Bayar yang diajukan permintaan untuk dikembalikan (restitusi) dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sesuai ketentuan Pasal 17C UU KUP.

Perubahan yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2014 tanggal 23 Septeber 2014 ini menambah satu pasal yaitu Pasal 8A yang mengatur ketentuan bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN 1111 Lebih Bayar yang diajukan permintaan untuk dikembalikan (restitusi) dengan mekanisme pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sesuai ketentuan Pasal 17C UU KUP wajib melampirkan dokumen-dokumen dalam bentuk hardcopy berupa:
  1. Pemberitahuan Ekspor Barang, Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 A1;
  2. Faktur Pajak Keluaran dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 A2; 
  3. Pemberitahuan Impor Barang atas Impor Barang Kena Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B1; 
  4. Faktur Pajak Masukan dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B2;
  5. Faktur Pajak Masukan dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B3.
SPT Masa PPN 1111 Lebih Bayar restitusi yang tidak dilampirkan dengan lengkap dokumen-dokumen sebagaimana disebutkan di atas akan dianggap sebagai SPT tidak lengkap. Konsekuensinya maka proses pengembalian kelebihan bayar PPN tersebut juga akan terhambat, karena jangka waktu penyelesaian proses atas permintaan restitusi kelebihan bayar PPN adalah dihitung sejak SPT lengkap disampaikan.

Pengecualian Melampirkan Dokumen Hardcopy

Dalam PER-25/PJ/2014 ini ditegaskan bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan atau menerima dokumen berupa Faktur Pajak yang berbentuk elektronik (e-faktur) yang terdiri dari:
  1. Faktur Pajak Keluaran dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 A2; 
  2. Faktur Pajak Masukan dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B2;
  3. Faktur Pajak Masukan dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan, sebagaimana dilaporkan dalam Formulir 1111 B3
dikecualikan dari ketentuan untuk melampirkan dokumen hardcopy-nya.

Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya PER-25/PJ/2014 ini yaitu tanggal 23 September 2014.

Senin, 15 September 2014

Putusan Mahkamah Agung Menyebabkan Produk Pertanian “Menjadi” Kena PPN

Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan uji materiil atas ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang diajukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diajukan permohonan uji materiil oleh KADIN ini mengatur tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Putusan Mahkamah Agung atas permohonan uji materiil ini dituangkan dalam putusan Nomor 70P/HUM/2013 dan diputus pada tanggal 25 Februari 2014.

Dalam amar Putusan MA yang berlaku secara otomatis dalam waktu 90 hari setelah putusan MA ini menyatakan bahwa Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c PP Nomor 31 Tahun 2007 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Oleh sebab itu, ketentuan ini dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku umum dan harus dicabut.

Untuk memberikan kepastian hukum dan penegasan kepada masyarakat, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2014 tanggal 25 Juli 2014. Dalam SE-24/PJ/2014 ini ditegaskan bahwa barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran serta barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai adalah barang yang tidak dikenai PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN.

Sedangkan barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana yang ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN saat ini berubah menjadi dikenakan PPN.

Secara rinci dalam Lampiran dari Surat Edaran ini, ditegaskan bahwa untuk barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang merupakan Barang Kena Pajak yang dikenai PPN terdiri dari:
  1. Komoditi hasil perkebunan yang terdiri dari buah kakao, buah kopi, buah dan cangkang kelapa sawit, nira aren dan daun/batang aren, biji/kacang mete, lada (buah), pala (biji, buah, bunga, kulit ari), cengkeh (bunga, tangkai/daun), getah karet, daun teh, daun tembakau, tebu, kapas, kapuk, rami, rosella, jute, kenaf, abaca, kayu manis (kulit batang), Kina (kulit batang), panili (buah/biji) daun nilam, buah jarak pagar, daun sereh, atsiri (daun, akar, bunga, buah), kelapa (buah, kulit buah/sabut, tempurung, batang), serta tanaman perkebunan dan sejenisnya.
  2. Komoditas tanaman hias dan obat yang terdiri dari: tanaman hias, tanaman potong (daun, bunga), tanaman obat (buah, daun, biji, umbi, batang, kulit, bunga).
  3. Komoditas tanaman pangan yang terdiri dari: padi (merang, sekam, bekatul, dedak, jerami dan komposnya); jagung (tongkol, bonggol, daun, klobot, batang); kacang tanah (polong); ubi kayu (umbi, batang, daun); ubi jalar; kacang hijau, gude, dan kacang lainnya; serta talas, garut, gembili, dan umbi lainnya.
  4. Komoditas hasil hutan kayu yang terdiri dari: kayu, kayu kelapa sawit, kayu karet, batang bamboo.
  5. Komoditas hasil hutan bukan kayu yang terdiri dari rotan, gaharu, agathis (kopal), shorea (damar), biji kemiri, biji tengkawang.

Sedangkan untuk barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang bukan merupakan Barang Kena Pajak adalah hasil produk hortikultura yang terdiri dari:
  1. Buah-buahan, yaitu: pisang, jeruk, mangga, salak, nanas, belimbing, manggis, rambutan, durian, melon, semangka, pepaya, duku, bengkuang, nangka, cempedak.
  2. Sayuran, yaitu: sayuran daun, sayuran buah, sayuran umbi, sayuran jamur.

Akibatnya bagi Wajib Pajak/Pengusaha (baik orang pribadi maupun badan) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian yang merupakan barang kena pajak ini wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut PPN, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet dampai dengan Rp 4,8 milyar per tahun.

Historis Ketentuan yang Dicabut

Penulis mencoba mengkaji kaitan dan ketentuan yang dicabut dengan Putusan MA ini sebagai akibat dari adanya pengajuan uji materiil oleh pihak KADIN terhadap PP Nomor 31 Tahun 2007. Berikut adalah ketentuan-ketentuan terkait dengan Barang Kena Pajak dan bukan Barang Kena Pajak.

1. Jenis Barang Yang Bukan Objek PPN

Berdasarkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut sebagai UU PPN) menegaskan jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu barang tertentu dalam kelompok barang:
  1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
  2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan 
  4. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Lebih lanjut dalam Penjelasan atas Pasal 4A ayat (2) huruf b merinci jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, terdiri dari:
  • beras;
  • gabah;
  • jagung;
  • sagu;
  • kedelai;
  • garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  • daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  • telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  • susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  • buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  • sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa kini dalam UU PPN telah menganut prinsip negatif list, artinya bahwa selain jenis-jenis barang atau jasa yang telah tercantum dalam Pasal 4A ayat (2) dan ayat (3) UU PPN ini adalah merupakan objek PPN.

2. Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Menurut UU PPN

Pasal 16B ayat (1) UU PPN memberikan 2 (dua) jenis fasilitas kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yaitu berupa PPN yang terutang tidak dipungut dan PPN terutang yang dibebaskan.

Jenis Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang tidak dipungut dan PPN terutang yang dibebaskan ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dengan berpedoman pada penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang tidak dipungut, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan.

Sedangkan atas penyerahan Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang dibebaskan dari pengenaan PPN, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.

3. Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Menurut Peraturan Pemerintah

Selama ini ketentuan lebih lanjut yang mengatur tentang Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 (selanjutnya disebut PP Nomor 31 Tahun 2007).

Dalam Pasal 2 PP Nomor 31 Tahun 2007 diatur bahwa: Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:
  1. barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
  2. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan;
  3. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;
  4. barang hasil pertanian;
serta atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa :
  1. Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
  2. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan;
  3. barang hasil pertanian;
  4. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;
  5. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum;
  6. listrik kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 (enam ribu enam ratus) watt sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf h; dan
  7. RUSUNAMI;
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Barang hasil pertanian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 31 Tahun 2007 ini adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
  1. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
  2. peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
  3. perikanan baik dari penangkapan atau budidaya,
yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran PP Nomor 31 Tahun 2007 ini.

Dalam pelaksanaannya, untuk mendapatkan pembebasan dari pengenaan PPN, khusus untuk penyerahan atau impor Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, terlebih dahulu Pengusaha Kena Pajak wajib memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar. Sedangkan untuk impor atau penyerahan lainnya yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN, Pengusaha Kena Pajak tidak perlu mendapatkan SKB. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN wajib menerbitkan Faktur Pajak dan membubuhkan cap “PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007.”

Simpulan

Sebenarnya selama ini barang hasil pertanian (kecuali untuk barang yang dinyatakan bukan objek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, daging telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran) adalah merupakan Barang Kena Pajak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, maka Pemerintah memberikan fasilitas berupa PPN yang terutang dibebaskan atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yang salah satunya adalah barang hasil pertanian.

Dengan adanya putusan Mahkamah Agung ini menyebabkan saat ini fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa barang hasil pertanian yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan, penangkaran dan perikanan sudah tidak berlaku lagi. Otomatis atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak hasil pertanian ini terutang PPN dan wajib untuk dipungut PPN terutangnya.

Walau demikian, ketentuan pemberian fasilitas pembebasan pengenaan PPN atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis untuk barang modal, makanan ternak, bibit dan/atau benih, air bersih, listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt, dan RUSUNAMI tetap berlaku.

Apabila kita simak jenis komoditas yang dinyatakan sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN, maka ada 2 (dua) jenis komoditas yang mungkin dapat menimbulkan perbedaan penafsiran, yaitu padi dan jagung. Sebenarnya komoditas padi dan jagung yang dinyatakan sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN menurut SE-24/PJ/2014 ini adalah merang, sekam, bekatul, dedak, jerami dan komposnya yang merupakan hasil pemisahan dari padi/beras serta tongkol jagung, bonggol jagung, daun jagung, klobot dan batang jagung. Sedangkan untuk gabah atau yang sudah dipisahkan menjadi beras serta biji jagung adalah tetap merupakan bukan barang kena pajak.