..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Jumat, 08 Januari 2010

Konsultan Pajak Gratis: Lapor SPT atas Penghasilan Jasa Konstruksi

Tanya:
Mat pagi pak Anto, saya pengurus dari sebuah Badan Usaha (WP Badan), berusaha di bidang Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi, bersertifikat Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dengan kualifikasi KECIL.

Dalam Tahun 2009 ini, Badan Usaha saya mendapatkan 1 proyek Konstruksi dan 1 proyek pengadaan Barang dari Pemerintah Kabupaten. Maka timbullah:

Pemotongan PPh Psl 23 atas Proyek Konstruksi 2% dan PPh Psl 22 sebesar 1,5% dari Proyek Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tersebut.

Oleh karena ada dua jenis penghasilan/usaha,-kecuali hanya Jasa Konstruksi saja yang tidak wajib membayar Setoran Masa PPh Psl 25 mulai tahun pajak 2010, tetapi karena adanya usaha/penghasilan yang dikenakan PPh Psl 22-maka muncul pertanyaan:
1. apakah PPh Psl 23 atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi di atas dapat dapat dikreditkan?
2. apakah PPh Psl 23 perlu digabung bersama dengan PPh Psl 22 dalam Form 1771 Thun 2009 lampiran IV-KREDIT PAJAK-sebagai Kredit Pajak?

Dari hal tersebut di atas, saya juga perlu meminta tanggapan/penjelasan pak atas pendapat/pemahaman saya demikian:

3.Bahwa atas Usaha/Penghasilan Jasa Konstruksi, yang aturannya telah diubah dari semula obyek pajak bersifat Final (Tahun Pajak 2008 ke bawah) ke obyek pajak tidak bersifat Final (berlaku Tahun Pajak 2009 dst.), maka kedua-duanya termasuk Obyek Pajak yang dapat dikreditkan. Dengan demikian maka hasilnya kemungkinan pula didapat adanya Penghasilan Kena Pajak yang masih kurang bayar(PPh Psl 29), dan Angsuran PPh Psl 25 di Tahun Pajak 2010.

Mohon tanggapan/penjelasan pak membantu saya atas ketiga point tersebut di atas. Terimakasih sebelumnya. Harapan saya kiranya Bapak sekeluarga senantiasa dilindungi, diberkati, dll oleh TYME. Ttd:Lenz, di Ba'a, Kab. Rote Ndao, NTT.

Jawab:

Pak Lenz di Ba’a, Rote,

Saat ini ketentuan mengenai usaha jasa konstruksi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 (artikel mengenai ini silakan baca di sini) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 (silakan baca artikelnya di sini). Dengan adanya perubahan ini, maka untuk kontrak jasa konstruksi yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 (dengan masa peralihan sampai 31 Desember 2008) masih tunduk kepada PP Nomor 140 Tahun 2000 yaitu untuk kontrak dengan nilai di bawah Rp 1 milyar yang dikerjakan kontraktor kecil dikenakan PPh yang bersifat final (PPh Pasal 4 ayat (2)) dan untuk kontrak di atas Rp 1 milyar yang dikerjakan kontraktor menengah dan besar dikenakan PPh yang bersifat tidak final (PPh Pasal 23).

Sedangkan untuk kontrak yang ditandatangani setelah tanggal 1 Januari 2008 seluruhnya dikenakan pemotongan PPh yang bersifat final (Pasal 4 ayat (2)). Jadi bukan seperti yang Anda sebutkan dalam pertanyaan di atas.

Oleh sebab itu, atas kontrak Anda di tahun 2009 dipotong PPh sebesar 2 % dan bersifat final dan merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukannya dipotong PPh Pasal 23. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong atas jasa konstruksi yang Anda kerjakan selama tahun 2009 ini tidak dapat dikreditkan sebagai kredit pajak dalam Form 1771 Tahun 2009 lampiran III-KREDIT PAJAK (bukan lampiran IV seperti yang Anda sebutkan), demikian pula penghasilan dari jasa konstruksi ini tidak perlu Anda hitung kembali dan dilaporkan pada Form 1771 Lampiran I. Namun penghasilan dan potongan PPh atas jasa konstruksi ini cukup Anda laporkan pada Form 1771 Lampiran IV Bagian A Nomor urut 8 a.

Sedangkan atas penghasilan yang diperoleh dari Proyek Pengadaan Barang/Jasa ke Pemerintah yang dipotong PPh Pasal 22 sebesar 1,5 % adalah merupakan penghasilan yang bersifat tidak final. Dalam SPT Tahunan PPh Tahun 2009 perlu menghitung kembali berapa sebenarnya Penghasilan Kena Pajak atas penghasilan dari pengadaan barang ini dan akan dikenakan PPh dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh.

Maka untuk melaporkan Penghasilan selama tahun 2009, yang perlu dihitung adalah seluruh penghasilan yang bersifat tidak final (yaitu penghasilan dari pengadaan barang/jasa) dan dikurangi dengan biaya-biaya yang berhubungan dengan penghasilan ini. Jika ada biaya yang tidak berhubungan atau biaya-biaya yang berhubungan dengan penghasilan jasa konstruksi yang bersifat final, maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan.

PPh terutang atas penghasilan tidak final ini dapat dikreditkan dengan PPh Pasal 22 sebesar 1,5 %. Sedangkan PPh sebesar 2 % yang dikenakan atas jasa konstruksi tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak.

Demikian penjelasan yang dapat saya berikan.

9 Comments

Anwar

ini yang kucari dan tak dapat dijawab oleh AR ku sendiri. thanks

Anonim

apabila cuma ada kegiatan proyek jasa konstruksi saja maka spt saya tidak perlu di hitung ulang ya mas?

Anto 10 Januari 2013 pukul 08.46

Apabila penghasilan seluruhnya berasal dari proyek jasa konstruksi yang telah dikenakan PPh yang bersifat final, maka pada akhir tahun ketika menyusun SPT Tahunan PPh Badan, penghasilan dari jasa konstruksi ini tidak perlu dihitung ulang untuk menentukan besarnya PPh terutang. Hanya cukup dicantumkan dalam Lampiran IV form SPT 1771 tersebut.

Otomatis maka pada SPT Induk, Penghasilan Neto yang dilaporkan adalah nihil karena tidak ada penghasilan yang bersifat non final yang harus dihitung ulang PPh-nya.

Anonim

Lampiran khusus penyusutan dan transkrip kutipan elemen -elemen dari laporan keuangan perlu dilampirin apa ngak ya. Terimakasih.

Anto 24 Maret 2014 pukul 12.56

Lampiran Khusus Penyusutan dan Transkrip Kutipan Elemen-Elemen dari Laporan Keuangan perlu dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Anonim

Slmt pagi.. saya mw konsultasi soal PBB rmh saya. Rumah saya ini kan nempel dg tetangga yg di dpn. Jadi klo org gak ngrti di kiranya jadi satu. Padahal pajaknya bayar sndri" dan gak ada hubungan keluarga. Dari dulu bapak saya klo bayar pajak sllu di titipkan ke tetangga dpn itu. Th 2006 kami cek soalnya mau ada penggusuran rmh di sini. Trnyta sm tetangga sy itu gak prnah di bayarkan dr sebelum th 2004. Tagihan membengkak. Slma membayar kami jg tdk dpt bukti pembayaran. Rmh yg d dpn sdh di bongkar d gusur dluan. Skg kok kami d suruh bayar beserta tanah kosong bekas rmh tetangga saya itu, padahl wktu mereka ada pengukuran tanah buat ganti rugi penggusuran itu rmh kami tdk trmasuk. Giliran rumah kami penggusuran nya th 2017. Bagiamna solusinya agar kami tdk dirugikan bgini. Tolong penjelasan nya. Trimakasih. 

Anto 2 Mei 2014 pukul 15.45

Agak sulit bagi menjawab pertanyaan tentang PBB ini karena saya tidak memperoleh data yang berhubungan dengan PBB ini. Anda harus mengecek mengenai SPOP dan SPPT PBB. Bagaimanakah data yang diisikan pada saat pendataan objek PBB ini. Dan seharusnya untuk pembayaran PBB yang Anda titipkan ke tetangga Anda tersebut, haruslah dimintakan tanda terima penyetoran dan pelaporannya.

Saya menduga bahwa dulunya tanah dan rumah milik Anda ini menjadi satu dengan objek pajak tanah dan rumah tetangga Anda (kemungkinan pemiliknya adalah satu orang). Dan ketika terjadi penggusuran tahap pertama dan tetangga Anda yang terkena gusur, kedua tanah ini tidak di-update siapa pemiliknya. Dan mungkin sampai dengan saat ini. Akibatnya, karena saat ini Anda yang menjadi pengguna tanah ini, maka Anda yang dianggap sebagai penanggung pajak atas seluruh hutang PBB dari tahun 2004 tersebut.

Sebaiknya Anda mencoba menghubungi petugas PBB di Dinas Pajak setempat dan meminta penjelasannya. Dan upaya yang dapat dilakukan atas tagihan ini adalah melakukan keberatan atau proses pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.

Anonim

Slmat siang Pak.. saya mau nanya pembelian suku cadang/sparepart utk penggantian suku cadang/sparepart yang rusak atas mesin pabrik ataupun penggantian keramik, penggantian asbes rumah, apakah dmasukkan sbg beban reparasi/pemeliharaan atau menambah nilai perolehan aktiva? Apakah ada dasar/acuan peraturan perpajakannya? Terimakasih...Salam..

Anto 12 Juni 2014 pukul 08.58

Perlakuan mengenai penambahan nilai perolehan aktiva yang berasal dari pembelian suku cadang/sparepart untuk mengganti suku cadang suatu mesin pabrik atau biaya renovasi bangunan (kapitalisasi ke nilai aktiva) secara ketentuan perpajakan adalah didasarkan dengan perlakuan dan kebijakan akuntansi yang berlaku di Indonesia.

Kebijakan akuntansi atas perlakuan kapitalisasi aktiva ini diatur dalam PSAK No. 16 (terutama di Paragraf 12-13. Sepanjang biaya-biaya ini adalah bersifat perawatan dan merupakan bahan habis pakai (consumables), maka biaya ini harus dibebankan pada laporan laba rugi tahun terjadinya biaya tersebut.

Posting Komentar