Sejak 1 Januari 2009, kebijakan pemotongan PPh Pasal 23 telah berubah. Perubahan yang terjadi ini seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 beserta aturan-aturan pelaksananya. Ketentuan pemotongan PPh Pasal 23 mulai 1 Januari 2009 ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan yang telah berlaku sebelumnya. Ketentuan pemotongan PPh Pasal 23 berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ini terlihat lebih sederhana (terutama dalam hal tarif pemotongan) jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya. Tentunya hal ini bertujuan agar tercipta asas pemungutan pajak yang bersifat sederhana.
Namun dengan adanya ketentuan baru ini yang berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya akan menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat/Wajib Pajak yang akan menerapkannya terutama dalam hal menentukan masa peralihan ("cut-off") dari peraturan lama ke peraturan yang baru. Penulis banyak mendapatkan pertanyaan mengenai praktek pemotongan PPh Pasal 23 terutama pada masa-masa awal diberlakukannya ketentuan baru ini. Misalkan, bagaimanakah pemotongan terhadap objek PPh Pasal 23 yang telah ditandatangani kontraknya pada tahun 2008, namun realisasi atau pembayarannya baru terjadi di tahun 2009? Kapan saat terutangnya PPh Pasal 23, karena jika dilihat dari ketentuan lama, hal ini ditegaskan secara jelas dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak? dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Jadi bagaimanakah pelaksanaan ketentuan baru mengenai pemotongan PPh Pasal 23 ini?
Saat Terutang PPh Pasal 23
Dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 ini disebutkan bahwa "Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan di luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan..."
Dengan demikian maka saat terutang PPh Pasal 23 menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 ini adalah:
- Saat dibayarkan (cash basis)
- Saat disediakan untuk dibayar (dapat berupa dicadangkan untuk dibayar)
- Saat jatuh tempo pembayaran (saat terutang/di-accrued).
Penegasan saat terutang PPh Pasal 23 menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 ini sedikit berbeda dengan yang ditegaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2000, dimana sebelumnya disebutkan bahwa saat terutang PPh Pasal 23 adalah pada saat penghasilan tersebut dibayarkan atau terutang, dan ditegaskan lagi dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 bahwa PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Sebenarnya UU Nomor 36 Tahun 2008 ini lebih mempertegas dan mengatur "suatu celah" yang selama ini belum terantisipasi. Akibat adanya celah ini yang sering digunakan oleh Wajib Pajak untuk tidak/belum memungut dan menyetorkan PPh Pasal 23. Celah tersebut adalah pada kata-kata saat terutangnya penghasilan. Selama ini Wajib Pajak mengatakan bahwa saat terutangnya penghasilan adalah pada saat dibayarkan secara cash atau saat di-accrue sebagai biaya oleh pihak pembayar penghasilan. Sedangkan jika penghasilan tersebut tidak pernah dibayarkan secara cash atau dibebankan sebagai biaya (hanya ada kontrak bahwa terjadi transaksi, maka Wajib Pajak selalu berkelit bahwa hal ini tidak termasuk saat terutangnya PPh Pasal 23.
Namun dengan adanya ketentuan dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 ini, maka atas transaksi yang menjadi objek PPh Pasal 23, akan terutang PPh juga apabila atas transaksi tersebut telah disediakan untuk dibayarkan. Jadi ketentuan mengenai saat terutang PPh Pasal 23 menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 ini lebih lengkap karena menambahkan 1 ketentuan saat terutang yang tidak diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2000.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimanakah jika ada transaksi yang terjadi di bulan Desember 2008, namun biayanya baru dibayarkan pada bulan Januari 2009 bagaimanakah ketentuan pemotongan PPhnya? Apakah menggunakan ketentuan UU PPh yang lama atau yang baru? Jika kita lihat dari kasus tersebut, maka terlebih dahulu kita harus menentukan saat terutangnya. Dalam kasus tersebut, transaksi dilakukan pada bulan Desember 2008 maka tentunya biaya tersebut telah diakui (di-accrued) untuk bulan Desember 2008. Hanya saja pembayaran baru dilakukan pada bulan Januari 2009.
Oleh sebab itu, maka berdasarkan ketentuan UU PPh (baik yang lama maupun yang baru): Saat terutang PPh adalah pada saat biaya tersebut diakui, karena kejadian itu yang terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan saat dibayarkan biaya tersebut. Sehingga pemotong pajak harus memotong PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut pada bulan Desember 2008 dengan menggunakan ketentuan dan tarif berdasarkan aturan yang lama (yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007).
Bagaimana seandainya pada bulan Desember 2008, transaksi tersebut belum dipotong PPh Pasal 23, apakah pada bulan Januari 2009 pemotongan dapat menggunakan tarif yang baru berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 244/PMK.03/2008? Jika pemotong pajak belum memotong PPh Pasal 23 atas transaksi yang dilakukan/di-accrued pada bulan Desember 2008 namun baru dibayar pada bulan Januari 2009, maka Pemotong Pajak tetap harus membuat bukti potong bulan Desember 2008 dan melaporkannya sebagai pemungutan PPh Pasal 23 untuk bulan Desember 2008.
(c) syafrianto 30012009
Namun dengan adanya ketentuan baru ini yang berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya akan menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat/Wajib Pajak yang akan menerapkannya terutama dalam hal menentukan masa peralihan ("cut-off") dari peraturan lama ke peraturan yang baru. Penulis banyak mendapatkan pertanyaan mengenai praktek pemotongan PPh Pasal 23 terutama pada masa-masa awal diberlakukannya ketentuan baru ini. Misalkan, bagaimanakah pemotongan terhadap objek PPh Pasal 23 yang telah ditandatangani kontraknya pada tahun 2008, namun realisasi atau pembayarannya baru terjadi di tahun 2009? Kapan saat terutangnya PPh Pasal 23, karena jika dilihat dari ketentuan lama, hal ini ditegaskan secara jelas dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak? dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Jadi bagaimanakah pelaksanaan ketentuan baru mengenai pemotongan PPh Pasal 23 ini?
Saat Terutang PPh Pasal 23
Dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 ini disebutkan bahwa "Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan di luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan..."
Dengan demikian maka saat terutang PPh Pasal 23 menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 ini adalah:
- Saat dibayarkan (cash basis)
- Saat disediakan untuk dibayar (dapat berupa dicadangkan untuk dibayar)
- Saat jatuh tempo pembayaran (saat terutang/di-accrued).
Penegasan saat terutang PPh Pasal 23 menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 ini sedikit berbeda dengan yang ditegaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2000, dimana sebelumnya disebutkan bahwa saat terutang PPh Pasal 23 adalah pada saat penghasilan tersebut dibayarkan atau terutang, dan ditegaskan lagi dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 bahwa PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Sebenarnya UU Nomor 36 Tahun 2008 ini lebih mempertegas dan mengatur "suatu celah" yang selama ini belum terantisipasi. Akibat adanya celah ini yang sering digunakan oleh Wajib Pajak untuk tidak/belum memungut dan menyetorkan PPh Pasal 23. Celah tersebut adalah pada kata-kata saat terutangnya penghasilan. Selama ini Wajib Pajak mengatakan bahwa saat terutangnya penghasilan adalah pada saat dibayarkan secara cash atau saat di-accrue sebagai biaya oleh pihak pembayar penghasilan. Sedangkan jika penghasilan tersebut tidak pernah dibayarkan secara cash atau dibebankan sebagai biaya (hanya ada kontrak bahwa terjadi transaksi, maka Wajib Pajak selalu berkelit bahwa hal ini tidak termasuk saat terutangnya PPh Pasal 23.
Namun dengan adanya ketentuan dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 ini, maka atas transaksi yang menjadi objek PPh Pasal 23, akan terutang PPh juga apabila atas transaksi tersebut telah disediakan untuk dibayarkan. Jadi ketentuan mengenai saat terutang PPh Pasal 23 menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 ini lebih lengkap karena menambahkan 1 ketentuan saat terutang yang tidak diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2000.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimanakah jika ada transaksi yang terjadi di bulan Desember 2008, namun biayanya baru dibayarkan pada bulan Januari 2009 bagaimanakah ketentuan pemotongan PPhnya? Apakah menggunakan ketentuan UU PPh yang lama atau yang baru? Jika kita lihat dari kasus tersebut, maka terlebih dahulu kita harus menentukan saat terutangnya. Dalam kasus tersebut, transaksi dilakukan pada bulan Desember 2008 maka tentunya biaya tersebut telah diakui (di-accrued) untuk bulan Desember 2008. Hanya saja pembayaran baru dilakukan pada bulan Januari 2009.
Oleh sebab itu, maka berdasarkan ketentuan UU PPh (baik yang lama maupun yang baru): Saat terutang PPh adalah pada saat biaya tersebut diakui, karena kejadian itu yang terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan saat dibayarkan biaya tersebut. Sehingga pemotong pajak harus memotong PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut pada bulan Desember 2008 dengan menggunakan ketentuan dan tarif berdasarkan aturan yang lama (yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007).
Bagaimana seandainya pada bulan Desember 2008, transaksi tersebut belum dipotong PPh Pasal 23, apakah pada bulan Januari 2009 pemotongan dapat menggunakan tarif yang baru berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 244/PMK.03/2008? Jika pemotong pajak belum memotong PPh Pasal 23 atas transaksi yang dilakukan/di-accrued pada bulan Desember 2008 namun baru dibayar pada bulan Januari 2009, maka Pemotong Pajak tetap harus membuat bukti potong bulan Desember 2008 dan melaporkannya sebagai pemungutan PPh Pasal 23 untuk bulan Desember 2008.
(c) syafrianto 30012009
8 Comments
tanya pak anto :
1. Apakah saat pembuatan bukti potong harus selalu sama dengan saat terutangnya?
2. Kutipan diatas :
Dengan demikian maka saat terutang PPh Pasal 23 menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 ini adalah:
- Saat dibayarkan (cash basis)
- Saat disediakan untuk dibayar (dapat berupa dicadangkan untuk dibayar)
- Saat jatuh tempo pembayaran (saat terutang/di-accrued).
Saya kok nga mendapatkan kutipan diatas di dalam UU no.36 ataupun di PMK 244 (jenis jasa lain)
3. apakah PP 138 tahun 2000 telah direvisi? (terutama mengenai saat terutang pph pasal 23)
Terima kasih atas penjelasannya pak...
1. Secara teoritis berdasarkan UU dan ketentuan perpajakan, adalah iya.
2. Dalam Pasal 23 ayat (1)UU PPh disebutkan: "Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun YANG DIBAYARKAN, DISEDIAKAN UNTUK DIBAYAR, atau telah JATUH TEMPO PEMBAYARANNYA oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, DIPOTONG pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:"
3. Hingga saat ini belum terbit PP yang mengubah PP 138 Tahun 2000, mungkin masih dalam proses untuk diterbitkan.
Terima Kasih banyak pak anto....
Pak Anto,
sebuah transaksi yang terjadi pada bulan Maret 2009 baru di bayarkan pada bulan Juni 2009, apakah pph pasal 23 bisa di potong pada saat pembayaran ? & di setor dan dilapor pada bulan Juli 2009 ?
terima kasih atas penjelasannya.
Seperti penjelasan saya di atas, PPh Pasal 23 sudah terutang pada ketiga saat sebagaimana diatur dalam UU PPh. Jadi ketika salah satu kejadian sudah terjadi, maka PPh Pasal 23 sudah harus dipotong, disetorkan dan dilaporkan, walaupun realisasi pembayaran atas transaksi tersebut belum dilakukan secara cash.
Jadi untuk kasus Anda dimana transaksi telah dilakukan pada bulan Maret 2009, secara akuntansi transaksi ini telah dicatat sebagai beban bagi pihak yang membayarkan penghasilan tersebut, maka secara pajak juga telah terutang PPh Pasal 23 dan harus dipotong, disetor dan dilaporkan untuk bulan Maret 2009.
tanya mas :
Pada bulan november 2010 PT A membayar uang muka ke PT B sebesar Rp. 500.000.000 atas kegiatan suatu jasa. uang muka ini akan dipotong sesuai dengan termina pekerjaan. Pada saat pembayaran uang muka tersebut PT A telah langsung memotong PPh pasal 23 dan PPN.
Pertanyaan :
1. Apakah pemotongan PPh Pasal 23 tersebut telah benar ? (dengan pemotongan sekaligus diawal walaupun belum ada penyelesaian pekerjaan)
2. Dengan pemotongan sekaligus tersebut, apakah ini berarti PT B telah mengakui uang muka tersebut sebagai penghasilan ? ini juga berkenaan dengan kredit pajak pasal 23 yang tidak matching dengan penghasilannya. Misal pd tahun 201o itu yg pemotongan uang muka hanya 200 jt (diakui sebagai penghasilan). sedangkan telah dikreditkan PPh pasal 23 tahun 2010 sebesar DPP 500 jt
Pak Anto,
saya mau nanya untuk masalah ini. Apabila invoice nya dengan curency mata uang selain rupiah. Bila invoice tersebut saya accrued di Des 2012, Bukti potong juga hrs saya bayarkan pada Des 2012 tentunya. Walaupun invoice tersebut nanti akan dibayarkan pada bulan February 2013.
Yang jadi pertanyaan saya, dengan rate per tanggal berapakah bukti potong 23 tersebut saya buat? apa per 31des2012? karena biasanya rate yang saya gunakan adalah pada saat pemotongan/pembayaran dilakukan. Tapi dalam hal ini saya belum melakukan pemotongan/pembayaran.
Terima kasih
Menjawab kedua pertanyaan tgl 18 & 27 Desember 2012:
PPN terutang pada saat terjadinya penyerahan BKP/JKP. Namun jika pembayaran didahului sebelum adanya penyerahan (misalnya uang muka), maka PPN terutang pada saat pembayaran uang.
PPh Pasal 23 terutang dan harus dipotong pada saat "dibayarkan, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya". Dalam kondisi kasus yang disebutkan di atas, maka PPh Pasal 23 harus dipotong pada saat pembayaran, untuk sebatas pembayaran uang mukanya. Namun karena dalam kondisi cerita tersebut di atas, PPh Pasal 23 langsung dipotong sekaligus atas seluruh nilai transaksi, maka memang akan terjadi kredit pajak yang tidak sesuai dengan pengakuan penghasilannya. Namun potongan PPh Pasal 23 ini sebenarnya adalah pembayaran uang muka pajak, sehingga jika berdasarkan teori, maka pada tahun pertama, akan terjadi kelebihan pembayaran PPh dalam SPT Tahunan PPh sedangkan pada tahun berikutnya akan terjadi kekurangan bayar dalam SPT Tahunan PPh dan akan dilunasi melalui PPh Pasal 29.
Untuk invoice yang menggunakan mata uang asing, maka untuk menentukan jumlah rupiah atas PPh yang terutang berdasarkan invoice tersebut harus menggunakan kurs sesuai pada tanggal terutangnya PPh yang dinyatakan dengan membuat bukti pemotongan dan bukan kurs pada saat pembayaran.
Posting Komentar