Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan untuk menunda ketentuan mengenai penunjukan pelaku niaga elektronik (e-commerce), "marketplace" atau lokapasar untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari para pedagang di platform e-commerce tersebut. Pernyataan ini disampaikan Purbaya dalam Media Briefing yang diselenggarakan di Kantor Kementerian Keuangan pada Jumat (26/09/2025) dengan pertimbangan guna menjaga daya beli masyarakat.
"Saya lihat begini, ini kan baru ribut-ribut kemarin. Kita tunggu dulu deh, paling tidak sampai kebijakan Rp200 triliun untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti," kata Purbaya.
“Kami tunggu dulu, paling tidak sampai kebijakan uang Rp200 triliun, kebijakan untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya. Baru kami akan pikirkan nanti,” katanya.
"Semuanya, bukan e-commerce tertentu. Kalau ada tertentu yang enggak ikut [ditunjuk], Anda bikin perusahaan di situ. Anda untung banyak nanti. Jadi, kita enggak ganggu dulu daya beli sebelum dorongan ekonomi masuk ke sistem perekonomian," ujarnya.
Meski belum ada satupun penyedia marketplace yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22, lanjut Purbaya, sistem untuk memfasilitasi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 sudah disiapkan.
"Kami sudah ngetes sistemnya. Uangnya sudah bisa diambil beberapa. Jadi, sistemnya sudah siap," tutur Purbaya.
Untuk diketahui bahwa sebelumnya pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 mewajibkan penyedia marketplace untuk memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran bruto pada pedagang dalam negeri yang berdagang di marketplace.
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh penyedia marketplace bisa diklaim oleh wajib pajak pedagang sebagai kredit pajak dalam SPT Tahunan PPh-nya pada tahun berjalan atau sebagai bagian dari pelunasan PPh final.
Penyedia marketplace ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 bila menggunakan escrow account untuk menampung penghasilan dan memenuhi salah satu dari kedua kriteria berikut:
"Saya lihat begini, ini kan baru ribut-ribut kemarin. Kita tunggu dulu deh, paling tidak sampai kebijakan Rp200 triliun untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti," kata Purbaya.
“Kami tunggu dulu, paling tidak sampai kebijakan uang Rp200 triliun, kebijakan untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya. Baru kami akan pikirkan nanti,” katanya.
"Semuanya, bukan e-commerce tertentu. Kalau ada tertentu yang enggak ikut [ditunjuk], Anda bikin perusahaan di situ. Anda untung banyak nanti. Jadi, kita enggak ganggu dulu daya beli sebelum dorongan ekonomi masuk ke sistem perekonomian," ujarnya.
Meski belum ada satupun penyedia marketplace yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22, lanjut Purbaya, sistem untuk memfasilitasi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 sudah disiapkan.
"Kami sudah ngetes sistemnya. Uangnya sudah bisa diambil beberapa. Jadi, sistemnya sudah siap," tutur Purbaya.
Untuk diketahui bahwa sebelumnya pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 mewajibkan penyedia marketplace untuk memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran bruto pada pedagang dalam negeri yang berdagang di marketplace.
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh penyedia marketplace bisa diklaim oleh wajib pajak pedagang sebagai kredit pajak dalam SPT Tahunan PPh-nya pada tahun berjalan atau sebagai bagian dari pelunasan PPh final.
Penyedia marketplace ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 bila menggunakan escrow account untuk menampung penghasilan dan memenuhi salah satu dari kedua kriteria berikut:
- nilai transaksi dengan pemanfaat jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam 12 bulan atau Rp50 juta dalam 1 bulan; dan/atau
- jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam 12 bulan atau 1.000 dalam 1 bulan.
0 Comments
Posting Komentar