..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Jumat, 16 Mei 2008

PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA

Dasar Hukum:
  • Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tanggal 4 April 2008
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 tanggal 28 April 2008
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ./2008 tanggal 2 Mei 2008
Isi dari ketiga peraturan tersebut disajikan di bawah ini:


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2008

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAN NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka lebih mendorong pertumbuhan pasar Surat Perbendaharaan Negara, perlu mengatur kembali ketentuan pengenaan pajak atas transaksi Surat Perbendaharaan Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;


Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA.

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

  1. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara
  2. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
  3. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali.
  4. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana.
  5. Diskonto SPN adalah selisih lebih antara :
    1. nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder; atau
    2. harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder,

tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.

Pasal 2

(1)

Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(2)

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

  1. 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT); dan
  2. 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri.

dari Diskonto SPN.

Pasal 3

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh :

  1. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas Diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo; atau
  2. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara maupun selaku pembeli, atas Diskonto SPN yang diterima di Pasar Sekunder.

Pasal 4


Pemotongan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak :

  1. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
  2. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
  3. Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga, selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

Pasal 5


Ketentuan mengenai tata cara pemotongan Pajak penghasilan atas Diskonto SPN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 6


SPN yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pemungutan PPh sudah dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, tidak dipungut lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 7


Pada saat Peraturan pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 4 April 2008


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO






Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 4 April 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd

ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 52

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2008

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA

I. UMUM

Perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Diskonto Surat Perbendaharaan Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006, dipandang masih belum efektif dan efisien pengenaan Pajak Penghasilannya dan kurang mendukung kebijakan fiskal Pemerintah.

Oleh karena itu, guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengenaan Pajak Penghasilan atas Diskonto SPN serta untuk memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam rangka memahami ketentuan perpajakan atas SPN, maka dipandang perlu mengatur kembali pengenaan Pajak Penghasilan atas Diskonto SPN sehingga lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan dalam pelaksaannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan "SPN yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini" adalah SPN dengan Nomor Seri SPN 2008052801.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4837

--------------------------------------------------------------------------------------------


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63/PMK.03/2008

TENTANG

TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO
SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4837);
  3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA.

Pasal 1

(1)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berupa Diskonto SPN, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(2)

SPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Surat Perbendaharaan Negara yang merupakan Surat Utang Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.

Pasal 2

(1)

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:

  1. 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT): dan
  2. 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri,

dari Diskonto SPN.

(2)

Tata cara penghitungan dan pemotongan besarya Pajak Penghasilan dari diskonto SPN sesuai dengan contoh sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 3

(1)

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh:

  1. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas Diskonto yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo;
  2. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas Diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder;
  3. Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa melalui pedagang perantara, atas Diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder.

(2)

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanggal transaksi saat penjualan SPN di Pasar Sekunder atau pada tanggal saat jatuh tempo SPN.

Pasal 4


Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:

  1. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
  2. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
  3. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

Pasal 5

(1)

Penjual SPN berkewajiban memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan SPN yang sebenarnya, untuk keperluan penghitungan Diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan.

(2)

Apabila penjual SPN tidak memberitahukan data/informasi yang sebenarnya kepada pemotong pajak, maka atas penghasilan berupa Diskonto SPN yang tidak atau kurang diberitahukan, dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana mestinya dalam tahun diketahuinya ketidakbenaran dimaksud ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga.

Pasal 6


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran, pelaporan, dan ketentuan/prosedur administratif diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7


Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8


Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 4 April 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 April 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd

SRI MULYANI INDRAWATI

--------------------------------------------------------------------------------------------

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-18/PJ./2008

TENTANG

TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;


Mengingat :

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4837);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA.

Pasal 1

(1)

Pemotongan Pajak Penghasilan atas Diskonto SPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 dilakukan oleh:

a. Penerbit SPN (emiten) atau custodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran,atas diskonto yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo;

b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder;

c. Perusahaan efek (broker), bank, dana pension, dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa melalui pedagang perantara, atas diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder.

(2)

Dalam hal penjualan SPN secara langsung tanpa melalui pedagang perantara dan dilakukan kepada pihak selain pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pihak yang melakukan pencatatan perubahan hak kepemilikan SPN (sub-registry) wajib memotong Pajak Penghasilan Final yang terutang sebelum mutasi hak kepemilikan dapat dilakukan.

(3)

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanggal transaksi saat penjualan SPN di Pasar Sekunder atau pada tanggal saat jatuh tempo SPN.

Pasal 2

(1)

Kewajiban penjual SPN untuk memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan SPN dan tanggal perolehan yang sebenarnya untuk keperluan penghitungan diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan, dilakukan dengan menyerahkan lembar ke-4 Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dari pembelian SPN sebelumnya atau menyerahakan fotokopi bukti pembelian di pasar perdana yang sah dalam hal SPN diperoleh di pasar perdana.

(2)

Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi penjual SPN yang dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib:

a. memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa Diskonto SPN;

b. menyetor Pajak Penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan pemotongan;

c. melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b ke kantor Pelayanan Pajak paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan pemotongan.

Pasal 4

(1) Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan dengan menggunakan Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara kode formulir F.1.1.33.17a yang tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) kode formulir F.1.1.32.04 dengan mengisi angka 3 Bunga/Diskonto Obligasi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP0108/PJ.1/1996 tentang Bentuk Formulir Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan beserta perubahannya.

Pasal 5

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 2 Mei 2008

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

DARMIN NASUTION

(lampiran tidak disertakan)

(c) Syafrianto 16052008

-------------------------------------------------------------------------------------------------

REKONSILIASI FISKAL

Materi Kuliah Perpajakan Lanjutan bagi Mahasiswa Unika Atmajaya, untuk topik Rekonsiliasi Fiskal, Hubungan Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal.
Silakan download file di sini.

Pajak Pemotongan (Witholding Tax)

Dalam sistem perpajakan secara witholding system, negara memberikan kepercayaan kepada pihak ketiga untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak penerima penghasilan dan menyetorkan pajak yang telah dipotongnya ini ke kas Negara.

Dalam Undang-undang PPh, jenis-jenis pajak yang menganut sistem witholding ini adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15 dan PPh Pasal 19.

Transaksi pemenuhan kewajiban perpajakan melalui sistem witholding ini dapat digambarkan sebagai berikut:

- Pihak yang menggunakan/mendapatkan/memperoleh jasa dan/atau barang dari pihak penyedia jasa dan/atau barang yang merupakan objek dari pemotongan PPh disebut sebagai Pemotong Pajak.

- Pihak yang melakukan penyerahan jasa dan/atau barang dan menerima penghasilan (income) dari penyerahan yang telah dilakukannya tersebut disebut sebagai Subjek Pajak.

- Objek yang dipotong PPh adalah Penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan transaksi penyerahan jasa dan/atau barang tersebut.

Transaksi yang menjadi objek pemotongan pajak ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:


Kewajiban dari pemotong pajak dalam kasus terjadinya transaksi yang merupakan objek pemotongan pajak adalah: menghitung pajak yang terutang, melakukan pemotongan atas pajak yang terutang dari penghasilan yang dibayarkannya kepada penerima penghasilan tersebut, membuatkan bukti pemotongan dan memberikannya kepada pihak penerima penghasilan yang telah dipotong pajak, menyetorkan pajak yang telah dipotongnya tersebut ke Kas Negara serta melaporkan pemotongan pajak yang telah dilakukannya tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak setempat tempat dia terdaftar.

Dilarang mengutip, memperbanyak, mempublikasikan tulisan ini tanpa seijin penulis.
(c) syafrianto 16052008

Kamis, 15 Mei 2008

PPh OP BREVET C - USKP MEI 2007 (SOAL ESSAY)

SOAL II ESSAY (Bobot 30)

1. Mr. Patrick Warga Negara Inggris, bekerja di Indonesia sebagai perwakilan organisasi Safe World di mana Indonesia sebagai salah satu anggotanya dan Safe World adalah salah satu organisasi internasional yang ditetapkan menteri keuangan pada tahun 2006. Selama tahun 2006 Mr. Patrick menerima gaji per bulan Rp25.000.000 dan tunjangan Rp7.000.000, bulan Desember ia memperoleh bonus Rp50.000.000. Pada bulan Agustus 2006, Mr. Patrick membantu sebuah EO mendatangkan penyanyi terkenal dari Inggris, Jammie, untuk melakukan pentas musik di Jakarta dan Surabaya. Atas bantuannya ini ia dibayakan Rp70.000.000 oleh EO.

Analisa kasus di atas, dan hitung pajak terutang bila Mr. Patrick memiliki kewajiban membayar pajak di Indonesia.

2. Pak Rondiawan (K/0) NPWP: 05.475.875.6-023.000 memiliki perusahaan perorangan dan penghasilan bersih tahun 2006 Rp100.000.000. Isteri Pak Rondiawan, Ibu Shintawati bekerja sebagai manajer di PT Ayu Sejahtera dan memperoleh gaji selama setahun Rp50.000.000 dan telah dipotong PPh Pasal 21 oleh PT Ayu Sejahtera, selain itu Ibu Shintawati membuka boutique design di rumah yang dikelola oleh karyawatinya. Selama tahun 2006 memperoleh penghasilan bersih Rp75.000.000. Dalam perkawinan tersebut mereka mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis.

Analisis kasus di atas, hitung PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh OP Pak Rondiawan tahun 2006 di samping itu Pak Rondiawan dan Ibu Shinta mengeluarkan zakat penghasilan 2,5% dan disalurkan ke baitul maal yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama.

3. Sebagai seorang Milyarder, Bapak Sugih Tenan menghibahkan sebuah Pom Bensin dan restaurant kepada cucu tunggalnya Bejo Banget yang baru berumur 6 tahun. Penghasilan Pom Bensin dan restaurant per tahun rata-rata Rp1.500.000.000.

Jelaskan apa saja landasan juridis fiskal atas penghasilan pom bensin tersebut.

PEMBAHASAN:

1. Landasan Hukum:

- Menurut Pasal 3 huruf d UU PPh, ditegaskan bahwa pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak termasuk sebagai Subjek Pajak.

- Menurut Pasal 4 butir b Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-15/PJ/2006 ditegaskan bahwa ”pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 574/KMK.04/2000 tentang Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Sebagai Subjek Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 601/KMK.03/2005, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia, adalah tidak termasuk sebagai penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26.”

Analisis Kasus:

Jika selama tahun 2006 Mr. Patrick hanya mendapatkan penghasilan semata-mata dari jabatannya sebagai perwakilan organisasi Safe World (yang diperolehnya selama tahun 2006 terdiri dari gaji perbulan Rp25.000.000 dan tunjangan perbulan Rp7.000.000 serta bonus Rp50.000.000), maka Mr. Patrick bukan merupakan Subjek Pajak dan penghasilan yang diterimanya ini tidak termasuk sebagai penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21/26.

Namun karena pada bulan Agustus 2006, Mr. Patrick menerima penghasilan dari sebuah EO (dari soal dapat ditafsirkan bahwa EO ini adalah subjek pajak dalam negeri) atas jasanya membantu mendatangkan penyanyi terkenal dari Inggris untuk pentas di Jakarta dan Surabaya sebesar Rp70.000.000, maka Mr. Patrick otomatis menjadi Subjek Pajak. Maka Mr. Patrick harus memenuhi kewajiban pajak dengan cara mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.

Asumsi Jawaban:

Pemotongan yang dilakukan oleh pihak pemberi kerja:

- Saat menerima penghasilan dari organisasi Safe World, karena pemberi kerja bukan pemotong pajak atas penghasilan anggotanya serta penghasilan yang diterima Mr. Patrick adalah penghasilan yang tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 21/26 maka, penghasilan tersebut tidak dipotong PPh Pasal 21 atau 26.

- Saat menerima penghasilan dari EO (asumsi adalah pemotong PPh Pasal 21/26), maka penghasilan ini merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan terutang PPh Pasal 21 sebesar (hal 44), asumsi bahwa Mr. Patrick telah memenuhi kewajiban pajak sebagai subjek pajak dalam negeri:

Rp25.000.000 x 5% = Rp 1.250.000

Rp25.000.000 x 10% = 2.500.000

Rp20.000.000 x 15% = 3.000.000

Jumlah PPh Pasal 21 terutang Rp 6.750.000

Seandainya jika di soal disebutkan bahwa Mr. Patrick telah mendaftarkan diri memiliki NPWP, maka seluruh penghasilan yang diterimanya tahun 2006 ini harus dihitung kembali dan dicari PPh terutang yang sebelumnya dikurangkan dahulu dengan PTKP. Namun dalam soal ini tidak diketahui PTKP, maka jawaban dapat diasumsikan.

2. Penerapan tarif untuk masing-masing suami dan isteri adalah sebagai berikut:

Penghasilan Neto suami


Rp 100.000.000,00

Penghasilan Neto isteri


Rp 50.000.000,00



Rp 75.000.000,00 +/+





Penghasilan Neto gabungan


Rp 225.000.000,00

Zakat 2,5%


Rp 5.625.000,00

PTKP : K/I/0


Rp 27.600.000,00 -/-

Penghasilan Kena Pajak


Rp 191.775.000,00




PPh terutang gabungan (suami dan isteri) :






5 % x Rp 25.000.000,00

=

Rp 1.250.000,00

10% x Rp 25.000.000,00

=

Rp 2.500.000,00

15% x Rp 50.000.000,00

=

Rp 7.500.000,00

25% x Rp 91.775.000,00

=

Rp 22.943.750,00 +/+



Rp 34.193.750,00

a.

Untuk SPT suami




PPh terutang diisi

=

100.000.000,00

225.000.000,00

x

Rp 34.193.750,00 =

Rp 15.197.222,22

b.

Untuk SPT isteri






PPh terutang diisi

=

125.000.000,00

225.000.000,00

x

Rp 34.193.750,00 =

Rp 18.996.527,78














lihat: Buku Petunjuk Pengisian SPT 1770 hal 39-40

3. Analisa Landasan juridis fiskal:

Hibah tersebut tidak termasuk objek pajak jika harta hibahan yang diterima oleh keluarga dalam garis keturunan lurus satu derajat dan pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 604/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 sepanjang tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. (Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 UU PPh).

Karena hibah ini dari kakek ke cucu (tidak berada dalam keturunan lurus satu derajat), maka hibah ini tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3).

Atas penghasilan dari pom bensin ini akan ditanggung oleh subjek pajak Bejo Banget, sehingga Bejo Banget harus memenuhi segala kewajiban perpajakannya, walaupun dia baru berumur 6 tahun tapi telah memenuhi kewajiban pajak subjektif dan objektif.

(c) Jawaban soal ini dibuat oleh Syafrianto sesuai dengan asumsi dan pendapat pribadi.
Dilarang untuk mengutip, memperbanyak dan menyebarluaskan materi pembahasan ini tanpa seijin penulis.

SUBJEK PAJAK


Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), yang menjadi Subjek Pajak adalah:

1. Orang Pribadi; orang pribadi dibedakan menjadi orang pribadinya sendiri dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2. Badan.

3. Bentuk usaha tetap.

Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.

UU PPh menganut resident principle untuk Wajib Pajak dalam negeri dan source principle untuk Wajib Pajak luar negeri, yang terlihat dari perlakuan pajaknya, yakni sebagai berikut:

a. Wajib Pajak dalam negeri:

1) dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia;

2) berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum;

3) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

b. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT:

pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri, namun terbatas pada penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

c. Wajib Pajak luar negeri non-BUT:

1) dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;

2) berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;

3) tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

(c) dilarang mengutip dan memperbanyak tulisan ini tanpa seijin penulis.
Sumber: Syafrianto, Modul Praktek Perpajakan 2008, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008 (ISBN: 978-979-756-343-1)